Peradaban Kasih Persaudaraan
Oleh: Aloys Budi Purnomo
Din Syamsuddin, utusan khusus Presiden Jokowi
untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban mengundang sejumlah tokoh
lintasagama se-Indonesia untuk mengadakan Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk
Kerukunan Bangsa (MBPA-UKB) di Jakarta, 8-11 Februari 2018. Kebetulan, saya
diundang sebagai salah satu peserta. Selama 10 tahun terakhir, saya terlibat
aktif dan intensif sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan
Keuskupan Agung Semarang dalam membangun peradaban kasih persaudaraan sejati
dengan semua orang tanpa diskriminasi di negeri ini.
Ribuan orang memenuhi karnaval bertajuk
"Pawai Toleransi Umat Beragama" yang digelar di pusat Kota
Purwakarta, Jawa Barat, Jumat (28/7). Kegiatan yang digelar Pemerintah
Kabupaten Purwakarta ini berlangsung meriah dan menyejukan serta mengundang
kagum dari masyarakat.
Panitia merumuskan tema musyawarah dalam satu
kalimat "Rukun dan Bersatu, Kita Maju". Tema ini merupakan harapan
yang sangat relevan dan signifikan dalam konteks kehidupan kita saat ini. Kita
hanya bisa jadi bangsa yang maju dalam membangun peradaban kasih persaudaraan
apabila kita hidup dalam kerukunan dan persatuan. Inilah tekad kita bersama
yang tak bisa ditawar-tawar dalam sikap kompromistik. Tekad itu bahkan sudah
diwujudkan oleh para pendiri bangsa ini sebagai bangunan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945
bersemangatkan Bhinneka Tunggal Ika. Itulah yang kemudian menjadi pilar-pilar
kebangsaan yang sudah final.
Kita sepakat terus menggemakan warisan historis itu
sebagai kesadaran bersama di masa depan. Benarlah, kemajemukan Indonesia adalah
anugerah Tuhan YME yang harus dipelihara sebagai kekuatan untuk kemajuan
bangsa. Benar pula bahwa agama-agama di Indonesia telah berfungsi sebagai
perekat kemajemukan dan telah menciptakan derajat kerukunan bangsa yang mulia
dan bermartabat sejak dulu kala di seluas Nusantara.
Karenanya, wawasan kemajemukan dan kerukunan
berlandaskan agama yang sudah mengkristal dalam falsafah Pancasila dan spirit
Bhineka Tunggal Ika, dalam bingkai NKRI harus terus dirawat. Pada giliran
berikutnya wawasan dan kesadaran itu akan memperkuat kerukunan dan persatuan
bangsa tanpa diskriminasi untuk membangun peradaban kasih persaudaraan.
Dialog yang dialogis
Sendi-sendi bangunan peradaban kasih persaudaraan
sebagai anak-anak bangsa Indonesia yang ditopang oleh kerukunan tak boleh
diguncang apalagi dirobohkan oleh orientasi intoleransi, eksklusivisme,
radikalisme, dan ekstremisme pada segelintir warga bangsa. Friksi yang merusak
kerukunan antarumat beragama maupun intra-agama harus dicegah dan diatasi agar
tidak mengkhianati warisan para pendiri bangsa ini yang sudah dirumuskan dalam
keberagaman.
Salah satu kelemahan yang merusak gerak maju
kehidupan bersama yang rukun adalah absennya semangat dialog yang dialogis.
Model musyawarah besar yang ditempuh untuk maju dalam kerukunan dan persatuan
sangat tepat ditempuh melalui semangat dialog yang dialogis. Musyawarah itu
harus sungguh-sungguh mengedepankan dialog yang dialogis, bukan dialog yang
memaksakan kehendak kepada pihak lain yang berbeda. Dalam konteks kebangsaan
dan kultur Nusantara, musyawarah
adalah sarana dan wahana
silaturahmi dan dialog dialogis. Salah satu kelemahan yang merusak gerak maju
kehidupan bersama yang rukun adalah absennya semangat dialog yang dialogis
Dibutuhkan empat syarat untuk praksis dialog
dialogis. Pertama, kedewasaan religius apa pun agamanya, dan kecintaan pada
bangsa kita. Itulah yang sering saya sebut sikap 100 persen religius apa pun
agama, keyakinan dan kepercayaannya, dan 100 persen nasionalis apa pun suku,
budaya dan bahasanya.
Kedua, dialog yang dialogis terjadi, bila peserta
musyawarah mengutamakan hati yang mengasihi pihak lain dari hati ke hati, dari
jiwa ke jiwa dengan akal sehat dan bukan okol kuat. Musyawarah yang merupakan
ekspresi spirit dialog yang dialogis ditandai oleh kesepakatan-kesepakatan
berwibawa, bermartabat dan beradab dalam mengambil keputusan solutif terhadap
persoalan yang ada.
Ketiga, dialog yang dialogis jauh dari segala
bentuk kekerasan baik perkataan maupun tindakan; apalagi pemaksaan kehendak.
Yang hendak digapai kemenangan bersama dalam rangka peradaban kasih
persaudaraan, bukan kemenangan segelintir orang atau kelompok yang merasa diri
paling benar. Dialog dialogis berbuah kebenaran bersama, bukan argumentasi
untuk membenarkan pendapat sendiri. Keputusan bermartabat pun diambil demi
kebenaran bersama bukan untuk pembenaran kehendak sendiri.
Komunitas Bhinneka, melakukan kegiatan Wisata
Rumah Ibadat (WRI) dengan mengunjungi Gereja Katolik St Matias, Cinere, Sabtu
(16/9). Mereka juga mengunjungi Masjid Jami' Imam Bonjol dan Puri Amrta Jati,
GKI Kristen Protestan yang juga ada di Cinere, Vihara Ratana Graha (agama
Budah) dan Lithan Bakti(Kong Hu Cu) yang keduanya di Pamulang, Tangeran . Para
peserta WRI adalah murdi-murdi SD kelas 4 – 6 beragam agama dari berbagai
sekolah swasta. Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan pemahaman dan
pengertian kepada para siswa bahwa Indonesia adalah negara tidak hanya beragam
suku dan etnis tetapi juga agama. Dengan kegiatan seperti ini, para siswa sejak
dini diajari untuk hidup bertoleransi, memahami dan menerima perbedaan.
Keempat, proses dialog yang dialogis bisa jadi
menyakitkan, namun kedewasaan keberimanan tak boleh menggerus infantilisme
keberagamaan. Karenanya, dibutuhkan ketulusan, keterbukaan, keterusterangan dan
kerja sama yang mengutamakan manfaat ketimbang mudarat, mencapai mufakat
bermartabat ketimbang pemaksaan pendapat. Dari sana akan mengalirlah peradaban
kasih persaudaraan sejati yang mewujud dalam kehidupan masyarakat yang
sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun agamanya. Peradaban kasih
persaudaraan harus diperjuangkan! Peradaban kasih persaudaraan ditandai tiga
hal pokok. Pertama, sikap inklusif terbuka dan merangkul (ngrengkuh). Kedua, kehidupan
yang inovatif terbuka terhadap pembaruan yang konstruktif. Ketiga, semangat
transformasi inspiratif yakni memiliki daya ubah yang memajukan kehidupan
bersama.
Aloys Budi Purnomo, Ketua Komisi Hubungan
Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
Kompas, 3 Maret 2018



0 komentar:
Posting Komentar