Harapan Baru, Tantangan Lama
HASIL hitung cepat sampai pukul
15.00 WIB, Rabu (9/7), menunjukkan keunggulan bagi pasangan Joko Widodo-M Jusuf
Kalla dalam Pilpres 2014. Kecuali terjadi sesuatu yang sangat ”spektakuler”,
selisih rata-rata sebesar 5 persen telah memberikan sinyal kepastian bahwa
pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla akan memimpin Indonesia dalam lima tahun ke
depan.
Tulisan berikut bertujuan untuk menyatakan bahwa kemenangan
Joko Widodo-M Jusuf Kalla (Jokowi-JK) ini menyampaikan tidak hanya harapan,
tetapi juga tantangan.
Harapan baru
Harapan itu pertama-tama terkait dengan perjalanan demokrasi
kita. Terlepas dari beragam kekisruhan politik dan hukum yang ada dalam 15
tahun terakhir, demokrasi kita tampak masih memberikan sebersit harapan.
Bagaimanapun, Jokowi menyimbolkan pemimpin yang lahir dari
”rahim” demokrasi. Jokowi tidak tercatat dalam pentas politik Indonesia sebelum
munculnya era Reformasi. Jokowi bukan siapa-siapa dalam panggung politik
Indonesia ketika Soeharto masih berkuasa.
Jokowi adalah hasil dari proses seleksi demokrasi yang
dihasilkan secara berjenjang mulai dari tingkat lokal, provinsi, hingga
nasional. Jokowi adalah personifikasi dan simbolisasi dari harapan publik bahwa
orang biasa dapat menghasilkan prestasi luar biasa.
Dalam seluruh perjalanan karier politiknya ini, credit point
tentu saja harus kita berikan kepada Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum
PDI-P. Tanpa keputusan yang dibuat Megawati pada bulan Maret lalu, seluruh
proses seleksi demokratik untuk mengajukan Jokowi tentu saja tidak akan dapat
berjalan.
Pilihan pada Jokowi tampaknya dipengaruhi oleh pertimbangan
khusus. Ada kesadaran kuat bahwa kunci untuk memperjuangkan kepentingan
nasional Indonesia menghadapi abad ke-21 adalah kehadiran pemimpin nasional
yang merakyat, memiliki kredibilitas, dan satunya perkataan dengan perbuatan.
Harapan itu semakin menguat ketika kemunculan Jokowi tidak
disertai dengan melakukan pengasingan secara total generasi kepemimpinan
sebelumnya.
Jusuf Kalla sebagai pasangan Jokowi adalah tokoh yang
mewakili periode sebelumnya itu. Ada keinginan yang sangat kuat untuk
meletakkan tradisi baru bahwa kepemimpinan nasional bukan ditentukan atas dasar
kriteria ”tua’’ dan ”muda”, melainkan atas dasar kredibilitas, satunya kata
dengan perbuatan dan keberpihakan kepada rakyat.
Tantangan lama
Kepemimpinan yang kredibel, berorientasi tindakan, dan
merakyat tentu saja sangat penting. Ia merupakan prasyarat awal untuk
memobilisasi dukungan. Suatu kebijakan tidak akan menjadi efektif jika pembuat
kebijakan puncak, dalam hal ini presiden, dipandang oleh publik hanya pintar
berkata-kata. Namun, harus pula kita pahami bahwa setiap kebijakan selalu
berada dalam kerangka kelembagaan yang ada.
Salah satunya yang paling penting adalah kerangka APBN kita.
Kebijakan fiskal menjadi sangat penting pula karena kebijakan moneter pasca
Orde Baru tidak lagi berada di bawah otoritas eksekutif. Karena itu, tantangan
lama yang harus dihadapi oleh Jokowi dan JK adalah menyikapi struktur fiskal
yang diwariskan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk
memajukan kesejahteraan rakyat dan program pembangunan infrastruktur.
Alternatif kebijakan
Jika kita merujuk pada struktur anggaran tiga tahun
terakhir, berbagai program pembangunan infrastruktur dan bantuan kesejahteraan
yang dicanangkan oleh pemerintah berikutnya tidaklah mudah. Ia hanya dapat
direalisasikan dengan beberapa alternatif kebijakan berikut.
Pertama, dengan mengubah struktur komposisi belanja negara
tanpa mengubah struktur pendapatannya. Ini berarti pengurangan secara drastis
subsidi (khususnya BBM dan listrik yang berada pada angka sekitar Rp 400
triliun) dan mengalihkannya ke berbagai program lain.
Istilah yang kemudian harus disebarluaskan adalah pengalihan
subsidi, bukan penghapusan subsidi. Namun, pilihan kebijakan ini tentu saja
akan dengan mudah dimanfaatkan. Pasti akan memunculkan tekanan politik
parlemen, baik formal maupun jalanan.
Harus dicatat bahwa struktur kekuatan politik kepartaian di
DPR tidak hanya menggambarkan fenomena hung parliament, yaitu tidak adanya
partai politik yang dominan. Namun, jumlah kursi partai yang mendukung Jokowi
dan JK secara numerik tertinggal dibandingkan dengan yang bukan pendukungnya.
Kedua adalah dengan mengubah struktur pendapatan negara.
Artinya, subsidi BBM dan listrik tetap dapat dilanjutkan bersamaan dengan
menguatnya program bantuan kesejahteraan.
Opsi seperti ini dimungkinkan jika terdapat peningkatan
rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Saat ini rasio pajak terhadap
PDB hanya sekitar 12 persen. Peningkatan 2 persen rasio pajak terhadap PDB saja
diperkirakan memberikan pendapatan negara sebesar Rp 200 triliun. Apakah
peningkatan ini dimungkinkan tanpa mengubah UU Pajak?
Beberapa pihak menyatakan dimungkinkan jika diterapkan
kebijakan khusus menghadapi mafia pajak, perbaikan sistem perpajakan yang baik,
misalnya dengan mengoptimalkan praktik e-government atau e-budgeting, serta
penataan institusi penarikan pajak dengan menempatkannya langsung di bawah
presiden dan bukan di bawah kementerian keuangan.
Ketiga adalah dengan melakukan terobosan kebijakan
pengelolaan utang. Terobosan kebijakan pengelolaan utang menawarkan dua
alternatif.
Pertama, menunda pembayaran utang dan mengalihkan dana
pembayaran utang itu ke program penguatan bantuan kesejahteraan dan pembangunan
infrastruktur. Kedua, memperbesar utang. Pilihan ini hanya dimungkinkan jika
terdapat perubahan dalam kerangka hukum tentang defisit anggaran yang
patokannya tidak boleh melebihi angka 3 persen terhadap PDB. Beberapa negara
sebenarnya telah melakukan ini. Amerika Serikat kini hampir mencapai 8 persen
dari PDB-nya.
Namun, setiap pilihan pengelolaan utang di atas bukan tanpa
masalah. Pilihan menunda pembayaran utang dapat memunculkan masalah
credit-worthiness Indonesia bagi para pelaku investor keuangan. Pilihan
memperbesar utang dapat mengakibatkan semakin tidak sehatnya struktur fiskal.
Saat ini saja diperkirakan sekitar 1/7 belanja anggaran dalam APBN Indonesia
dibiayai oleh utang.
Intinya adalah masih akan terdapat jalan panjang untuk
mewujudkan kesejahteraan bangsa. Satu hal yang pasti adalah modal awal—yaitu
kredibilitas, merakyat, dan berorientasi tindakan—sudah dimiliki. Barangkali
yang tertinggal, seperti yang kerap diungkapkan Jokowi, adalah kerja dan
implementasi.
Makmur Keliat
Pengajar FISIP Universitas Indonesia

0 komentar:
Posting Komentar