Induk BUMN
Oleh: Fachry
Ali
Ketika orang Jepang bertemu seseorang, menurut antropolog Chi
Nakane dalam bukunya, "Japanese Society: A Practical Guide to
Understanding the Japanese Mindset and Culture" (1973), ia cenderung
menyatakan berasal dari B Publishing Group atau S Company. Dan bukan,
"Saya adalah pengatur cetak naskah" atau "juru tulis".
Maka, yang pertama-tama didengar lawan bicaranya adalah hubungan seseorang
dengan institusi atau kelompok tertentu.
Dalam bahasa Jepang, Nakane menyebut fenomena ini sebagai ba.
Walau secara harfiah ba berarti location (tempat), dalam penggunaan normalnya
berarti 'sesuatu yang ditempatkan sesuai dengan tujuan tertentu'. Maka, secara
konseptual, Nakane mengartikan ba ke dalam bahasa Inggris sebagai frame (bingkai),
yang berarti konteks spesifik seseorang dalam sebuah pengelompokan sosial. Ini
berbeda dengan atribut. Yang terakhir ini, tanpa menyebut padanan kata
Jepang-nya, diartikan Nakane sebagai pengelompokan sosial yang keanggotaannya
berdasarkan a definite descent group or caste (kelompok seketurunan atau kasta
tertentu). Sesuai arti bahasa Inggris-nya (sifat, kaitan), Nakane melihat
pengelompokan sosial berdasarkan atribut ini universal. Sementara bingkai atau
ba lebih berlaku di Jepang.
Guna mempertajam, Nakane memperkenalkan kata uchi yang
berarti 'rumahku'; otaku yang berarti 'rumahmu', dan kaisha yang berarti
'kesadaran kelompok'. Semua ini lebih mengungkapkan keberlakuan bingkai atauba
di dalam sistem pengelompokan sosial di Jepang, dibandingkan atribut. Dalam
pengertian luas, makna uchi adalah 'tempat kerjaku', 'organisasiku', atau
'sekolahku' dari mana seseorang berasal. Hal yang sama berlaku juga untuk
otaku. Dan semua ini diekspresikan melalui kaisha, kesadaran kelompok yang
tidak dilandasi kontrak, tetapi emosi dan kebanggaan.
Kesadaran jenis kaisha ini berakar pada konsep ie. Dalam
bahasa Jepang, ie berarti rumah tangga. Namun, ie itu lebih berartifamily
system (sistem keluarga) yang berakar pada pedoman perilaku moral feodal Jepang
masa lalu. Sampai di sini, dinamika masyarakat Jepang terlacak. Mengapa? Karena
Nakane menekankan bahwa ie sebagai lembaga kekerabatan bukanlah wujud di mana
anak tertua hidup bersama istri dan para orangtuanya, juga bukan struktur
wewenang (authority structure) di mana kepala keluarga memegang kekuasaan,
melainkan ie adalah tempat kelompok kediaman bersama (corporate residential
group) dan, dalam hal usaha pertanian atau usaha lain, iesebuah managing body
(badan pelaksana).
Sebagai badan pelaksana, ie terdiri atas anggota-anggota
rumah tangga yang membentuk satuan-satuan kelompok sosial tersendiri. Dengan
kata lain, ieadalah kelompok sosial berdasarkan bingkai atau ba yang mapan dan
sering berwujud manajemen organisasi. Apa yang penting, tekan Nakane, hubungan
manusia di dalam lembaga kekerabatan ie ini dianggap lebih penting daripada
lainnya. Seorang menantu perempuan asal satuan sosial lain dianggap lebih utama
daripada saudara perempuan atau anak perempuannya sendiri yang menikah dan
telah pergi ke ie yang lain. Hal yang sama terjadi pada saudara laki-laki atau
anak laki-lakinya.
Inilah makna dinamis hubungan-hubungan sosial ie itu di
Jepang: kesediaan membuka diri bagi anggota baru ke dalamnya. Kerangka perekrutan
anggota baru ini melemahkan ikatan sedarah. Namun, ikatan itu segera beralih
kepada hubungan orang per orang dalam kelompok bersama berdasar lapangan kerja
di mana, Nakane menekankan, the major aspects of social and economic life are
involved (sebagian besar kehidupan sosial-ekonomi mereka dilibatkan). Di sini,
kita menemukan pentingnya satuan kelompok bersama di masyarakat Jepang berdasar
ba atau bingkai.
Kesimpulannya, sifat dinamis perekrutan anggota ie, sebagai
lembaga kekerabatan kuno Jepang, mampu mengakomodasi industrialisasi modern.
Kemunculan berbagai unit industri modern di negara ini dengan mudah menyesuaikan
diri ke dalam hubungan sosial tradisional Jepang. Melalui ekspresi kaisha,
perusahaan industrial Jepang segera menjadi substitusi kelompok sosial
tradisional Jepang. Sebab,kaisha adalah ungkapan uchi (tempat kerjaku) dan
otaku (perusahaanmu) yang, "memberikan seluruh keberadaan sosial
seseorang, dan mempunyai wewenang atas seluruh aspek kehidupannya; ia terlibat
mendalam secara emosional di dalam asosiasi itu".
Sejarah budaya dan politik-ekonomi BUMN
Dalam konteks sejarah, apa yang dikenal dengan BUMN dewasa
ini secara budaya adalah sesuatu yang "asing". Ini terutama karena
BUMN berasal dari korporasi perkebunan (yang kemudian melebar ke pertambangan)
ciptaan Belanda dalam wujud organisasi ekonomi modern di pertengahan akhir abad
ke-19. Kritik ekonom Indonesia M Sadli atas konsep ekonomi dualistik (dualistic
economies)sarjana Belanda JH Boeke adalah benar. Dalam tulisannya
"Reflection on Boeke's Theory of Dualistic Economies" (1971), Sadli
menyatakan keheranan logika dan teoretisnya atas pendapat Boeke yang memandang
ekonomi dualistik ?yang membelah sistem ekonomi Barat modern dan sistem ekonomi
Indonesia tradisional adalah permanen.
Kendati demikian, Boeke "benar" dalam satu hal.
Bahwa kemunculan modal Barat yang terwujud dalam perusahaan-perusahaan
perkebunan raksasa sejak 1870 di Indonesia bukanlah kontinuitas tradisi dan
sistem ekonomi Indonesia. Karena, seperti dikutip Sadli, Boeke menyatakan di
belakang deru perkembangan perusahaan-perusahaan raksasa itu terdapat sistem
kapitalistik modern yang sama sekali tak identik dengan sistem dan semangat
ekonomi tradisional Indonesia.
Karena itu, bagi Boeke, kehadiran perusahaan-perusahaan itu
merefleksikan bentrokan sistem sosial pendatang dengan sistem sosial pribumi.
Pemberontakan sosial dimotori petani sepanjang pertengahan dan akhir abad
ke-19, merefleksikan bentrokan budaya ini. Semua ini menguatkan pandangan bahwa
metode pengorganisasian dan pemanfaatan modal di perusahaan-perusahaan raksasa
Barat itu adalah asing secara budaya. Dengan perbandingan konsep ie dalam
struktur dan sistem sosial Jepang, bentrokan ini menandai bahwa khazanah budaya
tradisional Indonesia—di samping faktor struktural lain—tak memadai
mengakomodasi kehadiran sistem sosial-ekonomi modern di Indonesia pada abad
ke-19 itu.
Sampai pertengahan 1957, keterasingan budaya atas
perusahaan-perusahaan ini masih berlanjut. Sebab, seperti dicatat ekonom Bruce
Glassburner dalamIndonesian Economy 1950-1953 (1971), tak ada tanda-tanda
adanya elemen di masyarakat Indonesia yang mengambil alih fungsi
perusahaan-perusahaan itu, dan "tak ada tanda-tanda di mana sumber-sumber
baru tampil mengambil alih fungsi itu". Ini hampir berarti bahwa—kecuali
Jawatan Listrik dan Gas yang diresmikan Presiden Soekarno pada 27 Oktober 1945
serta Bank Negara Indonesia (BNI) yang didirikan pada 1946—kemerdekaan
Indonesia sejak Agustus 1945 dan dikukuhkan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag pada 1949 tak mempunyai basis material. Dalam arti kata lain, Indonesia
hanya merdeka secara politik tanpa kontrol atas kekayaan ekonominya.
Ironisnya, Belanda
tetap diuntungkan justru setelah Indonesia merdeka. Catatan ekonom Australia,
Howard Dick, dalam "Formation of the Nation-State, 1930s-1966"
(2002), memperlihatkan bahwa perusahaan-perusahaan raksasa Belanda tidak hanya
mengalami pemulihan, tetapi juga meraih untung 0,8 miliar gulden pada
1954-1957. Karena itu, tak mengherankan, mereka cenderung menanam modal 1,5
miliar gulden pada 1950-1958 guna menambah ekspansi usaha di Indonesia. Maka,
secara praktis, sejak 1870 hingga pertengahan 1957, sari pati bentrokan sistem
sosial yang disampaikan Boeke masih tetap berlanjut.
Jalan sejarah politik-ekonomi Indonesia segera berubah di
akhir 1957 dan awal 1958 melalui aksi politik nasionalisasi perusahaan asing.
Aksi politik ini bersifat historis dan, di atas itu, decisive, karena pada saat
itulah, sejak 1870, Indonesia bisa mengontrol kekayaan ekonominya sendiri.
Seperti ditulis Ahmad Habir dalam "State Enterprises: Reform and Policy
Issues" (1990), melalui aksi itu negara mengambil alih 600 perusahaan
Belanda, 300 di antaranya perusahaan perkebunan dan lebih dari 100 perusahaan
lain yang bergerak dalam ekspor dan pertambangan. Selebihnya perusahaan
perdagangan, keuangan, komunikasi, gas dan listrik serta konstruksi. Melihat
luasnya cakupan bidang ekonomi yang diperankan perusahaan yang dinasionalisasi,
pada esensinya sejak 1958 Indonesia berhasil mencapai "kemerdekaan
ekonomi"—melengkapi kemerdekaan politik sebelumnya.
Perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lain yang
dinasionalisasi inilah yang dewasa ini kita kenal sebagai BUMN.
BUMN induk
Dilihat dari perspektif ini, kehadiran BUMN di Indonesia
bersifat distingtif karena lebih merupakan produk aksi politik. Sifat
distingtif inilah yang menyebabkan BUMN, setelah aksi nasionalisasi, segera
mendapatkan payung hukumnya: PP No 23/1958 dan dikukuhkan dengan UU No 86/1958.
Ini berbeda dengan pengalaman awal Amerika Serikat, di mana
pertentangan-pertentangan pendapat dan kecurigaan politik mewarnai kemunculan
korporasi. Padahal, seperti dinyatakan Eric Hilt dalam "Early American
Corporations and the State" (2017), ada rancangan perundangan yang
mengarahkan perusahaan-perusahaan itu bersifat quasi-public (status setengah
perusahaan negara) dan, dengan demikian, menjadi alat negara—untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi. Di sini kita melihat bahwa di negara kampiun kapitalisme
sendiri, di masa awalnya, pertumbuhan dan perkembangan perusahaan tak absen
dari hambatan politik dan perundang-undangan.
Fenomena ini jelas berbeda dengan di Indonesia. Kendati
demikian, meski dapat dukungan politik dan hukum, sifat dan posisi BUMN tetap
berada di wilayah yang disebut Nakane di atas, yaitu atribut. Telah disinggung,
atribut merupakan pengelompokan sosial yang pemberlakuannya bersifat universal.
Di samping didasarkan pada kesamaan keturunan dan kasta, pengelompokan atribut
bersifat "deskriptif". Nakane, misalnya, menyebut land lord (tuan
tanah) dan tenant (penghuni atau penyewa tanah) dalam klasifikasi sosial
atribut. Karena sifatnya "deskriptif", tak ada penjelasan kontekstual
bagaimana keduanya berinteraksi secara produktif.
Inilah, antara lain, gambaran BUMN pasca-1958 hingga 1998.
Fakta bahwa sepanjang periode itu keberadaan BUMN terpencar-pencar di bawah
departemen atau kementerian teknis, kian menunjukkan karakter pengelompokan
bersifat atribut ini. Maka, jangankan BUMN perkebunan di bawah Kementerian Pertanian
tak berhubungan dengan, misalnya, BUMN industri di bawah Kementerian
Perindustrian, sesama BUMN yang bergerak di lapangan yang sama tak saling
bersentuhan juga. Perkembangan menentukan terjadi pada 1998 ketika Presiden
Soeharto memerintahkan Tanri Abeng membentuk Kementerian BUMN yang menoreh
sejarah konsolidasi kekayaan negara di bawah satu payung. Namun, kendati Tanri
Abeng mempunyai program lanjutan pascakonsolidasi ini, kondisi politik tak
memungkinkannya, sebagai Menteri Pendayagunaan BUMN, melaksanakannya.
Pergantian rezim pada 1999 telah menghentikan langkah Tanri Abeng.
Namun, konsolidasi yang telah terjadi ini memberikan jejak
kuat bagi transformasi BUMN dari atribut ke ba atau bingkai. Dalam arti bahwa
tanpa konsolidasi BUMN ke dalam sebuah kementerian, transformasi itu sulit
terjadi. Ini, dengan demikian, berarti peralihan sifat BUMN dari atribut yang,
dalam interpretasi kami, menata pengelompokan sosial tanpa relasi produktif dan
emosional, kepada ba atau bingkai yang lebih kontekstual dan produktif, sangat
terbantu dengan keberadaan Kementerian BUMN. Dan peralihan ini penting.
"In group identification," tulis Nakane, "a frame such as
'company' or 'association' is a primary importance" (Dalam
mengindentifikasikan kelompok, sebuah bingkai seperti 'perusahaan' atau
'perserikatan' adalah yang utama).
Dalam konteks inilah pembentukan induk BUMN—seperti tengah
berlangsung di bawah Menteri BUMN Rini Soemarno dewasa ini—harus kita lihat,
yaitu proses transformasi BUMN yang sebelumnya lengkang satu sama lain ke dalam
sebuah konglomerasi fungsional dan kontekstual yang, dalam konteks Nakane,
memelihara bahkan memperkuat institusi itu. Dan dari segi ekonomi, proses
transformasi ini menciptakan konsolidasi modal yang jauh lebih
kuat—dibandingkan unit-unit yang terpisah satu sama lain. Akan tetapi, dalam
konteks "antropologi ekonomi", proses transformasi BUMN ke dalam
format induk bisa dihayati sebagai pembentukan sosial ie berdasarkan ba atau
bingkai.
Sebagaimana masyarakat Jepang menyesuaikan diri ke dalam
zaman industrial modern melalui jenis pengelompokan sosial ini, penciptaan
induk BUMN yang berlangsung dewasa ini adalah usaha, dalam bahasa Betawi,
memapak (mendahului) perkembangan dunia korporasi di masa depan.
Fachry Ali Salah satu pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia


0 komentar:
Posting Komentar