KASIH
(Kepedulian merupakan bentuk cinta yang tak terucap)
Sakit yang begitu lama ia derita telah merenggut fisiknya yang
gagah. Ia yang dulu kokoh kini telah lemah. Suasana di luar bangunan rumah tua
menjadi nampak murung, mendung di langit senja menahan pancaran matahari di
sore ini. Seorang wanita yang sudah lama duduk di pinggir tempat tidur dari
anyaman bambu, terus memijat bagian tangan lelaki itu. Ia selalu menungguinya.
Hanya saat adzan berkumandang, ia bergegas pergi sejenak untuk menghadap Tuhan.
Sesudah sholat, ia kembali duduk dan kembali memijat lelaki yang sedang sakit,
suaminya.
Menurut cerita wanita itu, lelaki
yang sedang ditunggunya belum pernah mengeluh bila sedang diterpa sakit. Selama
hidup bersamanya, waktu sakit, tentu saja datang dan pergi namun ia tetap tabah
menjalani semuanya. "Aku mencintai dan mengaguminya." Kata-kata kasih
sayang terucap di tengah-tengah ia bercerita. Ia pun menutup dan menegaskan lagi
kecintaanya di akhir cerita. "Ia begitu luar biasa tabahnya, aku bahagia
bisa hidup bersamanya."
Mendengar wanita itu bercerita, aku hanya terdiam. Aku mencoba empati
terhadap apa yang dirasakannya. Namun, sekuat apapun aku mencoba tetap saja tak
dapat merasakan seluruh duka batinnya. Aku merasa gagal memahami kesedihannya,
segala gundah yang terlalu berat nampak di raut wajahnya. Wajahnya sayup,
seperti mendung menggelayut di pikirannya.
"Lihatlah! Ia kini meneteskan air mata." Ucap Bu Navie.
Seorang wanita yang sabar menunggui suami di pembaringan tempat tidur. Seraya menyeka
air mata yang tumpah melewati garis tipis di wajah lelaki yang ditunggunya.
"Ia pasti sedang merasakan sakit yang teramat." Imbuhnya.
Ya, selama ini yang menjadi petanda adalah air mata. Jika laki-laki
itu sedang sakit, kemudian air mata tak terbendung lagi mengalir, di situlah kesimpualan
Bu Navie bermuara "Dia sedang sakit keras."
"Petanda itu cukup lama bertahan." Kata
salah satu anaknya.
"Seingat saya, cerita itu telah terdengar
dari sejak duduk di bangku SD. Sayapun bangga mendengar cerita semacam itu,
seolah memberi semangat tersendiri memiliki bapak yang cukup tabah dalam
menghadapi cobaan. Saya bangga karena saya sendiri belum bisa setabah itu.
Dikasih sakit perut saja kata-kata keluhan bisa keluar beribu macam, itu
kebiasaan saya." Ujar Amin yang duduk tak jauh di samping kananku.
"Dalam waktu satu bulan terakhir ini,
bapak saya keluar-masuk rumah sakit tidak kurang dari 5-6 kali. Tentu saja ini
bisa terjadi pada siapa saja. saat Tuhan menghendaki, segala ketidakmungkinan
bisa menjadi mungkin."
Amin juga merasakan betapa berat sakit yang di
derita bapaknya. Sakitnya sesuatu yang sukar dicerna akal sehat. Bagaimana
tidak, secara medis bapaknya sudah dinyatakan sehat. Setelah dilakukan
pemeriksaan, dokter sendiri yang menyatakan kesehatan bapaknya. Tetapi,
kenyataan menyatakan yang berbeda. Ia tak dapat memungkiri bahwa yang tergolek
lemas di depannya saat ini adalah orang yang dinyatakan sehat.
Amin adalah anak yang terakhir dari ke empat
bersaudara. Sebenarnya Amin baru saja tiba di rumah tua ini. Selama ini, ia
tinggal di luar kota, Jogja. Amin pulang ke desa, Dempo Barat Pamekasan, Madura.
Karena mendapat kabar bapaknya sedang sakit, Ia pulang untuk mendampingi dan merawat sekaligus melepas kerinduan kepada
bapaknya.
"Kami hanya bisa pasrah mas, pasti ada
sesuatu yang ingin Tuhan sampaikan sebagai pelajaran untuk keluarga kami,"
Tutur Amin dengan wajah lesu.
Sebuah ungkapan kepasrahan terbaik dari
keadaan yang dialaminya saat ini. Setelah semua usaha dicoba untuk kesembuhan
bapaknya.
"Sekitar tiga hari belakangan, ada sesuatu
yang berbeda dari bapak mas."
"Apa itu?"
"Saya mendengar bapak mengeluarkan suara
yang berbeda. 'Tuhan kenapa saya seperti ini?', suara Amin mengulangi apa yang
didengar dari bapaknya."
"Lalu, kenapa?"
"Ya nggak apa-apa sih mas"
"Apakah kamu merasa bapakmu tidak tabah lagi?"
"Tidak mas! Bukan begitu maksud saya. Saya cukup paham sama
bapak. Bahkan dari peristiwa itu, saya semakin tahu kalau bapak sangat
mencintai dan menyanyangi kami, anak-anaknya."
"Maksudnya?" Tanyaku penuh heran, karena belum sepenuhnya
memahami ucapan Amin.
"Gini loh mas, suatu malam, kira-kira pukul
setengah tiga, sakit bapak kambuh lagi. Nah, saat itu pula bapak
mengeluarkan kata itu dalam keadaan mata tertutup. Setelah itu, ia membuka mata,
wajahnya menyiratkan rasa kaget mendapati saya duduk di sampingnya. Dengan
segera ia terhenti dan berucap. 'Kok belum tidur, ini sudah larut malam, sana
istirahat', ucap bapak. Kemudian ia kembali menutup mata dan merubah posisi
membelakangi saya." Toh, setelah itu saya masih mendengar
rintihannya, meskipun agak sedikit pelan. Seketika itu pula ibu langsung
mendekatkan diri ke telinga bapak sambil berucap beberapa kalimat dzikir yang
kemudian diikuti bapak."
"Saya tau kalau malam itu bapak sedang merasakan sakit yang
luar biasa, tapi ia mencoba menahannya di depan saya." Cerita Amin sore
itu.
Aku terpaku. Terdiam mendengar cerita Amin. Hatiku terus berbisik
sendiri. Ya Allah, begitu besar kasih sayang dan cinta orang tua untuk
anak-anaknya. Para orang tua sanggup menahan rintihan, hanya untuk tidak ingin
melihat anaknya merasa sedih. Betapa banyak orang tua yang bersikap baik-baik
saja agar putra-putrinya tetap tersenyum dan gembira, meskipun ia dalam keadaan
sebaliknya. Cinta terus mengalir walau tak pernah terucapkan. Merekalah sumber
kehidupan yang nyata dan takkan tergantikan sepanjang sejarah manusia.
Akupun mencoba, membanding-bandingkan dengan pengalamanku sendiri.
Aku yang selalu merasa mencintai orang tua tak pernah seiklas itu. Sifat
membangga-banggakan diri selalu ada, meskipun tempatnya di hati.
Dulu, saat bapakku sedang sakit. suatu malam, kira-kira pukul
setengah dua, ibu membangunkan tidur nyenyakku. Ia meminta tolong agar aku
mendampingi (mengapit) bapak sampai ke dalam mobil. Jaraknya tidak terlalu
jauh, sekira 10 meter dari rumah. Aku memang bangun
dan menuruti perintah ibu, tapi jauh di dalam diriku ada sesuatu. Semacam
desiran tidak terima dibangunkan. Dan esok harinya aku bangga luar biasa atas
apa yang kulakukan. Kuceritakan pada teman-temanku dan tetangga, hingga semua
orang yang mendengar menganggapku sebagai anak yang penyanyang. Padahal mereka
tak dapat melihat dan rasakan "desir" yang kusembunyikan. Kini, aku
tertampar mendengar cerita cinta yang tak terucapkan, tapi penuh pembuktian.
Aku melihat cahaya dalam cerita Amin, memberi tanpa pamrih, membuktikan tanpa
percakapan yang terangkum dalam ketulusan cinta.
"Mas, mas…" Suara Amin semakin mengeras.
"Silahkan diminum kopinya," Ucap Bu
Navie seraya tersenyum ramah.
"Iya" Maaf malah melamun balasku.
Senja sudah mulai gelap. Setelah kuhabiskan
secangkir kopi, akupun pamit untuk pulang. Aku
cukup puas mendapat suguhan cerita yang sungguh tak ternilai harganya. Tidak
hanya secangkir kopi yang dihidangkan oleh keluarga Pak Dian padaku sore ini.
Hidangan yang membuatku lebih mengerti bahwa cinta dan kasih-sayang orang tua
selalu mengalir untuk anak-anaknya, meskipun tak selalu terucap. Seberapapun
besarnya cinta dan kasih-sayang anak jauh lebih besar cinta dan ketulusan orang
tua. Cinta yang bisa mewujud dalam bentuk yang bermacam rupa; bisa doa,
pengorbanan membanting tulang, dan perlindungan dari segala ancaman yang
senantiasa tak terbaca oleh anak-anaknya.
Di
tengah perjalanan menuju rumah, kusempatkan menoleh ke belakang. Kulihat rumah
Pak Dian penuh cahaya meskipun hanya menggunakan lampu teplok. Sekedar cahaya
cinta untuk anak-anaknya. Dan akupun hilang ditelan kegelapan di sepanjang
perjalanan pulang.

0 komentar:
Posting Komentar