Jakarta Kota Cagar Budaya//Kemacetan di Pintu Keluar Tol Bitung
Jakarta Kota Cagar Budaya Lebih dari enam dasawarsa yang
lalu, saat mulai menghuni Jakarta, saya melintas di depan Hotel Des Indes,
hotel paling top di Jakarta saat itu. Bangunan peninggalan pemerintahan
kolonial Belanda ini, setelah RI menjadi negara merdeka, berganti nama menjadi
Hotel Duta Merlin. Pada dekade 1970-an, hotel bersejarah ini dirombak,
dijadikan kompleks pertokoan dan perkantoran Duta Merlin.
Tidak jauh dari lokasi itu, saya melintas di kawasan Lapangan
Banteng menikmati indahnya Gedung Kementerian Keuangan, yang 200 tahun silam
dibangun sebagai istana Gubernur Jenderal Herman Wilhelm Daendels (1808–1811).
Pada era gubernur ini dibangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan.
Lima bangunan yang menjadi cagar budaya ikon Jakarta adalah
Istana Merdeka, Katedral, Istiqlal, Bank Indonesia, dan Monumen Nasional. Patut
kita beri penghargaan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang merawat dan
melindungi puluhan cagar budaya di DKI.
Cagar budaya adalah benda, struktur, situs, dan kawasan yang
merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya. Benda-benda tak bergerak
ini menjadi informasi sejarah serta sarana dalam memperkukuh harkat dan jati
diri bangsa.
Terkait dengan masalah kebangsaan pada masa itu, saya
melintas di Jalan Pejambon memandang ke Gedung Kementerian Luar Negeri ke
Gedung Pancasila. Di gedung ini pada 1 Juni 1945, dua bulan sebelum Indonesia
menjadi sebuah negara merdeka, Soekarno menyampaikan pidato kelahiran
Pancasila.
Sehari setelah RI menjadi negara merdeka, pada 18 Agustus
1945, di Gedung Pancasila ini Konstitusi Nasional disahkan seiring pengangkatan
Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama RI.
Saya sangat senang membaca kegiatan Depok Heritage Community
(DHC) yang dimuat di Kompas edisi 28
Desember 2017. Sebuah bangunan rumah mendiang Adriana Johana Bake (1743-1787),
istri kedua Gubernur VOC Petrus Albertus van der Parra, dan sejak 1964 menjadi
aset RRI. Mereka (DHC) turut berjuang agar tak dibongkar.
Arifin Pasaribu
Kompleks PT HII, Kelapa Gading Timur,
Jakarta Utara
Kemacetan di Pintu
Keluar Tol Bitung
Sudah bertahun-tahun kemacetan terjadi di pintu keluar Tol
Bitung-Curug, tetapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda penanganan yang
memuaskan, baik dari pengelola jalan tol maupun dari Pemerintah Kabupaten
Tangerang, Banten.
Secara kasatmata terlihat bahwa penyebab kemacetan tersebut
sebagai berikut.
Pertama, jalan keluar setelah pembayaran tol berlubang sangat
dalam dan terjadi pada banyak tempat.
Kedua, di bawah jembatan tersua banyak tempat kegiatan:
toilet untuk buang air kecil, lapak dagang, pemangkal ojek, dan lain-lain.
Seharusnya di bawah jembatan itu tak boleh
ada tempat kegiatan.
Di bawah jembatan itu pernah ditertibkan, tetapi penertiban
hanya semacam proyek: beberapa hari setelah ditertibkan, di sana tumbuh
semrawutan hal-hal sebelumnya. Tentu kemacetan lagilah dampaknya.
Ketiga, tata guna jalan yang tidak baik: kendaraan boleh berhenti dan berputar balik arah
di mana saja.
Sebetulnya masalah ini berukuran sangat kecil bagi pengelola
jalan tol, Pemerintah Kabupaten Tangerang, Pemerintah Provinsi Banten, ataupun
Kementerian Perhubungan apabila setiap instansi mau bersinergi.
Kemacetan bertahun-tahun di pintu keluar Tol Bitung tersebut
memperlihatkan ketidakmauan instansi-instansi yang disebut di atas bersinergi
sekaligus menunjukkan bahwa bagi setiap instansi itu menyamankan warga negara
belum merupakan prioritas.
Yustus Sulardjo
Karawaci, Tangerang, Banten
Kompas, 16 Maret 2018

0 komentar:
Posting Komentar