Tantangan Pajak Tahun 2018
Oleh: Liberti Pandiangan
Realisasi penerimaan pajak 2017 yang dikelola Direktorat
Jenderal Pajak akhirnya mencapai sekitar 90 persen, yaitu Rp 1.151,1 triliun
dari rencana Rp 1.283,5 triliun.
Padahal, tahun 2017 masih periode sulit untuk meningkatkan
penerimaan pajak sebagaimana tahun-tahun sebelumnya dengan berbagai faktor yang
memengaruhi. Jumlah tersebut diperoleh dari Pajak Penghasilan (PPh) Rp 646,9
triliun, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp 480,7 triliun, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) Rp 16,8 triliun, dan pajak lainnya Rp 6,7 triliun.
Dilihat dari siklus penerimaan pajak (tax revenue cycle) lima tahun terakhir, yang pencapaiannya 92,6
persen (2013), 91,6 persen (2014), 82,0 persen (2015), dan 81,6 persen (2016),
bisa dikatakan bahwa pencapaian 2017 merupakan titik balik menuju penaikan.
Selain itu, kontribusi (khususnya) Desember 2017 yang mencapai 12,8 persen—jauh
lebih tinggi dari rata-rata bulanan sebelumnya, juga dibandingkan Desember
2016— menjadi indikasi makin membaiknya penerimaan pajak.
Pada 2018, rencana penerimaan pajak mencapai Rp 1.424 triliun
atau naik 23,7 persen dari realisasi 2017. Jumlah ini akan bersumber dari PPh
Rp 855,1 triliun (peranannya 60 persen), PPN Rp 541,8 triliun (38 persen), PBB
Rp 17,4 triliun (1,2 persen), dan pajak lain Rp 9,7 triliun (0,7 persen).
Berarti, peranan pajak terhadap total penerimaan negara (Rp 1,878,4 triliun)
sebesar 75,8 persen. Kemudian kontribusi pajak terhadap belanja negara, baik
belanja pemerintah pusat maupun transfer dana ke daerah, dan dana desa (Rp
2.204,4 triliun) sebesar 65 persen.
Kebijakan dan tantangan
Guna mencapai penerimaan pajak Rp 1.424 triliun, dalam Nota
Keuangan 2018 digariskan kebijakan pajak yang akan diterapkan. Pertama,
optimalisasi penggalian potensi dan pemungutan pajak berdasarkan data dan
sistem informasi yang up to date dan
terintegrasi. Kedua, meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP) dan membangun
kesadaran pajak untuk menciptakan ketaatan membayar pajak.
Ketiga, memberikan insentif pajak secara selektif untuk
mendukung daya saing industri nasional dan tetap mendorong hilirisasi industri.
Keempat, optimalisasi perjanjian perpajakan internasional dan pelaksanaan
pertukaran informasi secara otomatis (automatic
exchange of information/AEoI). Dan kelima, pajak yang lebih berkeadilan
bagi masyarakat guna mengurangi kesenjangan ekonomi.
Di tengah kebijakan pajak tersebut, berbagai kondisi kurang
menggembirakan menjadi referensi yang dimitigasi dan kelola Ditjen Pajak
sebagai tantangan untuk optimalisasi penerimaan pajak sesuai aturan perpajakan.
Pertama, dinamika perekonomian global dan gejolak geopolitik
internasional. Kondisi yang dihadapi di antaranya risiko keberlanjutan rebalancing perekonomian China,
kebijakan proteksionisme AS, proses keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni
Eropa (Brexit) di Eropa, dan perekonomian Jepang yang masih rentan. Juga masih
menghangatnya kawasan Timur Tengah dan Semenanjung Korea. Hal ini memengaruhi
arus, kekuatan, dan nilai dari ekspor, impor, dan investasi Indonesia yang akan
menentukan besaran perekonomian nasional, yang akhirnya berdampak terhadap
perolehan pajak.
Kedua, tingkat kepatuhan WP yang masih belum tinggi. Ini
merupakan perilaku umum pajak (tax
behaviour) di negara berkembang termasuk Indonesia, yang masih kurang patuh
melaksanakan peraturan dan kewajiban pajak. Kurang patuh ini sesuai derajat
cara pandang masyarakat terhadap pajak, yaitu tidak tahu, tahu, paham, peduli,
mau melaksanakan, hingga patuh secara materiil.
Indikasinya, kepatuhan pajak belum tinggi, terlihat dari
rasio pajak di kisaran 10 persen (bandingkan dengan Malaysia di kisaran 15
persen, Thailand 17 persen, Filipina 14 persen), pajak per kapita Rp 4,4 juta
(Malaysia Rp 18,9 juta, atau Filipina Rp 6,6 juta), jumlah WP orang pribadi
sekitar 32 juta dari sekitar 260 juta penduduk.
Ketiga, masih banyaknya dunia usaha yang sering mengajukan
pembebasan pajak, baik individual maupun asosiasi. Pembebasan pajak yang
diajukan terkadang tak realistis karena tak sebanding dengan kondisi makro dari
jenis usaha itu. Padahal, dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) dan UU Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), tanpa diminta WP telah tersedia ranah secara otomatis untuk
pembebasan pajak.
Dalam PPh di antaranya ada penghasilan yang dikecualikan
sebagai obyek pajak (Pasal 4 Ayat 3). Biaya yang diperkenankan sebagai
pengurang penghasilan yang bisa jadi rugi (Pasal 6 Ayat 1). Kompensasi kerugian
hingga lima tahun (Pasal 6 Ayat 2), bahkan untuk usaha tertentu dengan
kebijakan pemerintah ada yang hingga 10 tahun. Belum lagi kalau WP rugi secara
fiskal, memperoleh hak pembebasan pajak atas pemotongan/pemungutan pajak.
Adapun dalam PPN, ada penyerahan yang tak termasuk sebagai
penyerahan barang kena pajak (JKP) sehingga tak ada PPN (Pasal 1A Ayat 2). Juga
berbagai jenis barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) yang tidak
dikenai PPN (Pasal 4). Jika permintaan pembebasan pajak yang diajukan
disetujui, tentu akan mengurangi penerimaan pajak yang tidak semestinya.
Keempat, perkembangan pola bisnis dan transaksi global dan
lokal yang dilakukan secara daring (online)
dapat belum terdeteksi dalam neraca nasional (national account). Karena sifatnya daring, WP terkadang menganggap
belum masuk di sistem perpajakan, walaupun kita menerapkan sistem pemungutan
pajak yang memberikan kepercayaan kepada WP untuk menghitung, membayar, dan
melaporkan sendiri jumlah pajaknya (self
assessment system). Hal menggembirakan menjelang akhir 2017, bahwa
perusahaan Google akhirnya membayar pajak di Indonesia menjadi referensi model
pola bisnis dan transaksi daring.
Kelima, masih maraknya perusahaan dalam skala multinasional
yang memanfaatkan negara atau otoritas atau yurisdiksi tertentu (misalnya tax haven country) untuk pengurangan
bahkan tak membayar pajak di Indonesia. Ada yang dilakukan dengan model transfer pricing, atau rekayasa keuangan
lain, sehingga keuntungan perusahaan tergerus atau bahkan bergeser (base erosion and profit shifting/BEPS)
tatkala dihitung pajaknya di Indonesia.
Keenam, penyimpanan dana model Panama Papers dan Paradise
Papers yang terungkap pada 2016 dan 2017 sangat mengentak publik karena banyak
juga warga Indonesia ada dalam dokumen tersebut. Ke depan, model Panama Papers
atau Paradise Papers ini diperkirakan akan tetap ada karena menjadi daya tarik
bagi orang yang mau menghindar, di antaranya pajak.
Ketujuh, kesiapan WP untuk mau makin terbuka dan menerima
sehubungan dengan perolehan data dalam rangka amnesti pajak, juga akses
informasi keuangan dari lembaga keuangan pelaksanaan UU No 9/2017, maupun
pelaksanaan Pasal 35A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Ditjen
Pajak telah memiliki banyak data, yang dalam penggalian potensi pajaknya
dilakukan melalui imbauan hingga pemeriksaan kepada WP.
Kedelapan, penggunaan uang pajak oleh instansi/lembaga yang
belum mendukung tugas dan fungsinya dalam memberikan barang dan jasa publik (public goods and services) ke
masyarakat. Misalnya, jumlah dan kualitas jalan, jembatan, layanan kesehatan,
pendidikan dan lainnya. Sebagai masukan, dapat membuat masyarakat enggan bayar
pajak.
Tanggung jawab bersama
Hal-hal tersebut antara lain tantangan berat Ditjen Pajak
yang berpotensi membuat kurang optimalnya penerimaan pajak pada 2018. Di sisi
lain, jika tidak tercapai, berbagai kebutuhan masyarakat dalam bentuk public goods and servicesdalam APBN
tidak terpenuhi. Pengalaman pemerintahan Amerika Serikat yang lumpuh baru-baru
ini bisa jadi pelajaran berharga bagi Indonesia, betapa pajak sebagai sumber
penerimaan negara harus diamankan semua pihak, bukan hanya Ditjen Pajak saja.
Liberti Pandiangan Kepala Bidang P2 Humas, Ditjen Pajak,
Kementerian Keuangan
Kompas, 13 Februari 2018


0 komentar:
Posting Komentar