Oleh: Zainal Arifin Mochtar
Putusan Mahkamah
Konstitusi tentang hak angket DPR terhadap KPK telah dibacakan. Pasal yang
diuji sesungguhnya adalah pasal tentang angket di UU MD3 yang bolehkah
ditafsirkan DPR dapat melakukan angket kepada lembaga yang menjalankan UU di
luar eksekutif.
Putusan MK itu tidak aklamasi. Lima hakim berpendapat DPR
dapat melakukan angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan
empat hakim mengatakan tidak. Ketika membaca beritanya di berbagai media, di
grup Whatsapp (WA), beberapa guru besar hukum memberikan pernyataan keanehan
besar terhadap putusan MK ini. Bahkan, pada titik tertentu dapat dikatakan MK
makin sering melangkah berderap, kelihatan gagah, tetapi ke arah yang keliru.
Putusan aneh
Dalam batas
penalaran hukum, putusan MK kali ini dapat dikatakan amat aneh. Semua argumen
MK dalam putusan ini dibangun dengan kaki yang rapuh, yakni perihal KPK adalah
memiliki bagian dari fungsi eksekutif oleh karena mengambil dari logika KPK
adalah lembaga yang menjalankan fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada di
ranah eksekutif. Karena kejaksaan dan kepolisian adalah bagian dari eksekutif,
KPK pun sesungguhnya menjalankan fungsi eksekutif. Dan, karena menjalankan
fungsi eksekutif, maka menjadi bagian dari obyek pengawasan DPR dalam bentuk
angket. Obyek pengawasan DPR ini berada pada ranah yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan kewenangan yang selain pelaksanaan tugas dan kewenangan
di wilayah yudisialnya (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan).
Logika putusan MK di atas jelas
aneh. Pertama, terlihat kontradiksi dalam pandangan mereka sendiri. MK
mengatakan pintu masuk untuk melihat KPK sebagai eksekutif adalah karena KPK
menjalankan tugas-tugas penanganan perkara korupsi (penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan) sebagaimana kejaksaan dan kepolisian. Namun, MK kemudian
mengatakan untuk hal ini dikecualikan dari pelaksanaan pengawasan DPR. Ini
jelas membingungkan! Karena asal-muasal ke-eksekutif-an KPK berasal dari
penyamaan KPK dengan kejaksaan dan kepolisian serta fungsi- fungsinya yang
menyelidiki, menyidik, dan menuntut, tetapi kemudian terkhusus pelaksanaan
fungsi itu dikecualikan dalam obyek pengawasan DPR.
Maka, pertanyaannya mungkin bisa dibalik, apanya dari KPK
yang boleh di-angket? Mengikuti logika MK: selain dari fungsi penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan. Pertanyaan akan kembali terulang, berarti yang mana
yang bisa diangket? Batasannya apa? Apakah pada dokumen penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan ataukah termasuk info mekanismenya? Apakah DPR boleh
masuk merevisi cara KPK menentukan tersangka misalnya? Cara berpikir seperti
itu akan menimbulkan "saling klaim" nantinya. Atau penentuan
gratifikasi, apakah ranah yang bisa diawasi oleh DPR atau itu bagian dari
fungsi yudisialnya KPK yang menurut putusan MK tak boleh disentuh? Bisa jadi
obyek yang dianggap bagian dari pengawasan oleh DPR malah oleh KPK dianggap
bagian dari fungsi yudisial. Alias putusan ini hampir tidak membawa dampak
besar terhadap penyelesaian sengkarut substansi debat antara DPR dan KPK.
Kedua, logika menyamakan KPK dengan kejaksaan dan kepolisian
tentu jadi keliru kalau kemudian dibingkai ke dalam konsep eksekutif. Kejaksaan
dan kepolisian memang sangat berbau eksekutif jika didasarkan juga pada
pengisian jabatannya. Kapolri dan Jaksa Agung memang berada pada wilayah
pemilihan eksekutif. Hal yang sangat berbeda dengan KPK yang sangat independen
dan bebas dari pengaruh cabang mana pun, terkhusus eksekutif. Makna terkhusus
eksekutif ini memang karena logika lahirnya lembaga negara independen berbeda
dengan lahirnya lembaga kejaksaan dan kepolisian. Lembaga independen lahir dari
ketakpercayaan pada lembaga lama, terkhusus eksekutif, maka diindependenkan.
Kejaksaan dan kepolisian tidak lahir dalam kondisi begitu. Itulah makin
memperjelas rapuhnya pendapat MK di balik menyamakan KPK dengan ke-eksekutif-an
kejaksaan dan kepolisian.
Ketiga, MK seakan-akan lupa bahwa bukan hanya KPK, semua
lembaga negara independen ada bau eksekutif, legislatif, dan yudikatifnya.
Maka, bagaimana membedakan KPK hanya boleh diangket karena dia eksekutif
(kecuali fungsi yudisialnya) dengan lembaga negara independen lainnya yang
memang banyak menyelenggarakan fungsi eksekutif seperti Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)? Apakah untuk lembaga ini bisa
diangket secara keseluruhan?
Keempat, putusan ini seperti "menjilat ludah
sendiri". Melalui beberapa putusan sebelumnya, MK telah mendeklarasikan
konsepsi KPK di dalam sistem ketatanegaraan: KPK sebagai lembaga negara yang
indepeden serta memiliki kualitas constitutional
importance. Bahkan, sudah ditegaskan secara prinsip bahwa KPK adalah
lembaga negara independen yang bebas dari campur tangan kekuasaan mana pun dan
mempunyai kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan serta supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang
dilakukan institusi negara yang lain.
Pertanyaannya adalah mengapa tiba-tiba MK seakan alpa dengan
logika yang telah pernah dibangun dalam putusan terdahulu ini? Tentu saya tidak
bermaksud untuk mengatakan bahwa MK haram untuk berubah. Tidak bermaksud
memvonis MK tidak boleh menegasikan putusan terdahulunya. Apalagi
konstitusionalisme itu dipercayai hidup dalam langgam living constitutionalism,
mengikuti zaman yang berkembang. Akan tetapi, apa penjelasan MK soal perubahan
ini? Tidak ada sama sekali! Inilah yang membingungkan. Seharusnya MK
menjelaskan mengapa dulu berpandangan begini dan mengapa kali ini berubah
pandang. Mengapa dulu menyetarakan KPK dalam lembaga yudikasi dan sekarang
malah masuk fungsi eksekutif.
Belakangan MK memiliki penyakit alpa seperti ini. Mirip
ketika perdebatan yang heboh tentang perluasan makna pasal di KUHP tentang
zina. Yang hanya berselang beberapa tahun sebelumnya MK keukeuhsecara aklamasi menyatakan bahwa tidak boleh melakukan
perluasan makna tafsiran aturan pidana, tetapi tiba-tiba terdapat empat hakim
yang berbelok dan menyatakan boleh diluaskan makna aturan pasal pidana tentang
zina.
Maka, kita selaku publik yang belajar hukum akan bertanya
kepada hakim-hakim tersebut, pandangan mana yang mengikat? Yang terdahulu atau
yang sekarang? Luar biasanya lagi tidak ada penjelasan soal mengapa berubah.
Hari ini tempe dan besok tahu seakan-akan hal yang biasa. Ataukah jangan-jangan
mereka sedang mengatakan bahwa kami sebagai hakim yang beraliran pragmatis saja
terhadap persoalan hukum?
Cara MK memutus dengan begini itulah yang mengagregasi
pertanyaan yang lebih besar. Apakah MK sedang kompromistis saja melalui putusan
ini? Tidak menegasikan pandangan para politisi DPR tentang angket, tetapi juga
masih mau kelihatan gagah dengan menjaga marwah kewenangan yudisialnya KPK
sehingga tidak bisa dicampuri. Padahal, seperti yang dituliskan di atas, cara
begitu malah melanggengkan sengkarut DPR dan KPK, khususnya soal apa yang boleh
dan tidak boleh di-angket oleh DPR.
Implikasi
Kita semua paham putusan MK mengikat setelah dibacakan. Akan
tetapi, putusan ini akan membawa implikasi yang tidak kecil dan sangat harus
dibincangkan sedari awal. Terutama tentu pada pelaksanaan hak angket itu
sendiri.
Jika ditilik pada konsep, pada dasarnya, hak angket disebut
langsung dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945, yakni "Dalam melaksanakan
fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar
ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat". Sejarah mencatat, logika yang sama ada dalam UUD RIS
dan UUDS 1950. Semua sebenarnya ada pada logika angket itu ke pemerintah saja.
Perdebatan terjadi akibat Pasal 79 Ayat 3 UU MD3 yang ada frasa
"pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah".
Melalui putusan MK ini MK mengatakan makna pemerintah tersebut termasuk fungsi
eksekutif KPK. Karena itu, di ujungnya terdapat rekomendasi perbaikan yang jika
tidak dijalankan bisa menjadi pintu masuk ke hak menyatakan pendapat.
Di sinilah implikasi membingungkan itu menjadi terejawantah.
Karena di ujung angket adalah rekomendasi dan dalam kasus KPK rekomendasi akan
ke arah mana? Apakah ke KPK atau ke pemerintah secara keseluruhan? Kalau
melihat rancangan rekomendasi yang beredar ke publik, beberapa waktu lalu, menjadi
jamak karena bukan hanya ke KPK, melainkan juga ke pemerintah. Misalnya, salah
satu rekomendasi dari DPR hasil pansus angket adalah perbaikan perekrutan
kepegawaian KPK yang selama ini diatur dalam peraturan KPK. Tentu melalui
putusan MK, DPR dapat berdalih itu bisa dilakukan karena masih dalam rangka
non-yudisial. Jika itu tidak dilaksanakan oleh KPK, apa yang akan terjadi?
Membingungkannya adalah relasi antara pemerintah dan KPK.
Kita tentu paham bahwa DPR tidak bisa memaksa KPK secara tegas. Sebab, selain
memiliki independensi, juga tidak ada ancaman hak menyatakan pendapat ke KPK
tatkala rekomendasi tidak dijalankan. Nah, apakah berarti DPR bisa memaksa
pemerintah agar menjalankan rekomendasi terhadap KPK? Bahkan, pertanyaannya,
karena KPK disamakan dengan eksekutif, bisakah presiden memaksa KPK untuk
menjalankan suatu hal akibat dari hasil pengawasan DPR? Jawabannya tentu tidak
karena KPK dalam menjalankan fungsinya bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun,
termasuk presiden.
Implikasi lainnya adalah bagaimana nasib lembaga-lembaga
negara independen lainnya? Apakah putusan ini terkhusus untuk KPK? Kelihatannya
tidak, oleh karena pasal yang diuji bukanlah UU KPK, tetapi berkaitan dengan UU
MD3. Apakah artinya semua lembaga negara independen sepanjang menjalankan
fungsi yang berbau eksekutif dan bukan fungsi yudisialnya dapat di-angket oleh
DPR? Bagaimana dengan fungsi lembaga, seperti OJK, LPS, dan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU), yang tugas utamanya adalah menjalankan fungsi
eksekutif? Apakah berarti mereka bisa diangket hingga sedetail-detailnya?
Implikasi yang paling berbahaya dari putusan aneh ini tentu
saja adalah tingkat kepercayaan publik atas MK. Apalagi di tengah isu
pelanggaran etik sang ketua MK yang dilempar oleh salah seorang anggota DPR
yang mengakui ketua MK bertemu DPR dan menjanjikan salah satunya putusan ini
sebagai imbalan terpilih kembali. Pertanyaan semakin membuncah adalah apakah
putusan ini lahir dari logika hukum atau logika politik? Ataukah hanya putusan
yang lahir dari kepentingan semata? Jika putusan ini lahir dari logika politik
dan kepentingan semata, maka itu sama dengan pengkhianatan terhadap khitah MK
yang menyelesaikan sengketa politik secara hukum.
Zainal Arifin Mochtar Pengajar Fakultas Hukum UGM; Ketua
PuKAT Korupsi FH UGM
Kompas, 12 Februari 2018
0 komentar:
Posting Komentar