Swasembada Daging Kehilangan Arah
Oleh: Ronny Rachman Noor
Dalam beberapa bulan ke depan— menjelang bulan puasa—dapat
dipastikan ritual tahunan gejolak harga daging kembali terjadi. Kondisi berulang
ini akibat laju produksi daging tidak mampu mengikuti laju permintaan daging.
Dalam upaya memecahkan masalah inilah program swasembada
daging digulirkan lebih dari 10 tahun lalu. Namun, sejak awal, program
swasembada daging mengundang pro dan kontra. Data empiris menunjukkan bahwa
program swasembada daging tidak akan pernah dapat terwujud jika tidak ada
langkah ekstrem dalam pembibitan sapi, tulang punggung penyedia ternak bakalan
untuk ternak potong.
Suplai kurang
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 menunjukkan,
populasi sapi potong dalam kurun waktu 2009-2016 di Indonesia sebenarnya sudah
sedikit meningkat. Akan tetapi, peningkatan tersebut belum mampu memenuhi
permintaan kebutuhan daging nasional.
Produksi daging sapi dalam negeri tahun 2017 malah defisit.
Sapi lokal hanya mampu menyediakan 354.770 ton daging, sedangkan kebutuhan
daging nasional mencapai 604.968 ton. Artinya, produksi daging nasional hanya
mampu memenuhi 58,74 persen dari kebutuhan. Untuk memenuhi kekurangan 30-40
persen, pemerintah harus mengimpor sapi bakalan dan daging (Ditjen PHK, 2017).
Dari proyeksi Pola
Konsumsi dan Produksi Daging Nasional Periode 2014-2020 yang diolah dari
Pusdatin Pertanian (2016) diketahui kecenderungan kekurangan pasokan daging di
Indonesia akan terus berlangsung sampai tahun 2020.
Jika data produksi
daging dan konsumsi daging rumah tangga diproyeksikan sampai tahun 2020, maka
pertumbuhan produksi daging sapi sampai tahun 2020 meningkat 1,93 persen,
sedangkan laju peningkatan konsumsi daging pada periode yang sama mencapai 1,35
persen.
Namun, mengingat
produksi daging ini belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, tahun 2020 akan
terjadi kekurangan daging sapi 0,17 persen.
Belum berdampak
Program swasembada
daging ini harus diakui berhasil menarik perhatian banyak pihak, termasuk dalam
hal lebih besarnya pengalokasian anggaran untuk program ini dan program lain
terkait bidang peternakan. Namun, jika dilihat pergerakan pola permintaan dan
produksi daging dalam kurun waktu 2014-2020, program ini tidak banyak berdampak
pada pengurangan gap antara permintaan dan produksi yang semakin melebar.
Upaya pengurangan
impor sapi dan daging beku yang telah diupayakan dalam lima tahun terakhir
memang sudah mulai terlihat dampaknya: penurunan angka impor sapi hidup dan
daging, terutama yang berasal dari Australia. Namun, mengingat produk daging
sapi lokal masih belum mampu memenuhi permintaan daging nasional, ke depan
impor sapi hidup dan daging masih harus dilakukan.
Ketergantungan
Indonesia akan sapi impor dalam pemenuhan kebutuhan daging memang sudah
selayaknya diupayakan untuk terus diturunkan seiring dengan upaya untuk
peningkatan produksi daging dalam negeri yang peran sapi lokal di dalamnya
cukup besar.
Di samping
pengurasan devisa, impor sapi hidup dan daging beku yang tidak terkendali akan
meningkatkan ketergantungan Indonesia pada negara lain. Situasi ini akan
menjadi sangat berbahaya ketika suatu saat nanti Indonesia tidak dapat lagi
mengimpor sapi dan daging beku karena negara pengekspor menghentikan pasokan
akibat perubahan situasi politik, bencana alam, dan faktor lainnya.
Program peningkatan
populasi dilakukan melalui program sapi kembar dan juga pemasukan materi
genetik sapi jenis belgian blue. Sapi ini berkarakter double muscle yang saat ini sedang digulirkan oleh Kementerian
Pertanian secara matematis dapat meningkatkan produksi daging, tetapi secara
teknis kedua program ini akan menghadapi banyak kendala, sehingga tingkat
keberhasilan kedua program sangat kecil sebagai solusi dalam upaya peningkatan
produksi daging nasional.
Hilang orientasi
Kehilangan orientasi
dalam program swasembada daging nasional ini memang sangat mengkhawatirkan
mengingat keterbatasan anggaran pemerintah. Hal ini mengharuskan penggunaan
anggaran secara efisien dan tepat sasaran. Oleh sebab itu, daripada
melaksanakan program mercusuar yang berdampak sangat kecil terhadap pencapaian
swasembada daging, lebih baik memfokuskan program pemberdayaan ternak lokal
melalui peningkatan mutu genetik dan perbaikan manajemen pemeliharaan dan pakan
agar produktivitas dan populasinya meningkat.
Dalam jangka panjang
program persilangan antara ternak lokal dan ternak eksotik harus diarahkan
untuk membentuksynthetic breed yang
komposisi gen dan produktivitasnya lebih stabil sehingga akan berfungsi sebagai
ternak bibit dan dapat dikembangkan lebih lanjut melalui perbanyakan populasi
ternak silangan dalam mendukung produksi daging nasional.
Oleh karena itu, ke
depan, program pembentukan breed
sintetik sapi Indonesia perlu dijadikan prioritas agar dalam jangka panjang
Indonesia memilikibreed sapi yang
dapat diandalkan produksi dagingnya dan dapat menunjang kebutuhan daging
nasional.
Perlu reorientasi
Mengingat sulitnya
mewujudkan program swasembada daging nasional, perlu adanya reorientasi visi ke
arah swasembada protein hewani. Melalui program swasembada protein hewani,
semua potensi ternak lokal penghasil daging seperti sapi, kambing, domba, ayam,
itik, dan kelinci, juga telur seperti telur ayam, itik, puyuh, serta susu ,
akan dapat dilibatkan untuk mendukung program ini.
Di samping itu,
sektor perikanan diharapkan dapat berperan besar mewujudkan swasembada protein
hewani ini melalui peningkatan konsumsi ikan.
Program terpadu
swasembada protein hewani ini diharapkan tidak saja mengefisienkan biaya,
tetapi juga menghilangkan sekat-sekat yang selama ini menghambat kerja sama
lintas sektor yang sangat diperlukan dalam pembangunan nasional. Dengan
hilangnya sekat-sekat ini diharapkan swasembada protein hewani dapat diwujudkan
dalam waktu dekat untuk mendukung program peningkatan kualitas sumber daya
manusia Indonesia mendatang yang lebih cerdas.
Ronny Rachman Noor
Guru Besar Pemuliaan dan Genetika IPB, Adjunct Professor di University of New
England, Australia
Kompas, 13 Februari
2018


0 komentar:
Posting Komentar