Posisi Adab Indonesia
Oleh : Limas Sutanto
Ujaran kebencian
yang disebarkan masif melalui media sosial biasanya bertujuan politis, dalam
arti bermaksud mengarahkan khalayak luas agar bersikap dan bertindak membenci
lawan politik penyebarnya.
Dua peristiwa
politik mutakhir, yaitu Pemilihan Umum Presiden 2014 dan Pemilihan Umum
Gubernur DKI Jakarta 2017, mencatatkan kenyataan betapa penyebaran ujaran
kebencian sukses membuahkan hasil yang diinginkan.
Merekah pertanyaan
yang mengena pada posisi bangsa di tengah adab: Apakah masyarakat dan bangsa
Indonesia memang lebih cenderung merengkuh kebencian yang memisah- misahkan
daripada mengembangkan solidaritas kemanusiaan yang menyatukan?
Persatuan perbedaan
Adab Indonesia
ternyatakan dengan jelas dalam kesan, kenyataan, dan cita-cita persatuan dalam
keberbedaan yang luas, keramahan dan adat istiadat yang halus, bahkan dalam
gagasan Pancasila yang luhur.
Namun, posisi adab tidak hanya
ditentukan oleh seberapa kuat cita-cita dan pemikiran luhur yang berkembang
dalam diri setiap warga dan pemimpinnya; tingkat kekukuhan koherensi jiwa,
yaitu kemantapan diri dalam menghayati realitas subyektif yang terkandung di
dalamnya—semacam rasa percaya diri—juga menentukannya.
Adab hanya (atau setidaknya lebih mungkin) diejawantahkan
oleh warga bangsa dan pemimpin yang koheren jiwanya. Kemantapan dalam
menghayati realitas subyektif diri yang unik juga melandasi kemampuan
menghargai liyan sebagai keunikan, bukan musuh melainkan mitra yang saling
melengkapi untuk hidup lebih utuh.
Kohut (1971, 1977, 1984), serta Stolorow, Brandchaft &
Atwood (1995/2013) berjasa mengetengahkan dua faktor yang menganyam kemantapan
diri atau koherensi jiwa. Faktor pertama adalah pengalaman menjalani hidup
terus-menerus dalam solidaritas kemanusiaan, yang oleh keempat pelopor
psikoanalisis intersubyektif itu diperinci dalam "keterhubungan serasi perasaan
antarinsan" (affect attunement),
dan "pengakuan empatik atas pengalaman subyektif liyan" (empathic validation).
Sementara faktor kedua untuk bertumbuh kembangnya koherensi
diri ialah pengalaman tenteram yang panjang karena pendampingan oleh tokoh yang
disegani dan dihormati. Keempat pelopor menyebut pengalaman tersebut sebagai idealizing selfobject experience.
Gotong royong spontan di desa dan kampung di negeri ini dapat
dimengerti sebagai bukti berlangsung serta bertumbuhkembangnya faktor pertama.
Sekaligus fenomena itu membuktikan kehendak insan-insan Indonesia untuk
menghidupi kemantapan diri di tengah solidaritas kemanusiaan.
Fenomena ketaatan terhadap tokoh yang mereka idealisasikan,
bahkan mereka idolakan, yang nyata-nyata berlangsung juga di tengah masyarakat
Indonesia, menunjukkan betapa insan-insan Indonesia memilih jalan menghidupi
kemantapan diri dalam pendampingan tokoh-tokoh yang ditinggikan.
Perbedaan faktor
Kendati kedua faktor sama- sama dibutuhkan untuk bertumbuh
kembang dan terpeliharanya kemantapan diri, tetapi mereka mengandung perbedaan
mendasar.
Faktor pertama tidak mengandung kiprah tokoh teridealisasi;
justru peran utama yang bekerja dalam faktor ini adalah hadirnya orang setara
yang mengerti dan menyambungkan diri dengan orang lain yang menumbuhkembangkan
dan memelihara kemantapan pribadi.
Faktor kedua, fungsi pemantapan diri dijalankan oleh orang
yang dipandang tinggi.
Sejarah panjang bangsa Indonesia di bawah penjajahan
kekuasaan asing yang mengacaukan proses alamiah pemantapan diri, ditambah
dengan siasat penjajah yang secara menyejarah memisah-misahkan dan mengadu
domba untuk menguasai (devide et impera),
menempatkan bangsa dalam ansietas kolektif historis; warga bangsa mewarisi
kerentanan menjadi cemas dan melupakan solidaritas kemanusiaan.
Keadaan ini dapat mendorong warga lebih membutuhkan fungsi
menenangkan dan menenteramkan dari tokoh-tokoh yang mereka idealisasikan seraya
menomorduakan solidaritas kemanusiaan.
Idolisasi
Pada perspektif ini, posisi hamparan warga bangsa dalam
perjuangan meraih dan memelihara kemantapan diri lebih ditandai pengandalan
faktor kedua, yaitu perengkuhan ketenteraman dalam pendampingan tokoh yang
ditinggikan.
Dapat dilihat, masyarakat Indonesia menghargai, menjunjung
tinggi, mengidolakan tokoh-tokoh. Idolisasi yang begitu kuat dapat menyisihkan
solidaritas kemanusiaan, karena ia berlangsung dalam pusaran seorang atau
beberapa orang tokoh, bukan menyatupadukan banyak orang dalam keterhubungan
setara.
Posisi adab Indonesia itu mengilhamkan pengertian bahwa
penyebaran ujaran kebencian dapat sangat berhasil dengan menumpang aneka bentuk
proses dan peristiwa idealisasi dan idolalisasi.
Kebalikannya, apabila setiap proses dan peristiwa idolisasi
dan idealisasi, yang tentu melibatkan tokoh-tokoh yang ditinggikan, dapat
dijaga agar tidak ditumpangi penyebaran ujaran kebencian, upaya-upaya politis
penyebaran ujaran kebencian akan sulit berhasil.
Peran tokoh-tokoh masyarakat, kebudayaan, adat, pemerintahan,
dan keagamaan begitu genting dalam menentukan posisi adab bangsa Indonesia di
tengah dunia yang ditembusi juluran-juluran pemberitaan dan penyebaran
informasi yang tiada batas. Artinya, tokoh-tokoh adalah penanggung jawab
terbesar posisi adab bangsa ini.
Limas Sutanto
Psikiater
Kompas, 15 Maret 2018

0 komentar:
Posting Komentar