Kita Butuh Nyepi
Oleh : I
Wayan Westa
Nyepi menjenguk kita kembali, satu perayaan tahun baru Saka
yang tak dirayakan dengan ingar-bingar. Tak ada kembang api dan suara terompet,
tak ada tepuk tangan, tak ada pesta jalanan dengan suara gemuruh. Sungguh
antiklimaks dari riuh keseharian sepanjang tahun.
Dan Nyepi menjadi semacam drama kesunyian di mana kegaduhan dipulangkan ke dalam hening. Dan kita kemudian menyepakati; Nyepi adalah cara ampuh menge-nol-kan diri. Ke titik inilah semua drama hidup dikembalikan: dari nol menuju nol, dari sunyi menuju sunyi. Semua atribut badani diistirahatkan, indria-indria dikendalikan. Ini ritual agung ke dalam diri paling dramatik— poya-poya, nafsu rendah, kerakusan akan materi ditekuk ke titik nadir, bahwa jalan materi bukanlah tempat bersandar abadi.
Musuh terbesar
Nun dalam perjuangan paling dramatik itu, lawan paling tangguh manusia adalah dirinya sendiri. Bukankah globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme telah menyentuh sisi-sisi paling dasariah manusia? Betapa mahalnya hening hari ini di tengah-tengah revolusi informasi yang telah mengubah penduduk bumi menjadi homo digital, hal mana dunia bisa direngkuh dalam satu lentikan ujung jari di layar ponsel cerdas. Ini adalah dunia senyap sekaligus dunia yang gaduh.
Satu misteri bumi disulap menjadi kian datar. Lewat
kebudayaan nirkabel, manusia berhadapan dengan sejumlah kemungkinan dan
pilihan. Inilah "durga maya", sesuatau yang dianggap misteri
sekaligus menjadi realitas. Eric Schmidt bersama Jared Cohen, lewat buku
bertajuk The New Digital Age, diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
dengan judul Era Baru Digital (2014), mengingatkan kita tentang lompatan besar
itu.
Umat Hindu berada di
pentirtaan Jalatunda di Lereng Gunung Penanggungan untuk mengikuti upacara
Melasti di Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Minggu (11/3). Melasti
sendiri upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Nyepi. Kompas/Bahana
Patria Gupta (BAH) 11-03-2018
Dalam kata pengantar
cukup menegangkan, penulis The New Digital Age itu mencatat, dalam sejarah
planet ini, internet-lah eksperimen terbesar yang melibatkan anarki. Setiap
menit, ratusan juta orang membuat dan menyerap konten digital yang tak
terhitung banyaknya, dalam dunia online yang tak terikat pada hukum bumi.
Kemampuan baru berekspresi dan menggerakkan informasi dengan leluasa pun
melahirkan lanskap virtual mahakaya yang kita kenal hari ini.
Bayangkan setiap hubungan yang ditempa, setiap perjalanan yang direncanakan, setiap pekerjaan yang ditemukan, juga setiap mimpi yang terlahir, mendewasa, dan mewujud lewat platform ini. Sampai di sini, Jared Cohen bersama Eric Schmidt pun mewanti, "Renungkan juga semua fenomena yang dimungkinkan ketiadaan kendali atas-ke-bawah: penipuan online, kampanye hitam, situs kelompok pembenci, dan ruang-ruang obrolan teroris. Inilah internet, ruang nirpenguasa terbesar dunia".
Krisis kejiwaan dan
moral
Dan dalam dunia yang riuh sekaligus senyap itu Nyepi kita
butuhkan untuk mengontrol insting-insting primata kita yang liar, menemukan
kemanusiaan kita, menyadari hening itu menjadi kebutuhan menghaluskan jiwa dari
kekasaran-kekasaran libido primata. Lawan ketamakan sesungguhnya adalah
kesederhanaan. Satu aras hidup dikendalikan dengan satu kata; cukup.
Nyepi adalah persoalan merawat jiwa, persoalan merawat batin di dalam. Dalam kehidupan berbangsa misalnya, kita perlu memeriksa ulang pendekatan-pendekatan pembangunan kita, yang selama ini melulu mengejar pertumbuhan ekonomi. Willy Brandt, dari TheIndependent Comission on International Development Issues, Leppenas, 1980, jauh-jauh hari telah mengingatkan, mengajukan diadakannya penilaian kembali atas prioritas-prioritas, pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi diperhitungkan secara bersungguh-sungguh.
NYEPI – Umat Hindu di Bali
mengikuti upacara dan persembahyangan Tawur Agung Kesanga yang digelar satu
hari sebelum Hari Nyepi. Di Kota Denpasar, Tawur Agung Kesanga dipusatkan di
Lapangan Puputan Badung, Senin (27/3). Selama Nyepi pada Selasa (28/3),
masyarakat di Bali membatasi aktivitasnya. KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi ini penting disadari dalam rangka pembangunan jiwa. Proyek-proyek fisik mesti diimbangi dengan proyek-proyek meta-fisik. Pemberdayaan sedalam-dalamnya peran kebudayaan dan peran seni dalam pengertian lebih luas akan menyalakan gen peradaban batin bangsa ini. Betapa di situ, seluruh dimensi pembangunan tak cuma menyentuh pembangunan fisik, tapi turut serta merawat jiwa anak-anak bangsa.
Krisis semesta hidup yang kita
alami hari ini boleh jadi berhulu sumber pada krisis kejiwaan– krisis moral.
Karena yang sesungguhnya terjadi jiwa-lah yang lupa kita rawat. Praktik
pendidikan jauh dari spirit pemuliaan hidup. Seperti mencetak robot-robot tak
berjiwa. Otak mereka cerdas, tapi jiwa-jiwa mereka lemah, moral mereka tak
menyala. Kita lupa mengajarkan kesederhanaan, kita lupa mendidik mereka
memaknai hidup, saling menghormati dan bertanggung jawab. Kita tahu, kemulian
itu sejatinya adalah kebaikan-kebaikan kecil yang menyala di setiap sanubari
anak bangsa.
Melawan ketamakan diri
Dan kita semua sesungguhnya butuh Nyepi. Kita butuh energi untuk melawan ketamakan diri sendiri. Bila sehari sebelum Nyepi orang Bali menggelar ritual Tawur, makna simboliknya tak semata menggembalikan unsur pembangun semesta hidup untuk menjadi segar kembali, akan tetapi ini sekaligus menjadi ajang "pertempuran" tak pernah henti. Pertempuran melawan musuh-musuh di dalam diri, melawan; ketamakan, kemalasan, kedengkian, kemarahan, kebodohan, dan karakter-karakter rendah lainnya.
Tradisi Setelah Nyepi – Sehari setelah Hari Nyepi, warga Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, mengikuti tradisi mebuug-buugan dengan melumuri sekujur tubuh mereka dengan lumpur di tengah hutan mangrove Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai, Kuta, Rabu (29/3). Seusai melumuri tubuh dengan lumpur, warga kemudian bersembahyang dan membersihkan diri di Pantai Kedonganan. Tradisi mebuug-buugan pada hari Ngembak Geni itu bertujuan menetralkan sifat buruk untuk menyongsong hari yang baru setelah menjalani Nyepi pada Selasa (28/3). Kompas/Cokorda Yudistira (COK) 29-03-2017
Nyepi bukanlah pertunjukan kolosal
yang riuh, bukan perjalanan keluar dengan pesta melimpah, penuh sorak gempita.
Nyepi menjanjikan bahwa keheningan itu adalah juga nutrisi jiwa, yang terlalu
lama kita lupakan. Keheningan yang kelak membuat jiwa-jiwa tersenyum, seperti
senyum matahari saat fajar menjenguk. Kita memang telah lama membiarkan jiwa
ini tak menyala, tertekan sejumlah problem tubuh dan mental. Karenanya para
tetua Nusantara-Bali memberi jalan, temukan hening di dalam, saat mana, niat
rendah, indria-indria liar bertemu jiwa hening di dalam — di situ semua yang
kasar, kembali pada ke maha-heningan. Itulah sunyi yang membebaskan.
Bila esok hari Nyepi jatuh bertepatan dengan hari suci Saraswati, hari pemuliaan Tuhan karena telah menurunkan ilmu pengetahuan untuk membebaskan derita hidup manusia, segera kita sadar, tugas penting ilmu pengetahuan itu untuk memuliakan hidup dan mengharmonikan dunia. Tentu hanya mereka yang telah menemukan hening dalam diri bisa melakukan itu– karena ia bebas dari dialektika, ia telah melampaui tubuh dan pikiran
I WAYAN WESTA, PEKERJA KEBUDAYAAN, TINGGAL DI DENPASAR
Kompas,
16 Maret 2018






0 komentar:
Posting Komentar