Kekerasan dan Tantangan Kebinekaan Indonesia
Oleh: Muhammadun
TRAGEDI penyerangan
gereja di Sleman (11/02) menjadi tragedi mengerikan dalam kasus kekerasan
akhir-akhir ini. Sebelumnya, juga terjadi kasus kekerasan terhadap sejumlah
ustaz di Jawa Barat. Kekerasan terhadap tokoh-tokoh agama itu jangan sampai
melukai dialog dan persaudaraan kebangsaan kita. Kekerasan terhadap tokoh
agama, rumah ibadah, dan kelompok keagamaan hanya dijadikan sebagai alat adu
domba. Ingat, 2018 menuju 2019 ini ialah tahun politik. Semua harus saling
waspada, jangan terprovokasi.
Indonesia ialah rumah
bersama. Para pendiri bangsa sudah mendirikan RI dengan darah dan nyawa, semua
untuk generasi hari ini dan masa depan. Jangan sampai darah perjuangan yang
dikorbankan para pendiri bangsa justru dinodai pertumpahan darah antaranak
bangsa. Itu jelas membuat pendiri bangsa menangis. Suburnya kekerasan dan
radikalisme melukai karakter dan prinsip berbangsa dan bernegara.
Para pendiri bangsa
sudah mewariskan Pancasila. Para pendiri bangsa juga sudah menyadarkan kita
ihwal kebinekaan. Bahwa kebinekaan yang melekat dalam diri bangsa Indonesia
adalah bersifat 'given'. Sebagai sesuatu yang terberi, manusia Indonesia
tidaklah mengusahakan terjadinya perbedaan karena perbedaan itu sudah melekat
sejak lahir dan harus diterima apa adanya. Di mana pun dan dalam kondisi apa
pun, perbedaan itu akan tetap ada, baik pada level sosiologis, politik,
antropologis, psikologis, dan lain-lain. Keragaman di sini termasuk latar
belakang, gaya hidup, jabatan dan organisasi, status, mental, dan lain-lain.
Semua sudah melekat.
Di alam demokrasi RI,
keragaman menjadi potensi sekaligus menjadi ancaman. Berpotensi untuk membangun
peradaban bangsa lebih maju dan sejahtera, tetapi juga ancaman disintegrasi dan
konflik horizontal yang mudah disulut, apalagi disulut aspek sentimen agama.
Bagi Chantal Mouffe dalam The Democratic Paradox (2000), membangun demokrasi
tanpa adanya 'lawan' merupakan hal berbahaya sebab kondisi itu justru
melemahkan demokrasi dan memperkuat pemerintahan yang otoriter.
Dilema yang
diketengahkan Mouffe sangat menarik dalam konteks keragaman di RI, terlebih di
tengah isu primordial agama yang didemonstrasikan dalam berbagai media. Konflik
politik dari pilkada yang dibumbui isu SARA menjadikan keragaman di Indonesia
menjadi celah konflik yang sangat berbahaya. Di sisi lain, bangsa ini harus
tetap menguatkan integrasi kebangsaan dan melakukan konsolidasi demokrasi
berdasarkan pada potensi keragaman yang dimiliki warga bangsanya.
Di
sinilah, peran Pancasila sangat krusial. Para pendiri bangsa sebenarnya sudah
melakukan diskusi dan pendalaman serius terkait problem ini sehingga melahirkan
Pancasila sebagai dasar negara. Bung Karno menggali Pancasila dari nilai-nilai
luhur bangsa berdasarkan kekayaan tradisi, budaya, adat, dan agama.
Sebagai
dasar pandangan hidup bernegara dan sistem nilai kemasyarakatan, Prof
Notonagoro (1975) melihat Pancasila setidak-tidaknya mengandung empat pokok
pikiran. Pertama, negara Indonesia merupakan negara persatuan, yang Bhinneka
Tunggal Ika. Persatuan tidak berarti penyeragaman, tetapi mengakui kebinekaan
yang mengacu pada nilai-nilai universal ketuhanan, kemanusiaan, rasa keadilan
dst.
Kedua,
negara Indonesia didirikan dengan maksud mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, dan berkewajiban mewujudkan kesejahteraan serta
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, negara Indonesia didirikan di atas asas
kedaulatan rakyat.
Kedaulatan
rakyat tidak bisa dibangun hanya berdasarkan demokrasi di bidang politik.
Demokrasi harus juga dilaksanakan di bidang ekonomi. Keempat, negara Indonesia
didirikan di atas dasar Ketuhanan YME. Ini mengandung arti bahwa negara
Indonesia menjunjung tinggi keberadaan agama-agama yang dianut bangsa
Indonesia.
Membangun
konsolidasi
Ada
tugas penting bagi manusia Indonesia dalam menyikapi keragaman yang sudah
melekat, yakni membangun konsolidasi demokrasi secara terus-menerus, tentu saja
dengan visi sesuai Pancasila dan UUD 1945. Menurut Hafidz Nuur (2017), mengutip
gagasan Mouffe, bahwa pada kondisi alami demokrasi yang mencakup kawan dan
lawan. Serta pertentangan gagasan dan kepentingan, perlu adanya seperangkat
nilai bersama yang dihormati.
Isu
primordialisme, yakni agama dan etnik, baru-baru ini terkesan menjadi alat
mobilisasi politik, harus diwaspadai dengan serius. Mengapa? Karena Indonesia
ialah proyek yang belum selesai sehingga untuk melanjutkan proyek ini, perlu
secara intensif membicarakan struktur, proses sosial, perubahan sosial serta
fenomena sosiologis yang berkaitan seperti globalisasi dan berbagai relasi
sosial.
Pancasila
harus diletakkan sebagai alat melakukan integrasi bangsa yang beragam.
Pancasila jangan memaksakan keseragaman yang akan mengakibatkan integrasi
koersif, seperti yang terjadi pada Orba, sedangkan keberagaman membutuhkan
integrasi fungsional, yakni dengan melakukan pemerataan kesejahteraan dan
utamanya kesadaran berbangsa.
Namun,
juga ingat, banyak sekali solidaritas agama yang menyalahgunakan demokrasi berpotensi
menjadi agresivitas massal yang anarkistis. Bahkan mengarah pada civil
disobedience, yakni ketidakpedulian pada segala peraturan yang ada. Namun,
negara tetap harus mempertahankan konsolidasi demokrasi sebelum potensi itu
benar menjadi nyata.
Pancasila
harus digerakkan sebagai pengikat semua anak bangsa dalam membangun konsolidasi
kebangsaan, jangan hanya dibebankan kepada aparatur negara. Keterlibatan semua
anak bangsa akan menjadi kekuatan yang menyeimbangkan berbagai tantangan
keragaman. Karena Pancasila yang mengakar kuat dalam kehidupan sehari-hari anak
bangsa akan melahirkan tata kehidupan yang saling membina, mengayomi, dan
mengasihi. Gotong royong menjadi etiket bersama dalam keseharian.
Sejarah
para pendiri bangsa sudah mengajarkan anak bangsa hari ini. Jejak hidup Bung
Karno, Bung Hatta, KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan lainnya sangat jelas
memberikan spirit perjuangan dalam membangun konsolidasi kebangsaan menuju
bangsa yang beradab.
Muhammadun Dosen Sosiologi Ushul Fiqh STAI Sunan Pandanaran Yogya;
Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr PWNU DIY; Peneliti Lakpesdam PWNU DIY
2006-2011
MEDIA INDONESIA, 13 Februari 2018

0 komentar:
Posting Komentar