Menyegarkan Pemikiran Feminisme di Indonesia
oleh: Farid Muttaqin
Tidak sekali Indonesia dijadikan rujukan sebagai gerakan
feminisme progresif dalam perjuangan melawan patriarkisme, misoginisme, dan
seksisme.
Meski turunan dari ketiga sumber diskriminasi dan kekerasan
seksual dan jender tersebut sangat kompleks, seperti politik jender dan
seksualitas negara, fundamentalisme dan konservatisme agama, tradisionalisme
sosial-budaya, gerakan feminisme kita dinilai memiliki kemampuan dalam
menantang masalah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kekuatan gerakan
feminisme kita yang sanggup menggabungkan aktivisme politik dan aktivisme
intelektual, dan itu sudah berlangsung sejak awal sejarahnya.
Politik jender
RA Kartini menggagas pendidikan perempuan, salah satunya
atas dasar perenunganintelektual tentang budaya feodalisme Jawa yang tidak
emansipatorik yang berpusatpada sistem aristokrasi lokal. Nyai Walidah Ahmad
Dahlan juga demikian. Demi ikut sertadalam gerakan pembaruan pemikiran Islam
yang digagas Kiai Ahmad Dahlan, Nyai Walidah menginisiasi pendidikan agama bagi
perempuan Muslim di Yogyakarta. Nyai Walidah secara langsung sedang
menantangotoritas keislaman patriarkat. Tentu saja, Kartini dan Walidah menjadi
bagian penting dari gerakan nasionalisme Indonesia meski dalam bentuk yang
berbeda.
Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto menerapkan politik
jender dan seksualitas dengan mengenalkan ideologi ibuisme negara: formalisasi
visi dan misi keperempuanan yang tradisional sebagai ideologi jender dan
seksualitas negara. Soeharto melanggengkan peran jender berdasarkan jenis
kelamin melalui, misalnya, UU Perkawinan (UU No 1/1971) dan pembentukan
organisasi istri para pegawai pemerintahan. Soeharto menstigma Gerwani sebagai
contoh kelompok perempuan sesat karena terlalu aktif dalam ”berpolitik” dan
mengabaikan tugas tradisionalnya sebagai istri dan ibu. Yang hebat, gerakan
feminisme Indonesia di masa Soeharto mampu memahami politik jender dan
seksualitas seperti itu dan akhirnya menjadi bagian penting gerakan melawan
rezim Orde Baru dengan menekankan dimensi ketidakadilan jender dan diskriminasi
seksualitas sebagai ”misi” perjuangan.
Salah satu pencapaian penting pasca-Orde Baru adalah
berkembangnya penafsiran Al Quran berperspektif feminisme atau tafsir sensitif
jender. Agenda ini menjadi upaya sangat progresif dalam menantang dan melawan
penggunaan sumber-sumber keagamaan sebagai argumen dan legitimasi pandangan dan
perilaku patriarkat, misoginis, seksis, dan bias jender.
Dalam agenda ini tersirat kesadaran dan pemahaman di
kalangan para aktivisnya jika penggunaan sumber keislaman seperti itu merupakan
indikasi politisasi agama, terutama di kalangan pengikut fundamentalisme dan
konservatisme agama. Apalagi, juga disadari, negara di era reformasi ini lebih
sering terlihat diam dan abai terhadap persoalan ini. Tanpa kemampuan
menggabungkan aktivisme politik dan intelektual akan tidak mudah terlibat
intensif dalam agenda tafsir keislaman yang berperspektif feminisme ini.
Lalu, mengapa perlu menyegarkan (lagi) pemikiran feminisme?
Saya melihat, di luar pencapaian dan keberhasilan di atas, ada satu bagian
dalam gerakan pemikiran feminisme kita yang mengalami stagnasi, yaitu terkait
pembelajaran tentang jender dan seksualitas, dan oleh karena itu perlu
penyegaran atau pembaruan.
Salah satu pusat belajar (learning center) jender
danseksualitas adalah pelatihan jender atau pelatihan sensitivitas jender yang
difasilitasi banyak organisasi feminis. Pelatihanjender ini juga menjadi
salahsatu media utama ”pengaderan” bagi mereka yang akan dan ingin terlibat
dalam gerakan feminisme. Media lain yang cukup populer sebagai pembelajaran
jender dan seksualitas adalah diskusi warga, yang menyertakan berbagai kelompok
komunitas, seperti majelis taklim, arisan, dan pelajar.
Saya termasuk terlibat langsung dalam pelatihan jender ini,
baik sebagai ”kader” maupun akhirnya sebagai ”fasilitator”. Karena pengalaman
ini pula saya melihat stagnasi dalam aspek pembelajaran jender ini.
Pertama dan utama, stagnasi tersebut terkait materi yang
tidak (banyak) mengalami perubahan. Hampir dalam setiap kegiatan pelatihan dan
diskusi warga kita mengenalkan pengetahuan jender dan seks dalam cara pikir
dualisme yang simplistis. Misalnya seks adalah perbedaan atas dasar biologis
dan jender adalah perbedaan hasil proses sosial-budaya.
Sekarang ini pengetahuan tentang jender dan seks sudah
berkembang sangat pesat. Salah satu perkembangan paling berpengaruh adalah
tentang keterkaitan dinamis dan kompleks, tidak lagi dualistik, dalam
konstruksi jender dan seksualitas.
Sedikit contoh, banyak pandangan kita tentang ”seks” yang
selama ini melulu ”biologis” sesungguhnya dipengaruhi sistem sosial, budaya,
dan politik. Teknologi ”memilih jenis kelamin” lewat in vitro fertilization
(IVF) yang merefleksikan pandangan determinasi biologis terhadap konstruksi
jender juga menjadi bahan analisis bagi perkembangan pengetahuan jender dan
seks yang menekankan keterkaitan dinamis dan kompleks antara keduanya.
Kita harus menyadari, isu-isu terkait jender dan seks
berkembang pesat. Hal ini dengan sendirinya menuntut kita ”memperbarui”
pengetahuan dan pemikiran kita tentang keduanya sehingga bisa memberi jawaban
lebih relevan terhadap persoalan yang berkembang.
Media kaderisasi
Sebagai media kaderisasi, pembelajaran jender pada tingkat
dasar seharusnya sudah sangat menekankan aspek politik jender. Di sini, penting
sekali membangun kemampuan analitis para kader tentang bagaimana jender dan
seksualitas menjadi alat dan target politik dan politisasi rezim tertentu di
semua level, yang setiap saat juga mengalami perubahan.
Dengan pendekatan pengetahuan jender dan seks yang dualistis
dan statis, saya melihat, akan sulit menghadirkan proses pembelajaran yang bisa
menyentuh aspek politik jender secara komprehensif.
Ini sekadar contoh yang diperlukan dalam pembaruan
pembelajaran jender, bagian dari upaya penyegaran pemikiran feminisme kita.
Diharapkan, dengan penyegaran seperti ini, kita akan memiliki ”kader” gerakan
feminisme yang memiliki analisis politik kuat sekaligus mampu membangun argumen
komprehensif dalam merespons berbagai bentuk politisasi jender dan seksualitas.
Tradisi ”mengintegrasikan” aktivisme politik dan akademik sebagai kekuatan
gerakan feminisme kita dengan demikian juga akan terus berlanjut.
Farid Muttaqin, Mahasiswa Doktoral, Departemen Antropologi,
State University of New York (SUNY) Binghamton, New York, AS

0 komentar:
Posting Komentar