Tak Sembarang Orang Bisa Menjadi Guru



Oleh: Salahuddin Wahid

Ketika calon presiden Joko Widodo berkunjung ke Pesantren Tebuireng pada Mei 2014 dalam kaitan kampanye, saya sampaikan bahwa masalah kita banyak, tetapi masalah utama kita ialah penegakan hukum, reformasi birokrasi, peningkatan pertumbuhan dengan pemerataan hasil pembangunan dan penyediaan pelayanan pendidikan yang bermutu dan tersebar ke semua wilayah.
 
Kalau keempat masalah itu bisa doselesaikan dalam 10 tahun, kita akan lari membalap negara lain. Dari keempat hal di atas hanya pemerataan pembangunan wilayah yang bisa dijalankan dengan cukup baik, tetapi pertumbuhannya kurang. Sebetulnya pendidikan adalah yang paling penting bagi masa depan Indonesia tetapi itu hanya bisa diwujudkan dengan mewujudkan terlebih dulu yang lain.

Kita memberi penghargaan terhadap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang telah melakukan oto-kritik terhadap kinerja pemerintah, dengan mengatakan bahwa mutu pendidikan Indonesia di dunia internasional termasuk yang rendah. Bahkan di lingkungan ASEAN, Indonesia berada di papan tengah, kini sudah di bawah Vietnam yang dulu berada di belakang kita. Padahal, anggaran pendidikan kita sejak 2010 sudah naik tajam dan kini sudah mencapai Rp 400 triliun. Sebenarnya kita mengalami kemajuan tetapi negara lain seperti Vietnam jauh lebih maju.

Masa lalu

Dengan kondisi seperti di atas seorang jurnalis di London bernama Elizabeth Pisani membuat tulisan berjudul "Indonesian kids don't know how stupid they are". Kondisi seperti di atas sudah berlangsung lama sekali, sudah berganti menteri berkali-kali, tetapi tidak banyak terjadi perbaikan. Penyakitnya sudah diketahui, tetapi belum ada perbaikan memadai.

Kalau dibandingkan soal ujian pada masa 40-50 tahun lalu dengan soal ujian masa sekarang akan terlihat bahwa soal ujian masa lalu lebih berat. Juga kalau dibandingkan soal ujian masa kini di Indonesia dengan Singapura, Thailand, Malaysia, kita lebih mudah. Tetapi kita tahu bahwa hasil ujian nasional kita untuk matematika secara nasional rata-rata tidak memuaskan, angkanya di bawah 50. Kemungkinan besar untuk mata pelajaran IPA juga seperti itu.

Mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Imu Pendidikan Ar-Rahmaniyah mengikuti perkuliahan di kampus mereka di Citayam, Depok, Jawa Baart, Selasa (13/3).

Beberapa bulan lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membuat tulisan bersama di majalah Tempo yang mengungkap keberhasilan mereka amat dibantu oleh kehebatan SMA di mana mereka belajar. Generasi saya (20 tahun lebih tua dari pada kedua menteri hebat itu) punya kesan yang sama. Artinya guru-guru kami saat itu secara nasional rata-rata bagus.

Saya mempunyai seorang sahabat, Ir Abdul Kadir Baraja. Setamat SMP pada 1963 dia mendaftar masuk SGA karena ingin menjadi guru. Ternyata dia tidak lulus ujian masuk. Dia bisa masuk tanpa tes ke salah satu SMA terbaik di Surabaya lalu masuk ke ITS. Setelah menjadi insinyur dia menjadi pengusaha yang berhasil dan mendirikan sekolah yang menjadi salah satu sekolah terbaik di Surabaya. Artinya pada saat itu untuk menjadi guru diperlukan syarat yang tidak ringan. Tidak sembarang orang boleh dan bisa menjadi guru. Di sejumlah negara hanya peringkat 1-10 yang bisa menjadi guru. 

Saya teringat sebuah tulisan Prof Dr Slamet Iman Santoso sekian puluh tahun lalu tentang hebatnya guru-guru beliau yang orang Belanda. Guru-guru itu mampu membangkitkan rasa ingin tahu yang kuat di dalam diri para murid sehingga mau belajar tanpa disuruh. Ini membuat siswa akan belajar seumur hidup.

Guru-guru Belanda itu mampu menanamkan rasa tanggung jawab dan percaya diri di dalam diri murid tetapi tahu batas kemampuan. Satu-satunya kekurangan Belanda ialah terlalu sedikit mencetak guru-guru yang hebat itu, yang terdiri dari bangsa Indonesia. Kesimpulannya untuk bisa menghasilkan guru yang hebat seperti itu, hanya orang berbakat dan punya kemampuan hebat yang bisa menjadi guru. 

Masa kini

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Desember 2016 mengungkap jumlah keseluruhan guru mencapai 2.922.826 orang terdiri dari 1,43 juta (49 persen) guru PNS dan 1,49 juta (51 persen) guru swasta. Dari guru non PNS, 812.000 (54,5 persen) adalah guru honorer, yang sistem perekrutan dan juga pengelolaannya belum jelas. Kurun 2016-2020 diperkirakan ada 317.000 guru akan pensiun. 

Di samping itu ada informasi yang menyebutkan, pada 2016 dan tahun-tahun selanjutnya akan terdapat lebih dari 250.000 sarjana pendidikan yang akan lulus. Selain 24 Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) eks IKIP serta 24 fakultas keguruan dan ilmu pendidikan yang menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), juga terdapat LPTK swasta sebanyak 410 lembaga. Terdapat 5.579 program studi pendidikan di lembaga negeri dan swasta dengan jumlah mahasiswa sekitar 1,18 juta dan lebih dari 100.000 lulusan per tahun. Ketua Asosiasi Rektor LPTK Negeri se-Indonesia Syawal Gultom menyatakan lulusan LPTK kurang kompetensinya menjadi guru.

Siswa kelas VI SD Negeri 01 dan SD Negeri 05 Ulujami, Jakarta Selatan, mengikuti doa bersama, didampingi orangtua mereka, untuk kelancaran pelaksanaan ujian sekolah/madrasah berstandar daerah (USMBD), Jumat (12/5). Kegiatan USMBD yang sebelum tahun 2014 bernama ujian nasional (UN) itu akan dilaksanakan mulai 15 Mei hingga 17 Mei.

Sejumlah besar guru (PNS) mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG). Dengan nilai kelulusan 80, terdapat sekitar 41.000 guru tidak lulus. Terpaksa dilakukan UKG ulang dengan nilai kelulusan diturunkan menjadi 65. Guru yang lulus UKG ulang mendapat sertifikat profesi guru. Yang belum lulus menjalani program belajar mandiri untuk ikut UKG ulang berikutnya. Materi UKG terkait dengan kemampuan pedagogik (kependidikan) dan profesional (keilmuan sesuai mata pelajaran yang dipegang.

Ir Abdul Kadir Baraja yang mendapat Dr Honoris Causa dari Universitas Negeri Surabaya, memahami betul masalah utama kita ialah kurangnya jumlah guru yang baik. Maka dia berjuang mewujudkan niat mulia untuk menghasilkan guru yang baik. Dia mendirikan STKIP berasrama untuk mewujudkan cita-citanya itu. Dia mencari calon guru yang bisa lolos ujian masuk setara ujian masuk ke ITB, Universitas Indonesia dan lain-lain. 

Mereka tidak usah membayar biaya apapun. Ternyata tidak mudah mencari calon seperti itu. Dari kebutuhan 50 orang hanya diperoleh tidak sampai 30. Masalah lain yang akan timbul ialah bagaimana memberi kesejahteraan yang memadai bagi guru-guru yang baik itu seperti negara-negara lain menghargai guru-guru mereka.

Dugaan saya, sekitar sepertiga jumlah guru memenuhi syarat, sekitar sepertiga jumlah guru tidak memenuhi syarat tetapi bisa dilakukan pembinaan untuk bisa memenuhi syarat dan sekitar sepertiga amat sulit untuk bisa diperbaiki. Kalau mau lebih ketat, yang amat sulit untuk diperbaiki bisa mencapai sekitar separuh.

Pertanyaannya, bagaimana cara kita membina mereka yang masih mungkin dibina. Lalu bagaimana nasib mereka yang tak memenuhi syarat dan bagaimana mencari pengganti mereka yang harus diganti dan tak bisa dibina, karena jumlahnya amat banyak.

Jadi kita akan menghadapi masalah yang sama seperti yang dihadapi oleh sejumlah profesi. Setiap tahun, pasokan tenaga cukup banyak dan kebutuhannya juga cukup banyak. Tetapi kebutuhan itu tidak terpenuhi karena dari sekian banyak pasokan itu, hanya sedikit yang memenuhi standar internasional. Ketidakmampuan kita memenuhi kebutuhan akan guru yang baik akan berdampak pada masa depan bangsa. Bonus demografi tidak akan banyak manfaatnya.

Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng


Kompas, 16 Maret 2018


0 komentar:

Konstruksi Kebangsaan Partai Politik



Oleh: A Bakir Ihsan

Sesuai penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai politik yang bertarung pada Pemilu 2019 bertambah dari 10 menjadi 14. Belakangan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menetapkan PBB sebagai peserta pemilu. Dengan bertambahnya jumlah partai, pilihan masyarakat semakin banyak, walaupun dengan distingsi yang sulit ditegaskan.

Menjelang pemilu kelima di era reformasi, perlu diajukan evaluasi terkait manfaat partai bagi konstruksi kebangsaan.

Terngiang kembali gugatan dua pendiri partai sekaligus bapak bangsa; Thomas Jefferson dan Soekarno terhadap partai politik. Menurut Jefferson (1789); "If I could not go to heaven but with a party, I would not go there at all (kalau saya tidak bisa ke surga tanpa sebuah partai politik, saya lebih memilih untuk tidak pergi ke sana sama sekali." Dan bagi Soekarno (1956); "Marilah sekarang bersama-sama kita menguburkan semua partai!".



Partai politik peserta pemilu.


Dua pernyataan tersebut merefleksikan harapan sekaligus kekhawatiran. Partai diharapkan bisa memobilisasi dan mengartikulasi aspirasi, tapi dapat pula meruntuhkan kolektivitas bangsa karena partisi yang lebih ditonjolkan. Partai yang merepresentasikan irisan sosial dieksploitasi melampaui dasar kebangsaan. Tampaknya kekhawatiran itu masih cukup relevan melihat fenomena parpol saat ini yang lebih memikirkan kepentingan diri daripada konstituennya.

Akibatnya, seperti dilansir beberapa lembaga survei, opini masyarakat terhadap partai politik relatif buruk. Menurut hasil survei Indobarometer, Maret 2017, sebanyak 51,3 persen masyarakat menilai partai politik buruk. Akibatnya masyarakat merasa tidak dekat dengan partai politik (62,9 persen). Hal serupa juga ditunjukkan oleh hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Oktober 2016.

Terjadi penurunan tingkat kedekatan masyarakat terhadap partai politik dari 10 persen menjadi 9 persen. Opini buruk dan jarak masyarakat terhadap partai politik memperlihatkan belum maksimalnya fungsi artikulasi publik. Bahkan dalam kasus tertentu partai politik menjadi penyumbang menguatnya sekat primordial untuk kepentingan pragmatis.

Problem institusi

Dua tantangan terbesar agenda kebangsaan yang cenderung menguat saat ini adalah, pertama, intoleransi. Gejala intoleransi semakin kasat mata melalui penegasian terhadap kelompok yang berbeda atau memberi ruang bagi munculnya primordialisme.

Partai, yang oleh sebagian ahli diartikan sebagai partisi (partition) terjebak dalam penguatan sekat sosial untuk kepentingan pragmatis. Akibatnya, kapasitas, kapabilitas, dan integritas baik secara personal maupun institusional terabaikan karena pertimbangan emosional-primordial sesaat. Isu primordial, khususnya agama, menjadi amunisi karena diyakini dapat mengerek elektabilitas. Di sinilah simpang jalan partai; antara kepentingan suara dan bangsa.

Kedua, korupsi. Hasil survei Global Corruption Barometer (Kompas, 8/3/2017) DPR sebagai kawah eksistensi anggota partai, jadi lembaga terkorup. Temuan ini tampaknya terkonfirmasi oleh bertambahnya jumlah tersangka anggota Dewan yang "tertangkap" Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepentingan "citra" diri politisi dan kelompoknya telah mendistorsi orientasi kebangsaan dengan cara korupsi.

Kedua problem tersebut hadir bukan semata problem moral (nilai), tetapi juga karena secara institusi, partai politik belum memiliki komitmen kuat dalam hal anti korupsi dan penguatan toleransi.

Dari 10 partai yang ada di DPR RI saat ini, tidak ada yang secara eksplisit menyebut urgensi toleransi sebagai landasan strategis dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah tangga (AD/ART)-nya. Sementara dalam hal korupsi, hanya ada tiga partai yang secara eksplisit menyebut secara tersurat melawan korupsi. Namun secara faktual, tidak ada satu partai pun yang anggotanya bersih dari korupsi.

Sayap demokrasi

Selain pada ranah institusi, problem juga hadir pada substansi demokrasi yang masih berkepak sebelah. Layaknya burung, demokrasi memiliki dua sayap yang saling berkelindan menerbangkan demokrasi, yaitu liberty (kebebasan) dan equality (kesetaraan). Secara umum, perayaan demokrasi selama ini sudah beranjak dari prosedur ke substansi. Dinamika jumlah partai politik, tingkat partisipasi masyarakat, dan ruang luas menyampaikan pendapat, merupakan bukti adanya kebebasan (liberty) sebagai aktualisasi substansi demokrasi.

Sayangnya sayap liberty tak diimbangi kekuatan equality. Akibatnya muncul apa yang Geoff Mulgan (1994) sebagai the dictatorship of the majority atau dalam bentuk lain yang oleh Robert Michels (1968) disebut oligarki. Kebebasan jadi bancaan yang dinikmati para pemilik modal sosial, ekonomi, dan politik di tengah ketakberdayaan (disempowerment) rakyat banyak. Kondisi ini kian memperburuk agenda kebangsaan yang menempatkan seluruh anak bangsa setara.

Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) memeriksa berkas syarat pendaftaran partai politik di Kantor KPU, Jakarta, Senin (20/11/2017).

Problem pada ranah institusi partai dan substansi demokrasi tersebut memerlukan kerja serius. Terlebih melihat arah partai yang hanya membesar secara kuantitas (prosedur), tapi minus secara kualitas (substansi).

Paling tidak, tiga langkah komprehensif berikut dapat membantu partai politik menjadi penguat kebangsaan. Pertama, rekonstruksi struktural. Langkah ini memerlukan kemauan politik (political will) partai politik untuk memastikan aspek kebangsaan sebagai landasan eksistensinya diimplementasikan secara terstruktur dan terukur. Minimal pemberian sanksi berat terhadap kadernya yang korup atau memainkan isu SARA (Suku Ras Agama dan Antargolongan) dapat mempertegas identitas kebangsaan partai.

Kedua, transformasi kultural. Urgensi fungsi sosialisasi politik dan penguatan partisipasi warga merupakan momentum partai politik untuk melekatkan dirinya pada warga. Fungsi ini dapat mereorientasikan politik warga dari partai sebagai patron yang "menghidupi" dengan pundi-pundi menjadi partner yang saling membutuhkan. Hal ini sekaligus menjadi langkah pemberdayaan (empowerment) warga yang dalam jangka panjang, warga bisa sukarela menghidupi partai.

Ketiga, kaderisasi meritokratif. Problem kaderisasi terjadi karena partai politik lebih mementingkan keuntungan instan. Merekrut publik figur atau pemilik modal tanpa melalui proses kaderisasi bukan hanya merusak sistem, tetapi juga merendahkan ideologi partai. Kaderisasi melalui sistem merit akan melahirkan calon pemimpin yang berintegritas.

Dengan langkah komprehensif tersebut, partai dapat memperkuat peran kebangsaannya melalui beragam varian aktualisasinya. Bukti basis kebangsaan partai akan terlihat dari kader yang berintegritas (tidak korup) dan inklusif (toleran) yang sekaligus menjadi bagian dari institusionalisasi partai politik

A BAKIR IHSAN, DOSEN ILMU POLITIK DAN WAKIL DEKAN FISIP UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Kompas, 16 Maret 2018

0 komentar:

Kita Butuh Nyepi



Oleh :  I Wayan Westa



Nyepi menjenguk kita kembali, satu perayaan tahun baru Saka yang tak dirayakan dengan ingar-bingar. Tak ada kembang api dan suara terompet, tak ada tepuk tangan, tak ada pesta jalanan dengan suara gemuruh. Sungguh antiklimaks dari riuh keseharian sepanjang tahun.

Menjelang hari raya Nyepi pada Sabtu (17/3), umat Hindu menjalankan upacara Melasti, atau penyucian diri dan alam semesta, menuju ke laut, danau, atau sumber air lainnya kemudian mengadakan persembahyangan. Masyarakat dari sejumlah desa adat di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, Rabu (14/3), menggelar prosesi Melasti dengan mengarak joli, atau jempana berisikan benda-benda pusaka dan sakral, ke Pantai Petitenget, Kuta, Badung. Kompas/Cokorda Yudistira (COK) 14-03-2018

Dan Nyepi menjadi semacam drama kesunyian di mana kegaduhan dipulangkan ke dalam hening. Dan kita kemudian menyepakati; Nyepi adalah cara ampuh menge-nol-kan diri. Ke titik inilah semua drama hidup dikembalikan: dari nol menuju nol, dari sunyi menuju sunyi. Semua atribut badani diistirahatkan, indria-indria dikendalikan. Ini ritual agung ke dalam diri paling dramatik— poya-poya, nafsu rendah, kerakusan akan materi ditekuk ke titik nadir, bahwa jalan materi bukanlah tempat bersandar abadi.

Musuh terbesar

Nun dalam perjuangan paling dramatik itu, lawan paling tangguh manusia adalah dirinya sendiri. Bukankah globalisasi, kapitalisme, dan konsumerisme telah menyentuh sisi-sisi paling dasariah manusia? Betapa mahalnya hening hari ini di tengah-tengah revolusi informasi yang telah mengubah penduduk bumi menjadi homo digital, hal mana dunia bisa direngkuh dalam satu lentikan ujung jari di layar ponsel cerdas. Ini adalah dunia senyap sekaligus dunia yang gaduh.

Satu misteri bumi disulap menjadi kian datar. Lewat kebudayaan nirkabel, manusia berhadapan dengan sejumlah kemungkinan dan pilihan. Inilah "durga maya", sesuatau yang dianggap misteri sekaligus menjadi realitas. Eric Schmidt bersama Jared Cohen, lewat buku bertajuk The New Digital Age, diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) dengan judul Era Baru Digital (2014), mengingatkan kita tentang lompatan besar itu.

Umat Hindu berada di pentirtaan Jalatunda di Lereng Gunung Penanggungan untuk mengikuti upacara Melasti di Kecamatan Trawas, Kabupaten Mojokerto, Minggu (11/3). Melasti sendiri upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Nyepi. Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH) 11-03-2018
 
Dalam kata pengantar cukup menegangkan, penulis The New Digital Age itu mencatat, dalam sejarah planet ini, internet-lah eksperimen terbesar yang melibatkan anarki. Setiap menit, ratusan juta orang membuat dan menyerap konten digital yang tak terhitung banyaknya, dalam dunia online yang tak terikat pada hukum bumi. Kemampuan baru berekspresi dan menggerakkan informasi dengan leluasa pun melahirkan lanskap virtual mahakaya yang kita kenal hari ini.

Bayangkan setiap hubungan yang ditempa, setiap perjalanan yang direncanakan, setiap pekerjaan yang ditemukan, juga setiap mimpi yang terlahir, mendewasa, dan mewujud lewat platform ini. Sampai di sini, Jared Cohen bersama Eric Schmidt pun mewanti, "Renungkan juga semua fenomena yang dimungkinkan ketiadaan kendali atas-ke-bawah: penipuan online, kampanye hitam, situs kelompok pembenci, dan ruang-ruang obrolan teroris. Inilah internet, ruang nirpenguasa terbesar dunia".

Krisis kejiwaan dan moral

Dan dalam dunia yang riuh sekaligus senyap itu Nyepi kita butuhkan untuk mengontrol insting-insting primata kita yang liar, menemukan kemanusiaan kita, menyadari hening itu menjadi kebutuhan menghaluskan jiwa dari kekasaran-kekasaran libido primata. Lawan ketamakan sesungguhnya adalah kesederhanaan. Satu aras hidup dikendalikan dengan satu kata; cukup.

Itulah Nyepi, upaya terus-menerus merawat jiwa. Hidup bukan melulu menyangkut soal bagaimana rasa lapar dan haus dipuaskan, nafsu-nafsu dikobarkan, semua dikuasai. Dalam semesta hidup ada jiwa yang perlu dirawat, karenanya ia perlu nutrisi jiwa (amreta jiwa). Setelah menyadari bekapan tubuh yang rapuh, jiwa pun sadar, bahwa sejatinya ia adalah hening, melampaui kehadiran dan ketidakhadiran. Melampaui masa kini, masa lalu, dan masa depan. Itulah parama artha sunya, jiwa yang mengatasi hidup.

Nyepi adalah persoalan merawat jiwa, persoalan merawat batin di dalam. Dalam kehidupan berbangsa misalnya, kita perlu memeriksa ulang pendekatan-pendekatan pembangunan kita, yang selama ini melulu mengejar pertumbuhan ekonomi. Willy Brandt, dari TheIndependent Comission on International Development Issues, Leppenas, 1980, jauh-jauh hari telah mengingatkan, mengajukan diadakannya penilaian kembali atas prioritas-prioritas, pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi diperhitungkan secara bersungguh-sungguh.

NYEPI – Umat Hindu di Bali mengikuti upacara dan persembahyangan Tawur Agung Kesanga yang digelar satu hari sebelum Hari Nyepi. Di Kota Denpasar, Tawur Agung Kesanga dipusatkan di Lapangan Puputan Badung, Senin (27/3). Selama Nyepi pada Selasa (28/3), masyarakat di Bali membatasi aktivitasnya. KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi ini penting disadari dalam rangka pembangunan jiwa. Proyek-proyek fisik mesti diimbangi dengan proyek-proyek meta-fisik. Pemberdayaan sedalam-dalamnya peran kebudayaan dan peran seni dalam pengertian lebih luas akan menyalakan gen peradaban batin bangsa ini. Betapa di situ, seluruh dimensi pembangunan tak cuma menyentuh pembangunan fisik, tapi turut serta merawat jiwa anak-anak bangsa.

Krisis semesta hidup yang kita alami hari ini boleh jadi berhulu sumber pada krisis kejiwaan– krisis moral. Karena yang sesungguhnya terjadi jiwa-lah yang lupa kita rawat. Praktik pendidikan jauh dari spirit pemuliaan hidup. Seperti mencetak robot-robot tak berjiwa. Otak mereka cerdas, tapi jiwa-jiwa mereka lemah, moral mereka tak menyala. Kita lupa mengajarkan kesederhanaan, kita lupa mendidik mereka memaknai hidup, saling menghormati dan bertanggung jawab. Kita tahu, kemulian itu sejatinya adalah kebaikan-kebaikan kecil yang menyala di setiap sanubari anak bangsa.

Melawan ketamakan diri

Dan kita semua sesungguhnya butuh Nyepi. Kita butuh energi untuk melawan ketamakan diri sendiri. Bila sehari sebelum Nyepi orang Bali menggelar ritual Tawur, makna simboliknya tak semata menggembalikan unsur pembangun semesta hidup untuk menjadi segar kembali, akan tetapi ini sekaligus menjadi ajang "pertempuran" tak pernah henti. Pertempuran melawan musuh-musuh di dalam diri, melawan; ketamakan, kemalasan, kedengkian, kemarahan, kebodohan, dan karakter-karakter rendah lainnya.

Tradisi Setelah Nyepi – Sehari setelah Hari Nyepi, warga Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, mengikuti tradisi mebuug-buugan dengan melumuri sekujur tubuh mereka dengan lumpur di tengah hutan mangrove Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai, Kuta, Rabu (29/3). Seusai melumuri tubuh dengan lumpur, warga kemudian bersembahyang dan membersihkan diri di Pantai Kedonganan. Tradisi mebuug-buugan pada hari Ngembak Geni itu bertujuan menetralkan sifat buruk untuk menyongsong hari yang baru setelah menjalani Nyepi pada Selasa (28/3). Kompas/Cokorda Yudistira (COK) 29-03-2017

Nyepi bukanlah pertunjukan kolosal yang riuh, bukan perjalanan keluar dengan pesta melimpah, penuh sorak gempita. Nyepi menjanjikan bahwa keheningan itu adalah juga nutrisi jiwa, yang terlalu lama kita lupakan. Keheningan yang kelak membuat jiwa-jiwa tersenyum, seperti senyum matahari saat fajar menjenguk. Kita memang telah lama membiarkan jiwa ini tak menyala, tertekan sejumlah problem tubuh dan mental. Karenanya para tetua Nusantara-Bali memberi jalan, temukan hening di dalam, saat mana, niat rendah, indria-indria liar bertemu jiwa hening di dalam — di situ semua yang kasar, kembali pada ke maha-heningan. Itulah sunyi yang membebaskan.


Bila esok hari Nyepi jatuh bertepatan dengan hari suci Saraswati, hari pemuliaan Tuhan karena telah menurunkan ilmu pengetahuan untuk membebaskan derita hidup manusia, segera kita sadar, tugas penting ilmu pengetahuan itu untuk memuliakan hidup dan mengharmonikan dunia. Tentu hanya mereka yang telah menemukan hening dalam diri bisa melakukan itu– karena ia bebas dari dialektika, ia telah melampaui tubuh dan pikiran 

I WAYAN WESTA, PEKERJA KEBUDAYAAN, TINGGAL DI DENPASAR



Kompas, 16 Maret 2018

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA