Menelisik Krisis Turki
Oleh: Arif Budimanta
Penurunan nilai tukar mata uang lira
Turki kian dalam.
Hingga Senin (13/8) telah
terdepresiasi 97,9 persen terhadap dollar AS (year on year/yoy) dan 70 persen
sejak awal 2018 (year to date). Frankel dan Rose dalam kajian berjudul Currency
Crashes in Emerging Markets: Empirical Indicators (1996) menyebutkan, krisis
mata uang terjadi apabila minimum depresiasinya 25 persen dalam satu tahun.
Dalam perspektif itu, Turki telah masuk dalam krisis mata uang.
Krisis Turki merupakan ancaman
teranyar yang membuat resah, khususnya bagi para pengelola negara dan pemilik
modal. Percikan api dari melemahnya lira terhadap dollar AS, inflasi yang
melonjak hingga 15,85 persen pada Juli 2018 (yoy), membuat daya tahan Turki
dalam menahan krisis kian lemah. Cadangan devisa terus menyusut sejak 2014.
Ketahanan ekonomi menghadapi tekanan dari pasar keuangan terus melemah, bahkan
menular ke kawasan lain.
Imbal hasil (yield) surat utang negara
Turki untuk tenor dua tahun pada hari perdagangan Senin lalu melonjak 94 basis
poin menjadi 25,74 persen. Kondisi ini, menurut Bloomberg, yang terburuk sejak
2008. Hal ini mengindikasikan makin besarnya risiko dalam pertimbangan para
investor, yang pada akhirnya kelak menjadi beban negara.
Kondisi di Turki mulai membuat kawasan
Eropa mawas diri. Saham-saham perbankan melemah. Sentimen negatif dipicu
kekhawatiran investor karena banyak perbankan Eropa yang memiliki debitor di
Turki, termasuk dari pemerintah. Data Bank for International Settlements (BIS),
total utang Turki kepada perbankan di Spanyol, Perancis, dan Italia
masing-masing 82,3 miliar dollar AS, 38,4 miliar dollar AS, dan 16,9 miliar
dollar AS per akhir kuartal I-2018.
Rendahnya tingkat tabungan di Turki
mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap utang luar negeri. Kondisi
ini menjadikan ekonomi Turki sangat rentan pada faktor eksternal, khususnya
nilai tukar.
Selain Eropa, negara-negara emerging
market (EM) juga mulai merespons negatif, tertular kondisi pasar keuangan di
Eropa. Tampaknya, negara-negara yang sedang menjadi perhatian para investor
itu, termasuk Indonesia, dianggap masuk dalam keranjang yang sama dengan Turki.
Indeks MSCI Asia Pasifik, Nikkei 225,
dan Hang Seng terkoreksi negatif. Begitu pun dengan Indeks Harga Saham Gabungan
di Bursa Efek Indonesia yang kian menjauh dari level psikologis 6.000. Para
investor asing lebih banyak melepas sahamnya ketimbang membeli (net sell).
Efek menular ke Indonesia
Di lihat dari pasar keuangan, baik
valuta maupun saham, krisis di Turki telah menular (contagion). Secara
teoretis, efek penularan di pasar keuangan ini –kelak dapat berdampak pada
kondisi ekonomi—dapat terjadi lewat dua transmisi: rasional dan irasional.
Saluran rasional terjadi melalui jalur finansial dan perdagangan. Sementara
saluran irasional lewat penurunan likuiditas di pasar keuangan dan keputusan
investor memindahkan portofolio investasi ke tempat lebih aman (flight to
quality).
Pada tragedi krisis 1997/1998 di Asia,
misalnya, Matt Pritsker (2000) mengungkapkan ada kemungkinan kondisi itu
terjadi melalui transmisi yang irasional karena sulit mencari hubungannya
dengan soal fundamental ekonomi. Bagaimanapun kondisinya saat ini, yang jelas
pasar keuangan Eropa dan EM telah terimbas. Kemampuan negara menghadapi
penularan krisis antara lain sangat bergantung pada resiliensi atau kemampuan
beradaptasi dan kukuh pada sektor riil dan keuangan dalam menghadapi kondisi
kurang sehat.
Melalui sudut pandang ini, hubungan
Indonesia dengan Turki di sektor riil sebenarnya sangat kecil. Berdasarkan data
Kementerian Perdagangan, nilai perdagangan kedua negara hanya 1,7 miliar dollar
AS pada 2017. Tak sampai 1 persen dari total. Observasi 10 tahun terakhir
menunjukkan hubungan langsung Indonesia-Turki melalui jalur investasi juga
kecil. Sumbangan investasi langsung Turki ke Indonesia adalah 0,0-0,749 persen.
Kendati demikian, kondisi yang terjadi
di pasar keuangan relatif berbeda. Hasil studi KEIN menunjukkan, uji statistik
memperlihatkan adanya peningkatan pada korelasi di pasar saham Indonesia dan
Turki. Jika pada 2017 hanya 0,932, di tengah krisis tahun ini sudah 0,950.
Ini menunjukkan adanya hubungan kuat
di antara pasar saham di kedua negara, bahkan mulai meningkat tahun ini. Dengan
demikian, peluang terjadi efek menular krisis di Turki ke Indonesia berasal
dari pasar keuangan. Harus disadari pula, efek penularan krisis pada pasar
keuangan bukan sekadar soal statistik. Faktor psikologis atau unsur kaget dalam
menghadapi situasi ikut berkontribusi.
Karena itulah, regulator di bidang
moneter ataupun fiskal harus mampu menjaga tingkat keyakinan publik: masyarakat
ataupun dunia usaha, terutama pasar keuangan agar terhindar dari efek kejut
yang berdampak negatif tersebut. Seperti diingatkan Pritsker, resiliensi yang
dibutuhkan dalam mengantisipasi efek penularan ini adalah daya tahan institusi
keuangan.
Dalam konteks ini, keberadaan Forum
Stabilitas Sistem Keuangan yang merupakan koordinasi antara Kementerian
Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) diharapkan mampu memantau lebih dini berbagai potensi
penularan. Kerangka Protokol Manajemen Krisis yang solid dengan legalisasi dari
UU tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK)
seharusnya mampu ikut menjadi dasar terobosan regulasi.
Namun, pada tahap awal sangat penting
menjaga kepercayaan publik bahwa otoritas yang ada di Indonesia bersikap
antisipatif dan siap menghadapi efek penularan dari krisis Turki. Untuk itu,
sangat penting koordinasi antarlembaga terkait.
Kehadiran bank sentral di pasar
keuangan sangat penting dalam menjaga kredibilitas pasar keuangan melalui
konsistensi dengan kebijakan yang bersifat pencegahan. Kebijakan itu juga dapat
lebih efektif apabila dilakukan aktivasi kerja sama pertukaran mata uang
bilateral.
Selain itu, diperlukan pengurangan
utang luar negeri dalam valuta dollar, pembatasan impor yang terus menggerus
neraca perdagangan, serta stabilitas harga pangan pokok. Konsumsi pun juga
dapat didorong untuk meningkatkan perekonomian dengan memanfaatkan kegiatan
Asian Games dan sidang tahunan IMF-Bank Dunia di Bali nanti.
Dalam jangka menengah dan panjang,
pemerintah sebaiknya memperbaiki struktur neraca pembayaran, utamanya menjaga
defisit transaksi berjalan yang disebabkan oleh impor, defisit jasa, dan
pendapatan primer yang negatif. Di tengah kemungkinan pembalikan arus modal dan
spekulasi valas, kebijakan lindung nilai terhadap utang luar negeri swasta juga
menjadi penting untuk dipantau oleh pemerintah.
Ini perlu dilakukan demi memperkuat
daya tahan perekonomian dari potensi efek penularan krisis. Dengan demikian,
efek kejut semaksimal mungkin dapat dihindari mengingat adanya imbas dari
krisis di pasar keuangan global selalu terbuka.
Arif Budimanta Wakil Ketua Komite
Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN)
Kompas, 16 Agustus 2018


0 komentar:
Posting Komentar