Kekerasan dan Fundamentalisme Sejati
Eko Wijayanto
Negara Islam di Iran dan Suriah merupakan kebangkitan dari
gerakan anti kolonialisme sekaligus sebuah babak perjuangan melawan kapitalisme
global yang menggerogoti kekuatan negara-negara marjinal dan dunia ketiga.
Yang menjadi masalah pada rezim NIIS ini adalah klaim bahwa
mereka mengutamakan kehidupan beragama
dan kesesuaian segala aspek kehidupan dengan aturan agama, dan bukan regulasi
kesejahteraan rakyat pada umumnya. Jargon yang dikemukakan NIIS adalah "Rawat
lah agama dan kesejahteraan akan datang dengan menghampiri sendirinya!"
NIIS sebagai sebuah gerakan massa yang berbasis
fundamentalisme agama menyimpan sejumlah pertanyaan yang ambigu. Misalnya,
mengenai istilah fundamentalisme itu sendiri. Apakah NIIS ini benar-benar
otentik sebagai fundamentalisme dalam pengertian aslinya?
Menurut filsuf Slavoj Zizek, seorang fundamentalisme yang
sejati tidak akan merasa terancam dengan kehidupan pihak lain-yang berbeda
keyakinan. Fundamentalisme yang sejati diandaikan telah mendapatkan jalan
kebenaran. Karena itu, sewajarnya mereka tak perlu merasa terganggu, apalagi
terancam dengan orang lain yang berbeda keyakinan.
Zizek dalam opininya yang dimuat bulan lalu di The New York
Times berjudul "ISIS is a Disgrace to True Fundamentalism" menyatakan
bahwa NIIS adalah pseudofundamentalisme. Pseudofundamentalisme ini adalah
perbedaan gagasan akan kekuasaan yang dimiliki oleh NIIS dengan kaum Barat
modern yang mengacu pada gagasan biopower Michael Foucault: mengatur kehidupan
publik untuk menjamin kesejahteraan bersama.
Akan tetapi, hal ini tidak serta-merta membuat NIIS menjadi
konservatif ataupun pramodern dan bentuk resistensi ekstrem terhadap
modernitas, tetapi bentuk kegagapan merespons modernitas-yang serupa dengan
modernisasi konservatif seperti restorasi Meiji di Jepang pada abad ke-19.
Penting dicatat bahwa NIIS memiliki propaganda online (media
sosial seperti Twitter) dan transaksi finansial yang sangat terorganisasi
kendati praktik yang sangat modern ini digunakan untuk mengusung dan menguatkan
visi ideologi-politik yang sangat konservatif: fundamentalisme. Akan tetapi, Zizek menyoroti bahwa bahkan
gambaran akan organisasi fundamentalisme dengan disiplin dan diatur dengan
ketat juga memiliki ambiguitas: apakah operasi keagamaan tidak dilengkapi
dengan gaya militer NIIS? Walaupun ideologi NIIS yang resmi melontarkan protes
kepada permisivitas Barat, praktik sehari-hari dari kelompok NIIS meliputi
pesta berlebihan, pencurian, pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan orang
murtad.
Kesiapan heroik
Ambiguitas ini menyeret kita mempertanyakan kesiapan heroik
NIIS mewujudkan jargon utamanya merawat agama dan berjuang untuk agama.
Mengingatkan kita akan nubuat filsuf
Friedrich Nietzsche memersepsikan bagaimana peradaban Barat bergerak ke
jalan buntu manusia terakhir: makhluk apatis tanpa gairah dan komitmen.
Tampaknya perbedaan di antara reaksi permisif Dunia Pertama
dengan para fundamentalisme terhadap pandangan ini jatuh pada oposisi antara
menjalani kehidupan penuh kekayaan materi dan budaya serta mendedikasikan
kehidupan kepada kekuatan abstrak di luar batas materi. Para penghuni dunia
Barat adalah manusia terakhir Nietzschean: terlena dalam kesenangan sehari-hari
yang dangkal, sedangkan pseudofundamentalisme seperti NIIS siap mengorbankan
semua yang ia miliki, berada pada perjuangan hingga kehancuran diri.
Berbagai tindakan kekerasan NIIS yang menimbulkan kericuhan
dan pelanggaran HAM, khususnya terhadap wartawan asing dan terhadap negara
Barat, menjadi tanda bahwa NIIS ingin menunjukkan superiornya, dan keberadaan
NIIS adalah produk oposisi dari kekuasaan Barat yang dikatakan lebih besar
terhadap gerakan itu.
Meskipun dikatakan oleh Zizek bahwa NIIS adalah sebuah
gerakan menentang negara Barat dengan dasar inferioritas pada dirinya. Inferioritas NIIS, menurut Zizek, salah
satunya dibuktikan secara simbolik dari jam tangan pemimpinnya , Abu Bakar
al-Baghdadi, yang pernah terekspos wartawan adalah jam tangan mewah buatan
Swiss.
Zizek mempertanyakan apakah fundamentalisme NIIS adalah sungguh fundamentalis sejati (yang otentik)
dalam definisinya dan apakah mereka sungguh-sungguh meyakini dengan keyakinan
mereka. Mereka tidak memiliki kemampuan yang sangat mudah terlihat dari
fundamentalisme yang sejati, yakni ketiadaan kebencian atau iri-ketidakacuhan
mendalam terhadap gaya hidup orang-orang yang berbeda keyakinan.
Jika para fundamentalisme masa kini benar-benar percaya
bahwa mereka telah menemukan jalan kepada kebenaran, mengapa mereka harus
merasa terancam atau iri dengan yang berbeda keyakinan? Ironis sekali.
Seorang
fundamentalisme yang sejati adalah seperti kaum fundamentalis Buddha Tibet,
yang hidup dengan prinsip yang diyakini dan tidak akan melakukan kekerasan
kepada pihak atau keyakinan lain-karena tak perlu merasa cemas bahwa keyakinan
lain akan menjadi ancaman. Bahkan, menurut seorang fundamentalisme ateis
seperti Richard Dawkins pun, sekeras-kerasnya tindakan yang dilakukan hanyalah
berhenti pada argumen. Tak mungkin, bagi fundamentalisme yang sejati
melakukan. Kekerasan adalah aib bagi
fundamentalisme sejati.

0 komentar:
Posting Komentar