Memanggil Para Peniup Peluit
Oleh: Ignatius Haryanto
Pertengahan Desember lalu tak kurang dari sembilan media
massa dan lima kelompok masyarakat sipil (civil
society organization/CSO) mengumumkan pendirian suatu situs bernama
indoleaks.id (https://indoleaks.id). Situs ini memberikan kesempatan kepada
para informan publik untuk memberikan data atau dokumen yang terkait dengan
kepentingan publik agar diinvestigasi lebih jauh oleh media yang termasuk dalam
jaringan tersebut.
Nama Indoleaks ini pasti akan mengingatkan kita akan
sekelompok aktivis level dunia yang dipimpin oleh Julian Assange bernama
Wikileaks. Wikileaks lewat caranya sendiri—ada yang setuju dan tidak setuju
dengan cara mereka—memublikasikan laporan-laporan rahasia dalam level
internasional, yang dilakukan dengan cara menyadap jaringan komunikasi antara
Washington dan kantor-kantor perwakilan mereka di beberapa negara di dunia.
Sejumlah publikasi Wikileaks telah menghebohkan dunia dan membongkar
kemunafikan sejumlah negara besar.
Istilah yang umum dilabelkan kepada mereka yang memberikan
informasi rahasia terkait dengan kepentingan publik ini adalah whistleblower (peniup peluit). Para peniup
peluit ini adalah mereka yang bekerja baik itu lembaga pemerintahan ataupun
lembaga swasta, dan mereka merasa terpanggil untuk menyampaikan informasi
secara anonim kepada media agar pelanggaran ataupun manipulasi yang dilakukan
lembaga pemerintah ataupun lembaga swasta tadi jadi terekspos ke publik yang
lebih luas. Lebih penting lagi akibat informasi yang dibocorkan itu, maka kita
akan melihat publikasi kasus ini akan menghentikan manipulasi ataupun
pelanggaran yang dilakukan tersebut.
Para
peniup peluit di Indonesia
Kita di Indonesia punya sejumlah contoh para peniup peluit
dari masa ke masa. Ketika koran Indonesia
Raya membongkar kasus korupsi di perusahaan Pertamina pada akhir tahun 1960
hingga tahun 1970-an, Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksinya mendapatkan
pasokan informasi dari seseorang dari dalam perusahaan tersebut.
Oleh karena itu, ketika direktur Pertamina kala itu mengancam
untuk memidanakan Mochtar Lubis, si wartawan granit ini tak pernah takut karena
ia memiliki sejumlah bukti kuat dan toh tak pernah ada peradilan yang diajukan
oleh Pertamina tadi.
Di masa Orde Baru lainnya, banyak kasus investigasi diangkat
ke permukaan atas jasa baik para penyedia informasi anonim tersebut dan mereka
membuat dirinya terancam risiko besar jika ketahuan mereka memberikan informasi
tersebut kepada media. Kasus korupsi di Mahkamah Agung yang dibongkar oleh
majalah Forum Keadilan dan berbagai
kasus lainnya adalah contoh dari dampak yang dihasilkan oleh para peniup peluit
tadi.
Di masa setelah Orde Baru kita pun menemukan banyak contoh
peran dari para peniup peluit yang telah membongkar manipulasi tersebut. Kasus
manipulasi pajak yang dilakukan oleh PT Asian Agri dibongkar oleh majalah Tempo
setelah mendapat masukan dari mantan akuntan perusahaan itu. Kasus ini bisa
semakin panjang dideretkan.
Para peniup peluit di
AS
Di luar negeri, kita pun bisa menyebut sejumlah kasus
penting. Kita pasti ingat kasus fenomenal dari sumber yang diidentifikasi
sebagai "Deep Throat" dalam skandal Watergate tahun 1970-an.
Belakangan akhirnya— setelah 30 tahun tersembunyi— identitas Deep Throat pun
terkuak dan dia adalah Mark Felt, Deputi Direktur CIA yang memasok konfirmasi
kepada Bob Woodward, satu dari duo wartawan Washington
Post yang membongkar skandal Watergate. Belum lama ini kisah hidup Mark
Felt pun diangkat ke layar kaca.
Boleh dikatakan, dalam setiap kasus besar tentang
ketertutupan yang terungkap di Amerika pasti melibatkan sejumlah orang yang
bertindak sebagai peniup peluitnya. Dalam kasus Pentagon Papers, misalnya, ada
seorang analis bernama Daniel Ellsberg yang kemudian membocorkan sejumlah
dokumen keterlibatan Amerika di Vietnam itu kepada koran New York Times. Kasus ini pun fenomenal dalam sejarah politik dan
sejarah pers di Amerika.
Majalah Time edisi
akhir tahun 2002 (30 Desember-6 Januari 2003) menampilkan reportase yang sangat
menarik terhadap tiga sosok wanita yang menjadi Whistleblower of the year. Tiga perempuan ini adalah para pribadi
yang memiliki kedudukan yang cukup tinggi di perusahaan atau institusi
pemerintah di Amerika. Mereka itu adalah Sherron Watkins (Enron), Cynthia
Cooper (WorldCom), dan Coleen Rowley (FBI).
Berkat kesaksian tiga wanita ini, maka kasus-kasus memalukan
dalam sejarah bisnis dan pemerintahan di Amerika terkuak ke permukaan. Baik
Enron maupun WorldCom menggunakan praktik akuntansi yang membuat banyak
pemegang saham rugi dan akhirnya Amerika dilanda keguncangan karena perusahaan
sebesar Enron dan ribuan karyawan serta pensiunannya ikut menanggung kerugian perusahaan
gara-gara perilaku petinggi perusahaan yang tak bertanggung jawab. FBI dituding
karena ia memperlakukan seorang tersangka kasus peledakan bom 11 September 2001
dengan sangat tidak manusiawi.
Ketiga wanita ini adalah orang-orang profesional yang justru
tak tahan melihat perilaku institusinya yang ia anggap menyimpang dari praktik
etis seharusnya, atau dalam istilah Glazer & Glazer, mereka ini adalah para
ethical resister (mereka yang
berkukuh memegang landasan etis). Tanpa mereka buka suara kepada publik,
mungkin praktik yang buruk ini tak pernah muncul ke permukaan. Ternyata
hasilnya dahsyat. Dengan laporan ketiga orang ini, publik pun menjadi
mempertanyakan kredibilitas ketiga institusi. Bahkan, dalam kasus Enron dan
WorldCom, saham mereka berjatuhan di pasar.
Atau kita mungkin ingat juga dengan filmThe Insider yang menggambarkan bagaimana seorang staf ahli dari
perusahaan rokok di Amerika mengemukakan pandangannya bahwa perusahaan rokok di
Amerika telah berbohong ketika mereka mengatakan bahwa rokok itu tidak
membahayakan bagi para pemakainya. Untunglah seorang produser televisi CBS
berhasil merekam kesaksiannya dan menayangkannya kepada publik walau ia harus
menghadapi banyak tantangan sebelumnya.
Menurut Myron Peretz Glazer dan Penina Midgla Glazer (dalam
buku berjudul The Whistleblowers:
Exposing Corruption in Government and Industry, 1989) istilahwhistleblower ini sebenarnya cukup baru
dalam kosakata di Amerika. Baru ditemukan awal dekade 1970-an, terkait dengan
peristiwa yang melibatkan seorang anggota polisi bernama Frank Serpico, yang
membongkar korupsi dan praktik suap di kalangan pejabat kepolisian New York.
Kemudian sosok Serpico ini menjadi legenda yang selanjutnya menginspirasikan
muncul film berjudulSerpico (1973)
yang dibintangi oleh Al Pacino.
Menunggu partisipasi
Dengan disediakannya platform ini, kita berharap mereka yang
profesional dan secara etis terusik atas manipulasi dan penyalahgunaan
kekuasaan yang terjadi di mana pun (dalam organisasi pemerintahan ataupun
swasta) akan tampil dan memanfaatkan platform ini. Kepentingan publik (bonum commune) adalah keutamaan yang
hendak dikedepankan dan mereka yang berani tampil ini dijamin anonimitasnya dan
setiap laporan yang diberikan lewat platform ini pun tetap melewati proses
jurnalistik standar: pemeriksaan akurasi, check
and recheck, dan keberimbangan
berita.
Bagaimanapun kasus korupsi di Indonesia belum menunjukkan
tren menurun, bahkan sebaliknya semakin banyak pejabat ataupun pengusaha yang
tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena ulahnya. Indonesia
membutuhkan lebih banyak orang baik untuk tidak tinggal diam dan membiarkan
manipulasi dan penyalahgunaan ini berlangsung terus dan merusak Indonesia.
Sudah saatnya orang-orang baik berkontribusi baik bagi perbaikan Indonesia,
salah satunya dengan menggunakan platform terbuka macam Indoleaksini.
Kompas, 6 Februari
2018
Ignatius Haryanto
Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong

0 komentar:
Posting Komentar