Narasi Baru Asia Afrika


Selama seminggu, 19-24 April, Jakarta dan Bandung menjadi tuan rumah perhelatan internasional, peringatan Konferensi Asia Afrika.

Tak kurang dari 90 negara dan tujuh organisasi internasional terdaftar hadir. Laiknya perayaan peringatan hari bersejarah, ada sesuatu yang dipandang perlu dirayakan. Tetapi, apa sebenarnya yang hendak dirayakan?

Hasil Konferensi Asia Afrika (KAA) 60 tahun lalu berupa Dasasila atau Semangat Bandung (Bandung Spirit), berisi 10 butir prinsip politik luar negeri. Sepintas memang ada kesan prinsip- prinsip yang digaungkan Semangat Bandung 60 tahun lalu tak banyak berbeda dengan praktik politik luar negeri saat ini, baik yang dilakukan negara secara individual maupun organisasi internasional. Sebut saja, prinsip menghormati kedaulatan suatu negara, non-intervensi dan non-agresi.

Prinsip ini masih dipegang teguh dan kerap menjadi landasan penentuan sikap terhadap isu dan konflik internasional. Secara substansial, prinsip ini tak banyak berubah hingga kini. Namun, jika dilihat konteks dan suasana politik internasional ketika KAA diselenggarakan pertama kali, Semangat Bandung menggaungkan suatu nilai baru.

Ketika dunia saat itu masih pekat diwarnai persaingan Timur-Barat dalam suasana Perang Dingin, KAA Bandung menegaskan sikap yang menolak pembentukan aliansi pertahanan bersama yang menghamba kepada kekuatan adidaya dan tekanan asing. Pada titik ini, 10 prinsip Dasasila Bandung mengerucut pada satu sikap politik dalam pergaulan internasional, yaitu independensi atau kemandirian. Menjadi pertanyaan: apakah sikap politik seperti ini masih relevan?

Jawabnya: masih. Terlebih jika dilihat apa yang terjadi di berbagai belahan dunia: di Eropa Timur (Ukraina), di Timur Tengah (Suriah dan Yaman), untuk tidak menyebut semuanya. Apa yang terjadi di Ukraina, Suriah, dan Yaman adalah contoh betapa pentingnya prinsip independensi di tengah tarikan kekuatan politik asing. Tatkala Ukraina terjepit di antara tekanan dua kekuatan besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa di satu pihak dan Rusia di pihak lain), negeri itu tercampakan dalam perpecahan bangsa.

Manakala Suriah gamang menghadapi pengaruh Barat dengan gelombang demokratisasinya di satu pihak dan pengaruh Iran dan Rusia di pihak lain, maka ia terjerembab dalam perang saudara yang keji. Ketika Yaman tak cukup arif bermain antara dua pengaruh kekuatan luar, negeriitu jatuh dalam perpecahan bangsa, antara penganut Sunni dan Syiah. Konflik di ketiga negara itu hanya menegaskan ketakberdayaan mereka dalam mengelola dengan baik pengaruh kekuatan luar akibat absennya prinsip independensi dalam politik luar negeri.

Maka, kemandirian danindependensi menjadi mantra politik luar negeri jika kita mendamba keutuhan negeri. Inilah warisan (legacy) KAA 1955 yang masih relevan dan valid dengan situasi politik global saat ini. Oleh karena itu, tatkala KAA diperingati, yang dirayakan bukanlah peristiwanya (event April 1955). Tetapi, lebih pada nilai (value) dari peristiwa itu sendiri; yaitu nilai kemandirian dan independensi dalam politik luar negeri.

Kehendak kerja sama

Selain nilai kemandirian, narasi tentang Asia Afrika juga berkait kehendak bekerja sama. KAA 1955 sejatinya embrio pembentukan Gerakan Non-Blok/GNB (Non-Alligned Movement) pada 1961. KAA dan GNB lahir dari rahim sama: kehendak politik untuk mandiri dan independen. Pada perkembangannya, ketika dunia masih diliputi suasana Perang Dingin dan ketidakadilan dalam tata ekonomi dunia, GNB mengedepankan pendekatan konfrontatif pada negara maju.

Adalah Indonesia, ketika menjadi ketua GNB dan menjadi tuan rumah KTT GNB 1992, yang menggeser paradigma hubungan antara Utara-Selatan (baca: negara maju vis a vis negara berkembang): dari konfrontasi ke kerja sama. Dengan semangat membangun kerja sama ini negara-negara Asia Afrika mengembangkan kerja sama Selatan-Selatan. Dalam beberapa program kerja samanya banyak juga melibatkan negara maju dalam bidang pendanaan yang disalurkan dalam skema kerja sama segitiga (triangle cooperation).

Kerja sama segitiga, antara dua negara berkembang Asia Afrika dan 1 negara maju, menyodorkan narasi baru tentang Asia Afrika: meski menganut paham kemandirian dan independensi dalam politik luar negeri, Asia Afrika membuka kerja sama dengan negara maju.

Kerja sama antarnegara Asia Afrika (kerja sama Selatan-Selatan) dan dengan negara maju menjadi keniscayaan manakala kita melihat data pembangunan ekonomi di banyak negara Asia Afrika. Menurut The Economist, sepertiga bangsa Asia masih hidup di bawah 1,51 dollar AS per hari. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa hampirseparuh bangsa Afrika masih hidup kurang dari 1,25 dollar AS per hari.

Hubungan dagang antara kedua benua ini pun belum berimbang. Pada 2013, Asia hanya mengimpor produk Afrika sebanyak 3,3 persen dari seluruh nilai impornya dari seluruh dunia. Sebaliknya, Afrika mengimpor produk Asia sebesar 39,9 persen dari seluruh impornya. Ada ketidakseimbangan di sini. Pun dalam hal investasi. Data Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2014 mengungkapkan dari seluruh investasi asing di Afrika, 28 persen berasal dari Asia. Sebaliknya di Asia, hanya 0,80 persen dari seluruh investasi asing dari Afrika. Lagi-lagi kita menyaksikan ketidakseimbangan hubungan ekonomi kedua benua ini.

Data ini menjadi semacam ironi, apabila melihat potensi kedua benua. Pengamat sependapat bahwa gravitasi ekonomi dunia telah bergeser, dari Amerika- Eropa ke Asia, menjadikan Asia mesin pertumbuhan dunia. Sementara Afrika adalah benua yang memiliki segala, menjadikannya sebagai benua harapan (continent of hope). Apabila kedua benua ini bekerja sama, maka akan tercipta sinergi dahsyat yang bisa memberi manfaat bagi kemakmuran kedua benua. Pemaknaan perayaan KAA kali ini hendaknya tidak direduksi sebatas merayakan peristiwa internasional 60 tahun yang lalu. Tetapi, lebih merayakan nilai dan prinsip dalam hubungan luar negeri; yaitu kemandirian dan independensi. Perayaan kali ini hendaknya dimaknai juga sebagai upaya yang menawarkan narasi baru tentang Asia Afrika: meski memegang teguh prinsip mandiri dan independen dalam politik luar negeri, tetap membuka pintu kerja sama ekonomi, baik sesama negara berkembang maupun dengannegara maju.

Darmansjah Djumala, Diplomat, Bertugas di Jakarta

0 komentar:

Mantra Membangun Desa


Promosi ”1 desa 1 miliar” pada Pemilu 2014 adalah mantra politik yang diucapkan dalam banyak pertemuan politik saat itu.

Meski materi itu bukanlah gagasan para kandidat, melainkan bersumber dari UU No 6/2014 tentang Desa, daya tarik materi kampanye itu sempat memukau masyarakat yang mengimpikan pembangunan desa dengan paradigma desa membangun menuju kesejahteraan dan keadilan.

Secara sederhana, paradigma ini bertolak dari pengakuan negara atas otoritas desa sebagai satu kesatuan hukum yang otonom. Desa bukan obyek pembangunan, melainkan subyek yang bisa mandiri, termasuk mendesain sektor pembangunan mana yang paling prioritas bagi sebuah desa. Tugas negara terbatas pada penyediaan alokasi dana dan berbagai standar, sementara tugas membangun diserahkan kepada desa.

Meskipun desa membangun bukan paradigma baru, karena sebelumnya telah menjadi praktik di desa-desa di beberapa wilayah, kehadiran UU Desa telah menjadi spirit baru pembangunan pedesaan. Sebelumnya pembelajaran juga diperoleh dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Pedesaan yang berlangsung selama 10 tahun. Meskipun paradigmanya sentralistis, model dan pendekatan PNPM Mandiri dalam pengambilan keputusannya mengadopsi paradigma desa membangun.

PNPM Mandiri telah berkontribusi pada peningkatan pengetahuan kepala desa dan pelaku pemberdayaan desa dengan prinsip kerja partisipatif dan orientasi pembangunan inklusif.

Menguji mantra

Begitu pemerintahan baru terbentuk, tekad UU Desa menyejahterakan masyarakat langsung menghadapi sejumlah ujian. Ujian pertama terkait dengan kewenangan kementerian yang menangani urusan desa. Ketegangan antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi ini berjalan hampir enam bulan dan baru selesai setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan dua peraturan presiden, yaitu Perpres 11/2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Perpres 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dua peraturan yang merupakan penegas dari Perpres 165/2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja pada intinya mengatur kewenangan dua kementerian terkait dengan desa. Kemendagri akan tetap memiliki kaki hingga ke desa yang dikelola Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, sedangkan Kementerian Desa akan mengurus urusan desa selain soal pemerintahan.

Jalan tengah ala Jokowi ini dianggap solusi politik tepat, tetapi tetap menyisakan potensi masalah hukum karena membonsai otonomi desa dengan tetap menjadikan desa sebagai unit pemerintahan paling rendah di bawah Kemendagri yang menganut rezim hukum pemerintahan daerah. Padahal, rezim UU Desa tegas mengatakan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang otonom dalam NKRI.

Selain itu, potensi lapangan muncul terkait kepatuhan kepala desa pada standar-standar yang dikeluarkan dua kementerian. Namun, setidaknya langkah Jokowi ini telah memutus kebekuan pembangunan desa sehingga akselerasi pembangunan desa bisa segera berjalan.

Ihwal akuntabilitas dana desa adalah ujian kedua implementasi UU Desa. April 2015 adalah awal implementasi UU Desa, khususnya tahap awal pencairan dana desa. Pada tahap awal, desa baru akan memperoleh alokasi Rp 250 juta-Rp 280 juta. Jumlah ini pun dibatasi penggunaannya sesuai dengan standar prioritas pembangunan desa, yang tertuang dalam Permendes 5/2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa. Pencairan dana juga baru bisa dilakukan setelah desa melengkapi dokumen pokok RPJM Desa, APBDesa, dan RKP Desa. Untuk pemenuhan dokumen, atas bantuan fasilitator PNPM dan inisiatif para kepala daerah, desa-desa hampir semuanya telah memenuhi.

Namun, potensi ujian justru datang dari pemerintahan desa. Memang tidak pada tempatnya pemerintah meragukan kemampuan pemerintah desa dalam mengelola keuangan. Namun, pembelajaran praktik PNPM menunjukkan bahwa dana pemberdayaan sering kali akuntabel di atas kertas, tetapi di lapangan tidak banyak dirasakan masyarakat. Betul bahwa hanya di angka 0,5 persen tingkat korupsi dana PNPM (data 2012), tetapi dari berbagai kasus yang muncul, cukup bagi Kementerian Desa menjaga marwah pembangunan desa dengan standar akuntabilitas yang tinggi. Tantangan akuntabilitas ini harus dijawab oleh Kementerian Desa dengan mencipta atau mengadopsi model-model pengawasan yang telah diinisiasi PNPM atau masyarakat sipil.

Memastikan dana desa tidak dikorupsi oknum pemerintahan desa dan pemerintahan daerah tidak cukup mengandalkan pendamping yang akan direkrut oleh Kementerian Desa secara massal. Rekrutmen dalam jumlah besar, dengan kompensasi yang lumayan tinggi untuk standar sarjana, jelas berpotensi memunculkan masalah. Apalagi, standar tenaga pendamping yang ditetapkan oleh Permendes 3/2015 jauh lebih longgar dibandingkan dengan standar yang tercantum dalam UU Desa.

Marwah desa
oleh: Ismail Hasani

Mantra ”1 desa 1 miliar” memang tak mudah direalisasikan dalam tahun 2015-2016. Menteri Marwan Jafar menjanjikan baru pada 2018 dana desa bisa digenapi sesuai dengan mantra politik membangun desa seperti saat pemilu. Bahkan, jumlahnya hingga Rp 1,4 miliar sesuai dengan persentase alokasi dana dalam skema APBN pada setiap tahunnya. Mantra yang teruji secara bertahap ini bisa dimaklumi mengingat tingkat kesiapan desa yang variatif dan penerapan standar akuntabilitas tinggi dari penggunaan dana desa. Sebagai dana yang bersumber dari APBN, pengelolaan dana desa tunduk pada rezim hukum keuangan negara, di mana ia harus dikelola dengan standar akuntansi negara, termasuk menjadikan dana tersebut sebagai obyek audit BPK dan BPKP.

Dana desa berbeda dengan dana yang bersumber dari tanah bengkok. Jika pada masa sebelumnya sumber dana dari tanah bengkok menjadi otoritas penuh kepala desa, dalam skema UU Desa, dana ini harus dikelola secara transparan, akuntabel, berbasis perencanaan, dan menjadi obyek audit.

Berbagai ujian yang muncul harus dikelola secara sehat, solutif, dan berintegritas. Menteri Desa tak perlu ragu membuat jaring pengaman berlapis meski berdampak pada keterlambatan karena menjaga marwah pembangunan desa jauh lebih utama.

Ismail Hasani, Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Riset Setara Institute

0 komentar:

Menilai Kejujuran


oleh: Doni Koesoema A

Menumbuhkan nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan merupakan tantangan utama pendidikan.

Inflasi nilai, mencontek selama ujian nasional (UN), bocornya soal plus jawabannya, dan berbagai bentuk kecurangan lain, menjadi tanda kegagalan lembaga pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran. Indeks integritas sekolah (IIS) bisa menjadi solusi? Jawabannya adalah tidak! Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memperkenalkan istilah baru kepada publik terkait kebijakan UN, yaitu IIS. Indeks ini menjadi petunjuk sejauh mana sebuah sekolah memiliki tingkat kejujuran dalam melaksanakan UN. Indeks integritas ini bisa menjadi pertimbangan bagi perguruan tinggi dalam menyeleksi calon mahasiswa baru.

Di kalangan para ahli psikometrik, konsep indeks integritas ini bukanlah hal baru. Kita bisa menyebut berbagai macam teori tentang indeks integritas ini, mulai dari teori klasik yang diawali Bird (1927, 1929), Crawford (1930), Dickenson (1945), dan Anikeef (1954). Teori tentang indeks integritas kemudian dikembangkan banyak ahli psikometrik, Saupe (1960), Dunn, (1961), Angoff (1974), Holland (1996), Wollack (1997, 2006), dan Sotaridona dan Meijer (2002, 2003).

Teori tentang indeks integritas ini masih diperdebatkan. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tergantung dari cara menghitung indeks dan variabel yang diperbandingkan. Teori awal yang dikembangkan Bird (1930), misalnya, kiranya sudah tidak cocok lagi dipakai karena hanya mendasarkan diri pada perbandingan distribusi jawaban salah antara peserta yang mencontek (copier) dan yang dicontek (source) untuk menentukan indeks integritas.

Teori yang dikembangan Crawford, Dickenson, dan Anikeef masih berada di jalur yang sama, yaitu menggunakan variabel jawaban salah. Teori ini kemudian dikembangkan dengan memasukkan variabel lain, seperti distribusi jawaban benar, baik melalui analisis persamaan jawaban benar atau salah secara secara berurutan (string) (Hanson et al dan Angoff, 1974) dan acak (random).

Integritas tes

Berbagai macam teori indeks integritas, terutama yang klasik, tidak dapat diterapkan dalam konteks UN di Indonesia, karena UN di Indonesia bukan hanya ada satu varian soal, melainkan ada 20 varian soal. Teori sumber-pelaku sudah lama ditinggalkan karena tidak memiliki kekuatan memprediksi tingkat kejujuran.

Indeks integritas yang menggunakan multivariabel sering diacu untuk mengatasi kelemahan indeks integrasi sebelumnya (Angoff, 1974; Frary dan Tideman, 1997). Angoff (1974), misalnya, menggunakan indeks multivariabel untuk menentukan level integritas. Namun, penggunaan multivariabel ini pun masih banyak diperdebatkan para ahli psikometrik terkait sisi praktikalitas dan efektivitasnya. Bagi publik, terutama kalangan akademisi, tentu saja dasar pilihan teori yang dipakai Kemdikbud untuk menentukan indeks integritas sekolah perlu dipublikasi, atau paling tidak disosialisasikan, sehingga kalangan akademisi bisa meneliti dan menilai apakah analisis dan alat ukur yang dipakai oleh Kemdikbud dapat dipertanggungjawabkan.

Indeks integritas tes (IIT) kiranya lebih tepat dipakai sebagai ungkapan ketimbang IIS, karena seluruh diskursus tentang teori indeks integritas hanya mengukur indeks kejujuran sebuah tes (UN) dan tidak dapat dipakai untuk menyimpulkan perilaku jujur sebuah sekolah secara umum. Fungsi indeks integritas selalu terbatas. Karena itu, adalah keliru menggeneralisasi hasil indeks integritas tes untuk menilai kualitas kejujuran sebuah sekolah.

Rahasia?

Sistem pelaporan skor IIS dalam UN 2015 pun dipertanyakan. Nilai IIS tidak akan dipublikasi kepada masyarakat, tetapi hanya menjadi informasi yang diberikan pada sekolah dan perguruan tinggi. Pembatasan pemberian informasi publik ini membuat kita bertanya, apakah IIS merupakan rahasia negara, seperti soal UN yang bukan konsumsi publik? IIS dipakai untuk memberi tahu sekolah tentang skor nilai kejujuran sehingga sekolah dapat mengevaluasi diri dalam menanamkan nilai kejujuran ini. Kiranya informasi yang sama juga dibutuhkan orangtua dan masyarakat di mana mereka menyekolahkan anak-anaknya.

Bila secara teoretis IIS sesungguhnya tidak mengukur kualitas kejujuran sekolah, atau kejujuran seluruh anggota sekolah, melainkan hanya menilai sejauh mana dalam UN siswa satu dan yang lainnya saling mencontek melalui perbandingan data statistik jawaban benar dan salah dengan menggunakan kerangka teori tertentu, di mana kerangka teori ini pun masih diperdebatkan di kalangan para ahli psikometrik, kiranya terlalu berlebihan menganggap hasil evaluasi IIS sebagai rahasia negara.

Publik memiliki hak memperoleh informasi tentang kerangka teoretis, tujuan dan hasil dari sebuah proses evaluasi pendidikan yang diadakan oleh negara yang memengaruhi para pemangku kepentingan pendidikan, terutama orangtua.

Menilai kejujuran sekolah tidak dapat dilakukan melalui analisis statistik jawaban benar dan salah dalam sebuah ujian di mana kerangka teori yang menjadi landasannya masih banyak diperdebatkan di kalangan ahli psikometrik sendiri. Kejujuran merupakan sikap hidup yangperlu dilatih dan dibiasakan, didukung dengan lingkungan budaya, struktur, dan peraturan yang mendukung bertumbuhnya nilai penghargaan terhadap kebenaran. Sikap ini tidak dapat dinilai melalui indeks integritas sekolah yang sifatnya terbatas.

Kejujuran sebuah sekolah hanya bisa dinilai dari sejauh mana anggota-anggota sekolah itu melaksanakan nilai-nilai kejujuran semenjak mereka datang memasuki pintu gerbang sekolah sampai pulang, melalui contoh, teladan, pemberian ruang bagi praksis kejujuran yang didukung oleh aturan-aturan sekolah yang konsisten diterapkan, seperti menghilangkan budaya dan aturan katrol nilai, membuat peraturan dan sanksi tegas tentang perilaku mencontek, menghapuskan peraturan tentang kriteria ketuntasan minimal yang sering menjadi sumber ketidakjujuran guru dalam menilai siswa, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah.

Hal-hal ini kiranya lebih mendesak diperjuangkan dan diterapkan dalam lembaga pendidikan kita ketimbang memperkenalkan istilah baru kerangka teorinya masih diperdebatkan; tujuan, konsep dan metodenya dipertanyakan; dan sistem pelaporannya tertutup dan menafikan kontrol publik.IIS bukan hal fundamental yang dibutuhkan bangsa ini.

Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan

0 komentar:

Linuwih Aroma Jarik Baru

OLEH: Anggun Prameswari



Kaulah perempuan itu; perempuan yang bangun dari kematian. Entah untung atau buntung, Tuhan mengembalikan ruhmu tak lama setelah mencabutnya paksa; seperti menyentak gulma dari tanah, lalu menjejalkannya kembali sedemikian rupa.

Seminggu sebelum kejadian itu, kau tengah berladang di sawah ibumu yang cuma sepetak. Hujan deras membuatmu kuyup. Karena awalnya memang kau tak sehat betul, hawa dingin dengan cepat membuat badanmu membara setiba di rumah. Bergelung jarik, kau mengigau tak keruan. Segala obat kau telan, tetap sia-sia. Tepat di malam purnama, hari ketujuh demammu, tiba-tiba tanganmu terulur ke udara, seakan menahan sesuatu. Apakah malaikat datang merenggut paksa jiwamu, tapi kau teguh memperjuangkannya?

Samar kau ingat, air mata ibumu luruh saat melihatmu meregang nyawa. Tangisnya menyayat ke seluruh penjuru dusun. Tetangga berdatangan. Sebagian besar karena tak tega mendengar isak ibumu yang mendadak sebatang kara. Tubuhmu disemayamkan berselimut jarik baru bermotif kawung yang aroma lilinnya belum luntur. Doa para tamu dan tangis ibumu bersahut-sahutan; tak ada yang mau kalah.

Lalu, di antara riuh itu, menyeruaklah suara batuk-batuk. Pertama lirih, lama-lama melantang. Tahu-tahu kau bangkit, membuat jantung mereka setengah terlontar lepas. Mulut-mulut menganga, persis ikan-ikan yang menggelepar. Kau yang bangun-bangun bingung—masih pening oleh aroma kain penutup jenazah—ditubruk peluk limbung ibumu.

Sejak itu kau memiliki linuwih. Kemampuan ”lebih” tiba-tiba dijatuhkan begitu saja dari langit. Kau bisa tahu siapa saja yang dijemput ajal. Pertanda itu menghampirimu dalam bentuk aroma jarik baru, yang bau lilinnya masih pekat. Persis bau pertama yang kau cium setelah bangun dari matimu. Awalnya samar serupa liukan tangan penari yang menuntunmu ke atas panggung. Mau tak mau kau mengikutinya. Jika aroma itu makin kuat, maka makin dekatlah kau pada si calon mayat.

Maka selelah atau sesibuk apapun, bila aroma jarik baru mendatangimu, kau akan mencari sumbernya dan mengunjunginya untuk tanda penghormatan. Bukankah itu inti hidup? Perjalanan demi pencarian yang mengantar pada kepulangan sesungguhnya?

Hanya ibu yang tahu linuwih ini. Padanya kau memberanikan diri bertanya kenapa kau dilimpahi linuwih aroma jarik baru. Kelak akan ada satu kematian yang mengajarimu makna linuwih itu sendiri, begitu katanya sambil melipat kain jarik yang baru dicuci.

Ah, jarik selalu identik dengan ibu. Kain batik selalu membungkus tubuh mungilnya yang mirip ranting; berkali-kali meliuk ditiup angin, tapi tak kunjung patah.

Suatu kali kau menjulurkan kepala di ambang kamar ibu. Wanita itu bersimpuh. Hening dan tenang, tangannya mewiru selembar jarik. Dilipat-lipatnya pinggiran kain dengan telaten, rapi bertumpuk sama lebar. Garis putih pada ujungnya tak ditekuk ke dalam.

”Temani ibu ngawiron jarik dari bapak. Cium bau malamnya, masih baru.” Ibu mengangsurkan kain itu padamu.

Kau menghirup pekat aroma lilin. Kaubayangkan wajah bapak, tapi gagal. Bagaimana bisa mengingat orang yang kepulangannya nyenyai?

”Ngawiron iku aja nganti kleru. Lipatannya harus sama. Jangan sampai keliru, apalagi merusak keseimbangan. Hidup tidak akan harmonis dan bahagia.”

Kau membatin, apa ibu bahagia? Selembar kain batik dari bapak apa cukup mengisi kekosongan besar di hati ibu yang terlalu lama ditinggalkan? Bagimu, tidak.

”Jarik selalu ada dalam siklus hidup orang Jawa,” papar ibumu tanpa diminta. ”Alas tidur bayi, gendongan, kain basahan untuk mandi, semuanya memakai jarik. Menikah nanti, kamu dan suamimu akan berkain jarik. Bahkan ketika meninggal, jarik kawung akan menyelimutimu kembali ke alam suwung.”

Ada yang membuatmu pilu saat ibu menyebutkan kata suami. Namun kau belajar menyimpan gundah, karena itulah dada perempuan diciptakan. Ibu pun melanjutkan mewiru jarik, yang kau ketahui di kemudian hari, dikenakan ibu di pesta pernikahan bapakmu dengan istri mudanya.

”Kamu tahu kenapa bapak menghadiahi jarik ini?” bisik ibu di tengah kerumunan tamu bapak. ”Jarik artinya aja gampang serik. Mengingatkan ibu tidak boleh iri pada apa-apa yang bukan milik.”

Tersembul getir di nada ibu. Hatimu ikut teriris. Sepasang matamu merekam ibu yang berbalut jarik melangkah hati-hati, tanpa terburu; menghampiri kedua pengantin.

Begitukah keinginan bapak terhadap jalan hidup kalian? Tidak iri dan berjalan lambat menghayati tiap ketentuan yang dipilihkan, tanpa bisa menggugat?

Dan di sanalah kau mencium aroma itu. Pekat lilin baru di lembar kain mori. Samar awalnya, kemudian menguat di tiap langkahmu mendekat ke pelaminan bapak.

Kau tahu apa yang akan terjadi. Namun, kau memilih diam. Bahkan ketika lelaki itu harus tewas di atas pelaminan, ditancap perutnya berkali-kali oleh belati, karena amuk pemuda yang geram kekasihnya dinikahi bapak, kau bergeming. Bukankah itu yang dia telah tanamkan di hatimu dan ibu? Kepasrahan.

Termasuk pasrah menghayati tangis ibu; berkelindan dengan ruap aroma jarik baru yang perlahan memudar.

Ketika pagi itu kau menghirup aroma yang sama, ada rasa tak enak yang luar biasa. Tak pernah sebelumnya, rasa takut menderamu seperti itu. Kau menuju dapur, berusaha menenangkan diri dengan segelas air.

Betapa rusuh benak dan isi dadamu; aroma jarik baru itu menguat saat ibu melintas di depanmu. Nyaris saja gelas di tangan meluncur jatuh, persis jantungmu yang mencelus.

”Kau seperti baru melihat hantu,” ujar ibu berlalu menuju kamar.

Dua gelas air habis kau teguk untuk menutupi kebohongan. Dalam kepalamu, segala bayang buruk berlesatan. Apa kau sanggup hidup membayangkan hidup tanpa ibu? Sungguh, sepanjang kau memiliki linuwih ini, tak sekali pun terpikirkan ini.

Tak tahan lagi, kau terobos pintu bilik kamar ibu. Wanita itu menegakkan tubuh, menjauh dari tumpukan jarik yang tengah dirapikan.

”Mari ke kota, Bu. Membeli jarik baru,” begitu katamu tiba-tiba. ”Ada sedikit uang. Aku ingin memberi ibu hadiah.”

Sejenak mata sayu ibu mencoba membacamu. Jantungmu berderap, siap merancang kebohongan lainnya. Namun, ibu mengiyakan dan menyuruhmu menunggunya berganti baju.

Jarik terbaik dikenakannya. Rambutnya digelung rapi. Tak ada gincu atau bedak berlebihan. Dari rumah, kalian menyusuri setapak menuju jalan besar. Tak jauh dari sana ada perempatan dengan pos menunggu mobil angkutan menuju kota. Tak sedetik pun tangan ibu lepas menggamit lenganmu. Dadamu sesak. Udara yang kau hirup beraroma tajam, mengiris hatimu lamat-lamat.

Ada keakraban yang tiba-tiba muncul. Sepanjang perjalanan, ibu bercerita banyak, termasuk bagaimana kau dulu nyaris tak berhasil dilahirkan.

”Ibu sudah ikhlas, tapi ibu tetap berjuang.”

Hatimu menghangat mendengarnya.

”Persis ketika kamu sempat mati. Ibu ikhlas.”

Namun jika hal itu dibalik, kau tak yakin apa juga bisa ikhlas.

”Yang sudah ditulis takdir, tak mungkin dicurangi.”

Kau curiga ibu mengintip isi pikiranmu. Selanjutnya, ibu tak berkata apa-apa lagi. Kalian hanya diam sampai angkutan berhenti di depan pasar. Di sebuah kios, seorang emak tambun berwajah lembap keringat dan bertangan kemerincing gelang emas sepuhan menyambut kalian. Ibumu meminta diambilkan selembar batik kawung. Hatimu langsung terjun bebas.

Emak tambun itu membentangkan lembar batik motif kawung. Tak lagi bisa kau bedakan aroma linuwih atau kain pilihan ibu. Dominan hitam dan coklat tua membuat pandanganmu sekejap menggelap. Bentuk-bentuk lonjong sama besar dengan garis bersinggungan, mengingatkanmu pada lengkung kolang-kaling dengan motif serupa keping uang sen kuno. Batik kawung memang terkenal sebagai lurup—kau ingat dulu kain inilah yang menutupi jasadmu.

”Yang ini saja,” ujarnya mantap.

Kau tersenyum sekenanya, menutupi rasa gamam di dada. Ibu selalu tahu gundah apa di hatimu, binar riang di matamu, bahkan hela napasmu yang mendadak lain. Kau adalah buku yang tak pernah gagal dibaca ibu. Namun, pernahkah kau bertanya, kematian seperti apa yang diinginkan ibu?

”Kenapa jarik kawung, Bu?”

”Apa seharusnya ibu pilih truntum atau sidomukti? Memangnya sudah ada yang melamarmu?”

Seharusnya pipimu memerah. Mestinya kau salah tingkah. Namun, kau makin susah bernapas. Udara di sekelilingmu dipenuhi aroma, yang untuk pertama kalinya sejak memiliki linuwih itu, sangat kau benci.

”Bayarlah, lalu kita pulang,” ujar ibu.

Kata terakhir itu membuatmu bergidik. Pulang ke mana? Tentu saja ke rumah yang telah kalian huni bertahun-tahun. Bukan menuju keabadian.

Saat menunggu angkutan ke dusun, di depanmu ada selembar daun tertiup angin. Kau genggam tangan ibu kuat-kuat. Kau takut ibu seperti daun itu; tahu-tahu terbawa pergi.

Saat angkutan menghampiri, kau hitung detik yang tersisa. Sembari mendekap bungkusan berisi batik kawung itu, ibu memiringkan kepala menyuruhmu lekas naik.

”Ayo pulang,” ujar ibu tersenyum, seakan tahu segala rahasia yang berimpitan di kepalamu.

Walau ragu, tetap saja kau naik. Kau pejamkan mata sambil terus menggenggam tangan ibu. Iya, Bu. Kita pulang sekarang. Mobil itu melaju, sesekali berguncang melintasi jalan bergelombang. Di luar, kau lihat langit menggelap. Seakan apa yang kau punya di dada, tertular ke semesta. Kau menatap wajah ibu sekali lagi. Matanya terpejam, damai sekali. Mungkin bungkusan jarik barunya memberikan ketenangan. Kau makin takut, kalau-kalau mata itu tak terbuka lagi.

Langit pecah jadi hujan. Jalan basah makin rawan. Saat mobil berbelok di tikungan tajam, kau hendak mengingatkan sopir untuk hati-hati. Lelaki tua bertopi lebar dan berkalung handuk itu menoleh sekilas. Namun, kau takkan lupa sorot di sudut matanya. Kelam dan kosong. Kalian pernah jumpa, kau bisa merasakan itu. Mengingatkanmu pada hening alam suwung yang pernah kau kunjungi, di suatu masa.

Kembali kau disergap sesuatu. Aroma itu.

Tunggu! Ya, aku juga menciumnya. Bau lilin batik di kain yang masih baru. Makin lama makin kuat…
Karya: Yusuf Susilo Hartono

0 komentar:

Tekun

oleh: Samuel Mulia




Persis di pinggir got, di sore hari sehabis hujan deras, seorang tukang bakmi ayam sedang berbicara dengan seorang pemuda yang sedang menyantap bakmi ayam pesanannya. Saya duduk persis di depan si pemuda menunggu pesanan bakmi ayam. Dengan demikian, pembicaraan yang intens dari dua manusia itu masuk tanpa halangan ke telinga ini.

Tukang bakmi dan sopir taksi

”Saya punya usaha ini sejak 1988. Satu gerobak ini saja sampai sekarang. Orang itu harus tekun kalau mau usaha, meski sampai sekarang ini saya masih belum bisa membesarkan usaha seperti tempat adik bekerja,” cerita bapak tukang bakmi ayam itu.

Pemuda berbadan bongsor itu menganggukkan kepala. Saya yang tak terlibat dalam percakapan itu, tetapi bisa mendengar jelas, turut menganggukkan kepala dan sekaligus merasa trenyuh. Kemudian saya berpikir ketekunan itu sungguh diperlukan, tetapi mungkin untuk berhasil masih diperlukan kepandaian, kepekaan, jejaring, dan intuisi.

Saya bisa mengerti pernyataan bapak tukang bakmi ayam itu. Saya juga termasuk orang yang tekun, pekerja keras. Hanya saja saya ini tak dilengkapi dengan IQ yang memadai, hanya di perbatasan saja. Jadi meski mungkin saya memiliki jejaring, peka, juga tak bisa sesukses orang lain.

Beberapa hari sebelumnya, di suatu pagi saya menumpang sebuah taksi menuju kantor. Semua berjalan tenang sampai saat suara taksi menabrak mobil di depannya terdengar. Sopir taksi itu kaget, kemudian menepi. Seorang bapak mengenakan kacamata, yang memiliki kendaraan yang ditabrak, datang menghampirinya.

Menyingkat cerita itu, setelah mereka bercakap-cakap, sopir taksi itu berkata begini sambil melanjutkan perjalanan kembali ke kantor saya. ”Saya sempat ketiduran tadi, Mas. Selamat, bapaknya baik sekali. Saya mengaku saya ketiduran dan dia hanya bilang lain kali hati-hati, istirahat kalau sudah enggak kuat. Mesti jaga keselamatan penumpang dan diri sendiri.”

Saya juga turut kaget dengan pengakuannya itu. Kagetnya, karena saya menganggap mobil berjalan tenang, ternyata si bapak sedang tidur. Ia masih saja bercerita dan tampak terkagum-kagum bahwa korban yang ditabraknya itu sungguh berhati mulia.

”Saya sudah lama sekali bawa taksi, Mas, tetapi saya ini baru pertama kali lihat orang kok baik sekali.” Ia terus saja menggelengkan kepala yang membuat saya berasumsi ia masih tak percaya bahwa masih ada orang sebaik itu sekarang ini. Mendengar itu saya tersenyum dan merasa disinggung.

Teman lama dan saya

Di hari yang sama pada malam hari, saya bertemu dengan seorang teman lama. Entah mengapa, kok malam itu ia juga bercerita soal tabrakan. Hanya saja, ia yang menjadi korban tabrak lari. Sejujurnya bukan menabrak, tetapi menyerempet dan itu pun sama sekali tak membuat kendaraannya ”terluka”.

Tetapi yang membuat saya menulis dua kejadian ini, karena teman lama ini yang menjadi terluka sampai menuntut membayar ganti rugi serta menahan beberapa berkas kendaraan. Tentu kalau Anda dan saya mendengar cerita ini, mungkin Anda dan saya akan melakukan hal yang sama karena ia menabrak dan terus lari.

Itu mungkin yang membedakan hasil akhir dari dua peristiwa di atas yang berbeda. Satu menghadapi dan satu melarikan diri. Maka setelah pertemuan dengan teman lama itu, saya berpikir dalam perjalanan pulang.

Pertama. Setelah setengah abad lebih dua tahun saya ini hidup di dunia yang fana ini, siapa yang pernah merasa bahwa saya ini pernah berbuat baik? Kapan saya mendengar orang lain bisa bersyukur bahwa saya ini baik, dan siapa yang masih bisa melihat saya ini orang baik di saat saya toh menjadi korban sebuah kecelakaan atau musibah? Nurani saya bernyanyi lagi. ”Elo mimpi, elo orang baik. Elo tu kagak pernah baik kale?”

Kedua. Apakah selama ini, kalau saya punya masalah, saya ini menghadapi dan bertanggung jawab, atau lari dari problema dan dari tanggung jawab? Kalau saya menghadapinya, apakah saya menghadapinya dengan mengenakan perilaku yang baik? Menghadapi dengan hati yang berani mengakui bahwa saya keliru?

Atau saya mengenakan perilaku yang buruk dengan alasan ingin mengajar orang agar menjadi tidak sembarangan? Apakah benar, saya ini sejujurnya berniat mengajar, dan bukan menghajar? Atau saya ini orang yang memang pandai mengambil kesempatan? Saya bisa melampiaskan nafsu biadab saya, atas nama mengajar yang sungguh mulia itu?

Tiga kejadian dan cerita di atas sungguh membuat saya seperti disengat listrik. Mungkin saya harus lebih tekun untuk tidak memelihara iri hati dan tabiat susah memaafkan dan susah berbuat baik.

Mungkin saya harus tekun belajar untuk tidak lagi mengambil kesempatan atau keuntungan dari sebuah perbuatan yang tidak baik. Saya seharusnya mengambil kesempatan untuk berbuat baik kepada orang lain dengan tanpa memiliki agenda tersembunyi yang ingin saya raih.

Mungkin juga, saya harus bertekun dalam segala situasi, bahkan ketika saya menjadi korban, dan orang masih bisa melihat saya mengajar dan membuat mereka naik kelas dengan cara yang baik.  
 

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA