Tekun
oleh: Samuel Mulia
19 April 2015
19 April 2015
Persis di pinggir got, di sore hari sehabis hujan deras,
seorang tukang bakmi ayam sedang berbicara dengan seorang pemuda yang sedang
menyantap bakmi ayam pesanannya. Saya duduk persis di depan si pemuda menunggu
pesanan bakmi ayam. Dengan demikian, pembicaraan yang intens dari dua manusia
itu masuk tanpa halangan ke telinga ini.
Tukang bakmi dan sopir taksi
”Saya punya usaha ini sejak 1988. Satu gerobak ini saja
sampai sekarang. Orang itu harus tekun kalau mau usaha, meski sampai sekarang
ini saya masih belum bisa membesarkan usaha seperti tempat adik bekerja,”
cerita bapak tukang bakmi ayam itu.
Pemuda berbadan bongsor itu menganggukkan kepala. Saya yang
tak terlibat dalam percakapan itu, tetapi bisa mendengar jelas, turut
menganggukkan kepala dan sekaligus merasa trenyuh. Kemudian saya berpikir
ketekunan itu sungguh diperlukan, tetapi mungkin untuk berhasil masih
diperlukan kepandaian, kepekaan, jejaring, dan intuisi.
Saya bisa mengerti pernyataan bapak tukang bakmi ayam itu.
Saya juga termasuk orang yang tekun, pekerja keras. Hanya saja saya ini tak
dilengkapi dengan IQ yang memadai, hanya di perbatasan saja. Jadi meski mungkin
saya memiliki jejaring, peka, juga tak bisa sesukses orang lain.
Beberapa hari sebelumnya, di suatu pagi saya menumpang
sebuah taksi menuju kantor. Semua berjalan tenang sampai saat suara taksi
menabrak mobil di depannya terdengar. Sopir taksi itu kaget, kemudian menepi.
Seorang bapak mengenakan kacamata, yang memiliki kendaraan yang ditabrak,
datang menghampirinya.
Menyingkat cerita itu, setelah mereka bercakap-cakap, sopir
taksi itu berkata begini sambil melanjutkan perjalanan kembali ke kantor saya.
”Saya sempat ketiduran tadi, Mas. Selamat, bapaknya baik sekali. Saya mengaku
saya ketiduran dan dia hanya bilang lain kali hati-hati, istirahat kalau sudah
enggak kuat. Mesti jaga keselamatan penumpang dan diri sendiri.”
Saya juga turut kaget dengan pengakuannya itu. Kagetnya,
karena saya menganggap mobil berjalan tenang, ternyata si bapak sedang tidur.
Ia masih saja bercerita dan tampak terkagum-kagum bahwa korban yang ditabraknya
itu sungguh berhati mulia.
”Saya sudah lama sekali bawa taksi, Mas, tetapi saya ini
baru pertama kali lihat orang kok baik sekali.” Ia terus saja menggelengkan
kepala yang membuat saya berasumsi ia masih tak percaya bahwa masih ada orang
sebaik itu sekarang ini. Mendengar itu saya tersenyum dan merasa disinggung.
Teman lama dan saya
Di hari yang sama pada malam hari, saya bertemu dengan
seorang teman lama. Entah mengapa, kok malam itu ia juga bercerita soal
tabrakan. Hanya saja, ia yang menjadi korban tabrak lari. Sejujurnya bukan
menabrak, tetapi menyerempet dan itu pun sama sekali tak membuat kendaraannya
”terluka”.
Tetapi yang membuat saya menulis dua kejadian ini, karena
teman lama ini yang menjadi terluka sampai menuntut membayar ganti rugi serta
menahan beberapa berkas kendaraan. Tentu kalau Anda dan saya mendengar cerita
ini, mungkin Anda dan saya akan melakukan hal yang sama karena ia menabrak dan
terus lari.
Itu mungkin yang membedakan hasil akhir dari dua peristiwa
di atas yang berbeda. Satu menghadapi dan satu melarikan diri. Maka setelah
pertemuan dengan teman lama itu, saya berpikir dalam perjalanan pulang.
Pertama. Setelah setengah abad lebih dua tahun saya ini
hidup di dunia yang fana ini, siapa yang pernah merasa bahwa saya ini pernah
berbuat baik? Kapan saya mendengar orang lain bisa bersyukur bahwa saya ini
baik, dan siapa yang masih bisa melihat saya ini orang baik di saat saya toh
menjadi korban sebuah kecelakaan atau musibah? Nurani saya bernyanyi lagi. ”Elo
mimpi, elo orang baik. Elo tu kagak pernah baik kale?”
Kedua. Apakah selama ini, kalau saya punya masalah, saya ini
menghadapi dan bertanggung jawab, atau lari dari problema dan dari tanggung
jawab? Kalau saya menghadapinya, apakah saya menghadapinya dengan mengenakan
perilaku yang baik? Menghadapi dengan hati yang berani mengakui bahwa saya
keliru?
Atau saya mengenakan perilaku yang buruk dengan alasan ingin
mengajar orang agar menjadi tidak sembarangan? Apakah benar, saya ini
sejujurnya berniat mengajar, dan bukan menghajar? Atau saya ini orang yang
memang pandai mengambil kesempatan? Saya bisa melampiaskan nafsu biadab saya,
atas nama mengajar yang sungguh mulia itu?
Tiga kejadian dan cerita di atas sungguh membuat saya
seperti disengat listrik. Mungkin saya harus lebih tekun untuk tidak memelihara
iri hati dan tabiat susah memaafkan dan susah berbuat baik.
Mungkin saya harus tekun belajar untuk tidak lagi mengambil
kesempatan atau keuntungan dari sebuah perbuatan yang tidak baik. Saya
seharusnya mengambil kesempatan untuk berbuat baik kepada orang lain dengan
tanpa memiliki agenda tersembunyi yang ingin saya raih.
Mungkin juga, saya harus bertekun dalam segala situasi,
bahkan ketika saya menjadi korban, dan orang masih bisa melihat saya mengajar
dan membuat mereka naik kelas dengan cara yang baik.

0 komentar:
Posting Komentar