Semiotika Tahun Politik
Oleh: Acep Iwan Saidi
Tahun politik adalah penamaan untuk masa ketika pemilihan
pemimpin eksekutif—presiden dan kepala daerah—serta anggota legislatif
dilakukan. Istilah ini mulai dikenal ketika Pemilihan Presiden 2014.
Kini, empat tahun kemudian, penamaan itu muncul kembali terkait pemilihan
kepala daerah tingkat I dan II yang serentak dilakukan pada 2018. Karena
pemilihan presiden dan anggota legislatif akan dilaksanakan setahun kemudian
(2019), masa tahun politik pun menjadi lebih lama (dua tahun).
Sekilas penamaan tahun politik untuk peristiwa politik di
atas tidak bersoal. Secara linguistik tentu dengan mudah dapat segera dipahami.
Dalam hukum bahasa "Diterangkan-Menerangkan" (DM), kata politik menerangkan situasi yang terjadi pada kata tahun. Berpatokan pada relasi sintagmatik-paradigmatik bahasa sausurian, pada
poros paradigmatik frasa tahun
politik dapat
bertukar dengan tahun "pemilihan pemimpin", "pengurusan
negara", "perebutan kekuasaan", dan lain-lain yang berkaitan
dengan aktivitas politik. Aktivitas politik tentu saja dilakukan oleh para
politisi, bukan oleh subyek lain. Jika pun seseorang tak berlatar ilmu politik,
saat ia melakukan aktivitas politik dalam lembaga politik dan birokrasi, ia
bisa disebut politisi juga.
Politik
minus rakyat
Namun, bahasa tentu tak hanya dapat dikaji sebagai relasi
kata pada bentang struktur belaka. Bahasa merupakan sebuah "maujud"
filosofis, psikologis, kultural, dan lain-lain yang kompleks. Saussure (1990),
yang notabene sebagai pelopor linguistik struktural, juga menyebutkan bahwa bahasa
adalah tanda yang paling sempurna. Bahasa adalah rumah bagi eksistensi (being), kata Heidegger. Bahasa itu cermin bangsa, "jika hendak mengenal
orang berbangsa/lihat kepada budi bahasa", demikian Pasal Kelima Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji.
Dalam ruang lingkup bahasa yang kompleks itulah terjelaskan
masalahnya. Tampak bahwa secara semiotik tahun politik menjadi frasa yang menegasi kompleksitas itu. Merujuk
kepada Peirce, frasa tahun
politik telah
menjadi indeks yang menunjukkan bahwa realitas politik di negeri
ini telah steril dari persoalan-persoalan di seputar dirinya. Dunia politik
menjadi semacam "institusi otonom" yang berdiri sendiri. Tahun
politik, di situ, menjadi semacam istilah yang terkonstruksi dari cara pandang "teknik
politik" belaka.
Situasi demikian sekaligus menjelaskan bahwa frase tahun politik tidak lahir dari imajinasi kerakyatan. Dengan kata
lain, ketika aktivitas politik sedang dirumuskan, rakyat tidak hadir dalam
ingatan. Rakyat hanya ditempatkan sebagai kerumunan massa yang akan menonton
sebuah kontes ketika calon pemimpin yang dikirim partai politik tadi menjadi
kontestannya. Dalam pola pikir ini jelas rakyat tidak perlu dilibatkan dari
awal. Rakyat adalah para pembeli barang jadi yang instan, pemilih yang
dipilihkan. Rakyat dianggap tak perlu tahu-menahu soal proses. Yang penting
dilakukan adalah bagaimana memoles para kontestan supaya tampak seksi di atas
panggung.
Faktanya, sejak awal (bahkan sebelum) memasuki tahun politik,
para politisi telah supersibuk melakukan berbagai manuver politik. Partai
politik sibuk mencari dan memasang-masangkan kadernya untuk menjadi penguasa di
daerah (gubernur, bupati, wali kota). Ada juga partai politik yang mencaplok
kader partai lain, yang menarik-ulur koalisi, hingga yang memberlakukan
"mahar" untuk kader atau siapa saja yang berniat menjadi bakal calon.
Dengan ini semua, dunia politik pun menjadi semacam "bursa saham".
Aktivitas politik berubah jadi transaksi bisnis.
Itulah kekeliruan fatal yang dilakukan para politisi terhadap
situasi zaman now yang pembacaannya memang membutuhkan
kecerdasan tersendiri. Di satu sisi, misalnya, zaman ini adalah era penampakan
yang dengan begitu tontonan menjadi sangat penting. Mengikuti logika ini, apa
yang disebut Allan Goldstein sebagai the politics of show menjadi niscaya. Dalam terminologi ini, politik dan
politisi memang merupakan sebuah "panggung modern" yang berjarak dari
penontonnya (rakyat). Di atas panggung, para pemain jelas harus memakai
"gaun pentas" yang mampu menyihir penonton. Gaun itu tak lain
selubung citra.
Namun, di sisi lain, zaman ini juga zaman penuturan (mulut)
dan pendengaran (telinga), era gosip dan takhayul berkembang dalam bentuk baru.
Inilah era tradisi lisan digital, yang pada esai di harian ini pernah saya
sebut sebagai tradisi lisan tersier (Kompas, 2/1/2015). Mirip dengan yang
terjadi dalam tradisi lisan primer (Ong, 2004), tradisi lisan tersier menghapus
batas antara penonton dan pemain dalam peristiwa pertunjukan. Beranalogi ke
sini, politisi sama sekali tidak bisa mengambil jarak dari rakyat sebagai
konstituennya. Barang siapa berjarak, ia tidak akan ditonton alias ditinggalkan
atau bahkan diusir.
Tinta
hitam demokrasi
Jika fenomena tersebut dipahami, niscaya terma yang muncul
bukanlah tahun politik, melainkan tahun demokrasi (Pancasila) atau bahkan tahun rakyat. Dalam tahun
rakyat jelas
rakyat diposisikan sebagai pelibat pertunjukan atau subyek panggung. Sebagai
subyek panggung, rakyat menjadi pelaku sekaligus penikmat pesta demokrasi
(Pancasila). Dalam berbagai bentuk, rakyat terlibat sejak partai politik
melakukan pencarian bakal calon. Demokrasi sesungguhnya tidak lebih dari
pementasan teater, yaitu teater rakyat. Di dalam teater rakyat, pemain dan
penonton mengucapkan mantra sekaligus merasakan dampak mantra tersebut
bersama-sama.
Akan tetapi, kegagapan para politisi dalam menyikapi situasi
zaman demikian, sekali lagi, membuat partai politik menjadi lembaga yang justru
melangkah ke lorong yang terpisah dengan rakyat. Alih-alih melibatkan rakyat,
di dalam tubuh institusinya sendiri terjadi ironi demokrasi (Pancasila).
Lihatlah, untuk menentukan calon bupati jauh di pelosok negeri saja,
keputusannya terletak di tangan pengurus pusat di Jakarta. Para pengurus di
tingkat daerah (DPD) dan cabang (DPC) hanya berfungsi sebagai sekrup dalam
mesin partai. Lebih parah lagi, keputusan tersebut pada akhirnya juga bertumpu
pada pucuk pemimpin atau segelintir elite yang dominan. Sedang terjadi
feodalisme baru dalam tubuh partai politik. Dan, ini berarti bahwa demokrasi
(Pancasila) sedang berada pada titik nadir di dalam institusinya sendiri.
Akibatnya, sebagian besar rakyat pun bersikap apatis. Rakyat
bukan hanya tak mau berpartisipasi, bahkan membincangkannya pun sudah enggan.
Jika ada pembicaraan mengenainya, yang muncul nyaris selalu merupakan sisi
negatif. Di media sosial, sebagaimana kita tahu belaka, obrolan tentang partai
politik khususnya dan dunia politik pada umumnya selalu tidak pernah lepas dari
sinisme, bahkan kumpulan cacian yang mengerikan.
Pada saatnya nanti rakyat memang akan melaksanakan
kewajibannya sebagai pemilih, sebagai bukti bahwa sejauh ini rakyat masih setia
sebagai warga negara yang baik. Dengan kesabaran rakyat akan menyelinap ke
balik bilik suara, mencoblos, dan menghitamkan jarinya di stoples tinta. Tragis
memang karena ia hanya akan pulang dengan jari yang hitam itu. Selalu begitu
setiap pemilihan pemimpin. Jari hitam menjadi semacam penanda bahwa politik dan
demokrasi Indonesia akan tetap suram. Mungkin hingga akhir. Paling tidak,
sejauh ini belum tebersit tanda, sekecil apa pun, bahwa tinta hitam demokrasi
dalam perpolitikan kita akan berganti dengan tinta emas.
Acep Iwan Saidi, Pembelajar
Semiotika

0 komentar:
Posting Komentar