Homogenisasi Logika Politik
Oleh: Pamungkas
A Dewanto
Dalam setengah tahun terakhir ini saya menghabiskan waktu
untuk berkeliling dari satu desa ke desa yang lain di Jawa, Madura, dan Lombok.
Walaupun tiap manusia di daerah memiliki latar belakang kultur, demografi,
ekologi, dan kapasitas kognitif yang berbeda, saya menemukan satu kesamaan di
antara mereka, terutama dalam hal politik.
Dalam setiap persinggahan, saya merasakan betapa antusiasnya
masyarakat setempat membahas kompetisi para pemimpin dari tingkat pusat hingga
desa. Dari percakapan dengan mereka, saya menemukan terjadinya homogenisasi
dalam ruang politik di level daerah, hal ini khususnya tecermin dari ajang
penjaringan pemimpin daerah.
Politik uang dan pragmatisme
Setelah reformasi bergulir, Indonesia memang mengalami
transformasi politik yang ekstrem. Berangkat dari masyarakat yang dikekang dan
diteror oleh "hantu kuning" Golkar, tiba-tiba masyarakat dihadapkan
pada sistem demokrasi elektoral yang mutakhir. Secara bersamaan, masyarakat
meneriakkan kampanye anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) sembari,
misalnya, melakukandeal untuk
mendapat proyek tertentu, atau untuk memasukkan anak ke suatu sekolah
kedinasan. Masyarakat dengan riang menyambut Indonesia bebas KKN, riang hanya
karena KKN kini bukan hanya milik Presiden Soeharto dan kroninya.
Yang saya ingin soroti adalah proses politik yang terjadi di
tingkat kabupaten hingga desa. Dinamika perpolitikan di tingkat ini memang
tidak semenarik Pilkada DKI Jakarta. Di daerah, saya melihat bagaimana
masyarakat kita tergiring dalam melazimkan proses politik yang melulu soal
akses terhadap kapital.
Di balik antusiasme terhadap politik lokal, masyarakat kita
menyimpan pragmatisme yang tinggi. Dalam menentukan pilihan, sebagian besar tak
berpikir panjang. Alasannya sederhana, mereka yang terpilih bahkan tidak pernah
datang atau sekadar menyapa lagi. Di samping itu, tidak banyak yang diperbuat
oleh para politisi/pemerintah lokal.
Petani salak di Banjarnegara, misalnya, harus memutar otak
sendiri menyiasati harga yang terus turun karena inovasi pertanian tak dipicu
oleh para pengambil kebijakan. Pada akhirnya, masyarakat cenderung jadi utilitarian dengan menyedot sebanyak
mungkin keuntungan sesaat dari para calon ataupun juru kampanye yang
berkeliaran di desa dalam bentuk politik uang.
Tak hanya dalam tataran masyarakat umum, gejala yang sama
juga tampak dari aktivis politik di tingkat daerah. Dengan pragmatisme, kader
partai politik jadi terpecah belah, sekalipun dalam satu partai. Banyak di
antara para kader yang memulai karier dari nol, berkiprah di level kecamatan
hingga kabupaten, justru tidak dapat dukungan dari pimpinan partai di Jakarta.
Pimpinan partai justru merestui calon yang tidak dikehendaki oleh kader dan
masyarakat di daerahnya.
Alih-alih jadi corong aspirasi rakyat yang semestinya
mementingkan proses politik yang bottom-up,
parpol di daerah justru jadi corong para elite dari pusat. Hal ini tidak hanya
membingungkan, tetapi juga mengukuhkan hipotesis akan semakin hilangnya fungsi
partai politik sebagai penyalur aspirasi rakyat.
Milik penguasa modal
Dalam fragmentasi semacam itu, ada kecenderungan masyarakat
memiliki logika politik yang seragam, di antaranya kecenderungan publik
mengutamakan faktor "individu" atau "figur". Tak ada yang
salah dengan figur. Hanya saja, kita tak pernah memiliki kejelasan akan
kriteria apa saja yang membuat individu itu layak jadi pemimpin. Pun parpol
yang telah muluk-muluk menjajakan ideologi pada akhirnya hanyalah pengepul
kelas kakap individu-individu yang belum jelas visi dan misinya, tetapi
memiliki modal kapital yang kuat.
Celakanya, kecenderungan yang ada saat ini justru mengarah
pada penyeragaman dalam pola menjaring suara yang bersifat transaksional. Sudah
jadi rahasia umum bahwa di beberapa daerah politik uang telah jadi praktik yang
lumrah meski secara bersamaan juga dianggap tabu. Di banyak desa yang saya
singgahi, belum pernah mendengar seorang calon lurah atau kepala desa
menghabiskan dana kurang dari Rp 150 juta untuk meraih suara. Fenomena ini
tidak terbatas dalam kursi pemerintahan, tetapi juga untuk mengisi posisi
penting dalam struktur partai politik di daerah.
Karena tingginya ongkos kapital dalam politik, pemilu menjadi
ajang yang mewah. Akibatnya, hanya para "pemenang ekonomi" yang dapat
merayakannya. Di pusat, figur-figur mendirikan partai politik. Di daerah,
kebutuhan politik kapital menjadi stimulus bagi elite pebisnis lokal untuk
mereplikasi relasi kapitalistis sistem pasar bebas (dalam kasus lain, lihat
Tania Li, 2014: 8) bak di kota-kota besar. Akhirnya, menjadi lumrah mendapati
para pemimpin politik/pemerintahan dekat/berasal dari kalangan elite penguasa
modal.
Ironisnya, praktik ini telah menghancurkan kriteria
kepemimpinan yang sederhananya dapat ditemukan dalam pelajaran kewarganegaraan
di sekolah-sekolah kita: berkepribadian, berilmu pengetahuan, tidak
mementingkan kepentingan golongan, keterbukaan berpikir, patriotisme,
berbudaya, memiliki jiwa kepemimpinan, dan sebagainya. Perbedaan antara naskah
pembelajaran dan praktik akan mencetak generasi penerus yang hilang kepercayaan
terhadap sistem perpolitikan/pemerintahan. Pada akhirnya sistem ini mencetak
homogenitas dalam logika berpolitik, di mana pemenang ekonomi adalah pintu
gerbang kekuasaan.
Dengan homogenisasi logika politik, masyarakat telah banyak
yang meninggalkan tradisi berpikir dan menuju pragmatisme politik yang
menguntungkan para elite semata. Sebagai penutup, saya teruskan ungkapan dari
seorang buruh tani teh yang saya temui di sebuah desa di perbatasan Kabupaten
Banjarnegara dan Pekalongan, Jawa Tengah. Katanya, "Uwong siki ora kudu mikir sing pada, nanging kudu sing pada mikir"
(Orang di zaman ini tak mesti memiliki pemikiran yang sama, tetapi sebagai
manusia kita harus [tetap] berpikir).
Pamungkas A Dewanto, Mahasiswa S-3 Antropologi Sosial Vrije
Universiteit, Amsterdam


0 komentar:
Posting Komentar