Eksistensi Media Massa Nasional
Oleh: Agus Sudibyo
Berbicara tentang media arus utama (mainstream) hari ini,
perhatian kita tampaknya mesti beralih dari media konvensional seperti
televisi, koran, majalah, dan radio.
Dengan mempertimbangkan kekuatan ekonomi dan pengaruh
terhadap masyarakat, cukup pasti media arus utama hari ini adalah media baru:
medsos, mesin pencari, dan e-commerce.
Dalam konteks ini, studi ekonomi-politik media belakangan kian memperhitungkan
keberadaan raksasa digital seperti Google, Facebook, Amazon, dan Microsoft.
Merekalah kekuatan utama dalam kontestasi media global. Mereka yang mengambil
keuntungan paling besar dari proses revolusi digital. Penetrasi bisnisnya
melampaui batas geografis dan secara cepat mengubah konstelasi media secara
global, regional, dan nasional.
Perkembangan pesat media baru memberi guncangan serius daya
hidup media lama. Indikasi penurunan performa industri surat kabar antara lain
jatuhnya harga saham perusahaan surat kabar, menurunnya jumlah pembaca,
merosotnya pendapatan iklan, dan surutnya sirkulasi secara terus-menerus.
Berita tentang surat kabar yang terpaksa gulung tikar, melakukan perampingan,
mengurangi frekuensi atau volume terbitan terus terdengar dari berbagai penjuru
dunia. Dari sisi pendapatan iklan dan jumlah khalayak, radio dan TV terus
mengalami tren penurunan. Indonesia juga tidak terlepas dari tren global ini.
Tiga persoalan mendasar
Ada tiga persoalan mendasar di sini. Pertama, benar bahwa
media konvensional surut karena perkembangan media digital. Namun perlu
digarisbawahi, media digital yang berkembang pesat dan mengambil surplus
ekonomi yang awalnya sebagian dinikmati media konvensional itu adalah media
digital global. Mereka ini bukan media jurnalistik, melainkan web mesin pencari, medsos, dan e-commerce. Yang terjadi pada aras ini
dengan demikian adalah pengambilalihan surplus ekonomi dari media konvensional
nasional oleh media digital global berciri nonjurnalistik.
Kedua, perubahan lanskap komunikasi-informasi secara
menyeluruh menciptakan iklim persaingan media yang timpang. Google, Facebook,
Twitter, Baidu, Yahoo, dan lain-lain sesungguhnya perusahaan media. Meski
teknologi yang digunakan dan model hubungan dengan khalayak yang dikembangkan
berbeda, posisi media baru itu sesungguhnya sama dengan media lama: dualitas
antara institusi sosial yang melayani masyarakat dengan informasi-komunikasi
sekaligus institusi bisnis yang motif utamanya keuntungan ekonomi. Mereka
adalah perusahaan media yang melakukan proses komodifikasi informasi dan meraih
keuntungan dari pendapatan iklan.
Namun, dalam praktiknya, media baru itu belum sepenuhnya
diperlakukan sebagai subyek hukum perusahaan media. Mereka hadir dengan
kekuatan dan pengaruh luar biasa besar, serta secara langsung memengaruhi daya hidup
media lama, tetapi belum mengalami pelembagaan sedemikian rupa. Dalam konteks
inilah tercipta iklim persaingan timpang. Media lama harus bergerak dengan
berbagai aturan, batasan, dan larangan, sementara media baru beroperasi tanpa
aturan dan batasan pasti.
Ketiga, media baru itu belum dapat menggantikan kedudukan dan
fungsi media lama sebagai ruang publik yang beradab. Tanpa mengesampingkan
peranan demokratisnya, medsos justru berkembang menjadi forum diskusi yang
mengesampingkan kepantasan ruang publik dan etika komunikasi. Medsos berkembang
bukan hanya sebagai sarana artikulasi kebebasan, melainkan juga sarana menuangkan
sikap acuh tak acuh, prasangka buruk, dan kebencian.
Dalam perwujudan ruang publik yang beretika dan beradab,
kedudukan media konvensional belum tergantikan. Bukan dalam arti bahwa media
konvensional tak punya kelemahan, tetapi kelemahan-kelemahan ini dikontrol oleh
sistem yang sudah terlembaga. Ada sistem hukum dan etika yang dapat
mengantisipasi dan mengendalikan praktik kebebasan yang berlebihan melalui
media konvensional.
Sementara antisipasi dan pengendalian atas penerapan etika
komunikasi di medsos masih sulit dilakukan dan terbentur berbagai masalah:
anonimitas, ambiguitas posisi sebagai ruang publik atau ruang privat,
ambivalensi antara komunikasi massa dan komunikasi interpersonal, serta sifat
media berbasis internet yang berkarakter transnasional dan borderless. Fungsi medsos sebagai ruang komunikasi belum mengalami
pelembagaan secara tuntas. Hal ini pula yang menjelaskan mengapa pajak untuk
pengelola medsos belum bisa diterapkan sepenuhnya dan mengapa pengelola medsos
punya imunitas dalam sengketa tentang penyebaran hoaks melalui medsos.
Proteksi negara
Bertolak dari kenyataan inilah mempertahankan eksistensi
media konvensional atau media jurnalistik semestinya jadi prioritas. Keberadaan
pers sebagai kekuatan keempat demokrasi masih relevan dan mendesak untuk
diselamatkan. Semakin derasnya arus hoaks di medsos justru menunjukkan bahwa
masyarakat masih butuh pers yang profesional dan beretika. Hoaks mesti dilawan
dengan informasi yang benar, proporsional, dan bertanggung jawab. Pers
profesional lebih dapat diharapkan dalam hal ini daripada medsos tanpa
bermaksud mengingkari kelemahan pers profesional terkait penegakan etika
jurnalistik.
Mempertahankan eksistensi pers atau media massa konvensional
di sini menjadi strategis dalam konteks demokratisasi dan perwujudan ruang
publik yang beradab. Mempertahankan eksistensi media jurnalistik di sini
memiliki makna resiprokral. Di satu sisi, media jurnalistik dituntut dua hal
sekaligus. Mereka harus menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku masyarakat
yang kian terpola untuk mengakses informasi secara digital. Problem masyarakat
hari ini bukan kekurangan informasi, melainkan kelimpahruahan informasi.
Di saat yang sama media jurnalistik harus mempertahankan
standar jurnalisme yang baku. Mengikuti mode penyajian informasi yang serba
instan, cepat, dan tanpa memperhatikan akurasi dan kelayakan ruang publik,
media jurnalistik ibarat masuk dalam habitat kompetitornya: medsos. Semestinya
media jurnalistik menampilkan sesuatu yang lebih baik daripada medsos. Hoaks
mesti dilawan dengan jurnalisme yang beradab dan mencerahkan masyarakat.
Negara mesti hadir memberikan "proteksi". Bukan
proteksi dalam artirigid, tetapi
komitmen menciptakan iklim bisnis media yang sehat. Bukan dengan memberi
perlakuan khusus untuk perusahaan medsos, mesin pencari, e-commerce asing, tetapi cukup memperlakukan mereka layaknya
perusahaan media. Jika perusahaan media umumnya mesti bayar pajak, perusahaan
media asing juga bayar pajak. Jika perusahaan media nasional mesti membayar royalti
atau hak cipta jika menggunakan konten dari media lain, semestinya perusahaan
asing itu juga membayar hal yang sama jika memanfaatkan konten media nasional.
Jika perusahaan media umumnya harus berbadan hukum Indonesia sebagai syarat
menjalankan bisnis media, ini juga harus berlaku untuk perusahaan media asing.
Mempertahankan eksistensi media massa nasional hendaknya dilakukan dalam
pengertian ini: menciptakan iklim persaingan usaha yang seimbang dan sehat.
Agus Sudibyo Direktur Indonesia New Media Watch


0 komentar:
Posting Komentar