Aspek Hukum Mahar Politik
Oleh: Topo Santoso
Tudingan bahwa praktik "mahar politik" terjadi di
Jawa Timur, Jawa Barat, dan daerah-daerah lain menjelang pemilihan gubernur,
bupati, dan wali kota, membuat Badan Pengawas Pemilu provinsi dan kabupaten/
kota dituntut bersikap dan bertindak tegas sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
Benarkah "mahar politik" tidak terelakkan dalam
proses pencalonan? apa implikasi hukum dari praktik itu? Mampukah Bawaslu
menanggulanginya?
Membahas "mahar politik" tidak lepas dari membahas
kecurangan dalam proses penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, wali kota
yang semestinya dilakukan secara demokratis. Proses penyelenggaraan pemilihan
secara demokratis ditandai adanya kepastian hukum dalam pengaturan setiap
tahapan penyelenggaraan pemilu yang dirumuskan berdasarkan asas-asas pemilu yang
demokratis.
Di samping itu juga harus terwujud integritas proses dan
hasil pemilu dan sistem penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu secara
adil. "Mahar politik" telah mencederai integritas itu. Pemilik uang
telah mengontrol demokrasi, dan rakyat akan disodori calon pemimpin yang sudah
diatur, jika praktik ini marak dan tidak terjamah.
Sebenarnya kerangka hukum yang mengatur pemilihan itu telah
cukup, yakni adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2016. Kerangka hukum ini memang berada di luar Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur pemilihan presiden,
anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam kerangka hukum pemilihan gubernur, bupati, dan wali
kota itu sudah diatur larangan praktik "mahar politik" serta apa
implikasi hukumnya. Ini merupakan suatu kemajuan mengingat di masa dulu,
praktik ini tidak tersentuh oleh perundang-undangan kita sehingga hanya
digosipkan tanpa bisa diawasi, apalagi ditindak tegas.
Kini persoalannya, apakah dengan sudah adanya dasar hukum
melarang beserta implikasinya, praktik ini akan berkurang? Apakah
penyelenggara, pengawas, dan penegak hukum dapat memprosesnya hingga tuntas?
Apabila praktik penyimpangan, kecurangan, atau pelanggaran cukup banyak terjadi
dan tidak tersentuh hukum, maka legitimasi proses penyelenggaraan pemilihan
akan dipertanyakan.
Untuk menjaga integritas proses dan hasil pemilu diperlukan
mekanisme menampung dan menindaklanjuti seluruh keberatan, pengaduan, dan
gugatan secara efektif, adil, dan tepat waktu. Legitimasi pemilu dan
kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi setidaknya atau sebagian
tergantung pada bagaimana negara merespons dan menindaklanjuti pengaduan warga
masyarakat.
Proses pemilu yang kredibel menjadi fondasi bagi pemerintahan
yang memiliki legitimasi. Jadi, persoalan "mahar politik" ini bukan
hal sepele yang bisa diabaikan oleh penyelenggara, pengawas pemilu, dan penegak
hukum.
Implikasi "mahar
politik"
Pasal 187 a, b, dan c Undang-Undang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Wali Kota memuat dua jenis kejahatan terkait uang dalam proses
pemilihan, yakni politik uang dan "mahar politik". Pasal 187 a
melarang perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung
maupun tidak langsung, untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak
pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak
sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu.
Ketentuan tersebut sering disebut sebagai "politik
uang". Praktik ini diancam pidana penjara paling singkat 36 bulan dan
paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp
1 miliar. Bukan hanya pemberi yang terkena, penerima juga terkena ancaman
pidana yang sama.
Ketentuan di atas beda dengan "mahar politik".
Ketentuan politik uang dimaksudkan agar peserta pemilu tidak membujuk, menyogok
rakyat pemilih dengan iming-iming uang atau barang lainnya. Praktik ini memang
banyak dilaporkan terjadi dari pemilu ke pemilu, juga setiap kali diadakan pemilihan
gubernur, bupati, wali kota di sejumlah daerah. Dengan ancaman tersebut, tidak
bisa lagi anjuran, terima uangnya, jangan pilih orangnya, sebab pemberi dan
penerima sama-sama terkena pidana.
Sementara dalam tahapan pencalonan saat ini, yang marak adalah
praktik "mahar politik" di mana orang atau lembaga memberikan imbalan
kepada partai politik atau gabungan partai politik dalam bentuk apa pun dalam
proses pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota.
Di sini tidak dijelaskan untuk apa imbalan itu, hanya disebut
"dalam bentuk apa pun" dan "dalam proses pencalonan". Dalam
praktiknya, imbalan dimaksudkan agar partai politik atau gabungan partai
politik bersedia mengajukan seseorang untuk proses pencalonan, baik sebagai
calon gubernur, bupati, maupun wali kota.
Bukan hanya si pemberi yang terkena ancaman pidana,
penerimanya, baik dari partai politik maupun gabungan partai politik, juga
terancam pidana meskipun ada perbedaan sanksi pidana. Penerima "mahar
politik" diancam pidana lebih berat.
Lalu, apa akibatnya jika praktik ini dilakukan? Ada dua
implikasi dari "mahar politik", yakni sanksi pidana dan sanksi
administrasi. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 187 b dan 187 c Undang-Undang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Ancaman pidana terhitung berat, yakni
pidana penjara 2 hingga 5 tahun bagi pemberi imbalan dan 3 hingga 6 tahun bagi
penerima imbalan serta denda Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar.
Selain implikasi berupa pidana, apabila putusan itu sudah
berkekuatan hukum tetap, maka ada sanksi administratif, yakni pembatalan
sebagai calon gubernur, calon bupati, calon wali kota. Bahkan jika sudah ada
penetapan terpilih juga dapat dibatalkan. Tidak itu saja, jika sudah menjabat
pun masih dapat dibatalkan sesuai dengan Pasal 47 undang-undang yang sama.
Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik
terbukti menerima imbalan, mereka dilarang mengajukan calon pada periode
berikutnya di daerah yang sama. Dengan demikian, sanksi dari praktik
"mahar politik" ini sangat berat.
Pertanyaannya, dapatkah ketentuan di atas ditegakkan?
Sulit tegakkan aturan
Tidak mudah menegakkan aturan tentang "mahar
politik" ini meski sudah tercantum dalam undang-undang. Hal ini tecermin
dari ungkapan "antara ada dan tiada", "cederai politik, sulit
dibuktikan", dan sebagainya. Kenyataannya memang sulit ditegakkan.
Mengapa? Antara lain karena implikasi yang sangat berat, yakni pidana hingga 6
tahun dan pembatalan sebagai calon, calon terpilih maupun sesudah menjabat,
pasti upaya menghindari jeratan hukum dilakukan sekuat tenaga dan dengan
canggihnya.
Selain itu, teknik netralisasi untuk lolos pasti dilakukan
oleh pihak-pihak yang terancam sanksi. Upaya perlawanan kepada Bawaslu juga
akan dilakukan dengan luar biasa. Sulit menemukan saksi untuk pembuktiannya.
Kalaupun ada saksi, sulit diterima kesaksian yang benar-benar bisa menguak
tabir kasus ini. Semua karena implikasi yang berat itu. Pertanyaannya, jika
tidak bisa ditegakkan, untuk apa pasal ini diadakan?
Tentu ini jadi tantangan besar Bawaslu dan penegak hukum
untuk menghadapinya, memprosesnya, dan menindak jika terbukti praktik ini
dilakukan. Menurut hemat saya, penentu pada akhirnya adalah keberanian,
kemauan, dan kecanggihan dari Bawaslu dan penegak hukum dalam menghadapi para
pelaku. Mereka tidak jarang adalah tokoh dan lembaga yang kuat (powerful).


0 komentar:
Posting Komentar