Banjir Kiriman
oleh: Zainul Muttaqin
HAMPIR
seminggu setelah hujan mengucur deras. Orang-orang mengungsi di masjid.
Genangan air tak kunjung surut. Tingginya sepinggul orang dewasa. Banjir itu
datang bersamaan dengan jebolnya bendungan Sungai Campoan. Tiap hari awan hitam
membungkus permukaan langit, disertai gerimis tipis liris serupa helai-helai
rambut. Mereka berusaha meredam cemas. Khawatir rumah yang ditinggalkan sudah
diseret air bah.
IKHLASKAN kalau memang rumah harus diseret
banjir.” Maksan, laki-laki berkumis tebal, menepuk pundak kawannya yang
menampakkan wajah murung.
”Kalau
air tak kunjung surut, apa tidak mungkin masjid ini juga bisa-bisa
ditenggelamkan banjir?” tanya Kasno kepada Maksan. Mereka berdua bertetangga.
Tapi, pembicaraan di antara mereka terjadi setelah dua lelaki paruh baya itu
sama-sama mengungsi di masjid itu. Sebelum banjir datang, Kasno dan Maksan
jarang bertegur sapa, apalagi sampai mengobrol berjam-jam seperti ini.
”Masjid
adalah tempat paling aman. Tak mungkin banjir bisa menenggelamkan rumah ibadah
ini,” kata Maksan sembari menyulut sebatang rokok. Dingin menghunus setiap inci
kulit. Orang-orang mengobrol dalam masjid, mengusir rasa bosan yang mulai
menghinggapi benak mereka. Berlama-lama mengungsi tentu tidak nyaman.
”Mengapa
bisa begitu?” Kasno mengernyitkan dahinya. Menyipit matanya. Dipandanginya
wajah Maksan yang tampak biasa-biasa saja. Diembuskannya asap rokok yang
melegakan pikiran rumit Maksan.
”Ini
tempat ibadah. Rumah Allah. Tidak mungkin Allah akan menenggelamkan rumahnya
sendiri.” Maksan mengulas senyum di bibirnya. Kasno menganggukkan kepala
mendengar penjelasan Maksan pada pagi lembab.
”Itulah
mengapa orang-orang kerap berlindung di masjid ketika banjir datang.” Kasno
menambahkan dengan binar-binar di matanya, mendahului ucapan Maksan. Beberapa
jenak kemudian, Kasno merogoh sebungkus rokok dalam sakunya. Tidak tahu kapan
air akan surut sehingga Kasno kerap berdoa agar air itu sesegera mungkin susut,
menyingkir dari rumah-rumah penduduk. Namun, air justru bertambah meskipun
hujan tidak turun setiap hari lagi, sebagaimana hari-hari sebelumnya.
”Mungkin
kita disuruh lebih lama tinggal di masjid supaya ingat ibadah,” bicara Kasno
tak lebih serupa desis. Maksan tak menanggapi gumam kawan akrab satu-satunya,
yang baru ia sadari kalau laki-laki itu tetangga sebelah rumahnya. Ia menikmati
isapan demi isapan asap yang keluar masuk dari dada ringkihnya yang kian
menyempit.
Ketika
awan membiarkan celah matahari bersinar menerpa tubuh dua laki-laki di samping
masjid itu, Maksan mendadak terisak. Dibuang sebatang rokok yang masih menyala.
Ia menundukkan wajah. Laki-laki bertubuh agak kerempeng itu ingat akan kematian
sang istri. Pagi agak lembab ketika istrinya terperosok ke lubang parit di
antara genangan air yang masih selutut.
Waktu
itu, istri Maksan berkukuh tetap tinggal di rumah. Sebagian warga mulai
mengungsi, tidak mau menanggung risiko. Khawatir luapan air Sungai Campoan
disertai curah hujan yang seakan siap menuangkan air dalam jutaan meter kubik
per detik membuat mereka tak sanggup menyelamatkan diri. Mastini, istri Maksan,
keras kepala. Tak mau dengar omongan-omongan tetangga, termasuk ucapan suaminya
yang berkali-kali membujuk perempuan 35-an itu meninggalkan rumah.
”Percayalah.
Tak mungkin banjir,” ujarnya lembut pada Maksan. Kata-kata itu diulang-ulang
begitu Maksan melontarkan bujukan padanya. Padahal Maksan menyadari, air itu
mulai bertambah setiap harinya. Maksan menatap genangan air di depan rumahnya,
yang lambat laun tingginya bertambah.
Kematian
istrinya menjadi jawaban bagi Maksan, mengapa perempuan berkulit kuning langsat
itu tak mau meninggalkan rumah. Seseorang diminta menjemput Bardi, anak Maksan,
ke sekolah. Jasad Mastini dibaringkan di atas lincak. Kecipak air di bawah
ranjang bergoyang-goyang, lalu mengalir pelan-pelan ke setiap sudut rumah.
Tangis Bardi meledak ketika bocah tujuh tahun itu berdiri di ambang pintu,
melihat ibunya dikerumuni orang-orang.
Maksan
ikut menitikkan air mata. Ia menarik tubuh anaknya dari dekapan sang ibu.
Bergotong royong warga menggali liang kubur secepat mungkin. Dikhawatirkan air
makin bertambah. Kubur digali di pemakaman keluarga, di antara air yang
pelan-pelan merambat masuk ke dalam.
”Setiap
tahun, setiap banjir pasti ada yang meninggal,” celetuk seseorang yang ikut ke
pemakaman.
”Mungkin
karena makin banyak gedung berdiri, makin sedikit daerah resapan air, dan
sungai-sungai kian menyempit.”
”Mungkin
pula karena Allah sedang menguji hamba-hambaNya.”
”Bagaimana
kalau itu azab?” Pertanyaan muncul dari mulut laki-laki berkumis tipis.
Orang-orang jadi terdiam. Hanya bisa memandangi raut muka laki-laki itu. Mereka
menghela napas panjang, melegakan tenggorokannya sekaligus mengaburkan bayangan
kengerian perihal banjir yang dibilang azab oleh laki-laki dengan
tulang-belulang serupa batang lidi pada sebidang dadanya itu.
Jasad
Mastini dimasukkan ke dalam liang lahat. Bardi menjerit. Sesaat kemudian, ia
menangis panjang dan amat menyayat. Maksan menabur bunga di atas pusara sang
istri. Nisan dipegangnya erat. Tak ingin dilepas. Wajah Bardi, anak mereka,
membenamkan wajahnya ke dalam dada Maksan. Tujuh menit setelah orang-orang
meninggalkan pemakaman. Mereka berdua juga ikut membawa langkahnya, menerabas
air yang senantiasa mengalir, dengan ketinggian setumit orang dewasa.
Tak
sampai tujuh hari Maksan di rumah. Ia mesti meninggalkan rumah satu-satunya itu
dengan menyimpan luka di dadanya lantaran tak bisa mengadakan tahlilan selama
tujuh hari bagi sang istri. Warga berbondong-bondong menuju masjid, kurang
lebih lima kilometer dari rumah yang mereka tinggalkan. Maksan bersama Bardi
terpiuh-piuh melangkah menuju masjid.
Dikabarkan
melalui siaran televisi, banjir hampir menenggelamkan separuh kota. Orangorang
tercengang sekaligus heran, mengapa masjid-masjid tak tersentuh oleh air.
Pengungsian dipusatkan di masjid-masjid karena itu cuma satu-satunya tempat
yang luput dari serangan banjir. Aneh, pikir orang-orang dalam tempurung
kepalanya.
Sementara
Maksan, selalu setiap hari, lepas maghrib mengaji di dalam masjid. Mengirim
doa-doa kepada sang istri, yang kini mungkin makam itu sudah dilumat oleh
banjir. Kasno mengakui kesedihan kawannya itu berlipat ganda mencekik hidupnya.
Kerut-kerut di kening Maksan membentuk garis terombangambing. Sorot matanya
suram. Kasno merasa bersyukur, banjir kali ini tak merenggut seorang pun nyawa
keluarganya. Meskipun begitu, ia pernah menangis untuk kematian ayahnya sewaktu
banjir melanda tahun lalu.
”Apakah
banjir memang kerap minta tumbal?” Maksan bertanya kepada Kasno. Tersenyum
Kasno mendengar Maksan mengajukan pertanyaan serupa itu. Wajar Maksan
melontarkan kalimat itu karena ia kerap menjadi saksi kematian warga setiap
tahun, setiap kali banjir menghajar rumah mereka. Termasuk atas kematian ayah
Kasno.
”Banjir
datang karena manusianya sendiri yang meminta. Sungai-sungai dipersempit.
Sampah dibuang di sungai. Maka, ke mana lagi air itu akan mengalir jika tempat
yang semestinya diusik.” Ucapan Kasno membuat Maksan merenung. Masuk ke dalam
dirinya sembari membenarkan perkataan Kasno dalam hatinya. Mendung menggantung
di langit. Dua laki-laki itu masuk ke dalam masjid. Mereka ingat belum
mengerjakan shalat Isya.
Kamis
malam kesepuluh, lepas isya Maksan dikejutkan dengan mengalirnya air ke halaman
masjid. Tujuh menit berlalu, air itu kian bertambah. Semula Maksan mengira air
selokan masjid sedang meluap karena hujan mengucur deras semalam. Tapi, mata
laki-laki paruh baya itu dibuat terbelalak ketika dilihatnya air terus bertambah
hingga mencapai undakan masjid.
”Banjir
.... Banjir .... Banjir datang,” teriakan Maksan dari teras masjid disambut
panik oleh orang-orang yang tengah terlelap. Berbondong-bondong mereka keluar.
Maksan mencari Bardi di antara kerumunan orang-orang. Bocah itu langsung
mendekap ayahnya. Butuh waktu lama agar warga pengungsi segera keluar dari
masjid, mencari tempat aman.
”Ke
mana kita harus mengungsi?”
”Apa
masih ada masjid yang luput dari banjir?”
Kepanikan
merambati sekujur tubuh orang-orang sampai mereka menangis terisak-isak.
Sebagian lari terbirit-birit, sebagian lagi memilih berdiam dalam masjid,
berzikir pasrah, seperti siap menerima kematian apabila Izrail memang mau
mencabut nyawa di antara banjir yang lambat laun masuk ke dalam masjid itu. Tiga
puluh menit kemudian, air sudah mencapai lutut orang dewasa. Tubuh orang-orang
bersila di dalam masjid hampir tenggelam oleh genangan air. Maksan berpandangan
bingung melihat ruang dalam masjid dipenuhi air seutuhnya.
”Kenapa
Allah hendak menenggelamkan sendiri rumahNya?” Maksan menyimpan pertanyaan itu
dalam dadanya. Pasti sebab banjir dikirim ke masjid didasari suatu hal. Di
antara pikiran Maksan yang tak kunjung mendapat jawaban sebab musabab banjir
dikirim ke masjid, ia mendengar jeritan orang-orang beristigfar, seakan ingat
segunung dosa dan ingin menebusnya ketika itu juga.
”Pertanda
apakah ini, Pak?” Bardi, anak lelakinya, bocah tujuh tahun itu bertanya. Maksan
menggeleng. Buru-buru mereka meninggalkan masjid, menerabas air yang makin
meninggi setiap menitnya. Maksan gelisah. Sepanjang perjalanan mulutnya
senantiasa beristigfar dengan air mata mengucur terus-menerus.
Kompas
Minggu 4 Februari 2018

0 komentar:
Posting Komentar