Kecakapan Era 4.0



Oleh: Satryo Soemantri Brodjonegoro

Era 4.0 (revolusi industri keempat) dicirikan oleh kompleksnya persoalan yang akan dihadapi penduduk dunia. Semua jenis pekerjaan akan semakin kompleks. Hal ini disebabkan kombinasi globalisasi dengan teknologi informasi yang kecepatan perkembangannya sangat di luar dugaan. Untuk dapat berkiprah di era 4.0 diperlukan kecakapan menangani persoalan yang kompleks.

Dalam buku The Fourth Industrial Revolution, Klaus Schwab menggambarkan adanya sejumlah jenis pekerjaan yang akan hilang dalam waktu dekat. Juga sejumlah jenis pekerjaan yang akan bertahan terus bahkan makin banyak dibutuhkan.

Jenis pekerjaan yang akan segera hilang antara lain telemarketers (pemasaran jarak jauh), tax preparers (penyiapan dokumen pajak), umpires-referees-other sport officials (wasit-hakim garis-petugas olahraga lainnya), legal secretaries(sekretaris urusan peraturan), real estate brokers (perantara tanah-bangunan), farm labour contractors (kontraktor buruh tani), dan couriers-messengers (kurir). Hilangnya jenis pekerjaan tersebut disebabkan adanya otomatisasi berbasis teknologi informasi.

Sebaliknya, jenis pekerjaan yang akan langgeng antara lain mental health and substance abuse social workers (pekerja sosial yang menangani mereka yang mengalami gangguan kejiwaan atau kekerasan), choreographers (koreografer),physicians-surgeons (dokter-dokter bedah), psychologists (psikolog), human resources managers (manajer sumber daya manusia), computer systems analysts(analis sistem komputer), anthropologists-archeologists (antropolog-arkeolog),marine engineers-naval architectures(ahli teknik perkapalan), sales managers(manajer penjualan), dan chief executives(direktur utama). Jenis pekerjaan ini tidak dapat digantikan fungsinya oleh komputer ataupun teknologi otomasi.

Kecakapan sosial semakin diperlukan

Majalah The Economists edisi 14 Januari 2017 menampilkan laporan khusus yang menggambarkan pentingnya kecakapan sosial (social skills) dalam bekerja. Pola perekrutan tenaga kerja di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sejak tahun 1980 yang dibutuhkan adalah mereka dengan kecakapan sosial yang tinggi meskipun keterampilan matematikanya rendah. Mereka dengan keterampilan matematika yang tinggi, tetapi kecakapan sosial rendah tidak dibutuhkan.

Hasil kajian penulis yang disajikan dalam Laporan ACDP-016 Balitbang Kemdikbud tahun 2015 menunjukkan bahwa ada pergeseran kecakapan di negara maju (OECD) sejak tahun 1960, di mana kebutuhan akan kecakapan non-rutin analitis dan kecakapan non-rutin interaktif meningkat terus. Sebaliknya, kecakapan rutin kognitif, non-rutin manual, dan rutin manual menurun terus kebutuhannya.

Dalam bidang teknik, negara anggota Washington Accord telah menyepakati profil lulusan pendidikan tinggi teknik sejumlah 12 atribut. Ke-12 atribut itu terdiri atas pengetahuan keteknisan (engineering knowledge), analis persoalan (problem analysis), perancang/pengembangan untuk solusi (design/development of solutions), investigasi (investigation), penggunaan perangkat mutakhir (modern tool usage), insinyur dan masyarakat (the engineer & society), lingkungan dan keberlanjutan (environment & sustainability), etika (ethics), kerja individu dan kerja bersama (individual & teamwork), komunikasi (communication), manajemen proyek dan keuangan (project management and finance), pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning). Dari 12 atribut tersebut, tujuh di antaranya termasuk kategori kecakapan (soft skills), sedangkan lainnya termasuk kategori keterampilan (hard skills). Kecakapan di sini termasuk kecakapan sosial dan kecakapan non-rutin.

Salah satu jenis pekerjaan yang akan langgeng adalah dokter dan dokter bedah karena kemampuannya menangani pasien (sebutan pasien seyogianya diganti menjadi mitra karena sejajar dengan dokter) yang unik dan kompleks. Setiap orang memiliki keunikan sehingga dokter harus mampu menangani mitra sesuai dengan keunikannya.

Terapi dan obat yang cocok untuk satu mitra belum tentu cocok untuk mitra lain dengan penyakit yang sama. Oleh karena itu, seperti halnya di bidang teknik, di bidang kedokteran perlu ditekankan pentingnya kecakapan (soft skills) sehingga peran dokter tidak tergantikan oleh teknologi informasi. Pada saat ini sudah sangat tersedia berbagai perangkat lunak untuk diagnosis penyakit dan alternatif penanggulangannya, seorang mitra dapat mendiagnosis dirinya kemudian mencari alternatif obat dan terapi yang tersedia.

Berdasarkan deskripsi di atas, jelas bahwa kecakapan era 4.0 adalah kemampuannya dalam menangani persoalan yang kompleks melalui kecakapan non-rutin dan kecakapan sosial. Program pengembangan kapasitas sumber daya manusia di era 4.0 harus dilakukan melalui pendidikan yang memberikan kecakapan non-rutin dan kecakapan sosial, sedangkan untuk kapasitas lainnya, seperti keterampilan dan kecakapan rutin, diberikan melalui pelatihan. Dengan demikian terdapat pembagian peran yang jelas antara pendidikan (non-rutin) dengan pelatihan (rutin), dan ini dapat menjadi rujukan dalam merancang sistem pembangunan sumber daya manusia era 4.0.

Satryo Soemantri Brodjonegoro Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar Emeritus ITB; Wakil Ketua Konsil Kedokteran Indonesia 

Kompas, 14 Februari 2018

0 komentar:

Refleksi Tiga Tahun UU Desa

Oleh: Sri Palupi 

Undang-Undang Desa saja tak cukup untuk membela desa karena kurangnya daya. Ini salah satu kesimpulan dari refleksi tiga tahun pelaksanaan UU Desa yang diselenggarakan Panitia Bersama Organisasi Masyarakat Sipil bersama 150 delegasi desa dari sejumlah daerah pada 24-25 Januari lalu.
Refleksi dimaksudkan untuk membaca kembali UU Desa dalam konteks tantangan yang dihadapi desa kini dan ke depan. Ada banyak catatan reflektif atas UU Desa dan pelaksanaannya. Tiga di antaranya penting untuk digarisbawahi. Pertama, pelaksanaan UU Desa sarat distorsi. Kedua, meskipun sudah lahir undang-undang desa terbaru, tak ada perubahan dalam cara kita memandang dan memperlakukan desa. Ketiga, UU Desa saja tak cukup untuk membela desa. 

Sarat distorsi
 
Dengan disahkannya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa dapat pengakuan hak otonominya dalam sistem pemerintahan nasional. Desa bukan lagi obyek bagi proyek-proyek pembangunan, melainkan subyek pembangunan yang mandiri. Dengan itu, kehadiran UU Desa diharapkan dapat membawa perubahan bagi desa, yang selama ini banyak dilucuti hak-haknya. Dengan dilaksanakannya UU Desa, desa diharapkan makin berdaulat, pembangunannya kian partisipatif dan sistem ekonomi-politiknya makin demokratis. 

Hasil refleksi menunjukkan, pelaksanaan UU Desa sarat distorsi. Mandat UU Desa tak sepenuhnya dijalankan. 

Ini tampak dari kebijakan dan program pemerintah yang condong memperlemah posisi desa. Pelemahan ini bisa dinilai, di antaranya dari reduksi pemahaman terhadap UU Desa, kuatnya intervensi pemerintah pusat dan daerah dalam menentukan program pembangunan, miskinnya program pemberdayaan masyarakat dan program yang memperkuat karakter kebudayaan dan kehidupan kolektif masyarakat desa, pelemahan dan pereduksian pendampingan terhadap desa, dan diabaikannya dimensi sosial-ekologis. 

Sejak awal UU Desa dipahami hanya sebatas dana desa sehingga pelaksanaannya terperosok pada urusan birokratisasi dana desa. Sementara realisasi pengakuan hak asal-usul hilang dari wacana. Hak desa atas dana desa sudah diberikan, tetapi hak desa atas kewenangan yang dimandatkan UU Desa belum sepenuhnya diwujudkan.

Pemerintah pusat mengatur secara ketat penggunaan dana desa dengan pengawasan yang melibatkan banyak lembaga tanpa disertai penguatan literasi masyarakat desa. Sementara pemerintah kabupaten begitu kuat melakukan intervensi atas pencairan dan penggunaan dana desa. Dampaknya, desa-desa terjebak dalam urusan administratif dan mengabaikan demokrasi dan partisipasi warganya. Desa-desa juga dikondisikan tunduk pada kehendak kabupaten, melakukan "suap" pada pihak kabupaten demi kelancaran pencairan dana desa, dan rela dijadikan alat penguasa daerah untuk mendapatkan kekuasaan dalam politik pilkada. Padahal, UU Desa memandatkan pemerintah daerah berperan sebagai pendamping, bukan "bos" bagi desa. 

Miskinnya program pemberdayaan dan penguatan karakter kebudayaan dan kehidupan kolektif masyarakat desa bisa dinilai dari proporsi penggunaan dana desa, di mana lebih dari 80 persen untuk pembangunan infrastruktur. Sementara untuk pemberdayaan masyarakat hanya 7,8 persen, pemenuhan kebutuhan dasar 5,53 persen, pengembangan potensi ekonomi lokal 2,55 persen, pembinaan kemasyarakatan 1,05 persen. Dengan alokasi seperti ini, tak heran jika peningkatan secara signifikan kucuran dana desa tidak mampu mengurangi angka kemiskinan di perdesaan secara signifikan. 

Kurang daya 

Betapapun telah lahir UU Desa terbaru, tak ada perubahan dalam cara kita memandang dan memperlakukan desa. Desa tetap dilihat dan diperlakukan sebagai subsistem dari kota dan bukan ruang hidup dengan corak kehidupan perdesaan yang memiliki logika reproduksi dan regenerasinya sendiri. Cara pandang ini membawa konsekuensi serius bagi desa. 

Status desa condong menjadi sekadar "ruang hidup sementara", yang sewaktu-waktu bisa dibongkar, digusur, dan bahkan dihapuskan ketika negara atau korporasi membutuhkannya untuk dieksploitasi dan dikonversi menjadi ruang ekstraktif demi peningkatan pendapatan. Indikasinya, desa-desa penuh dengan izin investasi pertambangan, perkebunan sawit, properti, atau izin eksploitatif lainnya. Desa menjadi area perebutan sumber daya alam dan arena konflik agraria. 

Area desa bisa dengan mudah berpindah menjadi area konsesi korporasi atau lokus proyek strategis pemerintah, sementara warganya tak berdaya ketika dipaksa melepaskan hak mereka atas lahan dan ruang kehidupannya. 

Desa-desa di lingkar industri pertambangan dan perkebunan sawit, misalnya, kebanyakan warganya kehilangan lahan dan berubah status dari petani mandiri menjadi buruh. Ada desa yang keberadaannya dihapuskan karena areanya dikuasai korporasi atau menjadi lokus proyek strategis pemerintah. Bahkan desa-desa yang lahan pertaniannya sudah bersertifikat sekalipun, warganya bisa dengan mudah kehilangan haknya. Juga ada banyak desa yang kehilangan sebagian atau seluruh ruang hidupnya karena pemerintah secara sewenang-wenang menetapkan wilayah desa sebagai kawasan hutan. Padahal, warga sudah tinggal di desanya jauh sebelum republik ini berdiri. Ada lebih dari 30.000 desa yang berada di kawasan hutan tanpa akses atas sumber daya agraria. 

Dalam konteks posisi desa sebagai subsistem kota, UU Desa saja tak cukup untuk membela desa. Memang ada banyak peluang positif dalam UU Desa, tetapi peluang ini kurang daya berhadapan dengan ancaman kekuatan oligarki ekonomi-politik yang destruktif. Selain itu, UU Desa pada dirinya juga mengandung kelemahan. Salah satunya adalah ketentuan yang ada dalam UU Desa tidak cukup memberikan perlindungan bagi warga kebanyakan dari kesewenangan elite desa. 

UU Desa memberikan kuasa begitu besar pada kepala desa, tetapi tak menyediakan instrumen memadai bagi warga dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk melakukan kontrol. Akibatnya, pelaksanaan UU Desa di tingkat desa rentan penyelewengan oleh kepala desa dan para pembantunya. 

Dengan mempertimbangkan berbagai faktor di atas, refleksi atas UU Desa dan pelaksanaannya sampai pada kesimpulan, untuk memperkuat pembelaan terhadap desa, UU Desa harus dilaksanakan secara terintegrasi dengan UU lain yang memberikan perlindungan dan keadilan bagi desa, di antaranya UU Pokok Agraria, UU Penataan Ruang, UU tentang Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan, UU tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Lingkungan Hidup dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam. 

Akhir kata, sudah lama republik ini melakukan kekerasan pada desa. Karena itu, penting bahwa pelaksanaan UU Desa dilandasi oleh semangat pemulihan hak dan "tindakan afirmatif" bagi desa dengan sepenuhnya mewujudkan kewenangan desa atas ruang kehidupannya, pemulihan ruang hidup bagi desa-desa yang mengalami kerusakan ekologis dan menghentikan distorsi dalam pelaksanaan UU Desa. Dengan cara inilah kita membayar utang kita kepada desa.

Sri Palupi Peneliti Institute for Ecosoc Rights 

Kompas, 14 Februari 2018

0 komentar:

Putusan yang Kompromistis



Oleh: Zainal Arifin Mochtar
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang hak angket DPR terhadap KPK telah dibacakan. Pasal yang diuji sesungguhnya adalah pasal tentang angket di UU MD3 yang bolehkah ditafsirkan DPR dapat melakukan angket kepada lembaga yang menjalankan UU di luar eksekutif.

Putusan MK itu tidak aklamasi. Lima hakim berpendapat DPR dapat melakukan angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan empat hakim mengatakan tidak. Ketika membaca beritanya di berbagai media, di grup Whatsapp (WA), beberapa guru besar hukum memberikan pernyataan keanehan besar terhadap putusan MK ini. Bahkan, pada titik tertentu dapat dikatakan MK makin sering melangkah berderap, kelihatan gagah, tetapi ke arah yang keliru. 

Putusan aneh 

Dalam batas penalaran hukum, putusan MK kali ini dapat dikatakan amat aneh. Semua argumen MK dalam putusan ini dibangun dengan kaki yang rapuh, yakni perihal KPK adalah memiliki bagian dari fungsi eksekutif oleh karena mengambil dari logika KPK adalah lembaga yang menjalankan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada di ranah eksekutif. Karena kejaksaan dan kepolisian adalah bagian dari eksekutif, KPK pun sesungguhnya menjalankan fungsi eksekutif. Dan, karena menjalankan fungsi eksekutif, maka menjadi bagian dari obyek pengawasan DPR dalam bentuk angket. Obyek pengawasan DPR ini berada pada ranah yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan yang selain pelaksanaan tugas dan kewenangan di wilayah yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan).

Logika putusan MK di atas jelas aneh. Pertama, terlihat kontradiksi dalam pandangan mereka sendiri. MK mengatakan pintu masuk untuk melihat KPK sebagai eksekutif adalah karena KPK menjalankan tugas-tugas penanganan perkara korupsi (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan) sebagaimana kejaksaan dan kepolisian. Namun, MK kemudian mengatakan untuk hal ini dikecualikan dari pelaksanaan pengawasan DPR. Ini jelas membingungkan! Karena asal-muasal ke-eksekutif-an KPK berasal dari penyamaan KPK dengan kejaksaan dan kepolisian serta fungsi- fungsinya yang menyelidiki, menyidik, dan menuntut, tetapi kemudian terkhusus pelaksanaan fungsi itu dikecualikan dalam obyek pengawasan DPR. 

Maka, pertanyaannya mungkin bisa dibalik, apanya dari KPK yang boleh di-angket? Mengikuti logika MK: selain dari fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pertanyaan akan kembali terulang, berarti yang mana yang bisa diangket? Batasannya apa? Apakah pada dokumen penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ataukah termasuk info mekanismenya? Apakah DPR boleh masuk merevisi cara KPK menentukan tersangka misalnya? Cara berpikir seperti itu akan menimbulkan "saling klaim" nantinya. Atau penentuan gratifikasi, apakah ranah yang bisa diawasi oleh DPR atau itu bagian dari fungsi yudisialnya KPK yang menurut putusan MK tak boleh disentuh? Bisa jadi obyek yang dianggap bagian dari pengawasan oleh DPR malah oleh KPK dianggap bagian dari fungsi yudisial. Alias putusan ini hampir tidak membawa dampak besar terhadap penyelesaian sengkarut substansi debat antara DPR dan KPK. 

Kedua, logika menyamakan KPK dengan kejaksaan dan kepolisian tentu jadi keliru kalau kemudian dibingkai ke dalam konsep eksekutif. Kejaksaan dan kepolisian memang sangat berbau eksekutif jika didasarkan juga pada pengisian jabatannya. Kapolri dan Jaksa Agung memang berada pada wilayah pemilihan eksekutif. Hal yang sangat berbeda dengan KPK yang sangat independen dan bebas dari pengaruh cabang mana pun, terkhusus eksekutif. Makna terkhusus eksekutif ini memang karena logika lahirnya lembaga negara independen berbeda dengan lahirnya lembaga kejaksaan dan kepolisian. Lembaga independen lahir dari ketakpercayaan pada lembaga lama, terkhusus eksekutif, maka diindependenkan. Kejaksaan dan kepolisian tidak lahir dalam kondisi begitu. Itulah makin memperjelas rapuhnya pendapat MK di balik menyamakan KPK dengan ke-eksekutif-an kejaksaan dan kepolisian.

Ketiga, MK seakan-akan lupa bahwa bukan hanya KPK, semua lembaga negara independen ada bau eksekutif, legislatif, dan yudikatifnya. Maka, bagaimana membedakan KPK hanya boleh diangket karena dia eksekutif (kecuali fungsi yudisialnya) dengan lembaga negara independen lainnya yang memang banyak menyelenggarakan fungsi eksekutif seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)? Apakah untuk lembaga ini bisa diangket secara keseluruhan?
Keempat, putusan ini seperti "menjilat ludah sendiri". Melalui beberapa putusan sebelumnya, MK telah mendeklarasikan konsepsi KPK di dalam sistem ketatanegaraan: KPK sebagai lembaga negara yang indepeden serta memiliki kualitas constitutional importance. Bahkan, sudah ditegaskan secara prinsip bahwa KPK adalah lembaga negara independen yang bebas dari campur tangan kekuasaan mana pun dan mempunyai kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan institusi negara yang lain. 

Pertanyaannya adalah mengapa tiba-tiba MK seakan alpa dengan logika yang telah pernah dibangun dalam putusan terdahulu ini? Tentu saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa MK haram untuk berubah. Tidak bermaksud memvonis MK tidak boleh menegasikan putusan terdahulunya. Apalagi konstitusionalisme itu dipercayai hidup dalam langgam living constitutionalism, mengikuti zaman yang berkembang. Akan tetapi, apa penjelasan MK soal perubahan ini? Tidak ada sama sekali! Inilah yang membingungkan. Seharusnya MK menjelaskan mengapa dulu berpandangan begini dan mengapa kali ini berubah pandang. Mengapa dulu menyetarakan KPK dalam lembaga yudikasi dan sekarang malah masuk fungsi eksekutif. 

Belakangan MK memiliki penyakit alpa seperti ini. Mirip ketika perdebatan yang heboh tentang perluasan makna pasal di KUHP tentang zina. Yang hanya berselang beberapa tahun sebelumnya MK keukeuhsecara aklamasi menyatakan bahwa tidak boleh melakukan perluasan makna tafsiran aturan pidana, tetapi tiba-tiba terdapat empat hakim yang berbelok dan menyatakan boleh diluaskan makna aturan pasal pidana tentang zina. 

Maka, kita selaku publik yang belajar hukum akan bertanya kepada hakim-hakim tersebut, pandangan mana yang mengikat? Yang terdahulu atau yang sekarang? Luar biasanya lagi tidak ada penjelasan soal mengapa berubah. Hari ini tempe dan besok tahu seakan-akan hal yang biasa. Ataukah jangan-jangan mereka sedang mengatakan bahwa kami sebagai hakim yang beraliran pragmatis saja terhadap persoalan hukum? 

Cara MK memutus dengan begini itulah yang mengagregasi pertanyaan yang lebih besar. Apakah MK sedang kompromistis saja melalui putusan ini? Tidak menegasikan pandangan para politisi DPR tentang angket, tetapi juga masih mau kelihatan gagah dengan menjaga marwah kewenangan yudisialnya KPK sehingga tidak bisa dicampuri. Padahal, seperti yang dituliskan di atas, cara begitu malah melanggengkan sengkarut DPR dan KPK, khususnya soal apa yang boleh dan tidak boleh di-angket oleh DPR. 

Implikasi
 
Kita semua paham putusan MK mengikat setelah dibacakan. Akan tetapi, putusan ini akan membawa implikasi yang tidak kecil dan sangat harus dibincangkan sedari awal. Terutama tentu pada pelaksanaan hak angket itu sendiri. 

Jika ditilik pada konsep, pada dasarnya, hak angket disebut langsung dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945, yakni "Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat". Sejarah mencatat, logika yang sama ada dalam UUD RIS dan UUDS 1950. Semua sebenarnya ada pada logika angket itu ke pemerintah saja. Perdebatan terjadi akibat Pasal 79 Ayat 3 UU MD3 yang ada frasa "pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah". Melalui putusan MK ini MK mengatakan makna pemerintah tersebut termasuk fungsi eksekutif KPK. Karena itu, di ujungnya terdapat rekomendasi perbaikan yang jika tidak dijalankan bisa menjadi pintu masuk ke hak menyatakan pendapat. 

Di sinilah implikasi membingungkan itu menjadi terejawantah. Karena di ujung angket adalah rekomendasi dan dalam kasus KPK rekomendasi akan ke arah mana? Apakah ke KPK atau ke pemerintah secara keseluruhan? Kalau melihat rancangan rekomendasi yang beredar ke publik, beberapa waktu lalu, menjadi jamak karena bukan hanya ke KPK, melainkan juga ke pemerintah. Misalnya, salah satu rekomendasi dari DPR hasil pansus angket adalah perbaikan perekrutan kepegawaian KPK yang selama ini diatur dalam peraturan KPK. Tentu melalui putusan MK, DPR dapat berdalih itu bisa dilakukan karena masih dalam rangka non-yudisial. Jika itu tidak dilaksanakan oleh KPK, apa yang akan terjadi? 

Membingungkannya adalah relasi antara pemerintah dan KPK. Kita tentu paham bahwa DPR tidak bisa memaksa KPK secara tegas. Sebab, selain memiliki independensi, juga tidak ada ancaman hak menyatakan pendapat ke KPK tatkala rekomendasi tidak dijalankan. Nah, apakah berarti DPR bisa memaksa pemerintah agar menjalankan rekomendasi terhadap KPK? Bahkan, pertanyaannya, karena KPK disamakan dengan eksekutif, bisakah presiden memaksa KPK untuk menjalankan suatu hal akibat dari hasil pengawasan DPR? Jawabannya tentu tidak karena KPK dalam menjalankan fungsinya bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, termasuk presiden. 

Implikasi lainnya adalah bagaimana nasib lembaga-lembaga negara independen lainnya? Apakah putusan ini terkhusus untuk KPK? Kelihatannya tidak, oleh karena pasal yang diuji bukanlah UU KPK, tetapi berkaitan dengan UU MD3. Apakah artinya semua lembaga negara independen sepanjang menjalankan fungsi yang berbau eksekutif dan bukan fungsi yudisialnya dapat di-angket oleh DPR? Bagaimana dengan fungsi lembaga, seperti OJK, LPS, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang tugas utamanya adalah menjalankan fungsi eksekutif? Apakah berarti mereka bisa diangket hingga sedetail-detailnya? 

Implikasi yang paling berbahaya dari putusan aneh ini tentu saja adalah tingkat kepercayaan publik atas MK. Apalagi di tengah isu pelanggaran etik sang ketua MK yang dilempar oleh salah seorang anggota DPR yang mengakui ketua MK bertemu DPR dan menjanjikan salah satunya putusan ini sebagai imbalan terpilih kembali. Pertanyaan semakin membuncah adalah apakah putusan ini lahir dari logika hukum atau logika politik? Ataukah hanya putusan yang lahir dari kepentingan semata? Jika putusan ini lahir dari logika politik dan kepentingan semata, maka itu sama dengan pengkhianatan terhadap khitah MK yang menyelesaikan sengketa politik secara hukum. 

Zainal Arifin Mochtar Pengajar Fakultas Hukum UGM; Ketua PuKAT Korupsi FH UGM 

Kompas, 12 Februari 2018

0 komentar:

Swasembada Daging Kehilangan Arah



Oleh: Ronny Rachman Noor

Dalam beberapa bulan ke depan— menjelang bulan puasa—dapat dipastikan ritual tahunan gejolak harga daging kembali terjadi. Kondisi berulang ini akibat laju produksi daging tidak mampu mengikuti laju permintaan daging. 

Dalam upaya memecahkan masalah inilah program swasembada daging digulirkan lebih dari 10 tahun lalu. Namun, sejak awal, program swasembada daging mengundang pro dan kontra. Data empiris menunjukkan bahwa program swasembada daging tidak akan pernah dapat terwujud jika tidak ada langkah ekstrem dalam pembibitan sapi, tulang punggung penyedia ternak bakalan untuk ternak potong. 

Suplai kurang

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 menunjukkan, populasi sapi potong dalam kurun waktu 2009-2016 di Indonesia sebenarnya sudah sedikit meningkat. Akan tetapi, peningkatan tersebut belum mampu memenuhi permintaan kebutuhan daging nasional. 

Produksi daging sapi dalam negeri tahun 2017 malah defisit. Sapi lokal hanya mampu menyediakan 354.770 ton daging, sedangkan kebutuhan daging nasional mencapai 604.968 ton. Artinya, produksi daging nasional hanya mampu memenuhi 58,74 persen dari kebutuhan. Untuk memenuhi kekurangan 30-40 persen, pemerintah harus mengimpor sapi bakalan dan daging (Ditjen PHK, 2017).

Dari proyeksi Pola Konsumsi dan Produksi Daging Nasional Periode 2014-2020 yang diolah dari Pusdatin Pertanian (2016) diketahui kecenderungan kekurangan pasokan daging di Indonesia akan terus berlangsung sampai tahun 2020.

Jika data produksi daging dan konsumsi daging rumah tangga diproyeksikan sampai tahun 2020, maka pertumbuhan produksi daging sapi sampai tahun 2020 meningkat 1,93 persen, sedangkan laju peningkatan konsumsi daging pada periode yang sama mencapai 1,35 persen.

Namun, mengingat produksi daging ini belum dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, tahun 2020 akan terjadi kekurangan daging sapi 0,17 persen.

Belum berdampak

Program swasembada daging ini harus diakui berhasil menarik perhatian banyak pihak, termasuk dalam hal lebih besarnya pengalokasian anggaran untuk program ini dan program lain terkait bidang peternakan. Namun, jika dilihat pergerakan pola permintaan dan produksi daging dalam kurun waktu 2014-2020, program ini tidak banyak berdampak pada pengurangan gap antara permintaan dan produksi yang semakin melebar.

Upaya pengurangan impor sapi dan daging beku yang telah diupayakan dalam lima tahun terakhir memang sudah mulai terlihat dampaknya: penurunan angka impor sapi hidup dan daging, terutama yang berasal dari Australia. Namun, mengingat produk daging sapi lokal masih belum mampu memenuhi permintaan daging nasional, ke depan impor sapi hidup dan daging masih harus dilakukan.

Ketergantungan Indonesia akan sapi impor dalam pemenuhan kebutuhan daging memang sudah selayaknya diupayakan untuk terus diturunkan seiring dengan upaya untuk peningkatan produksi daging dalam negeri yang peran sapi lokal di dalamnya cukup besar.

Di samping pengurasan devisa, impor sapi hidup dan daging beku yang tidak terkendali akan meningkatkan ketergantungan Indonesia pada negara lain. Situasi ini akan menjadi sangat berbahaya ketika suatu saat nanti Indonesia tidak dapat lagi mengimpor sapi dan daging beku karena negara pengekspor menghentikan pasokan akibat perubahan situasi politik, bencana alam, dan faktor lainnya.

Program peningkatan populasi dilakukan melalui program sapi kembar dan juga pemasukan materi genetik sapi jenis belgian blue. Sapi ini berkarakter double muscle yang saat ini sedang digulirkan oleh Kementerian Pertanian secara matematis dapat meningkatkan produksi daging, tetapi secara teknis kedua program ini akan menghadapi banyak kendala, sehingga tingkat keberhasilan kedua program sangat kecil sebagai solusi dalam upaya peningkatan produksi daging nasional.

Hilang orientasi

Kehilangan orientasi dalam program swasembada daging nasional ini memang sangat mengkhawatirkan mengingat keterbatasan anggaran pemerintah. Hal ini mengharuskan penggunaan anggaran secara efisien dan tepat sasaran. Oleh sebab itu, daripada melaksanakan program mercusuar yang berdampak sangat kecil terhadap pencapaian swasembada daging, lebih baik memfokuskan program pemberdayaan ternak lokal melalui peningkatan mutu genetik dan perbaikan manajemen pemeliharaan dan pakan agar produktivitas dan populasinya meningkat.

Dalam jangka panjang program persilangan antara ternak lokal dan ternak eksotik harus diarahkan untuk membentuksynthetic breed yang komposisi gen dan produktivitasnya lebih stabil sehingga akan berfungsi sebagai ternak bibit dan dapat dikembangkan lebih lanjut melalui perbanyakan populasi ternak silangan dalam mendukung produksi daging nasional.

Oleh karena itu, ke depan, program pembentukan breed sintetik sapi Indonesia perlu dijadikan prioritas agar dalam jangka panjang Indonesia memilikibreed sapi yang dapat diandalkan produksi dagingnya dan dapat menunjang kebutuhan daging nasional.

Perlu reorientasi

Mengingat sulitnya mewujudkan program swasembada daging nasional, perlu adanya reorientasi visi ke arah swasembada protein hewani. Melalui program swasembada protein hewani, semua potensi ternak lokal penghasil daging seperti sapi, kambing, domba, ayam, itik, dan kelinci, juga telur seperti telur ayam, itik, puyuh, serta susu , akan dapat dilibatkan untuk mendukung program ini.

Di samping itu, sektor perikanan diharapkan dapat berperan besar mewujudkan swasembada protein hewani ini melalui peningkatan konsumsi ikan.

Program terpadu swasembada protein hewani ini diharapkan tidak saja mengefisienkan biaya, tetapi juga menghilangkan sekat-sekat yang selama ini menghambat kerja sama lintas sektor yang sangat diperlukan dalam pembangunan nasional. Dengan hilangnya sekat-sekat ini diharapkan swasembada protein hewani dapat diwujudkan dalam waktu dekat untuk mendukung program peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia mendatang yang lebih cerdas.

Ronny Rachman Noor Guru Besar Pemuliaan dan Genetika IPB, Adjunct Professor di University of New England, Australia

Kompas, 13 Februari 2018

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA