Dari Tragedi Guru Ahmad
Kita mengelus dada sambil menyampaikan dukacita mendalam atas
meninggalnya guru Ahmad Budi Cahyono akibat penganiayaan oleh siswanya, MH.
Pertama kita mengelus dada untuk tragedi itu, dan kedua untuk
keprihatinan atas kondisi yang memungkinkan hal seperti itu bisa terjadi.
Memang terlalu tergesa-gesa untuk melihat peristiwa di Sampang ini sebagai
cermin merosotnya penghormatan siswa terhadap guru. Namun, harus diakui
kejadian itu sangat mengentak dan menimbulkan kesedihan mendalam.
Kita garis bawahi permintaan agar kasus ini diselidiki
serius, agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi. Dalam skala lebih luas,
tragedi meninggalnya Ahmad harus bisa menjadi momentum untuk penyempurnaan
sistem pendidikan kita. Kita bertanya, apa guna pintar pengetahuan kognitif
kalau perilaku buruk?
Menyusul kejadian itu, sejumlah pandangan dikemukakan.
Pertama disampaikan, kejadian itu bisa terjadi karena relasi guru dan siswa
tidak seimbang. Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur Akhmad Muzakki menyatakan,
kini (posisi) siswa cenderung lebih kuat, apalagi murid anak tokoh masyarakat,
sehingga merasa bisa berbuat apa saja kepada gurunya. (Kompas, 3/2)
Jika pandangan tersebut benar, kita pun prihatin. Ini
menguatkan citra sebagian kita, bahwa kalangan lebih kuat cenderung main kuasa,
mau menang sendiri. Yang kedua, ternyata dari orangtua berpangkat atau
berstatus tinggi masih ada yang tidak berhasil menanamkan nilai moral baik
kepada anaknya.
Padahal, sebenarnya yang kita idealkan adalah mereka yang
berpangkat, berstatus sosial tinggi, bisa menjadi suri teladan, menjadi
panutan, bukan hanya bagi keluarganya, melainkan juga bagi lingkungan
masyarakatnya.
Di harian ini kita juga membaca, kejadian di Sampang
mencerminkan tidak utuhnya pola pengasuhan. Satu hal yang didorong adalah
tumbuhnya kecerdasan moral sejak usia dini. Ini dibutuhkan agar dalam fase
tumbuh kembang hingga dewasa, anak bisa membedakan hal benar dan salah
berdasarkan etika.
Lebih jauh, mengutip pengajar psikologi pendidikan di
Universitas Indonesia, Rose Mini, penanaman nilai yang tidak utuh bisa
berdampak pada karakter anak yang tidak terkontrol dalam kehidupan sehari-hari.
Kita dapat memperluas wacana insiden meninggalnya guru Ahmad,
misalnya dengan mempertanyakan nilai-nilai apa yang pertama harus kita tanamkan
pada anak didik? Dalam konteks pengembangan manusia, lebih-lebih di tengah
lingkungan adab budaya yang tidak bagus sekarang ini, keberhasilan melahirkan
insan berbudi pekerti tinggi, kita yakini lebih mendesak.
Dalam diskusi di grup media sosial sering kita mendapat
bacaan, ada negara yang lebih risau melihat anak dengan karakter buruk
dibandingkan dengan anak yang kurang pandai. Tentu, menjadi anak pandai itu
penting, tetapi karakter baik harus terbentuk lebih dahulu.
Kita berharap tragedi guru Ahmad, selain tidak boleh
terulang, juga tidak berlalu begitu saja. Otoritas pendidikan perlu berintrospeksi
dan psikolog sosial dan pendidikan perlu memberikan sumbangan pemikiran untuk
perbaikan sistem pendidikan kita.
Kompas, 6 Februari 2018

0 komentar:
Posting Komentar