Media Massa dan Dunia yang Sunyi
Oleh: M Subhan SD; Wartawan Senior Kompas
Dunia sejatinya sangat sunyi, tulis Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel. Maka, kisah John McCain, senator Amerika Serikat dari Arizona,
tentang pengalamannya selama dipenjara di Vietnam, selalu membekas di hati.
Pada Perang Vietnam, ketika menjadi pilot penerbang pesawat pengebom AL,
pesawatnya tertembak dan dia luka-luka parah. McCain ditangkap dan menjadi
tawanan perang di Hanoi selama 5,5 tahun (1967-1973). Apa yang paling
dirindukan putra seorang jenderal bintang empat AL itu? Bukan makanan, hiburan,
kebebasan, bahkan keluarga atau teman. ”Hal yang paling saya rindukan adalah
informasi—bebas sensor, tak terdistorsi, dan jumlahnya berlimpah,” kata senator
yang kalah bertarung melawan Barack Obama pada Pemilihan Presiden AS 2008 itu.
Kisah di atas selalu mengesankan. Kovach dan Rosenstiel
bahkan mengutip penggalan cerita dari otobiografi Faith of My Father (1999) di
bagian pendahuluan buku mereka yang menjadi pegangan para jurnalis, Sembilan
Elemen Jurnalisme (2003). ”Sebutlah itu naluri kesadaran,” tulis mereka, ”Kami
membutuhkan berita untuk menjalani hidup kita, untuk melindungi diri kita,
menjalin ikatan satu sama lain, mengenali teman dan musuh. Jurnalisme tak lain
adalah sistem yang dilahirkan masyarakat untuk memasok berita. Inilah alasan
mengapa kita peduli terhadap karakter berita dan jurnalisme yang kita dapatkan:
mereka memengaruhi kualitas hidup kita, pikiran kita, dan budaya kita.”
Betapa berita atau informasi adalah sebuah kabar gembira:
membawa harapan, sekaligus memupuk semangat. Kebutuhan akan informasi bahkan
mengalahkan kebutuhan badaniah yang primer, seperti makan-minum, juga kebutuhan
sosial. Berita adalah kebutuhan pikiran, nutrisi buat jiwa. Ketika aliran
berita tersumbat, kegelapan menimpa dan kecemasan berkembang, tulis sejarawan Mitchell
Stephens (History of News, 1988) seperti dikutip Kovach dan Rosenstiel. Kredo
bahwa berita memberi harapan melampaui lompatan zaman. Lalu, bagaimana dengan
hari ini ketika revolusi digital telah mengubah paradigma, karakter, perilaku
manusia tidak hanya dalam berkomunikasi, tetapi juga berinteraksi sosial?
Sekarang adalah zaman keberlimpahan informasi. Tsunami
informasi menjebol ruang dan waktu. Berita tidak lagi produksi pabrikan, tetapi
personal. Paling menonjol adalah berkuasanya rezim media sosial. Inilah yang
belakangan ini terus mengharu biru. Tanpa mengesampingkan perannya sebagai
sarana artikulasi kebebasan, demokratisasi dan kreativitas warga, media sosial
juga menjadi pabrik yang memproduksi berita bohong (hoax) dan berita palsu
(fake news), prasangka buruh, bahkan fitnah, ujaran kebencian dan penghinaan.
Inilah potret buram dari revolusi digital. Anehnya juga,
banyak orang menelan mentah-mentah informasi. Makin tak rasional karena netizen
cenderung memviralkan berita yang tak jelas juntrungannya itu. Anjuran think
before sharing kerap dianggap angin lalu.
Runyamnya lagi, tak sedikit media massa resmi ikut latah,
tergiur dengan hit. Inilah bahayanya. Padahal, karakter media era digital
dengan media mainstream (model lama) tidak sama. Sekadar melongok ke belakang,
media massa adalah alat perjuangan dan pembangunan bangsa. Sebagian besar
pejuang bangsa menggunakan media massa untuk mengamplifikasi ekspresi
perlawanan terhadap penjajahan. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-1918) tak
asing lagi. Ia adalah perintis pers dan tokoh kebangkitan nasional. Lewat surat
kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Poetri Hindia
(1908), misalnya, Tirto terus-menerus mengkritik penguasa Belanda, sekaligus
membuka mata rakyat terjajah.
Pada 1913, Belanda hendak merayakan 100 tahun Belanda
terbebas dari Perancis secara besar-besaran. Belanda hendak menarik uang dari
rakyat Indonesia untuk biaya pesta tersebut. Sungguh suatu penghinaan! Ki Hajar
Dewantara (dengan nama RM Soewardi Soerjaningrat) mengkritik dengan tulisan Als
ik een Nederlander was (Seandainya Aku Orang Belanda) di surat kabar De Expres
(13 Juli 1913). Di koran sama, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis sangat keras
Kracht of Vrees (Kekuatan dan Ketakutan) pada 26 Juli 1913. Douwes Dekker,
pendiri De Expres, pada 5 Agustus 1913, menulis Onze Helden: Tjipto
Mangoenkoesoemo en R.M. Soewardi Suryaningrat (Dua Pahlawan Kita: Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat). Belanda kebakaran jenggot. Tiga
serangkai itu ditangkap dan dibuang ke Belanda. Itu hanya sekelumit contoh.
Sebetulnya, media sosial juga menjadi alat perjuangan.
Revolusi di Timur Tengah (Arab Spring) menjadi bukti peran media sosial
menjatuhkan para penguasa tiran. Ini bermula dari pedagang sayur dan buah di
Sidi Bou Zid, Tunisia, Mohamed Bouazizi (1984-2011), yang membakar diri pada 17
Desember 2010. Tindakan Mohamed Bouazizi itu juga membakar kemarahan rakyat
Tunisia, bahkan seluruh rakyat di jazirah Timur Tengah. Zine al-Abidine Ben
Ali, Presiden Tunisia selama 24 tahun, pun tumbang pada 2011. Presiden Mesir
Hosni Mubarak yang berkuasa 30 tahun juga jatuh setelah kemarahan rakyat yang
tak terbendung. Seorang netizen, Fawaz Rashed, pada 19 Maret 2011, nge-twit:
”Kami memakai Facebook untuk menjadwalkan demonstrasi, Twitter untuk
berkoordinasi, dan Youtube untuk memberi tahu dunia” (theguardian.com,
25/1/2016).
Media sosial memberi andil besar terhadap penciptaan
konstelasi dunia yang lebih baik. Namun, mengapa wajah media sosial di negeri
ini lebih banyak kusam, termasuk memburamkan panggung politik? Dunia terasa
”sunyi”. Barangkali bisa meminjam Kovach dan Rosenstiel bahwa kewajiban pertama
jurnalisme (juga untuk semua platform) adalah pada kebenaran. Jangan lupakan
itu jika dunia tak ingin sunyi.
Selamat Hari Pers Nasional!
KOMPAS, 10 Februari 2018

0 komentar:
Posting Komentar