Dilema Hukum dalam Kawin Anak
Oleh : (Lies Marcoes)
Dalam pencegahan perkawinan anak di Indonesia, aspek hukum tampaknya menjadi titik paling lemah. Pada praktiknya isbat nikah (menikah kembali di depan pejabat negara) atau dispensasi nikah merupakan peluang perkawinan anak yang semula ilegal menjadi legal. Lebih dari itu, keduanya merupakan bentuk pengakuan diam-diam atas praktik hukum non-negara yang seharusnya secara tegas dinyatakan ilegal dan bersanksi hukum bagi pelanggarnya.
Secara historis, eksistensi hukum non-negara, seperti hukum
adat dan agama, tak lepas dari fakta kekayaan hukum yang hidup di Indonesia
sejak sebelum kolonialis membawa konsep hukum sebagai konsekuensi dari negara
modern.
Para penasihat negara jajahan seperti Snouck Hurgronje,
terlebih ahli hukum Islam, Van den Berg, memberi jaminan bahwa penerapan hukum
adat dan agama oleh warga jajahan tak akan memicu pemberontakan.
Sebaliknya pemerintah penjajah dapat memperoleh empati dan
memanfaatkannya sebagai bentuk tindakan etis kepada warga jajahan. Oleh karena
itu, kemudian muncul istilah pluralisme hukum, sebuah bentuk pengakuan kepada
praktik hukum adat dan hukum agama, terutama untuk isu keluarga, termasuk
perkawinan, warisan, dan wakaf.
Dominasi
dan tirani hukum
Di era Orde Baru, upaya untuk tetap memberlakukan hukum adat
dan agama sebagai sumber hukum yang setara dengan hukum negara terus
diadvokasikan. Terutama dalam kaitannya untuk perlindungan kepada kelompok adat
yang mempertahankan hukum adat mereka untuk melindungi hak ulayat/komunal atas
tanah adat. Para aktivis memperjuangkan keberlakuan pluralisme hukum untuk
menghindari kesewenang-wenangan dan dominasi hukum yang dimanfaatkan untuk pencaplokan
tanah adat atas nama konsesi.
Nuansa politik yang mendasarinya jelas berbeda. Jika pada
masa kolonial pluralisme hukum diberlakukan dalam rangka penjinakan kepada
warga bumiputra, dalam era Orde Baru keragaman hukum merupakan bentuk
perlindungan kepada suku dan kelompok adat yang sangat rentan terhadap okupasi
negara atas nama pembangunan ekonomi.
Namun, dalam kaitannya dengan hukum keluarga, negara berusaha
melakukan unifikasi hukum melalui Undang-Undang Perkawinan (UUP) No 1 Tahun
1974 dan penerapan Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden No 1
Tahun 1991. Melalui kedua peraturan itu, warga negara, tak terkecuali umat
Islam, diwajibkan tunduk kepada hukum nasional sekaligus menegaskan otoritas
hukum negara atas hukum agama.
Berbeda dari isu agraria, di mana pluralisme hukum diupayakan
dan dibela oleh para aktivis keadilan dalam rangka melindungi suku asli dan
kelompok adat yang benar-benar tergantung kepada alam, dalam isu keluarga,
pluralisme hukum yang memberi ruang kepada hukum adat dan agama (fikih)
sebenarnya tak menjadi agenda perjuangan. Sebaliknya para aktivis hukum lebih
bersetuju pada adanya pengaturan yang diterapkan negara.
Dalam konteks ini Prof Barry Hooker, ahli mengenai hukum
Islam dari Australia, kemudian memperkenalkan konsep hukum besar dan hukum
kecil untuk membedakan tingkatan sumber hukum antara hukum negara dan hukum
agama (fikih) dalam menyelesaikan perkara keluarga. Bagi Hooker, yang
terpenting hukum yang kecil harus tunduk kepada hukum yang besar.
Pandangan seperti ini sebenarnya telah pula diberlakukan
melalui undang-undang yang mewajibkan keberlakuan hierarki hukum di mana
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan hukum nasional harus menjadi pokok landasan
hukum dan UU atau peraturan yang ada di bawahnya. Dengan hierarki itu, hukum
adat/agama tidak dibenarkan bertentangan dengan keputusan atau hukum negara
yang berposisi di atasnya.
Namun, tampaknya,
dalam debat-debat teori pluralisme hukum sama sekali tak terbayangkan bahwa
hukum komunal/hukum adat/hukum agama bisa digdaya menghadapi hukum negara yang
dibangun oleh konsep negara modern pascakolonial.
Pengakuan akan
keberlakuan pluralisme hukum yang semula bertujuan untuk memberi pengakuan dan
proteksi kepada hukum komunal/hukum adat/hukum agama agar tak terintimidasi
atau tertindas oleh hukum negara bisa berbalik menjadi dominasi hukum atau
minimal kontestasi hukum. Hal yang tak diperhitungkan adalah lanskap di mana
tatanan hukum itu membutuhkan prasyarat.
Pluralisme hukum
meniscayakan hanya bisa diterapkan dalam masyarakat yang demokratis, egaliter,
mengandalkan filsafat hukum bukan semata keyakinan, dan diterapkan dalam
relasi-relasi sosial yang setara atau bercita-cita setara. Sebaliknya, dalam
masyarakat yang tidak egaliter, tidak demokratis, tidak percaya kepada
kesetaraan, konsep pularisme hukum bisa menjadi tirani. Hukum yang kecil
ternyata dapat memenjarakan hukum yang besar.
Hal ini disebabkan oleh adanya kontestasi hukum di mana hukum
agama diposisikan lebih utama ketimbang hukum negara, dengan alasan sumber
hukumnya lebih sakral. Hal ini terbukti dari pembenaran praktik kawin anak yang
selalu kembali ke sumber hukum teks fikih dan ini diterima sebagai hukum.
Untuk mengatasi persoalan ini, sebagaimana diusulkan Prof
Sulistyowati Irianto dari Universitas Indonesia, pluralisme hukum seharusnya
terbuka pada hukum-hukum baru dan global seperti konvensi-konvensi
internasional yang berbasis hak asasi manusia (HAM) sekaligus sebagai alat
koreksi terhadap hukum adat bilamana terbukti mencederai rasa keadilan.
Tidak tegas soal batas
usia
Dalam kaitannya dengan upaya menolak praktik kawin anak; konvensi
hak anak, konvensi antidiskriminasi terhadap perempuan harus menjadi landasan
hukum yang lebih kuat.
Stjin van Huis, peneliti tentang hukum keluarga Islam dari
Belanda, melalui penelitiannya di Peradilan Agama di Cianjur dan Bulukumba,
mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan perkawinan anak, hukum yang hidup di
masyarakat termasuk norma-norma tetap bisa menjadi rujukan hakim dalam
memberikan dispensasi asal ada ketegasan soal batasan umur minimal.
Masalahnya, di Indonesia tidak ada batas usia minimum untuk
pengajuan dispensasi sehingga diskresi pemberian dispensasi sangat besar.
Dengan demikian, pada kasus perkawinan anak, negara tampaknya tidak memiliki
ketegasan dalam mengimplementasikan batas usia seperti yang diatur dalam UU
Perkawinan. Ini menunjukkan peran hukum agama yang berlaku dalam masyarakat di
luar hukum negara masih sangat besar atau bahkan semakin besar mengiringi
lanskap politik keagaan di ruang publik yang makin konservatif.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Michael Pelatz dalam bukunya,
Islamic Modern: Religious Courts and Cultural Politics in Malaysia, hukum
keluarga serta implementasinya oleh pengadilan agama sebagai institusi negara
yang berwenang sangat penting keberadaannya untuk menciptakan warga negara
modern (national citizens) yang merujuk pada hukum nasional dan hak-hak
individual; dan pada waktu yang sama dapat membebaskan individu—khususnya
perempuan— dari ikatan primordial suku, adat istiadat, etnisitas, dan jender
yang dipandangnya tidak adil.
Lies
Marcoes Koordinator Program Berdaya, Rumah Kitab


0 komentar:
Posting Komentar