Tak Ada Lagi Orang Suci
POLITIK uang yang menggila dalam
pileg lalu sangat mungkin terulang dalam Pilpres 9 Juli besok. Bahkan bisa
lebih brutal.
Jabatan presiden adalah kunci pembuka ruang untuk berkuasa.
Siapa pun akan mengerahkan kemampuan finansialnya untuk menjadi RI-1. Tak
ada orang suci dalam demokrasi transaksional.
Orang suci telah jadi bagian dari dongeng masa lalu, ketika
perjalanan sejarah bangsa menempatkan integritas kejuangan di rak susun paling
atas. Saat itu politikus pejuang menjadi pilihan kolektif hampir semua anak
bangsa: apa pun risikonya!
Ada ideologi dan idealisme yang menggerakkan para politikus
pejuang untuk menegakkan eksistensi dan martabat negeri ini. Kerja keras mereka
yang penuh integritas dan komitmen jauh lebih panjang daripada jam tidurnya. Di
hati, pikiran, detak jantung, dan aliran darah mereka yang ada hanya rakyat.
Kini didih ideologi dan idealisme itu kian menguap dan
digantikan impian-impian tentang kamukten (kelimpahan harta benda). Puncak dari
seluruh perjuangan politik bukan lagi terciptanya negara kesejahteraan,
melainkan hedonisme.
Jagat politik kini lebih terminologi seperti marketing, cost
product, kapitalisasi potensi dan media terkait upaya melahirkan seorang tokoh
yang maknanya terdistorsi jadi sekadar pesohor. Popularitas telah menggantikan
etos kerja, etika, moralitas dan dedikasi yang semestinya dimiliki
politikus pejuang. Politikus salon dan bebotoh kapital kini telah menggusur
kesatria konstitusi berkapasitas orang suci dan arif.
Dalam latar gelap itu, rakyat kehilangan harapan munculnya
para pembebas, reformer yang memiliki orientasi profetik. Impian tentang
”joko-joko pingit” sejarah telah pupus di cakrawala putus asa. ”Joko pingit”
telah digantikan ”joko kendil-joko kendil” yang hanya berpikir soal perolehan
material dan dipingit kuasa modal. Mereka tak lebih boneka-boneka yang
digerakkan dan dimainkan mesin neoliberalisme yang menendang fungsi dan peran
negara ke pinggiran.
Neoliberalisme tak butuh pemimpin bangsa-negara, tetapi
orang-orang patuh untuk di-casting menjadi lurah pasar atau mandor perusahaan.
Tugas mandor adalah menjaga keadaan tetap kondusif demi lancarnya perdagangan
internasional dan investasi. Neoliberalisme memberi janji, keajaiban tangan
pasar bebas akan mampu meningkatkan taraf hidup rakyat.
Kini banyak tokoh nasional berebut posisi menjadi
presiden dengan seluruh modal politik dan ekonominya. Bergumpal-gumpal uang
dilempar kepada masyarakat, tempat ratusan juta mulut menganga. Kedaulatan
rakyat pun akan menjelma jadi kedaulatan uang, seiring kian menguatnya
kedaulatan pasar bebas.
Lomba panjat pinang
Para tokoh politik nasional berbagai parpol gigih menggelar
teater koalisi demi merebut kursi presiden. Mereka melontarkan berbagai
retorika politik, seolah- olah koalisi ini serius dan memiliki karakter dan
corak ideologi serta memperjuangkan aspirasi rakyat. Padahal, yang terjadi tak
lebih dari kerja sama biasa, sarat kepentingan jangka pendek.
Ibarat lomba naik pohon pinang, parpol-parpol kuat memanfaatkan
parpol-parpol menengah dan kecil untuk mau jadi alas kaki, sehingga
parpol-parpol kuat bisa naik dan mengambil hadiah. Hadiah, misalnya jabatan
menteri, itu akan dibagi berdasar kontribusi masing-masing.
Maka, sebagai rakyat biasa, ada baiknya kita menyiapkan diri
untuk kecewa. Pilpres yang kita sangka akan membawa perubahan menuju sistem
ekonomi yang pro rakyat pada akhirnya hanya akan melahirkan mandor besar dan
mandor-mandor kecil dalam kekuasaan pasar bebas.
Pilpres tak lebih dari panggung teater para aktor politik
yang berlagak mengusung ideologi dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Siapa pun yang menang dalam pilpres, neoliberalismelah yang
jadi teks utama/pokok bagi praktik ekonomi domestik. Rakyat hanya bisa
berharap keajaiban pasar benar-benar hadir untuk mengubah nasib buram ratusan
juta orang miskin. Presiden dan eksekutif lainnya paling pol hanya bisa
dimintai tolong untuk menyampaikan harapan itu kepada penguasa kapital
sesembahan mereka. Perkara dikabulkan atau ditolak, itu bukan urusan mereka.
Demokrasi liberal-transaksional yang tidak memberi ruang
kepada orang-orang suci, para pemimpin bangsa dan kesatria- kesatria konstitusi
akhirnya hanya jadi demokrasi tipu daya bagi rakyat. Keajaiban pasar bebas yang
mampu meningkatkan taraf hidup rakyat seperti digemborkan para politisi
dan intelektual neolib itu hanya akan berhenti sebagai jargon.
Dalam hegemoni neoliberalisme, sangat sulit mengharapkan
hasil pileg dan pilpres mampu menciptakan masa depan yang gemilang. Justru
kemiskinan kolektiflah yang menjadi masa depan rakyat.
”Itulah kutukan uang,” ujar orang suci. Namun, tak ada orang
yang mendengar di negeri yang telah berubah menjadi pasar dan dipenuhi
juragan dan makelar.
Indra Tranggono
Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

0 komentar:
Posting Komentar