Negara (dan) Partai
oleh: YONKY KARMAN
"Saudara-saudara mengetahui bahwa saya sekarang bukan
anggota sesuatu partai, sekarang saya bukan anggota PKI, bukan anggota Masyumi,
bukan anggota Nahdlatul Ulama, bukan anggota Partai Nasional Indonesia. Saya
adalah warga negara Republik Indonesia yang bernama Soekarno, yang kebetulan
pada saat sekarang ini memegang jabatan presiden pertama Republik Indonesia
itu."
(Amanat pada
Peringatan Ulang Tahun Ke-30 PNI, Bandung, 3 Juli 1957)
Meski sebagai salah seorang pendiri Partai Nasional
Indonesia, Bung Karno sejak menjadi presiden memelihara relasi netralnya dengan
semua partai, termasuk ketika sedang memperjuangkan ideologi Nasakom
(Nasionalisme, Agama, dan Komunisme).
Lepas dari blunder ideologisnya, warisan berharganya adalah
konsistensi sikap politik untuk berdiri di atas semua golongan. Sayang, warisan
kenegarawanan itu belum mentradisi dalam politik kita. Presiden-presiden
selanjutnya selalu dikaitkan dengan posisi sebagai petinggi partai. Komplikasi
relasi politik dengan partai pendukung memang tak terjadi, tetapi presiden jadi
tidak netral. Keistimewaan partai(-partai) pendukung malah dimanfaatkan para
kader untuk memperluas dan memperkuat jejaring kekuasaan, yang pada akhirnya
mempermudah praktik korupsi. Apabila korupsi semasa Orde Baru terpusat, pada
masa Orde Reformasi menyebar.
Petugas partai
Sistem presidensial menggariskan presiden sebagai pemimpin
seluruh rakyat Indonesia. Semasa dicalonkan, ia bisa diklaim sebagai milik
suatu (koalisi) partai. Namun, sewaktu menjadi presiden, ia harus berdiri di
atas semua partai yang notabene bagian dari rakyat yang dipimpinnya. Survei
publik dulu juga memperlihatkan, salah satu alasan terkuat rakyat memilih
presiden yang sekarang bukan karena partainya, melainkan integritas dan
kepemimpinannya sebagai kepala daerah.
Keniscayaan calon presiden untuk diusung partai hanya karena
UU belum memberikan ruang bagi calon presiden independen. Karena peran
minimalis partai, komunitas relawan (nonpartai) bergerak all out dengan segala
cara dan tanpa pamrih untuk memobilisasi dukungan rakyat. Amat disayangkan
apabila presiden tidak mampu mengembangkan kapasitas kenegarawannya hanya
karena ia memilih untuk partisan.
Memang situasi politik pada bulan-bulan pertama pasca
pemilihan presiden masih terbelah tajam karena ambisi Koalisi Merah Putih (KMP)
untuk menguasai DPR dan MPR. Namun, elite Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
menginginkan terlalu jauh. Mengamankan posisi politik presiden diterjemahkan sebagai
memastikan presiden menjalani garis kebijakan partai. Para petinggi partai pun
terlihat sering mengunjungi istana. Malah sekarang pertemuan rutin dengan KIH
hendak dibuat lebih sering dan diformalkan.
Formalisasi komunikasi eksklusif dengan partai pendukung
justru melanggengkan keterbelahan politik di parlemen. Padahal, keterbelahan
itu kini sudah mencair dan Presiden lebih mudah berdiri di atas semua partai.
Komunikasi eksklusif dengan KIH untuk semua masalah kenegaraan akan membuat
wibawa Presiden bergantung pada dukungan sekelompok partai. Kapasitas
kenegarawanannya juga sulit berkembang.
Pemerintahlah, bukan partai, yang memiliki kapasitas
menyejahterakan rakyat. Baik untuk partai belum tentu baik untuk negara. Karena
itu, partai seharusnya tidak memasuki lingkup praksis bernegara dan memunculkan
fenomena negara di dalam negara. Komunikasi formal cukup di antara sesama kader
partai di legislatif dengan para pembantu Presiden. Partai cukup mengawal
praksis bernegara agar sejalan dengan konstitusi negara.
Bukan negara partai
Partai memang sebuah unsur penting dalam negara demokrasi
modern, tetapi ia bukan pilar demokrasi. Secara konvensional, ada tiga pilar
demokrasi (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sebagai mekanisme pengawasan
untuk meminimalisasi penyalahgunaan kekuasaan. Dalam demokrasi modern, pers
bebas diakui sebagai pilar keempat dalam menjalankan fungsi kontrol terhadap
kekuasaan.
Partai bukan pilar demokrasi, malah ia harus pertama-tama
mengembangkan kualitas demokrasi secara internal. Namun, fenomena partai kita
masih tidak jauh dari gerontokrasi, politik dinasti, dan ketua hasil aklamasi.
Partai belum mampu menjadi kawah candradimuka bagi pembentukan kader calon
pemimpin bangsa untuk masa depan. Daripada menjadi academia bagi lahirnya
gagasan politik yang besar dan memberi solusi bagi negara, partai malah menjadi
beban.
Kader partai yang menjadi pejabat negara selalu ditekankan sebagai
petugas partai dan harus tunduk pada kebijakan partai. Kebijakan partai begitu
saja diklaim sebagai kebijakan rakyat. Suara partai, suara rakyat. Bahkan,
ketua partai mempersilakan kadernya keluar dari partai apabila tidak mau
disebut sebagai petugas partai. Ungkapan merendah dari sang ketua yang
menyatakan dirinya juga petugas partai sesungguhnya hanya memuliakan partai
secara tidak proporsional. Faktanya adalah personalisasi kekuasaan di dalam
tubuh partai.
Akibat ketaktegasan Presiden mengafirmasi kenegarawananya,
para pembantunya secara diam- diam atau terbuka jadi partisan. Bahkan,
supremasi negara diuji ketika menteri juga pejabat struktural partai meski
berstatus nonaktif. Partai bukan entitas independen di atas negara dengan
relasi satu arah, dalam posisi mendukung atau beroposisi terhadap pemerintah.
Pemerintah juga punya otoritas atas partai sebagai bagian dari rakyat.
Partai seharusnya sebuah alat perjuangan ideologis. Hanya di
negara komunis dengan sistem partai tunggal, pejabat negara persis petugas
partai, bertanggung jawab kepada dan dikendalikan oleh partai. Garis kebijakan
negara sesuai dengan garis kebijakan partai. Di Indonesia, tidak ada suara
partai adalah suara rakyat, apalagi faktanya sering asimetris.
Ada indeks korupsi negara sebagai hasil perilaku elite
penyelenggara negara yang membuat skor indeks persepsi korupsi Indonesia masih
pada angka 34 (jauh sekali dari 100). Juga tidak ada indeks korupsi rakyat,
tetapi ada indeks korupsi partai dan Indonesia amat rawan dengan korupsi
politik.
Elite partai di Indonesia justru harus serius mendengarkan
aspirasi rakyat, bukannya mencampuradukkan sistem parlementer dan sistem
presidensial. Kader partai di eksekutif seharusnya diwakafkan untuk rakyat
sampai akhir masa tugasnya sehingga ia terhindar dari konflik kepentingan saat
menjadi pejabat negara. Dengan cara itu, kader partai di eksekutif lebih mudah
mengoptimalkan kapasitas kenegarawanannya.
Pada akhirnya, partai memang berhak memperlakukan kadernya
sebagai petugas partai sesuai dengan konstitusi partai. Hanya saja, konstitusi
partai bukan konstitusi negara. Presiden tidak boleh membiarkan negara
dikerdilkan sebab Indonesia bukan negara partai.

0 komentar:
Posting Komentar