Genderang Perang Sengketa Tambang
DI
tengah perhatian pemerintah yang sedang tersita oleh kegiatan pemilihan
presiden, pada 1 Juli 2014 PT Newmont Nusa Tenggara memukul genderang
perang di forum arbitrase internasional.
Perusahaan ini melawan (Pemerintah) Indonesia dengan membawa sengketa
larangan ekspor mineral mentah (LEMM) ke forum arbitrase International
Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID), suatu badan
arbitrase internasional yang bernaung di bawah Bank Dunia dan
berkedudukan di Washington DC. PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) telah
mengajukan permohonan pemeriksaan arbitrase yang hendak menguji
kebijakan Pemerintah Indonesia melarang ekspor mineral mentah melalui
Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2014 tentang Perubahan Kedua PP No
23/2010.
Langkah yang ditempuh PT NNT dapat merupakan pukulan pertama genderang
perang antara Indonesia dan investor bidang pertambangan. Sebab, sangat
mungkin langkah tersebut akan diikuti oleh investor pertambangan
pemegang kontrak karya (KK) pertambangan atau pemegang perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) lainnya yang jumlahnya cukup
banyak.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu mencermatinya dengan
serius, dengan sikap antisipatif dan taktis agar tak membawa hasil buruk
bagi kepentingan negara. Sebab, pada hakikatnya forum arbitrase
internasional ICSID akan menguji kedaulatan negara di bidang ekonomi,
akan menguji lingkup pertanggungjawaban negara, serta akan menguji
kemampuan proteksi pemerintah terhadap aset negara dan kepentingan
rakyat.
Isu LEMM yang dibawa NNT ke arbitrase ICSID sebetulnya terkait dengan
kewajiban pemegang KK agar melakukan pengolahan dan pemurnian mineral
mentah hasil tambang. Kewajiban ini merupakan satu dari enam isu
strategis yang muncul sebagai pelaksana amanat konstitusi Pasal 33 UUD
1945 serta UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, yang mengatur
bahwa ketentuan KK dan PKP2B harus disesuaikan dengan prinsip bahwa
komoditas mineral dan batubara (minerba) dikuasai negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
Untuk menyelesaikan enam isu strategis tersebut, Pemerintah Indonesia
menempuh upaya renegosiasi kontrak pertambangan yang saat ini sedang
berlangsung. Lima isu strategis lainnya menyangkut: (1) luas wilayah
kerja; (2) perpanjangan kontrak; (3) penerimaan negara; (4) kewajiban
divestasi; dan (5) kewajiban penggunaan barang/jasa pertambangan dalam
negeri.
Arbitrase bukan WTO
Menarik seraya menantang untuk dicermati bahwa Newmont membawa sengketa
LEMM ke forum arbitrase ICSID, bukan ke forum Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO). Pilihan tersebut pastilah didasarkan pada kajian matang,
yang disertai dengan target akan hasil yang diperoleh oleh PT NNT.
Salah satu target utama yang hendak dibidik PT NNT adalah munculnya
putusan sela arbitrase yang membolehkan PT NNT melakukan ekspor mineral
mentah. Apabila putusan demikian muncul, artinya hukum nasional
Indonesia tunduk pada primat hukum internasional, yang bermakna
menggerus kedaulatan negara Indonesia.
Selain itu, dari aspek normatif, forum arbitrase ICSID berpotensi
memberikan beberapa hasil konkret kepada PT NNT, yaitu (i) akan
memberikan putusan yang kelak dapat dilaksanakan melalui instrumen
peradilan, baik internasional maupun nasional Indonesia; (ii) akan
memperoleh suatu norma hukum yang bersifat mengikat dan berkepastian (final and binding)
secara serta-merta setelah putusan dibacakan majelis arbiter; dan (iii)
akan membuka peluang PT NNT untuk memperoleh kompensasi atas kerugian
yang telah mereka derita selama larangan ekspor mineral mentah
berlangsung.
Hasil tersebut tidak akan diperoleh PT NNT jika sengketa LEMM dibawa ke
forum WTO yang bersifat konsultatif, yang hanya akan menghasilkan
rekomendasi kepada para pihak yang bersengketa. Dengan demikian, dapat
dan perlu dipahami bahwa upaya hukum yang ditempuh PT NNT memang
sungguh-sungguh.
Sebaliknya, Indonesia akan sangat rugi jika tidak serius menghadapi
pertarungan di forum arbitrase ICSID yang diinisiasi PT NNT tersebut.
Sebab, di forum itu dipertaruhkan kedaulatan negara, khususnya bidang
ekonomi, lingkup pertanggungjawaban negara (state liability), serta kemampuan proteksi negara atas aset dan kepentingan rakyat Indonesia.
Keseriusan langkah Indonesia dapat dipahami dan tecermin dari langkah,
pertama, membentuk tim hukum yang kapabel dan kompeten. Sebab, memang
tidak semua ahli hukum memiliki kapasitas dan kapabilitas memahami
substansi dan mekanisme penyelesaian sengketa di forum arbitrase. Oleh
karena itu, tim hukum Indonesia yang seyogianya terdiri dari tim fakta,
tim ahli, dan advokat (lawyer) haruslah merupakan pribadi yang memang andal dan berkomitmen membela kepentingan Indonesia secara total.
Kedua, Indonesia harus memilih arbiter yang memang memiliki kapasitas
mumpuni dan disegani di forum arbitrase ICSID. Terkadang itu belum
cukup, harus pula disertai komitmen moral yang berkesungguhan untuk
memahami dan membela kepentingan Indonesia.
Peran rakyat
Dalam menangani perkara di forum
arbitrase internasional, selama ini Pemerintah Indonesia nyaris
menegasikan peran rakyat. Padahal, berbagai konvensi internasional
bidang ekonomi telah mengakui eksistensi rakyat sebagai pihak yang
memiliki hak ekonomi dan hak untuk diproteksi oleh pelaku ekonomi.
Oleh karena itu, untuk menghadapi sengketa investasi di forum arbitrase
internasional mendatang, seyogianya pemerintah mulai membuka akses
kepada rakyat untuk ikut menjadi pihak. Apalagi, aturan ICSID memang
membuka peluang bagi representasi rakyat untuk hadir sebagai pihak dalam
sengketa (eligible party).
Bahrul Ilmi Yakup
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK); Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK); Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN

0 komentar:
Posting Komentar