Merayakan Kemerdekaan
Oleh: AZYUMARDI AZRA
Dirgahayu Indonesia 73 tahun: 17 Agustus 2018. Sambil
mensyukuri nikmat kemerdekaan yang memberikan peluang bagi Indonesia untuk
mencapai kemajuan, banyak tantangan yang dihadapi negara ini. Oleh karena itu,
merayakan kemerdekaan seyogianya sekaligus merupakan kesempatan berefleksi dan
membulatkan tekad mengatasi berbagai masalah dan tantangan guna lebih memajukan
Indonesia menuju 100 tahun atau seabad Indonesia pada 17 Agustus 2045.
Para pelaku sejarah bisa memberikan kesaksian perjalanan
negara-bangsa ini dalam transformasinya menuju kemajuan. Berjuang menegakkan
kemerdekaan dan menghadapi banyak kesulitan pada dasawarsa awal kemerdekaan,
perasaan mereka kini agaknya campur aduk; menyaksikan kemajuan, tetapi bersama
warga lain gamang mengalami Indonesia hari ini dan pada masa depan.
Salah satu kegamangan cukup meluas terkait kesenjangan
ekonomi dan kemiskinan. Sesuai laporan BPS, untuk pertama kali sejak 1999,
persentase kemiskinan di Indonesia pada Maret 2018 berada pada satu digit 9,82
persen. Namun, jumlah rakyat miskin tetap besar, yakni 25,95 juta jiwa.
Kegamangan serius lain terkait kenyataan sepanjang 2018 dan 2019 Indonesia
berada dalam tahun politik. Kegamangan itu berkurang ketika pilkada serentak
pada 27 Juni 2018 di 171 daerah berjalan aman dan lancar.
Namun, masih ada kegamangan; apakah Pemilihan Legislatif dan
Pemilu Presiden 2019 lancar dan aman? Bila sejarah adalah perumpamaan untuk
pelajaran moral (moral lessons), pilpres secara langsung yang sudah
dilaksanakan tiga kali sejak 2004 berjalan aman dan damai. Hampir tak terjadi
kekerasan; pertikaian diselesaikan secara damai lewat Mahkamah Konstitusi.
Akan tetapi, sejarah bisa saja keluar dari polanya pada masa
silam. Penyimpangan sejarah mungkin sedikit tertepis sejak awal ketika kedua
pasangan (bakal) calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf
Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang telah mendaftarkan diri ke Komisi
Pemilihan Umum pada 10 Agustus lalu, bersepakat mendorong pemilu damai (Kompas,
11/8/2018).
Warga Indonesia yang peduli dengan masa depan negara-bangsa
ini pasti menginginkan Pemilu 2019 damai. Harapan warga banyak bergantung pada
kedua pasangan bakal capres-cawapres dan elite politik, elite sosial, dan elite
agama. Ketegangan dan kegaduhan politik di tingkat akar rumput lazimnya muncul
dan eskalatif karena pernyataan para elite politik, elite sosial, dan elite
agama. Para elite semestinya tidak memanaskan situasi dengan mengeluarkan
pernyataan tidak berdasarkan fakta dan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sayangnya, gejala seperti itu biasa disaksikan di media sosial.
Selain itu, kerawanan bisa meningkat dengan penggunaan
politik identitas terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Menurut
berbagai survei, rata-rata lebih dari 40 persen warga khawatir dengan
penggunaan isu SARA, terutama agama, dalam Pemilu 2019 (Kompas, 13/8/2018).
Bahkan, mayoritas warga, dalam jajak pendapat Kompas, cemas (55,5 persen
khawatir dan 14 persen sangat khawatir) bahwa isu SARA akan memunculkan konflik
horizontal.
Meski isu SARA—khususnya agama—terus dieksploitasi kalangan
elite politik dan elite agama, politik identitas tak pernah efektif dalam
proses politik Indonesia. Ketidakefektifan itu terkait dengan perkembangan
sosio-religius Indonesia empat dasawarsa terakhir yang membuat kian kaburnya
batas-batas keagamaan; politik identitas ataupun politik aliran.
Meskipun demikian, tetap perlu antisipasi menghadapi gejala
yang dapat mengganggu pemilu damai. Pada tingkat paling dasar, aparat yang
bertanggung jawab dalam pengawasan media sosial semestinya meningkatkan usaha
membendung penyebaran material yang dapat merusak. Publik menunggu kiprah
konkret Satuan Tugas Nusantara yang baru dibentuk Polri guna menangkal hoaks,
ujaran kebencian, dan kampanye berbau SARA.
Tak kurang pentingnya adalah peran masyarakat sipil. Memiliki
masyarakat sipil yang aktif dan dinamis (vibrant), pemilu aman dan damai dapat
terwujud melalui advokasi terus-menerus. Selain itu, organisasi masyarakat
sipil patut memberikan kontribusi pemikiran, konsep, dan program kepada kedua
pasang bakal capres-cawapres. Memang ada semacam ketidakpuasan terhadap kedua
pasangan calon itu, tetapi kekecewaan itu tidak sepatutnya diwujudkan dalam
ketidakaktifan dalam pemilu atau apatisme politik yang dapat merugikan
negara-bangsa.
Dengan demikian, merayakan kemerdekaan berjalan seiring
merayakan demokrasi. Proses politik demokrasi seyogianya tidak mengganggu
akselerasi pengisian kemerdekaan menuju Indonesia maju-jaya dan berkeadilan
menjelang 17 Agustus 2045.
Kompas, 16 Agustus 2018


0 komentar:
Posting Komentar