Menghina Akal Sehat
Oleh
: RADHAR PANCA DAHANA
Tak
sejajar dengan perkembangan sinematografi atau film layar lebar—yang belakangan
mencatat kemajuan baik dari cerita, topik, maupun hal teknis dan artistik—
karya-karya sejenis di layar kaca justru mundur signifikan.
Baik
dari segi (plot) cerita, karakter, penyutradaraan, maupun persoalan artistik
secara luas, sinema-elektronik alias sinetron jika tak dibilang sangat buruk
(tragis), ia sangat menggelikan (komedis); dua unsur teatrikal yang 2,5 milenia
jadi lambang segala bentuk seni dramatik. Tentu saja "menggelikan"
bukan karena daya atau selera (sense of) humor yang tinggi, sebaliknya,
lantaran terlalu jauh mengingkari akal sehat, bahkan menghina common sense
kita.
Umumnya
cerita dalam sinetron bergulir secara tak wajar meski seolah kenyataan (biarpun
itu fiksi yang "realis", sebagaimana genre dari semua karya
elektronik itu), tak berlangsung melalui logika hidup yang kita kenal. Cerita
melalui logika "semau gue" penulis skenario yang mungkin hanya
melayani libido komersial produser. Libido kasar yang mempersetankan apa yang
sehat bagi penonton.
Seorang
tukang bakso, misalnya, dalam sebuah peran utama di satu sinetron berperawakan
tinggi besar, berkulit putih bersih, hidung mancung, dan bibir merah basah.
Menurut indikator biologis, tubuh itu mendapat asupan makanan atau perawatan
tubuh sempurna. Cerita yang dipadati aksiden dan koinsiden seperti kliping
peristiwa "kebetulan" yang bukan cuma ganjil, melainkan juga membuat
perut mulas. Belum lagi penggunaan lokasi yang sama di banyak sinetron berbeda.
Tentu
saja semua disebabkan banyak hal, terutama tekanan pada biaya produksi serendah
mungkin, hingga pelayanan berlebihan pada selera rendah atau isu publik murahan
sebagai kiat komersialitas. Intinya, cara pandang oportunistik, menggampangkan
cara yang digunakan. Jangankan moralitas, etika atau kesantunan, bahkan hukum
formal dan informal pun diterabas demi tercapainya tujuan.
Penghinaan
akal sehat semacam itu juga kita jumpai setiap hari di jalan raya. Rambu,
marka, hingga kesantunan berlalu lintas dilanggar tanpa rasa bersalah, bahkan
merasa "benar" karena dilakukan secara masif. Para penegak hukum
dalam masalah ini seperti tidur di aspal karena membiarkan pelanggaran
berlangsung di ujung hidung. Terjadilah "kebenaran normatif" yang
sesat, membuat pengendara motor menjadi monster jalanan.
Seorang
ibu bukan saja merasa tidak bersalah ketika mengendarai motor tanpa memakai
helm, melainkan juga mengangkut hingga lima penumpang. Sering kita dikeroyok
hanya karena menegur pemotor yang melawan arus jalan. Mereka berani melawan
polisi, bahkan dengan kekerasan tanpa merasa bersalah.
Hukum
kemudian tidak lagi perkasa, tetapi lunak bahkan becek. Kenyataan yang
seharusnya disadari aparatus kepolisian telah berdampak tidak kecil bagi
hancurnya kepatuhan pada aturan hingga tumbuhnya mentalitas destruktif.
Fondasi
yang kuat
Sesungguhnya
apa yang terjadi dalam kehidupan politik kita belakangan ini tidak jauh dari
situasi banalnya dengan realitas tragik-komedik di atas. Betapa menggelikan
melihat para politisi saling melempar ujaran, hujatan, hingga fitnah, yang
sebagian (besar) sebenarnya justru mengenai diri (dan kelompok) sendiri.
Situasi
komedis ini makin tragis ketika para politisi memutar balik logika sehingga
pengecohan atau pengelabuan itu penghinaan logika (publik) itu sendiri. Dengan
membolak-balik fakta positif jadi negatif, kenyataan jadi ilusi, kebenaran jadi
kejahatan, mempermainkan dalil agama, mengagul-agulkan tokoh sebagai pemimpin
bangsa, padahal sikap kenegaraannya baru setingkat "bangun tidur".
Atau
beberapa figur yang tak risih mem-blow up diri dalam poster dan baliho sebagai
kandidat pemimpin utama negeri. Semua aksi atau manuver yang seakan menganggap
publik tak punya cukup akal sehat, menghina akal sehat kita bersama.
Apakah
situasi-situasi serupa tak terjadi dalam dunia hukum (kasus lapas saja,
misalnya), dunia akademik, bahkan dunia spiritual/agama, hingga kebudayaan
kita?
Kita
semua, seluruh elemen di negeri ini, tak memedulikan apalagi coba mengatasi
situasi ini, yang memberi ekses sangat tidak sederhana bagi hidup berbangsa
kita. Kehidupan kaum muda hingga masa depan cucu kita. Dampak situasi di atas
jelas akan meruntuhkan fondasi intelektual-mental-spiritual, semua pilar utama
dari kebudayaan kita. Pilar yang membangun sebuah bangsa, bangsa di mana satu
negara jadi perlu dan ada.
Lalu
apa yang dapat kita andalkan, apa yang menjadi modal dan arsenal bangsa untuk
menghadapi hidup kekinian yang penuh gejolak dan ketidakpastian? Apa yang bisa
membuat kita yakin dapat mewujudkan negeri yang berdaulat, bangsa yang kuat,
bahkan bermartabat?
Benarkah
semua dapat dipenuhi dengan pembangunan belaka? Benarkah semua dapat dicapai
oleh angka-angka (indikator ekonomi) makro yang plastis dan volatilitasnya
tinggi? Tidakkah semua itu harus dicapai oleh satu fundamen yang teguh, berakar
di Bumi dan lentur menghadapi angin keras? Tidakkah infrastruktur sehebat apa
pun akan sia-sia tanpa kesadaran tinggi untuk memeliharanya?
Akhirnya,
tidakkah saudara-saudaraku di kelompok atas atau elite menyadari, justru Anda
semua yang paling memprihatinkan dalam menafikan, menyingkirkan, menghina,
bahkan mengasasinasi kebudayaan kita?
Para
penguasa sering tunarungu dan pongah karena
merasa cukup dengan kecerdasan terbatasnya sendiri. Betapapun hati
kecilnya mengakui kebenaran proposi-proposi kultural di atas, desakan
pragmatisme dan oportunisme material membuat mereka meninggalkan kedaruratan
kebudayaan, bahkan jika perlu mengurbankannya dengan justru memproduksi tradisi
budaya kasar dan destruktif (bagi bangsa dan diri sendiri).
Kesepakatan
baru
Apabila
sebuah bangsa, sekurangnya mereka yang tergolong kelas utama (middle upper ke
atas), telah secara masif hidup hanya dengan orientasi personal dan sektarian
yang sempit, tidak ada konklusi lain kecuali bangsa itu sedang menyiapkan
kuburan eksistensi (peradaban)-nya sendiri. Jika benar itu yang terjadi,
kekeliruan (fallacies) yang terjadi bersifat lebih mendasar dari sekadar
praksis di atas. Ia setidaknya sistemik.
Untuk
itu, kita tampaknya harus berani mengakui keberadaan dan kenyataan bahwa semua
sistem yang kita jalani ini ternyata tidak mampu meluputkan bangsa ini dari
kedegilan zaman. Ada yang salah, kurang sempurna, tak laik atau tak kompatibel,
atau sekurangnya terlalu lemah dan mudah dikhianati dari sistem-sistem
(kenegaraan dan kemasyarakatan) yang kita gunakan saat ini.
Kesepakatan
bangsa kita akan nilai-nilai bersama, platformkebudayaan dan kebangsaan kita
ternyata begitu rapuh sehingga tak mampu dan tak memadai dalam mencegah
destruksi di semua dimensi kehidupan masyarakat. Inilah kenyataan tragis yang mau
tak mau mengimperasi kita untuk berpikir tentang platform baru di mana tak satu
pun pihak, di semua dimensi dan level sosial, alih-alih merusaknya, justru
bergerak memperkuat dan menjadikannya arsenal tangguh.
Saya
menyatakan ini bukan dengan berkhayal atau berandai-andai, melainkan karena
memang kita memiliki banyak bukti dan alasan untuk melakukan hal konstruktif
dan reformatif di atas. Sesungguhnya hampir tidak ada negara-bangsa yang besar
dan maju yang tidak melakukan hal (serupa) ini. Mereka yang kemudian berjaya,
tidak hanya survive menghadapi turbulensi zaman, bahkan tampil perkasa, penuh
daulat dan martabat di hadapan dunia dan masa depan.
Persoalannya
tinggal ketidakpercayaan diri. Para anggota utama bangsa ini, pengambil
kebijakan dan pemegang kuasa (apa pun), karena arogansi
oportunisme-materialistik, tidak percaya dan berani "mempertaruhkan"
gengsi dan tujuan temporernya untuk sebuah kerja yang memiliki impak berjangka
tidak-dekat walau itu kuat dan fundamental.
Cara
berpikir yang sudah terlalu dalam dikontaminasi oleh gaya hidup-cara berpikir
instan, memandang pembangunan (kebudayaan) sebagai perjudian berisiko terlalu
tinggi, lebih tinggi daripada risiko pasar saham, apalagi perdagangan
kelontong. Ini memang riwayat komedis, ketika politik, agama, hingga keilmuan
dijalankan oleh (mental) pedagang kelontong.
Material
atau mentalitas
Maka,
sederhana dan sebentar saja, mari kita berpikir sebagai pejabat publik atau
penanggung jawab hidup sekian puluh atau ratus ribu bawahan/pegawai, apakah anak
dan generasi kita berikut kita akan hidup nyaman atau sekadar selamat hanya
dengan tumpukan harta yang kita himpun dengan pelbagai cara?
Lihatlah
riwayat hidup kita sendiri, faktor apa yang mendukung sukses kita sekarang,
modal material yang kita warisi atau mentalitas tangguh dalam pengajaran
pengalaman? Mana yang lebih menyelamatkan kehidupan, harta dan jabatan atau
nilai yang liat dalam kebudayaan?
Mungkin
untuk akal sehat yang terlampau kerap dihina, bisa jadi jawabannya akan
menggelikan secara tragis. Namun, bagi mereka yang masih memiliki daya untuk
memelihara kesehatan akal (walau mungkin membawa penyakit bawaan) tentu dapat
menjawab secara cukup jernih betapa tujuan hidup yang ingin kita wujudkan
ditentukan oleh semua yang ada dalam diri manusia, dalam diri kita. Bukan yang
ada di luarnya. Bangsa-bangsa yang pariah dalam "faktor luar" itu
sudah membuktikan pada dunia betapa mereka jaya dengan kekuatan internal
manusianya: Singapura, Swiss, Korea Selatan, dan pelbagai negara lainnya.
Karena
itu, berani dan yakinlah kita untuk bersepakat. Negeri dan bangsa ini jauh
lebih membutuhkan kesepakatan atau platform moralitas baru, jika tidak lebih
dulu, sejajar dengan kebutuhan infrastruktur material yang memuaskan perut dan
dandanan tubuh kita.
Berikan
waktu, energi, hati, dan pikiran, juga materi yang diperlukan untuk mulai
membangun secara kolektif bangunan kuat kebudayaan kita, sebagai dasar dari
platform baru di atas. Sejarah dunia sudah membuktikan, hanya dengan cara itu
sebuah bangsa juga negara dapat bertahan atau diselamatkan dari keruntuhan yang
disebabkan aparatusnya sendiri.
Apakah
dengan data sejarah yang kuat itu Anda masih ingin berpikir, bicara, dan
berbuat hal-hal yang tetap menghina akal sehat? Tidak. Anda saya jamin tidak
akan kualat. Namun, bila tetap hal itu diperbuat, sebenarnya dunia Anda sudah
kiamat.
Radhar
Panca Dahana, Budayawan
Kompas,
18 Agustus 2018


0 komentar:
Posting Komentar