Manipulasi Suara di Pilpres
DALAM
hal politik uang, manipulasi surat suara, dan kecurangan dalam proses
penghitungan suara, Pemilu Legislatif 9 April lalu dianggap sebagai yang
paling brutal dalam sejarah pemilu di Indonesia.
Bagaimana dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden 9 Juli ini? Akankah kondisi yang lebih kurang serupa terjadi lagi?
Dalam Pileg 9 April, praktik kecurangan pemilu pada tahap persiapan,
pelaksanaan, dan pasca coblosan melibatkan para penyelenggara pemilu:
KPUD, Bawaslu daerah, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS),
Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Modusnya beragam. Dari manipulasi daftar pemilih tetap, mobilisasi
surat undangan coblosan (formulir C6) hanya untuk warga pendukung
kandidat tertentu, perubahan komposisi perolehan suara pada formulir C1,
penggantian kotak suara di perjalanan dari TPS menuju kelurahan atau
kecamatan, dan seterusnya.
Masalahnya, KPUD, Bawaslu daerah, PPK, PPS, dan KPPS pada Pilpres 9
Juli mendatang umumnya masih diisi orang- orang yang sama dengan saat
pileg lalu. Para penyelenggara pilpres umumnya orang-orang dengan
mentalitas dan kepentingan yang lebih kurang sama dengan para
penyelenggara pileg.
Jika seorang anggota PPK atau PPS mendapatkan Rp
300.000 sebagai ”uang tutup mulut” atas manipulasi suara yang terjadi
pada pileg lalu, misalnya, mereka mungkin telah membayangkan atau
berharap akan dapat ”uang tutup mulut” dengan nilai yang sama bahkan
lebih pada pilpres hari ini.
Perlu digarisbawahi, yang dihadapi KPPS, PPS, dan PPK dalam pilpres
adalah para saksi dan tim sukses masing-masing kandidat atau partai
politik dengan mentalitas yang juga tidak lebih baik dibandingkan saat
pileg lalu. Orang-orang politik yang di dalam benaknya pertama-tama
bukanlah bagaimana mewujudkan politik yang jujur dan adil, tetapi
bagaimana memenangkan kandidat yang mereka dukung: apa pun caranya, tak
peduli melanggar UU dan bertindak curang terhadap lawan politik atau
masyarakat. Mereka tahu titik lemah para penyelenggara pemilu dalam soal
politik uang dan akan berusaha memanfaatkannya dengan modal yang mereka
miliki.
Potensi-potensi kecurangan di atas sudah di depan mata, masalah paling
berat dalam penyelenggaraan pilpres kali ini. Serangan fajar sebelum
coblosan, manipulasi daftar pemilih tetap alias DPT dan formulir
undangan coblosan, serta manipulasi proses penghitungan suara adalah
ancaman serius bagi kualitas dan legitimasi pilpres kali ini.
Keunggulan elektabilitas pasangan Jokowi-JK sebesar 7-10 persen bisa
jadi sia-sia dan hanya menjadi ”macan kertas” belaka jika mereka tidak
berhasil mengantisipasi empat hal di atas, terutama hal terakhir.
Sebaliknya, upaya keras pasangan Prabowo- Hatta mengatasi ketertinggalan
elektabilitas yang mulai menunjukkan keberhasilan belakangan ini juga
akan sia-sia jika berbagai bentuk manipulasi pemilu itu tidak
diantisipasi dengan sungguh-sungguh.
Harga sebuah kecurangan
Pada akhirnya, yang rugi besar tentu saja seluruh masyarakat Indonesia.
Upaya untuk mendapatkan pemimpin terbaik melalui proses yang demokratis
dan adil terbentur oleh kecurangan- kecurangan pemilu yang bersifat
sistemik dan masif. Pertanyaannya kemudian, berapa besar potensi
kecurangan tersebut?
Melakukan politik uang dan manipulasi suara dalam pilpres memang tak
semudah dalam pileg. Politik uang dan manipulasi suara dalam pileg lebih
mudah dilakukan karena lingkup operasinya hanya satu daerah pemilihan
yang terdiri atas 1-4 kabupaten/kota. Politik uang dan manipulasi suara
juga lebih mudah disembunyikan dalam pileg karena kandidatnya banyak
dan pilihan yang harus dicoblos juga beragam: DPR, DPRD I, DPRD II, dan
DPD. Politik uang dan manipulasi suara jauh lebih sulit dalam pilpres
karena lingkup operasinya nasional dan dengan pilihan terbatas: memilih
satu dari hanya dua kandidat.
Namun, mari kita simak sisi yang lain. Berdasarkan data Bawaslu pusat,
dari 6.524 kecamatan yang ada di Indonesia, terdapat 2.151 kecamatan
yang rawan terjadi kecurangan. Dari total 2.151 kecamatan itu,
perinciannya adalah 729 kecamatan tergolong sangat rawan dan 1.422
kecamatan tergolong rawan. Perlu digarisbawahi, data ini berlaku untuk
pileg ataupun pilpres.
Selain itu, partai-partai besar yang bergabung dalam koalisi pendukung
capres-cawapres sangat memahami bagaimana menggerakkan mesin partai
untuk memenangi pemilu: apa pun caranya, legal atau ilegal, jujur
ataupun curang. Mereka telah berpengalaman dalam hal kecurangan pemilu,
baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. Mereka tampaknya juga telah
bersiap-siap untuk melakukan atau mengantisipasinya: berapa pun harga
yang harus dibayar.
Kita tentu berharap politik uang dan perilaku manipulatif diantisipasi
dengan politik yang berpegang pada peraturan dan etika. Namun, bisa saja
politik uang dan perilaku manipulatif akan dihadapi dengan politik uang
dan perilaku manipulatif pula. Terutama jika kubu-kubu yang sedang
bertarung menganggap kekuasaan dan kursi presiden sebagai tujuan utama
yang harus diraih: apa pun caranya.
Politik uang dan terutama manipulasi penghitungan suara adalah masalah
utama dalam pilpres kali ini. Sayangnya, perhatian publik terhadap
masalah ini masih terasa kurang.
Ruang publik kita terlalu berisik dengan perdebatan tentang
elektabilitas capres dan potensi kemenangan masing-masing. Perhatian
publik dan pemerintah terhadap aspek-aspek pendidikan memilih bagi warga
negara jauh menurun dibandingkan sebelum pileg lalu. Masyarakat harus
didorong untuk secara swakarsa mengawasi, mencatat, dan melaporkan
proses-proses persiapan, pelaksanaan, dan penghitungan suara.
Agus Sudibyo
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia

0 komentar:
Posting Komentar