Politik Islam atau Islam Politik?
Oleh: Nasaruddin Umar; Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
MEDIA INDONESIA, 09 Februari 2018
SETIAP kali Islam bersentuhan dengan politik praktis, di situ
ada sesuatu yang sulit dibedakan, apakah yang lebih dominan di situ ialah
politik Islam atau Islam politik? Islam dan masalah politik memang tidak bisa
dipisahkan karena sejak awal posisi Nabi Muhammad Rasulullah SAW memegang peran
ganda. Di samping sebagai Nabi dan Rasul yang memimpin dan mengarahkan umat
juga sebagai pemimpin pemerintahan dunia Islam, khususnya di Madina saat itu.
Sebagai pemimpin umat dan sekaligus pemimpin bangsa tentu
memerlukan keluarbiasaan. Bukan hanya harus sukses dalam medan perang, tetapi
juga selalu unggul dalam dunia diplomasi. Dalam dunia diplomasi ia seorang
diplomat yang kawakan, disegani kawan dan musuh. Di medan perang ia juga sering
tampil sebagai panglima angkatan perang dengan sangat mengesankan semua pihak.
Ia seolah membawa dunia diplomasi dan dunia perang yang amat berbeda dengan
masyarakat (Arab).
Perjuangan yang diplomasi Nabi ialah memanggil Suhael
berdiskusi dengan Nabi. Setelah itu Rasulullah menerangkan kepada para
sahabatnya, mengapa perjanjian itu diterima. Pertama, pencoretan kata
bismillahirrahmanirrahim dan kata Rasulullah memang masalah, tetapi lebih besar
akibatnya bagi umat Islam jika perjanjian itu ditolak karena posisi umat Islam
masih minoritas.
Butir-butir perjanjian itu diterima agar kaum kafir Quraisy
Mekah tidak ditahan di Madinah agar tidak ikut membebani ekonomi Madinah yang
sudah dibanjiri pengungsi. Sebaliknya, orang Islam yang dibiarkan ditahan di
Mekah pasti akan berusaha menjalankan politik tertentu untuk memecah-belah
kekuatan kaum kafir Quraisy di sana. Alhasil, semua prediksi Rasulullah benar
dan sahabat kemudian mengagumi kecerdasan Rasulullah SAW.
Demikianlah politik Islam. Terkadang harus mundur selangkah
untuk meraih kemenangan. Dalam posisi umat Islam masih minoritas tidak ada cara
terbaik kecuali kooperatif dengan keinginan mayoritas, demi menyelamatkan umat.
Terkadang juga harus bersabar dan menanti saat yang tepat untuk memulai sebuah
strategi baru untuk mencapai kesuksesan menyeluruh.
Politik Islam bukan untuk menoleransi jatuhnya korban hanya
untuk mencapai kemenangan politik secara simbolis. Kemenangan substansial jauh
lebih berharga ketimbang kemenangan simbolik. Untuk apa kemenangan simbolik
jika substansi Islam tidak bisa diimplementasikan. Di sinilah tantangan bangsa
kita di masa depan, sebuah bangsa yang dipadati umat Islam. Perlu banyak
belajar dari pengalaman dunia Islam dalam lintasan sejarah.
Masih ingat kita dalam sejarah ketika Ali dan Mu’awiya
berseteru, masing-masing tidak ada yang mau mengalah. Ali sudah dilantik
menjadi khalifah keempat, tetapi tidak diakui oleh Mu’awiyah. Karena tidak ada
yang mau mengalah, terjadilah peperangan yang disebut Perang Shiffin. Mu’awiyah
didukung oleh ‘Aisyah, istri Nabi dan Ali tentu saja didukung oleh istrinya,
Fathimah, putri Nabi. Perang tidak dapat dielakkan antara keduanya.
Di tengah perang saudara ini, Amr ibn ‘Ash yang dikenal
sebagai politikus cerdik di pihak Mu’awiyah, menyerukan gencatan senjata dan
perdamaian. Ia menggunakan simbol 500 Alquran yang diusung di ujung tombak
sambil mengajak semua pasukan untuk kembali kepada penyelesaian secara Alquran.
Ali dan Mu’awiyah menyetujuinya. Ali mengutus Abu Musa
al-Asy’ary, seorang ulama yang disegani dan Amru ibn Al-Ash mewakili pihak
Mu’awiyah. Amr ibn ‘Ash tahu kesalehan dan kelemahan Abu Musa. Amr meminta agar
demi kemuliaan Islam dan demi kemaslahatan umat Islam, sebaiknya Ali dan
Mu’awiyah mengundurkan diri lalu dicari tokoh lain yang lebih netral.
Abu Musa sebagai perunding mewakili pihak Ali ibn Abi Thalib
menerima usulan itu. Ia diminta berpidato lebih awal di depan massa dan pasukan
kedua belah pihak. Ia menyerukan bahwa sekarang ini tidak ada lagi khalifah dan
kini saatnya kita akan mencari khalifah yang dapat diterima oleh semua pihak.
Tiba giliran Amr ibn ‘Ash menelikung pernyataan itu dengan
mengatakan, oleh karena sekarang tidak ada lagi khalifah, maka dengan ini kami
melegalkan Mu’awiyah sebagai khalifah. Tentu saja pihak Ali tidak menerimanya
maka peperangan pecah kembali. Begitulah seterusnya hingga Ali mati terbunuh.
Perang Shiffin merupakan perang saudara dalam dunia Islam.
Peperangan ini sering disebut fitnah kubra atau fitnah terbesar dalam sejarah
umat Islam. Fitnah inilah kemudian melahirkan aliran teologi seperti syiah,
murjiah, khawarij, dan simbol ahlu sunnah. Perkembangan politik ini banyak
berpengaruh dalam pemikiran politik dunia Islam.

0 komentar:
Posting Komentar