Indonesia Memilih
RAKYAT Indonesia akhirnya memutuskan
masa depannya. Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei mengonfirmasi,
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul 4-5 persen atas Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa. Jika hitung cepat mencerminkan hasil akhir Pilpres 2014, Joko Widodo
bakal menjadi presiden ketujuh negeri ini. Apa beda pilpres kali ini, mengapa
Joko Widodo, apa pula tantangannya ke depan?
Terlepas dari soal menang kalah, kita patut bersyukur bahwa
perhelatan pilpres tidak hanya berlangsung relatif aman dan damai, tetapi juga
ditandai tingkat antusiasme dan partisipasi pemilih yang cukup tinggi. Sejumlah
lembaga survei memperkirakan, partisipasi masyarakat dalam Pilpres 2014 sangat
mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan pemilu legislatif 9 April 2014.
Indikasi tingginya antusiasme rakyat berpartisipasi dalam
pilpres kali ini sudah tampak di sejumlah negara ketika warga negara Indonesia
yang berada di luar negeri menggunakan hak pilih mereka 4-5 hari yang lalu. Sebagian
pemilih di Hongkong bahkan amat kecewa karena hak politik mereka tidak dapat
digunakan akibat kecerobohan KPU yang tidak mengantisipasi membeludaknya jumlah
pemilih.
Salah satu faktor penting di balik semua ini adalah hadirnya
sosok Joko Widodo (Jokowi). Sejak berhasil sebagai Wali Kota Solo (2005-2012),
kemudian memenangi Pilkada DKI Jakarta hampir dua tahun lalu, Jokowi muncul
sebagai sosok pemimpin fenomenal. Gaya kepemimpinan yang merakyat melalui cara
blusukan, tampil tidak formal, dan tak berjarak benar-benar membuat Jokowi
berbeda dengan yang lain.
Melalui gaya kepemimpinan demikian, Jokowi tidak hanya
memutus mata rantai birokrasi yang cenderung ”asal bapak senang”,
berbelit-belit, dan korup, tetapi juga mendengar langsung apa yang menjadi aspirasi
dan keluhan rakyat pada tingkat yang paling bawah.
Memang benar blusukan yang dianggap mirip dengan ”turba”
alias turun ke bawah itu tidak hanya dilakukan Jokowi. Namun, saya kira hanya
Jokowi yang konsisten melakukannya. Mantan Wali Kota Solo ini bahkan menjadikan
blusukan sebagai bagian dari model kepemimpinan baru, antitesis dari model
kepemimpinan priayi-keraton yang cenderung (minta) dilayani ketimbang melayani.
Melalui blusukan, Jokowi juga membongkar paradigma lama
tentang kekuasaan, dari sesuatu yang eksklusif, terpusat, seragam, steril, dan
berjarak dari rakyat menjadi sesuatu yang inklusif, menyebar, menyentuh,
melayani, bahkan menyatu dalam keseharian rakyat.
Pertarungan dua kutub
Sulit dimungkiri, persaingan antara Jokowi-JK dan
Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 bukan sekadar kompetisi antardua pasang
capres, melainkan juga pertarungan dua kutub narasi politik yang bertolak
belakang satu sama lain.
Di satu pihak, Jokowi mewakili kehendak untuk melakukan
perubahan atas dasar kejujuran, kesederhanaan, kesediaan untuk melayani, dan
langkah-langkah konkret yang dibutuhkan rakyat kebanyakan. Bagi Jokowi yang
wong ndeso, kekuasaan bukanlah sesuatu yang sakral, melainkan suatu tanggung
jawab yang harus selalu hadir dalam keseharian bersama rakyat. Saya kira salah
satu sumber kekuatan Jokowi terletak di sini.
Di pihak lain, Prabowo mewakili keinginan publik akan
perubahan melalui hadirnya sosok pemimpin yang kuat, tegas, dan macho dengan
segala kemegahan kekuasaan yang melekat pada dirinya. Tidak mengherankan jika
hampir semua simbol kemegahan Soekarno dan Soeharto dilekatkan pada penampilan
publik Prabowo—mulai dari kuda, tongkat komando, peci, hingga baju kebesaran
bersaku empat.
Prabowo memanfaatkan kerinduan sebagian publik atas
”kenyamanan” Orde Baru, seolah-olah kekuasaan koruptif dan tak terkontrol
Soeharto selama tiga dekade itu layak didaur ulang sebagai rujukan perubahan ke
depan. Prabowo dan elite pendukungnya lupa bahwa kerinduan atas Orde Baru itu
sesungguhnya semu belaka. Singkatnya, Jokowi merepresentasikan narasi perubahan
yang menarik garis batas dengan masa lalu, sedangkan Prabowo sebagai ”anak
Menteng” yang mapan, mewakili narasi perubahan yang mengalami disorientasi
karena justru hendak memanfaatkan sentimen kejayaan masa lalu.
Dua pola kecenderungan yang saling bertolak belakang ini
adalah realitas politik sekaligus problem kontemporer Indonesia hari ini.
Ambiguitas itu tidak hanya tampak di balik capaian reformasi, tetapi juga dalam
pilpres kemarin. Di satu pihak, ada keinginan sebagian kalangan yang hendak
merebut masa depan tanpa beban masa lalu. Di pihak lain, sebagian dari kita
ingin perubahan, tetapi dengan membiarkan diri terpenjara dengan masa lalu.
Sayang, kompetisi yang semestinya bisa dilakukan secara
sportif, cerdas, dan beradab itu dinodai manipulasi amat berlebihan atas isu
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sehingga perdebatan tentang
kompetensi, rekam jejak, dan komitmen capres-cawapres terpinggirkan. Akibatnya,
tim sukses dan pendukung capres pun lebih menonjolkan sikap dan perilaku
emosional-konfrontatif mereka ketimbang sikap dan perilaku
rasional-konstruktif.
Pertarungan lebih keras berlangsung di media sosial, seperti
Facebook dan Twitter. Berbagai isu SARA yang belum dikonfirmasi kebenarannya
digoreng, dimanipulasi, dipelintir, dan diputarbalikkan sehingga seolah-olah
benar adanya. Cara Jokowi mengenakan pakaian ihram ketika berumrah ke Tanah
Suci pun dipelintir sedemikian rupa seolah-olah semua itu ada hubungannya
dengan kebutuhan bangsa kita akan capres yang amanah dan kompeten.
Belum waktunya pesta
Apabila hasil penghitungan suara secara resmi oleh KPU sama
atau mendekati sama dengan hasil hitung cepat sebagian besar lembaga survei
yang diumumkan kemarin, belum waktunya bagi Jokowi-JK untuk berpesta.
Kemenangan dalam pemilu hanyalah ”pintu pertama” dari kerja
besar, keras, dan panjang pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla yang membutuhkan
dukungan berbagai elemen bangsa lainnya, termasuk berbagai unsur pendukung
pasangan yang kalah, Prabowo-Hatta.
Karena itu, salah satu agenda jangka pendek yang mendesak
bagi Jokowi adalah merekatkan kembali tali persaudaraan sebangsa sekaligus
sebagai upaya rekonsiliasi dan pemulihan keterbelahan politik dan luka sosial
yang ditinggalkan pilpres. Luka itu bukan semata-mata disebabkan perbedaan
pilihan politik antarwarga, tetangga, dan kerabat, melainkan juga akibat
kampanye hitam yang melampaui batas.
Sulit dibantah bahwa jenis kampanye yang berisi fitnah yang
bersifat sektarian atas capres tertentu meninggalkan luka yang dalam bagi
pendukungnya. Mereka yang terluka dan merasa telah melukai saudara sebangsanya
perlu diajak turut mengubur prasangka, benci, dan dendam demi masa depan
Indonesia baru yang lebih baik.
Tantangan ke depan
Terkait koalisi parpol pendukungnya, jika benar-benar
terpilih, ke depan Jokowi-JK tampaknya sulit menghindari munculnya friksi, baik
dalam konteks relasi internal koalisi maupun dalam konteks relasi Presiden
Jokowi dengan DPR selaku partner utama pemerintah dalam pembentukan kebijakan.
Friksi internal berpeluang muncul ketika Jokowi membentuk
kabinet yang akan menjalankan program-program dan janji politiknya. Di satu
pihak, Jokowi berani menjanjikan ”koalisi tanpa syarat”. Namun, di lain pihak,
parpol pendukung tentu berharap akan memperoleh bagian kekuasaan yang layak
setelah turut ”berkeringat” memenangkan Jokowi-JK dalam pilpres.
Singkatnya, tarik-menarik kepentingan politik akan sangat
kencang ketika tiba waktunya bagi Jokowi-JK menyusun kabinet ”tim impian” yang
profesional. Friksi politik dan tarik-menarik itu tidak hanya terjadi di antara
parpol pendukung (Partai Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI), melainkan juga
kemungkinan besar terjadi di internal PDI Perjuangan sebagai basis politik
Jokowi.
Sementara itu, secara eksternal, tantangan Jokowi adalah
bagaimana meyakinkan parpol di DPR bahwa pilihan-pilihan kebijakan yang diambil
pemerintahnya benar-benar berorientasi kepentingan rakyat dan bangsa kita.
Persoalannya, peta kekuatan koalisi parpol pendukung hanya
mencakup sekitar 37 persen dari kekuatan DPR, sedangkan total kekuatan parpol
oposisi mencakup 73 persen. Apalagi, jika benar bahwa pimpinan DPR tidak lagi
bersifat otomatis sesuai hasil pemilu legislatif, tetapi dipilih melalui
pemungutan suara.
Dengan demikian, Jokowi harus berjuang keras di DPR agar
kebijakan-kebijakan yang direncanakannya tidak ”diganggu” parpol oposisi di
Senayan. Kemampuan Jokowi mengelola dan mengapitalisasi dukungan electoral yang
diperolehnya akan sangat menentukan, apakah relasi presiden-DPR mendatang
cenderung konfliktual atau sebaliknya, bisa saling bekerja sama satu sama lain.
Persoalannya kembali pada—meminjam ungkapan yang sering
dikemukakan Jokowi—ada atau tidaknya kemauan dan niat kita, termasuk parpol di
DPR, untuk bersama-sama menyingsingkan lengan baju menata bangsa menjadi lebih
baik.
Syamsuddin Haris
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

0 komentar:
Posting Komentar