Gagasan dan Imajinasi Stagnan
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan-gagasan
dalam sastra Indonesia saat ini sangatlah kurang. Sastra sebagai
pergulatan ide kemanusiaan kini tidak bergaung. Sastra dalam gagasan
ataupun bentuk artistik bahkan bisa dikatakan stagnan.
Demikian sintesis dari obrolan dengan cerpenis Agus Noor dan budayawan
Radhar Panca Dahana di Jakarta, Selasa (8/7). Radhar bahkan mengatakan,
stagnasi itu sudah terjadi sejak lama, tiga puluh tahun lalu.
Menurut Agus, dunia tulis-menulis sebenarnya makin bagus. Banyak buku terbit, banyak blog
muncul. Penulis-penulis baru pun lahir. Hal itu didukung oleh dunia
penerbitan yang masih bisa dikatakan baik. ”Namun, tiap buku baru
terbit, yang lebih sibuk adalah hal-hal komersial, bukan gagasan baru,
pergulatan ide baru,” kata Agus.
Menulis saat ini terasa lebih mudah karena banyak media, baik cetak
maupun daring. Namun, rata-rata tulisan yang muncul hanya sekelebatan
ide yang populer dan hampir hanya menyentuh permukaan.
”Penulis baru terlalu melayani pasar karena memang banyak jenis tulisan
yang ditentukan bahkan ’didiktekan’ oleh penerbit,” kata Agus.
Stagnan sejak lama
Radhar lebih keras lagi berpendapat. Ia melihat stagnasi atau malaise
dalam sastra Indonesia yang sudah berlangsung sangat lama. ”Bahkan
paling lama dalam sejarah (modern) sastra Indonesia, lebih dari tiga
puluh tahun, dihitung sejak paruh kedua tahun 1970-an ketika sastra
Indonesia masih mampu melakukan terobosan-terobosan artistik hingga
teoretik,” ujarnya.
Setelah itu, katanya, sastra Indonesia diredam dan dipendam secara
sistemik oleh rezim Orde Baru. ”Itulah mungkin ’dosa’ sejarah dan
kultural terbesar dan terdalam Orba ketika ia mungkin tidak berhasil
membunuh imajinasi, tetapi sukses memenjarakannya bahkan lebih jauh
meringkus atau menciutkan ruang dan waktu imajinatif kita dengan represi
pemikiran yang luar biasa,” kata Radhar.
Akibat pembungkaman itu, generasi berikutnya kehilangan kapasitas
imajinasinya yang eksplosif, eksploratif, dan inovatif. Kemampuan
visioner dari para cendekiawan luntur.
Novel mundur
Agus melihat sastra Indonesia menurun setidaknya dalam satu dekade terakhir. Tidak ada novel- novel yang mengagumkan seperti Kering karya Iwan Simatupang, Olenka karya Budi Darma, atau Stasiun karya Putu Wijaya. ”Masih ada beberapa novel yang bagus, misalnya karya Eka Kurniawan dan Seno Gumira Ajidarma,” kata Agus.
Novel-novel sekarang lebih cenderung metro pop atau novel yang lebih
mengangkat kisah inspiratif. Tidak ada eksplorasi penceritaan dan
estetika sastra.
Menurut Radhar, kemunduran itu membuahkan stagnasi. Bahkan, sebagian
hampir mengalami kematian atau penggelapan imajinasi. Terjadi
diskapasitas generasi yang besar dan lahir pada masa Soeharto dalam
memahami atau mengomprehensi realitas mutakhir mereka atau bangsanya
yang kian kompleks.
Inkapasitas itulah yang membuat para penulis seperti ”melarikan diri”
dari realitas. Mereka lantas bersembunyi di wilayah- wilayah yang
memberi rasa nyaman, untuk bebas memainkan ruang imajinasinya yang
sempit, seperti wilayah spiritual, mistis/magis, atau lokalitas.
Agus Noor menulis di akun Twitter pada 30 Juni 2014, ”Sastra boleh
terpencil, tidak dilirik, tetapi gagasan harus terus lahir dan
dikumandangkan”. ”Gagasan besar harus dilahirkan melalui sastra,”
katanya. (IVV)

0 komentar:
Posting Komentar