Tafsir Kemanusiaan “Dendam Damai”
Tafsir Kemanusiaan “Dendam Damai”
Oleh :
Abdul Ghefur
Kedamaian dan
kebahagiaan hidup merupakan satu dambaan hidup manusia. Selama ini wacana
mengenai perdamaian tersebut, nyaris hanya kerap dikemukakan oleh para pemuka agama,
akademisi, dan aktivis yang tercerahkan oleh teks-teks keagamaan. Sedangkan
suara-suara dari seniman atau pejuang seni belum mampu terdengarkan oleh jiwa
masyarakat umum. Dalam hal ini penulis hendak mengangkat pesan damai dari
seorang seniman asli Indonesia, Iwan Fals, lewat syairnya “Dendam Damai.”
Iwan Fals banyak
dikenal melalui lagu-lagunya, syair-syair yang dia “kicaukan” dikenal dengan
kritik sosialnya yang tajam pada rezim orde baru. Namun banyak juga lagu-lagu
yang berkaitan dengan pesan tentang kedamaian, kejujuran, dan cinta. Sebagai seorang
musisi, dia bersikeras melihat fenomena dilapangan dengan objektif. Dalam salah
satu syair yang berjudul Dendam Damai,
dia mencoba membaca realitas yang ada kemudian mempersoalkannya.
Bait awal lagu Dendam Damai, Tak habis pikir aku tak
mengerti/Mengapa ada orang yang senang membunuh?/Hanya karena uang semata/Atau
demi kuasa dan nama. Interpretasi bait pertama ini, merupakan ekpresi
keheranan yang membuatnya bertanya tentang apa sesungguhnya realitas yang terjadi.
Tanya tersebut disambung dengan jawaban yang sudah ia paparkan sesuai dengan
apa yang dia amati. Jawaban itu seolah ingin memberitahu kepada kita bahwa
hampir seluruh kekerasan “penghambat kedamaian” terjadi baik secara fisik
maupun non-fisik. Sebuah kausal yang merupakan tindakan mempertahankan
kekuasaan.
Dengan uang
semua orang bisa didikte sesuai keinginan penguasa yang tidak rela berbagi kekuasaan dan tidak ingin kekuasaanya
berakhir. Jika penguasa mengendus adanya kudeta maupun desas desus tentang
keburukannya dibicarakan rakyat, maka penguasa tidak segan-segan membuat opini
publik yang bisa melegitimasi perbuatan yang tidak bermoral, misalnya dengan
membuat peryataan mengancam kedaulatan negara, atau mengancam stabilitas
negara. Kata “senang” dalam bait tersebut, mengindikasikan bahwa tindak kekerasan
penguasa sudah sangat lazim terhadap rakyat kecil.
Bait syair
selanjutnya, Bagi kita rakyat biasa/Tak
berdaya ditodong senjata/Mencuri hidup yang hanya sekali/Hanya berdoa yang kita
bisa/, mengindikasikan kekuatan yang dimiliki oleh penguasa dipakai untuk
konfrontasi dengan rakyat biasa. Dengan ini rakyat biasa dilemahkan,
ditakut-takuti agar tunduk kepada keinginan penguasa, sehingga penguasa dengan
leluasa menikmati keringat rakyatnya sendiri. Kini rakyat hanyalah mesin para
penguasa, yang tanpa memandangnya sebagai manusia yang mandiri dengan segala
keinginannya.
Dendam dendam celaka/Menghasut kita tak jemu
menggoda/Damai damai di mana/Bersembunyi tak ada wujudnya/ dari sini
terlihat antara penguasa dan rakyat sudah tidak saling percaya. Keadaan ini
tidak lahir dari ruang kosong yang tidak punya alasan. Ini bisa kita pahami,
jika kita melihat bagaimana pemerintah melayani rakyat, bagaimana pemerintah
menjawab kebutuhan rakyat, dan bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap
rakyatnya. Ini perlu menjadi koreksi diri dari pemerintah dan masyarakat,
sehingga “dendam” dan saling curiga tidak menjangkiti kita semua, karena
situasi semacam ini jelas tidak menguntungkan rakyat jelata.
Bait selanjutnya
Kapan berakhirnya situasi seperti ini?/Tidak
bisakah kita saling berpelukan?/ berharap betapa indahnya hidup
berdampingan antara penguasa dan masyarakat, antara yang berbeda agama, maupun
yang berbeda dalam pemahaman. Semua terasa berjalan berbeda namun dalam irama
yang sama, ibarat melihat tumbuhan yang bermacam-macam yang memancarkan
keindahan dari perbedaan itu sendiri.
Lirik Bukankah indah hidup bersama/Saling berbagi
saling menyinta/Terasa hangat sampai ke jiwa/Memancar ke penjuru dunia. Mencoba
memvisualisasikan tentang keindahan dari hidup bersama saling berbagi dan
saling menyinta terasa hanga sampai ke jiwa kemudian memancar ke seluruh aspek
masyarakat. Di sini kedamaian menjadi inti utama dari kehidupan manusia dan kedamaian
setiap hati yang pada ujungnya akan bermuara pada kedamaian di bumi.
Lirik Jangan goyah percayalah teman/Perang itu
melawan diri sendiri/Selamat datang kemerdekaan/Kalau kita mampu menahan diri, kita
sebagi manusia yang menjalani kehidupan, dituntut mampu mengolah diri sehingga
bisa beradaptasi dengan lingkungan. Dengan cara ini kita telah ditempa menjadi
manusia yang memahami diri sendiri, lalu memahami lingkungan hidup kita. Menurut
hemat penulis, semua konflik berakar pada tidak adanya pengenalan pada diri. Jika
kita tidak mengenal diri sendiri bagaimana bisa kita mengenal di luar diri
kita, dan jika kita tidak mengenal di luar diri kita maka segala bentuk prilaku
juga tidak akan memberikan kedamaian baik kepada diri maupun kepada yang lain
sebagai akibat dari ketidaktahuan dan ketidakpahaman. Bila demikian yang
terjadi bisa dipastikan segala aktifitas yang dilakukan akan menghambat lajunya
perdamaian.
Dari pengalaman
makan asam garam, Iwan Fals mempunyai keyakinan bahwa proses pengendalian diri
merupakan kunci terciptanya kedamaian. Sedangkan penghujung syair dengan bunyi Hanya karena itu semua/Rela hancurkan tanah
tercinta, mengisyaratkan bahwa kerususuhan dan ketidaktentraman merupakan
hal yang bisa merusak manusia sebagi penghuni bumi. Iwan Fals mengklaim bahwa
hanya karena uang, kuasa, dan, nama rela menghancurkan tanah tercinta.
Fakta
kekuasaan yang cenderung digunakan untuk menindas rakyat, seharusnya disadari
oleh penguasa. Rakyat sebagai pengawas independen, hendaknya menjadi pengarah
dan penegak hak asasi kemanusiaan yang tetap memperjuangkan setiap manusia
meraih kesejahteraan tanpa adanya penindasan oleh kekuasaan. Lagu “Dendan Damai”
tidak hanya untuk didengungkan untuk menghibur pahitnya hidup, melainkan harus
dimaknai sebagai ide atau gagasan perdamaian antara penguasa dan rakyat
sehingga terwujud kesejahteraan hidup yang damai sesuai tujuan hidup berbangsa
dan bernegara.


0 komentar:
Posting Komentar