Kepemimpinan Kemerdekaan
Oleh:
YUDI LATIF
Indonesia
merdeka tampil dengan jiwa pemenang. Sebagai pemenang revolusi, para pemimpin
bangsa memandang masa depan dengan penuh percaya diri bahwa ideal-idealnya akan
tercapai. Bagi kebanyak- an mereka, imaji demokrasi merupakan imaji dari
ideal-ideal kebangsaan itu. Demo- krasi identik dengan kebajikan dan kesento-
saan masyarakat masa depan (Feith, 1962).
Kepercayaan
diri yang tinggi itu tecermin dalam gerakan kebudayaan. Kurang dari dua bulan
setelah pengakuan internasional akan kedaulatan Indonesia, pada 18 Februari
1950 sekumpulan seniman yang terhubung melalui mingguan Siaat melansir Surat
Kepercayaan Gelanggang. Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat
lantang: "Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan
kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri".
Etos
kemenangan dan kepeloporan itu tampaknya bukanlah isapan jempol. Ada masanya
Indonesia menjadi inisiator gerakan dekolonisasi, gerakan non-blok dan tatanan
dunia baru yang tepercaya. Menjelang Konferensi Asia Afrika di Bandung, sebanyak 14 sarjana humanis terkemuka dari
Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Di
antara mereka terdapat nama-nama: Miss Emily G Back, seorang ekonom dan
sosiolog, peraih hadiah Nobel untuk Perdamaian; penulis wanita Pearl Buck,
peraih hadiah Nobel, dan juga peraih hadiah Pulitzer; SR Marlow, mahaguru agama;
Lewis Munford, ahli filsafat dan sejarah, dan lain-lain.
Surat
itu berisi pengharapan pada Indonesia: "Banyak penduduk dunia hidup dalam
kemelaratan, banyak yang hidup dirundung ketakutan, banyak lagi yang asyik
membentuk blok-blok. Di tengah- tengah tekanan dan kekacauan situasi demikian,
kami membuat surat ini…. Dunia telah jemu akan penindasan, dogma, dan
peperangan. Dunia telah jemu melihat nafsu penjajah pelbagai negara, atau nafsu
mendirikan pakta-pakta pertahanan. Besar harapan kami kepada Tuan, mudah-
mudahan Tuan dapat memecahkan semua masalah dengan merdeka; untuk merumuskan
dasar-dasar masyarakat baru…. Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi
Asoka untuk menyatukan kembali dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan
cinta sesama, suatu dunia di mana masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik
dan masyarakat seni dapat berkembang menuju kesempurnaan".
Dari
mana ketinggian muruah Indonesia itu bermula?
Kebesaran penduduk dan keluasan wilayah negara tak menjamin kebesaran
harkat bangsanya. Sejarawan HG Wells kerap kali mengingatkan. "Apa yang
menentukan besar-kecilnya suatu bangsa?" Lantas ia simpulkan bahwa,
"Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan
kuantitas tekadnya." Tekad sebagai sikap mental(state of mind) yang
mencerminkan kuat-lemahnya jiwa bangsa.
Oleh
karena itu, Bung Karno berulang kali menekankan perlunya membesarkan jiwa
bangsa. "Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode
dalam sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada
Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar daripada Stalin adalah
jiwa Stalin; lebih besar daripada Roosevelt adalah jiwa Roosevelt… lebih besar
daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang
besar yang tidak tampak itu adalah di dalam dadanya tiap-tiap manusia, bahkan
kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka, kita sebagai manusia mempunyai
kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa
yang kita menjadi anggota daripadanya."
Dalam
pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidaklah eksis dan besar dengan sendirinya,
tetapi tumbuh atas landasan suatu keyakinan dan sikap batin yang perlu dibina
dan dipupuk sepanjang masa, terlebih kebangsaan Indonesia sebagai konstruksi
politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam suatu unit kebangsaan
baru, "untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala
tenaga dan kemampuannya".
Masa
depan bangsa
Harapan
dan peringatan kedua Bapak Bangsa di atas patut direnungkan menjelang pemilihan
umum kelima di era Reformasi. Telah berlalu masa yang panjang ketika karunia
kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya:
kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya
saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, dan keberagamaan
tak mendorong keinsafan berbudi.
Berdiri
di awal milenium baru, dalam abad kebangkitan Asia, menyentuh rasa hirau kita
tentang masa depan bangsa. Bagaimana mungkin suatu negara-bangsa yang pernah
menjadi pelopor kebangkitan Asia-Afrika justru menjadi pengekor dalam
perkembangan kawasan? Mestinya kita bisa kembali ke jalur pemenang. Kita
mewarisi sisa-sisa modal sejarah. Kita pun masih memiliki sumber daya yang
cukup untuk bangkit dari keterpurukan. Yang diperlukan adalah menyatukan segala
elemen kekuatan nasional serta menyalurkan energi nasional untuk sesuatu yang
lebih produktif.
Kepemimpinan
politik harus mampu mengarahkan energi nasional untuk memenangi masa depan,
bukan untuk terus- terusan mengutuk dan memolitisasi masa lalu. Kebiasaan kita
untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya,
membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya
(regressive politics). Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang
lebih progresif. Patriotisme yang tidak
cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa
ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya
mempertahankan, melainkan juga memperbaiki keadaan negeri.
Seturut
dengan tujuan nasional, patriotisme progresif berorientasi melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui perwujudan
keamanan-kesejahteraan, ekonomi-kesejahteraan, politik-kesejahteraan, birokrasi
kesejahteraan, dan budaya-kesejahteraan.
Untuk
itu, demokrasi yang dibayangkan sebagai manifestasi dari hal-hal yang ideal
perlu dibumikan dalam kepenuhan substansinya. Demokrasi prosedural yang
berhenti sebatas ritual-ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan
dan desain kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi kesejahteraan
dan kemajuan bangsa.
Eric
Weiner (2016) menengarai bahwa tidak ada korelasi antara era keemasan
kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu dihadirkan adalah kebebasan kreatif,
bukan demokrasi semata. China tidak pernah memiliki demokrasi, tetapi memiliki
autokrat tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi warganya untuk
mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan. Demokrasi sejati
mestinya mengandung iklim kebebasan yang lebih luas dan sehat, dengan semangat
kewargaan yang menghormati nalar dan moral publik.
Di
sini, budaya literasi kuat. Talenta, toleransi, dan teknologi berkembang. Semangat mencintai tanah air (amore
patria)menjadi kebajikan kewargaan. Pemimpin menjadi penuntun; warga menjadi
garda republik. Dalam menjalankan demokrasi substantif tersebut, kepresidenan
memainkan peran sangat menentukan. Sebagai pejabat negara yang dipilih langsung
(secara teoretis) oleh seluruh rakyat, presiden melambangkan harapan rakyat.
"Tugas terberat seorang presiden," ujar Lyndon B Johnson, presiden
ke-36 Amerika Serikat, "bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan
mengetahui apa yang benar." Untuk mengetahui apa yang benar, seorang
presiden harus menemukan panduan dari dasar filsafat dan konstitusi negara.
Komitmen
kepemimpinan negara berlandaskan konstitusi adalah berkhidmat pada upaya
mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan
publik (public goods). Hal ini berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi,
kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif. Basis legitimasi dari
institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi
tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara
imparsial.
Klaim
ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip
terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara
bebas, setara, dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap
prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah peraturan dan keputusan
yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan
pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).
Setelah
basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya adalah
kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa
demokratisasi di bidang ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan, bahwa ujung
pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada "keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Selama era Reformasi, Indonesia
telah mencapai kemajuan berarti dalam penciptaan masyarakat yang lebih
transparan dan terbuka di bidang politik.
Namun,
capaian-capaian ini sering kali dimentahkan oleh keterpurukan dan kesenjangan
ekonomi. Dalam pandangan Joseph E Stiglitz (2005), menciptakan kesejahteraan
umum di negara berkembang seperti Indonesia memerlukan keseimbangan antara
peran pemerintah dan pasar. Dalam hal ini, negara berkembang harus lebih bebas
dan leluasa menentukan pilihan-pilihan kebijakan ekonominya.
Pemimpin
negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam
penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat.
Pemimpin negara, sebagai mata-hati dan mata-nalar rakyat, harus berani
mengambil sikap pro-rakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan
bangsa dan negara. Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya
kebajikan ketiga: yakni identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan
Indonesia sebagai bangsa multikultural menghendaki perwujudan civic
nationalism, dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, berlandaskan Pancasila
sebagai titik temu, titik tumpu dan titik tuju bersama dari segala keragaman.
Kesinambungan
perjuangan
Dalam
meruyaknya tarikan ke arah populisme dan politik identitas, fungsi pemimpin
negara sebagai kekuatan moderasi di antara ekstremitas masyarakat benar-benar
sedang diuji. Betapa pun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok
tertentu, sebagai pemimpin nasional, mestinya harus tetap berdiri kokoh di atas
landasan republikanisme. Terlalu mahal harganya jika segala bangunan konsensus
nasional dirobohkan demi mobilisasi dukungan dalam mengejar kepentingan politik
jangka pendek.
Suasana
memasuki peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini diwarnai oleh momen politik yang
sangat krusial, berupa penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden
(capres-cawapres). Persinggungan antara
kedua peristiwa penting itu mestinya menjadi momen pengingat, bahwa hakikat
sesungguhnya dari estafet kepemimpinan nasional adalah kesinambungan perjuangan
mencapai cita- cita kemerdekaan: mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Kemerdekaan
dari penjajahan bukanlah akhir segalanya. Ia adalah permulaan yang membangkitkan
tantangan sekaligus menuntut jawaban. Tantangan bangsa Indonesia yang begitu
besar, baik karena warisan laten maupun persoalan baru, hanya bisa dijawab oleh
para pemimpin dengan jiwa besar. Jiwa yang memiliki keluasan mental seluas
wilayah Indonesia dan kekayaan rohani sebanyak penduduk Indonesia. Jiwa yang
selalu bertanya apa yang bisa diberikan kepada negara, bukan apa yang bisa
diambil dari negara. Jiwa yang tidak mengorbankan keselamatan bangsa dan rakyat
keseluruhan hanya demi karena ambisi kekuasaan.
Jiwa
besar yang memiliki cipta besar dan mampu mengemban tanggung jawab besar.
Seperti diingatkan Bung Hatta, "Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya,
dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat
diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya
dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam
dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan
masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa
tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa
cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan
cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri."
Yudi
Latif Pengurus Aliansi Kebangsaan
Kompas,
16 Agustus 2018


0 komentar:
Posting Komentar