Minoritas Baru
Oleh: Luky Djani
Di berbagai belahan benua muncul persepsi dan perasaan
sebagai orang terpinggirkan justru dari sebagian besar warga. Justin Gest
(2016) menyebut fenomena tersebut sebagai hadirnya minoritas baru (the new minority). (Si)apa minoritas
baru tersebut?
Berdasar kajiannya di Inggris dan AS, Gest merujuk pada
komunitas yang kerap disebut white working
class, kelas pekerja kulit putih yang sejatinya merupakan mayoritas dalam
stratifikasi sosial-ekonomi masyarakat di kedua negara. Perasaan dan persepsi
sebagai minoritas (baru) juga melanda kaum bumiputra di Belanda, Jerman,
Austria, Perancis, bahkan Afrika, serta tak ketinggalan Indonesia di belahan
selatan. Mengapa mayoritas justru merasa sebagai minoritas?
Disfungsi kewargaan
Kondisi ini telah diprediksi oleh Herbert Marcuse lima dekade
lalu sebagai fenomena yang disebutnya "one
dimensional man". Marcuse mewanti-wanti bahwa industrialisasi
mengintegrasikan individu ke dalam sistem produksi dan konsumsi sehingga tercipta
masyarakat industri dengan kebutuhan semu.
Senada dengan Marcuse, argumen sentral Gest dalam buku
terbarunya, The New Minority, merujuk
faktor globalisasi neoliberal dan demokrasi liberal sebagai pemicu kerentanan
dan kegamangan. Selain menempatkan individu dalam proses produksi, kapitalisme
dan rezim pasar juga menilai seseorang atas dasar kemampuan
pertukaran/transaksi kapital. Status "kewargaan" berubah menjadimarket citizenship sebagai konsumen
produk dan jasa semata. Komodifikasi kehidupan sehari-hari menjadikan sebagian
besar warga yang tidak memiliki kekuatan finansial merasa gamang dan
terpinggirkan.
Kerentanan dan kegamangan akibat globalisasi dan ekonomi
pasar diperparah dengan menyusutnya perlindungan dan jaminan sosial (welfare program). Tak mengherankan jika
muncul pandangan dan perasaan bahwa pemerintah, otoritas yang mengelola
perekonomian dan menghadirkan kesejahteraan, justru lebih berpihak kepada
sesuatu di luar mereka, entitas asing.
Perasaan dan persepsi terpinggirkan mengental dalam identitas
kolektif sebagai "minoritas baru". Para putra(i) daerah atau
bumiputra(i) menjadi identitas kolektif penolakan (resistance identity) terhadap institusi formal dan sistem ekonomi
dominan. Upaya mendefinisikan kembali identitas kolektif baru di tengah
struktur dan sistem ekonomi dan politik sebenarnya merupakan upaya atau
percobaan untuk memperoleh kembali eksistensi dan peran di dalam struktur
hegemonik itu. Akan tetapi, upaya ini bukanlah seperti apa yang diimaginasikan
oleh Marcuse sebagai the great refusal,
perlawanan kolektif atas sistem yang memarginalkan, karena "minoritas
baru" ini berhimpun berdasarkan ikatan primordial.
Reintegrasi minoritas
baru
Di Indonesia, peristiwa teror terhadap gedung WTC pada
September 2001 dan bom Bali 2002 merupakan titik kulminasi terjadinya hegemoni
terhadap kelompok yang dipandang ekstrem. Serangkaian stigma dilekatkan secara
sapu rata kepada mereka dan berakibat pada penihilan eksistensi. Kampanye
toleransi dan keberagaman yang beriringan dengan kampanye war on terror justru
mengkristalkan semangat dan melipatgandakan upaya untuk eksis. Peluang
liberalisasi politik menurut Eric Hiariej (2017) dipergunakan kelompok yang
jadi sasaran kampanye war on terror dengan
bertransformasi menjadi post
fundamentalist. Strategi kampanye dikemas dalam bingkai narasi populisme
moralitas.
Di lain sisi, desakan (kepada pemerintah) untuk berpihak dan
memberi proteksi sosial-ekonomi kepada "minoritas baru" menjadi
alunan yang segera memperoleh persetujuan dari khalayak. Sebagai contoh,
sentimen kepada entitas asing, taipan misalkan, memiliki multifungsi sebagai
faktor pengikat solidaritas, opini, dan mobilisasi tuntutan.
Ketakmampuan individu berpartisipasi dalam proses ekonomi dan
politik dalam kehidupan sehari-hari menciptakan perasaan termarginalisasi
sehingga mendorong seseorang mengidentifikasi diri sebagai "minoritas
baru". Minimnya kehadiran, uluran tangan, dan pengayoman dari negara
mendorong orang mencari solusi sendiri akan masalah yang dihadapi karena
pemerintah seolah tak mampu memberi solusi (Edward dan Glover 2001).
Karena itu, pemerintah perlu bersama-sama "minoritas
baru" dalam pencarian jawaban atas ekses dan komplikasi dari globalisasi
neoliberal. Jika tidak, proyek identitas sebagai "minoritas baru" ini
akan berkolaborasi dengan figur oligarki populis yang menggunakan simbol
perlawanan kolektif untuk meraih kekuasaan. Populisme zaman milenial ini
berkarakter populisme sektarian dan menjadi predator bagi demokrasi dan
keadilan sosial yang hakiki. Ibaratnya menghindar dari mulut naga, masuk ke
mulut dinosaurus.
Luky Djani Direktur Institute for Strategic Initiatives

0 komentar:
Posting Komentar