RKUHP dan Ancaman Sosial
Oleh: Irwanto
Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan ibu dari sistem
peradilan pidana yang disahkan di zaman kolonial tahun 1915 dan diberlakukan
pada 1918.
Pada 1946, setelah kemerdekaan, Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) diputuskan masih berlaku secara nasional melalui UU No 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan diperkuat melalui UU No 73 Tahun 1958.
Wajar setelah 100 tahun berlaku, UU ini perlu direvisi dan dikontekstualkan
dengan dinamika dan tantangan sosial budaya terkini. Persoalannya, apakah
Rancangan KUHP (RKUHP) yang saat ini siap disahkan di DPR benar-benar telah
diperhitungkan konsekuensinya secara sistem hukum, sosial-psikologis, dan
pembangunan manusia secara jangka panjang?
Hukum adalah kumpulan norma atau harapan sosial atas perilaku
manusia yang disepakati semua pihak sebagai subyek hukum sehingga tak ada satu
subyek hukum pun dirugikan kecuali pelanggarnya. Karena yang diatur tingkah
laku manusia, maka bidang psikologi menjadi sangat relevan. Inti dari penerapan
norma hukum (positif) adalah penerapan "pembalasan" melalui inflict of pain (penimbulan rasa sakit)
untuk mencegah dilakukannya tindakan yang tak diinginkan melalui denda, hukuman
fisik, termasuk hilangnya kebebasan. Ancaman dan berlakunya
"pembalasan" ini diasumsikan "berhasil", tindakan inflict of pain mengakibatkan perasaan
jera atau takut, sehingga tindakan tak dilakukan/diulang.
Bidang kajian psikologi sudah lama mempertanyakan
"efektivitas" penjeraan dalam kaidah hukum kriminal. Berbagai kajian
menunjukkan bahwa penerapan pembalasan ini tidak pernah mampu menghentikan tindakan
yang tidak diinginkan—bahkan kadang memperburuk situasi yang dihadapi
masyarakat karena adanya adverse affects
atau konsekuensi yang tidak diinginkan. Karena yang menderita adverse affects ini justru masyarakat
umum, maka psikolog menyebut penerapan hukuman seperti itu sebagai crime of punishment (Karl Menninger,
1966).
Contoh dari adverse
affects ini di antaranya: (1) hukuman pidana pada anak-anak justru
menimbulkan efek negatif pada anak yang tumbuh di penjara, baik dalam angka
residivis maupun kualitas kejahatan. Penjara menjadi "kampus bagi
penjahat-penjahat muda"; (2) pengumuman pada publik atas rekor kriminal
paedofil dan pelaku kekerasan pada anak di Amerika menimbulkan masalah baru
karena masyarakat yang menerima info melakukan tindakan pengadilan sendiri pada
pelaku yang tinggal di sekitarnya. Masih banyak contoh yang dapat dikemukakan.
Pembaca dapat mencari sendiri bagaimana hukum dan hukuman yang disponsori
negara justru memberikan efek buruk pada masyarakat yang hendak dilindungi.
Mengancam pembangunan
sosial
Semangat dari pembangunan nasional antara lain adalah
membangun manusia Indonesia dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya
manusia (SDM) dan meningkatkan tali-temali sosial lintas komunitas dan individu
yang mendukung pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional secara damai,
berkeadilan, dan bermartabat dan berkelanjutan. Dalam kerangka ini, Pusat
Kajian dan Advokasi, Perlindungan, dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) FISIP
Universitas Indonesia membentuk tim kajian kecil untuk mengkaji RKUHP yang
menurut rencana akan diundangkan pada akhir Februari ini. Kajian tim kecil ini
menyimpulkan RKUHP tak siap diundangkan, bahkan berpotensi merugikan karena
mengkriminalisasi dan mendiskriminasi warga negara, khususnya anak, perempuan,
kelompok miskin dan marjinal yang justru butuh perlindungan.
Berikut beberapa alasannya. Kurangnya bukti-bukti empiris
valid dan tepercaya yang dipertimbangkan merugikan anak, perempuan, dan
komunitas marjinal. RKUHP justru menghukum kelompok rentan, miskin, dan penghayat
kepercayaan karena sebagian besar mereka tak punya bukti "perkawinan yang
sah" layaknya sebagai suami-istri sebagaimana diamanatkan RKUHP.
Pada 2012 terdapat 40-50 juta warga masyarakat adat di
seluruh kepulauan Indonesia, beberapa di antaranya memiliki sistem nilai dan
ideologi yang belum difasilitasi oleh negara (Bappenas, 2013). Pengesahan RKUHP
akan menjadikan puluhan juta pasangan WNI serta keturunan mereka korban.
Ketentuan ini juga dikhawatirkan akan meningkatkan perkawinan pada usia anak dengan
semua konsekuensinya (kualitas SDM, kesehatan, dan kematian). Secara universal
hukum juga tak pernah mampu mencegah hubungan seksual yang bersifat konsensual
dan tak mengandung unsur kekerasan.
Kondisi sosial diperburuk dengan ketentuan dalam Pasal 484
Ayat 24 yang memperluas kewenangan untuk mengadukan tindakan perzinaan yang
justru memberikan justifikasi bagi masyarakat untuk melakukan persekusi.
Berbeda dengan aturan di dalam KUHP yang lama, RKUHP Pasal 484 Ayat 2
menambahkan frasa "pihak ketiga" yang dapat mengadukan tindakan
perzinaan selain suami/istri pelaku perzinaan, hanya dengan syarat "merasa
tercemar atau berkepentingan". Aturan ini multitafsir dan memberi
keleluasaan siapa pun melakukan persekusi atas tuduhan perzinaan.
Beberapa aturan dalam RKUHP belum mempertimbangkan dampak
kelembagaan jangka panjang pada upaya reformasi di bidang keadilan, kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan. Sistem peradilan dan infrastrukturnya akan
menerima beban kerja yang tidak kecil karena unsur-unsur pemidanaan baru.
Program-program pendidikan kesehatan reproduksi sepertiAku Bangga Aku Tahu dari BKKBN akan mubazir karena pengetahuan
menjadi tak penting dibanding memberikan informasi yang menakutkan untuk
mencegah hubungan seksual di luar nikah.
Remaja berisiko juga akan sulit dijangkau karena takut
pemidanaan. Program pengendalian penduduk melalui kondom akan sulit
dilaksanakan. Mempertahankan anak di sekolah, khususnya anak perempuan, akan
sangat sulit karena perkawinan usia anak dan kehamilan tak diinginkan. Jumlah
anak telantar akan naik signifikan karena status perkawinan orangtuanya dan
program kesejahteraan sosial harus berbenturan dengan hukum.
Beberapa aturan dalam RKUHP bertentangan dengan semangat
perlindungan anak, khususnya UU Perlindungan Anak dan UU Sistem Peradilan
Pidana Anak. Ketentuan pada Pasal 484 Ayat 1 Huruf e RKUHP mengancam anak-anak
perempuan yang melakukan hubungan seksual di luar nikah untuk mengalami
persekusi, pemidanaan, dan stigmatisasi. Pasal 496 yang menggunakan frasa
"belum menikah" merugikan 25 persen perempuan yang menikah pada usia
anak-anak dan harus kehilangan status "anak" yang diakui oleh
Konvensi Hak-hak Anak PBB. Pasal 495 tentang hubungan sesama jenis menggunakan
frasa "setiap orang" tanpa membedakan usia akan diterapkan juga pada
anak-anak. Pasal 537 akan menjebak anak-anak (perempuan) yang mengalami
kehamilan di luar nikah untuk melakukan tindakan nekat yang merugikan kesehatan
dan mengancam jiwa mereka.
Tunda atau hentikan
pengesahan
Menimbang berbagai pertimbangan yang telah dikemukakan di
atas (masih dapat diperbanyak dan diperluas), penundaan pengesahan RKUHP adalah
pilihan paling rasional dan terbaik saat ini. Berikan waktu untuk berwacana
yang lebih panjang sehingga bukti-bukti empiris yang absah dan tepercaya dapat
dikemukakan dan dikaji secara saksama.
Selain itu, RKUHP dalam pasal-pasal yang kami sebutkan di
atas melanggar prinsip umum dalam penerapan HAM, yaitu non-diskriminasi.
Saratnya pasal-pasal yang bersifat diskriminatif dalam RUU ini akan memancing
reaksi dunia yang, lagi-lagi, akan merugikan kepentingan pembangunan jangka
panjang. UU adalah instrumen pengaturan normatif yang rasional dan sewajarnya
belajar dari bukti-bukti empiris yang tersedia di dalam maupun di luar negeri.
Ada kesan kuat dorongan untuk pengesahan RKUHP ini bersifat sangat emosional
dan sementara.
Moga-moga ahli-ahli hukum yang senior di dalam tim perumus
tetap bersikukuh pada rasionalitas hukum demi kepentingan semua subyek hukum
tanpa kecuali.

0 komentar:
Posting Komentar