Perang Komunikasi
PADA
masa perang, publisis yang patriotik dengan tulus mengabdi kepada
negara. Tanpa ragu disebut sebagai partisan. Padahal, menjadi partisan
dalam kerja komunikasi, khususnya jurnalisme, merupakan tindakan amoral.
Namun, panggilan suci demi negara menabalkan partisanship disertai
moral suci. Akan tetapi, kapan suatu peperangan dapat dimasuki para
publisis?
Tidak setiap aksi militer dapat disebut sebagai peperangan. Perang ditandai dengan pihak-pihak (belligerent)
antarnegara yang dinyatakan secara terbuka dalam lingkup hukum
internasional. Karena itu, betapapun banyak jatuh korban, ”perang” di
Timor Timur disebut aneksasi menurut hukum internasional, atau Aceh
disebut sebagai daerah operasi militer (DOM) menurut bahasa Pemerintah
Indonesia.
Setelah perang kemerdekaan, dan sebentar saat pembebasan Irian Barat,
Indonesia tidak pernah menyatakan perang dengan negara lain. Bahkan,
”perang” saat ”Ganyang Malaysia” Presiden Soekarno tak digolongkan
sebagai perang secara hukum internasional. Karena itu, Pemerintah
Singapura berani menghukum mati gerilyawan Indonesia yang tertangkap.
Kalau publisis terjun sebagai partisan dalam politik militer pemerintah
masa aneksasi Timtim dan DOM di Aceh, mungkin baginya pihak ”sana”
dianggap sebagai ”negara”. Bersyukurlah bahwa pemerintahan Presiden
Habibie segera menarik tentara Indonesia dari Timtim sehingga kita tidak
sempat berperang dengan pasukan gabungan PBB.
Apa kata dunia (meminjam film Asrul Sani, Nagabonar)
kalau Indonesia, yang sering dipuji-puji sebagai pengirim pasukan PBB
yang unggul, bertempur dengan pasukan gabungan PBB? Begitu juga jalan
damai yang dilakoni pemerintahan SBY-JK dapat meredam keinginan menjadi
negara dengan kemerdekaan ala Gerakan Aceh Merdeka sehingga tidak
pernah sebagai belligerent yang harus diurus pasukan PBB.
Seorang militer yang ditugasi di daerah tempur mungkin tidak perlu
tahu konstelasi hukum internasional yang melingkupi operasinya. Setiap
operasi pada dasarnya berjangka pendek. Sedikit orang yang menempatkan
kediriannya dalam rentang yang panjang. Untuk itu dia tidak hanya
melihat dirinya dengan tujuan pragmatis, tetapi perlu memahami ruang
sosial dengan perspektif yang universal (”apa kata dunia...” kata Asrul
Sani).
Seorang publisis, khususnya jurnalis, bukan militer. Dia dilatih bukan
untuk memerangi musuh. Jika dia ikut sebagai partisan dalam perang
negaranya, panggilan utama adalah ke dalam negeri, yaitu memupuk
semangat dan moral bangsa. Demoralisasi bangsa dalam masa perang dapat
menghancurkan negara.
Mungkin ada yang mau ikut berperang dengan menjalankan perang psikologis (psychological warfare)
tertuju pada musuh. Namun, dengan panggilan semacam ini harus berpindah
profesi, bukan lagi sebagai jurnalis, melainkan agen rahasia.
Disiplin jurnalisme
Tanpa perang antarnegara, jurnalis mana yang mau sebagai partisan?
Disiplin jurnalisme adalah obyektivitas yang selamanya dalam dua sisi:
kebenaran (truth)
pada obyek faktual dan netralitas pada diri jurnalis. Karena itu, bukan
sekadar tujuan pragmatis dalam berkomunikasi yang perlu, tetapi
menyadari keberadaan diri dan hasil kerja dalam ruang sosial.
Namun, dalam hal tertentu, media biasa mengambil posisi segaris dengan
pandangan pihak tertentu, atau posisi mendukung sikap pro atau kontra
dalam menghadapi isu publik yang kontroversial atau diperdebatkan (disputed).
Keberpihakan dan sikap macam apa yang dapat diterima dalam kerangka
obyektivitas yang dijunjung tinggi dalam kerja jurnalisme?
Media jurnalisme tidak boleh bersifat partisan secara organis pada pihak/kelompok, sebab partisanship-nya
adalah pada gagasan moral yang dijadikan dasar dalam menghadapi fakta.
Karena itu, di atas episteme jurnalisme, masih ada tujuan jurnalisme
yang lain, yaitu nilai kebajikan umum yang harus dijaga dan diwujudkan.
Pembelajar jurnalisme menghayati dua dimensi yang akan menjadikan media
bersifat organik bagi publik secara luas, yaitu secara pragmatis sosial
melalui obyektivitas dan secara kultural sebagai penjaga moral publik.
Dari sini media jurnalisme menjadi ekstensi bertimbal balik dengan
publik dalam platform rasionalitas.
Menjelang pemilihan presiden mungkin ada yang menghidupkan atau hidup
dalam suasana perang. Jurnalis tentunya tidak terseret untuk
berpandangan senaif itu sebab suatu kontestasi politik tidaklah perang
antarpihak yang bermusuhan. Pihak-pihak dalam kontestasi ini adalah
kandidat dan organisasi pendukungnya, masing-masing berusaha merebut
perhatian publik. Jelas kiranya media independen dan non-partisan tidak
akan melibatkan diri dalam perang antarpihak.
Dalam kontestasi, pemberitaan berasal dari peristiwa empiris (interaksi
dengan kelompok pendukung) maupun gagasan yang dinyatakan setiap
kandidat. Setiap informasi berasal dari kontestan tentang dirinya perlu
diasumsikan sebagai propaganda putih, sedangkan berkaitan dengan ”musuh”
sebagai propaganda hitam.
Media jurnalisme tidak perlu membuang energi memuat propaganda hitam
sebab harus menyediakan porsi yang sama untuk pembelaan diri. Ofensif
dan defensif dalam komunikasi setiap pihak memboroskan sumber daya
media.
Kepentingan publik
Media jurnalisme pada dasarnya tidak berkepentingan dengan siapa
pemenang di antara kandidat sebab sebagai tujuan tetap dan akhir (ultimate)
dalam jurnalisme adalah publik, bukan penguasa. Demi kepentingan
publik, dari dinamika kontestasi perlu dicari wacana yang perlu
digaristebalkan. Pada setiap informasi apakah dari peristiwa dan
pernyataan dalam dinamika kontestasi, dilihat gagasan moral yang
terkandung maupun dinyatakan oleh pihak mana pun.
Informasi diperlakukan sebagai wacana yang kebenarannya bersifat
terbuka. Dengan begitu, media dapat mengangkat gagasan moral/kebajikan
umum dari setiap kandidat. Media jurnalisme dapat mengambil peran dalam
menumbuhkan rasionalitas masyarakat politik di ruang publik dalam
menghadapi wacana politik.
Namun, dengan alam pikiran ”perang”, platform jurnalisme
obyektivitas dan kebajikan umum tidak mendapat tempat. Bagi kalangan
ini hanya ada kawan dan musuh. Media jurnalisme independen dan
non-partisan dianggap tidak mendukung sehingga digolongkan sebagai
musuh.
Disayangkan kaum publisis yang terlibat dalam kontestasi politik ini
juga terseret dalam perang komunikasi. Akibatnya kontestan dirugikan
oleh tim pendukungnya sendiri karena bersikap apriori bermusuhan dengan
media. Mengusir awak media karena menganggap tidak sebagai media
pendukung, siapa yang rugi?
Publisis yang ikut dalam barisan kontestan ini agaknya tidak mentaklimat tim lapangan yang menjaga pintu (gate keeper) ajang kampanye. Penjaga pintu di sini bertugas secara harfiah, tetapi sekaligus juga berfungsi komunikator. Konsep public relations yang elementer menggolongkan media tiga macam bagi klien (kontestan), yaitu favourable (menguntungkan), netral, dan unfavourable (tidak menguntungkan).
Dalam komunikasi, tidak ada musuh, tetapi bagaimana menjalankan
strategi menjaga yang sudah menguntungkan dan mengubah yang belum
menguntungkan agar sesuai dengan track kontestan.
Bersama publisis yang ada sebagai pendukung, kontestan perlu
menjalankan komunikasi rasional. Namun, kalau yang dijalankan komunikasi
dengan strategi perang psikologis, pemahaman jurnalisme sudah tidak
diperlukan. Lebih baik menjauh sebelum digebuk.
Ashadi Siregar
Peneliti Media dan Pengajar Jurnalisme di LP3Y, Yogyakarta

0 komentar:
Posting Komentar