Binatang Politik



Oleh: M Subhan SD

Politik itu kejam. Naluri untuk mengalahkan demi berebut kekuasaan adalah sifat alamiah politik. Di politik, unsur ancaman dan kekerasan yang merupakan sifat-sifat hewani, lebih menonjol ketimbang sifat-sifat manusia yang rasional, dialogis, komunikatif, koperatif, dan konsensual. Aristoteles (384-322 SM) mendefinisikan manusia sebagai "binatang politik" (zoon politikon) untuk menyebut sebagai makhluk sosial. Memang, dalam diri manusia selalu terbalut dua sifat alamiah: baik dan jahat, kasar dan lembut, adil dan tidak adil. 

Thomas Hobbes (1588-1679) mendeskripsikan manusia sebagai pemangsa. Manusia ibarat serigala bagi sesama manusia (homo homini lupus). Istilah "manusia serigala" itu dicetuskan penulis drama Plautus (254–184 SM). Kata Plautus, manusia adalah serigalanya manusia (lupus est homo homini). Ini menandakan manusia sering menikam sesama manusia lain. Narasi yang terbangun di politik terlihat dominan soal kekerasan, kekejaman, saling menjatuhkan. Perebutan kekuasaan menjadi target dari nafsu kekerasan tersebut. 

Dengan konteks itu, dapat ditelusuri bagaimana kerasnya pertarungan di panggung demokrasi, seperti pilkada atau pilpres. Sejak Pilpres 2014, pertarungan sengit telah membelah dua kubu: pendukung Jokowi Widodo dan pendudung Prabowo Subianto. Oleh karena karakter yang saling memangsa seperti sifat binatang, sampai-sampai dua kubu itu saling mengejek dengan sebutan binatang. Fans Jokowi dicap "kecebong" dan fans Prabowo dicap "kampret". Perang antara "cebonger" versus "kampreter" begitu akut, sampai ada seruan untuk dihentikan. Perdebatan antar dua kubu itu di media sosial sungguh tidak produktif, bahkan destruktif. 

Apakah demikian sifat berpolitik? Pertanyaan paling sah diajukan kepada Machiavelli (1469-1527), tokoh yang "menghalalkan segala cara" demi kekuasaan. Tipu muslihat, licik, dan kejam sangat efektif untuk mempertahankan kekuasaan. Ini karena, Machiavelli melihat manusia memiliki sisi lain semirip sifat-sifat binatang yang rakus, bengis, kejam. Penguasa, menurut Machiavelli, bisa berlagak seperti singa ( atau rubah. Penguasa yang berkarakter singa sangat kejam dan menindas, sedangkan penguasa berwatak rubah begitu licik dengan tipu daya. 

Sepertinya politik tak jauh-jauh dari sifat-sifat binatang. Ada "politik dagang sapi". Istilah itu menunjuk praktik transaksional, tawar-menawar, atau permufakatan politik untuk bagi-bagi kekuasaan. Pada era demokrasi parlementer dekade 1950-an, kabinet sering jatuh-bangun, karena praktik politik dagang sapi. Saking gusarnya dengan kelakuan politik dagang sapi, Presiden Sukarno menyerukan untuk mengubur partai politik pada 1956. Sukarno lalu menunjuk tokoh nonpartai seperti Ir Juanda untuk membentuk kabinet kerja pada 1957.  

Ada lagi "kutu loncat". Maksudnya politikus berpindah-pindah partai politik. Dalam daftar calon anggota legislatif Pemilu 2019, tidak sedikit kader partai politik loncat ke partai lain. Telah lama terjadi kutu-kutu berloncatan setiap menjelang Pemilu. Banyak yang sinis dengan kutu loncat karena dianggap sebagai pengabdi pragmatisme politik. Ada yang menilai fenomena kutu loncat memperlihatkan moralitas politikus yang rendah. Ini karena partai politik identik dengan komitmen ideologi yang menjadi dasar perjuangan politik. 

Binatang berpolitik itu istilah dan juga kelakuan. Sifat-sifat kebinatangan yang bengis sering dijumpai di arena politik. Menyerang lawan untuk tujuan mematikan bukanlah sifat-sifat manusia waras. Lewat media sosial, politik mematikan dilancarkan dengan menebar berita bohong, hinaan, hujatan, fitnah, kebencian. Serangan bertubi-tubi agar lawan terpojok dan tak berdaya. Gaya singa maupun rubah terkadang campur baur. 

Munculnya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pilpres 2019, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang mengubah konstelasi politik diharapkan juga mengubah peta persaingan. Politik identitas boleh jadi tak lagi mujarab. Namun, tetap saja ada ide aneh. Misalnya, ada yang minta lomba renang capres-cawapres, yang langsung dibalas lomba baca kitab suci. Ada juga yang mengangkat lagi isu debat capres menggunakan bahasa Inggris. Padahal baru saja kita terpukau dengan Presiden Rusia Vladimir Putin yang berpidato dalam bahasa Rusia saat membuka Piala Dunia 2018, Juni lalu. 

Lalu, satu lagi kelakuan binatang yang "berjaya" di politik adalah kerakusan. Sifat rakus menimbulkan korupsi yang terus merajalela. Negeri ini sudah terlalu berat digelendoti korupsi. Sudah banyak politikus dan pejabat negara ditangkap KPK, tetapi korupsi tidak mati-mati. Hari Jumat (24/8/2018) kemarin terdengar Idrus Marham mundur dari jabatan sebagai menteri sosial karena kasus dugaan suap PLTU Riau-1. 

Itulah anomali politik, yang sedari awal dikonstruksikan sebagai tempat tersemainya watak-watak mulia. Dalam "binatang politik", Aristoteles justru menunjukkan manusia merupakan satu-satunya "binatang" yang mendapat anugerah kemampuan berkomunikasi. Bukan justru menunjukkan sifat-sifat kebinatangan. 

Kompas, 25 Agustus 2018





0 komentar:

Menghina Akal Sehat


Oleh : RADHAR PANCA DAHANA

Tak sejajar dengan perkembangan sinematografi atau film layar lebar—yang belakangan mencatat kemajuan baik dari cerita, topik, maupun hal teknis dan artistik— karya-karya sejenis di layar kaca justru mundur signifikan.

Baik dari segi (plot) cerita, karakter, penyutradaraan, maupun persoalan artistik secara luas, sinema-elektronik alias sinetron jika tak dibilang sangat buruk (tragis), ia sangat menggelikan (komedis); dua unsur teatrikal yang 2,5 milenia jadi lambang segala bentuk seni dramatik. Tentu saja "menggelikan" bukan karena daya atau selera (sense of) humor yang tinggi, sebaliknya, lantaran terlalu jauh mengingkari akal sehat, bahkan menghina common sense kita.

Umumnya cerita dalam sinetron bergulir secara tak wajar meski seolah kenyataan (biarpun itu fiksi yang "realis", sebagaimana genre dari semua karya elektronik itu), tak berlangsung melalui logika hidup yang kita kenal. Cerita melalui logika "semau gue" penulis skenario yang mungkin hanya melayani libido komersial produser. Libido kasar yang mempersetankan apa yang sehat bagi penonton.

Seorang tukang bakso, misalnya, dalam sebuah peran utama di satu sinetron berperawakan tinggi besar, berkulit putih bersih, hidung mancung, dan bibir merah basah. Menurut indikator biologis, tubuh itu mendapat asupan makanan atau perawatan tubuh sempurna. Cerita yang dipadati aksiden dan koinsiden seperti kliping peristiwa "kebetulan" yang bukan cuma ganjil, melainkan juga membuat perut mulas. Belum lagi penggunaan lokasi yang sama di banyak sinetron berbeda.

Tentu saja semua disebabkan banyak hal, terutama tekanan pada biaya produksi serendah mungkin, hingga pelayanan berlebihan pada selera rendah atau isu publik murahan sebagai kiat komersialitas. Intinya, cara pandang oportunistik, menggampangkan cara yang digunakan. Jangankan moralitas, etika atau kesantunan, bahkan hukum formal dan informal pun diterabas demi tercapainya tujuan.

Penghinaan akal sehat semacam itu juga kita jumpai setiap hari di jalan raya. Rambu, marka, hingga kesantunan berlalu lintas dilanggar tanpa rasa bersalah, bahkan merasa "benar" karena dilakukan secara masif. Para penegak hukum dalam masalah ini seperti tidur di aspal karena membiarkan pelanggaran berlangsung di ujung hidung. Terjadilah "kebenaran normatif" yang sesat, membuat pengendara motor menjadi monster jalanan.

Seorang ibu bukan saja merasa tidak bersalah ketika mengendarai motor tanpa memakai helm, melainkan juga mengangkut hingga lima penumpang. Sering kita dikeroyok hanya karena menegur pemotor yang melawan arus jalan. Mereka berani melawan polisi, bahkan dengan kekerasan tanpa merasa bersalah.

Hukum kemudian tidak lagi perkasa, tetapi lunak bahkan becek. Kenyataan yang seharusnya disadari aparatus kepolisian telah berdampak tidak kecil bagi hancurnya kepatuhan pada aturan hingga tumbuhnya mentalitas destruktif.

Fondasi yang kuat

Sesungguhnya apa yang terjadi dalam kehidupan politik kita belakangan ini tidak jauh dari situasi banalnya dengan realitas tragik-komedik di atas. Betapa menggelikan melihat para politisi saling melempar ujaran, hujatan, hingga fitnah, yang sebagian (besar) sebenarnya justru mengenai diri (dan kelompok) sendiri.

Situasi komedis ini makin tragis ketika para politisi memutar balik logika sehingga pengecohan atau pengelabuan itu penghinaan logika (publik) itu sendiri. Dengan membolak-balik fakta positif jadi negatif, kenyataan jadi ilusi, kebenaran jadi kejahatan, mempermainkan dalil agama, mengagul-agulkan tokoh sebagai pemimpin bangsa, padahal sikap kenegaraannya baru setingkat "bangun tidur".
Atau beberapa figur yang tak risih mem-blow up diri dalam poster dan baliho sebagai kandidat pemimpin utama negeri. Semua aksi atau manuver yang seakan menganggap publik tak punya cukup akal sehat, menghina akal sehat kita bersama.

Apakah situasi-situasi serupa tak terjadi dalam dunia hukum (kasus lapas saja, misalnya), dunia akademik, bahkan dunia spiritual/agama, hingga kebudayaan kita?

Kita semua, seluruh elemen di negeri ini, tak memedulikan apalagi coba mengatasi situasi ini, yang memberi ekses sangat tidak sederhana bagi hidup berbangsa kita. Kehidupan kaum muda hingga masa depan cucu kita. Dampak situasi di atas jelas akan meruntuhkan fondasi intelektual-mental-spiritual, semua pilar utama dari kebudayaan kita. Pilar yang membangun sebuah bangsa, bangsa di mana satu negara jadi perlu dan ada.

Lalu apa yang dapat kita andalkan, apa yang menjadi modal dan arsenal bangsa untuk menghadapi hidup kekinian yang penuh gejolak dan ketidakpastian? Apa yang bisa membuat kita yakin dapat mewujudkan negeri yang berdaulat, bangsa yang kuat, bahkan bermartabat?

Benarkah semua dapat dipenuhi dengan pembangunan belaka? Benarkah semua dapat dicapai oleh angka-angka (indikator ekonomi) makro yang plastis dan volatilitasnya tinggi? Tidakkah semua itu harus dicapai oleh satu fundamen yang teguh, berakar di Bumi dan lentur menghadapi angin keras? Tidakkah infrastruktur sehebat apa pun akan sia-sia tanpa kesadaran tinggi untuk memeliharanya?

Akhirnya, tidakkah saudara-saudaraku di kelompok atas atau elite menyadari, justru Anda semua yang paling memprihatinkan dalam menafikan, menyingkirkan, menghina, bahkan mengasasinasi kebudayaan kita?

Para penguasa sering tunarungu dan pongah karena  merasa cukup dengan kecerdasan terbatasnya sendiri. Betapapun hati kecilnya mengakui kebenaran proposi-proposi kultural di atas, desakan pragmatisme dan oportunisme material membuat mereka meninggalkan kedaruratan kebudayaan, bahkan jika perlu mengurbankannya dengan justru memproduksi tradisi budaya kasar dan destruktif (bagi bangsa dan diri sendiri).

Kesepakatan baru

Apabila sebuah bangsa, sekurangnya mereka yang tergolong kelas utama (middle upper ke atas), telah secara masif hidup hanya dengan orientasi personal dan sektarian yang sempit, tidak ada konklusi lain kecuali bangsa itu sedang menyiapkan kuburan eksistensi (peradaban)-nya sendiri. Jika benar itu yang terjadi, kekeliruan (fallacies) yang terjadi bersifat lebih mendasar dari sekadar praksis di atas. Ia setidaknya sistemik.

Untuk itu, kita tampaknya harus berani mengakui keberadaan dan kenyataan bahwa semua sistem yang kita jalani ini ternyata tidak mampu meluputkan bangsa ini dari kedegilan zaman. Ada yang salah, kurang sempurna, tak laik atau tak kompatibel, atau sekurangnya terlalu lemah dan mudah dikhianati dari sistem-sistem (kenegaraan dan kemasyarakatan) yang kita gunakan saat ini.

Kesepakatan bangsa kita akan nilai-nilai bersama, platformkebudayaan dan kebangsaan kita ternyata begitu rapuh sehingga tak mampu dan tak memadai dalam mencegah destruksi di semua dimensi kehidupan masyarakat. Inilah kenyataan tragis yang mau tak mau mengimperasi kita untuk berpikir tentang platform baru di mana tak satu pun pihak, di semua dimensi dan level sosial, alih-alih merusaknya, justru bergerak memperkuat dan menjadikannya arsenal tangguh.

Saya menyatakan ini bukan dengan berkhayal atau berandai-andai, melainkan karena memang kita memiliki banyak bukti dan alasan untuk melakukan hal konstruktif dan reformatif di atas. Sesungguhnya hampir tidak ada negara-bangsa yang besar dan maju yang tidak melakukan hal (serupa) ini. Mereka yang kemudian berjaya, tidak hanya survive menghadapi turbulensi zaman, bahkan tampil perkasa, penuh daulat dan martabat di hadapan dunia dan masa depan.

Persoalannya tinggal ketidakpercayaan diri. Para anggota utama bangsa ini, pengambil kebijakan dan pemegang kuasa (apa pun), karena arogansi oportunisme-materialistik, tidak percaya dan berani "mempertaruhkan" gengsi dan tujuan temporernya untuk sebuah kerja yang memiliki impak berjangka tidak-dekat walau itu kuat dan fundamental.

Cara berpikir yang sudah terlalu dalam dikontaminasi oleh gaya hidup-cara berpikir instan, memandang pembangunan (kebudayaan) sebagai perjudian berisiko terlalu tinggi, lebih tinggi daripada risiko pasar saham, apalagi perdagangan kelontong. Ini memang riwayat komedis, ketika politik, agama, hingga keilmuan dijalankan oleh (mental) pedagang kelontong.

Material atau mentalitas

Maka, sederhana dan sebentar saja, mari kita berpikir sebagai pejabat publik atau penanggung jawab hidup sekian puluh atau ratus ribu bawahan/pegawai, apakah anak dan generasi kita berikut kita akan hidup nyaman atau sekadar selamat hanya dengan tumpukan harta yang kita himpun dengan pelbagai cara?

Lihatlah riwayat hidup kita sendiri, faktor apa yang mendukung sukses kita sekarang, modal material yang kita warisi atau mentalitas tangguh dalam pengajaran pengalaman? Mana yang lebih menyelamatkan kehidupan, harta dan jabatan atau nilai yang liat dalam kebudayaan?

Mungkin untuk akal sehat yang terlampau kerap dihina, bisa jadi jawabannya akan menggelikan secara tragis. Namun, bagi mereka yang masih memiliki daya untuk memelihara kesehatan akal (walau mungkin membawa penyakit bawaan) tentu dapat menjawab secara cukup jernih betapa tujuan hidup yang ingin kita wujudkan ditentukan oleh semua yang ada dalam diri manusia, dalam diri kita. Bukan yang ada di luarnya. Bangsa-bangsa yang pariah dalam "faktor luar" itu sudah membuktikan pada dunia betapa mereka jaya dengan kekuatan internal manusianya: Singapura, Swiss, Korea Selatan, dan pelbagai negara lainnya.

Karena itu, berani dan yakinlah kita untuk bersepakat. Negeri dan bangsa ini jauh lebih membutuhkan kesepakatan atau platform moralitas baru, jika tidak lebih dulu, sejajar dengan kebutuhan infrastruktur material yang memuaskan perut dan dandanan tubuh kita.

Berikan waktu, energi, hati, dan pikiran, juga materi yang diperlukan untuk mulai membangun secara kolektif bangunan kuat kebudayaan kita, sebagai dasar dari platform baru di atas. Sejarah dunia sudah membuktikan, hanya dengan cara itu sebuah bangsa juga negara dapat bertahan atau diselamatkan dari keruntuhan yang disebabkan aparatusnya sendiri.

Apakah dengan data sejarah yang kuat itu Anda masih ingin berpikir, bicara, dan berbuat hal-hal yang tetap menghina akal sehat? Tidak. Anda saya jamin tidak akan kualat. Namun, bila tetap hal itu diperbuat, sebenarnya dunia Anda sudah kiamat.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Kompas, 18 Agustus 2018

0 komentar:

Menelisik Krisis Turki


Oleh: Arif Budimanta

Penurunan nilai tukar mata uang lira Turki kian dalam.

Hingga Senin (13/8) telah terdepresiasi 97,9 persen terhadap dollar AS (year on year/yoy) dan 70 persen sejak awal 2018 (year to date). Frankel dan Rose dalam kajian berjudul Currency Crashes in Emerging Markets: Empirical Indicators (1996) menyebutkan, krisis mata uang terjadi apabila minimum depresiasinya 25 persen dalam satu tahun. Dalam perspektif itu, Turki telah masuk dalam krisis mata uang.

Krisis Turki merupakan ancaman teranyar yang membuat resah, khususnya bagi para pengelola negara dan pemilik modal. Percikan api dari melemahnya lira terhadap dollar AS, inflasi yang melonjak hingga 15,85 persen pada Juli 2018 (yoy), membuat daya tahan Turki dalam menahan krisis kian lemah. Cadangan devisa terus menyusut sejak 2014. Ketahanan ekonomi menghadapi tekanan dari pasar keuangan terus melemah, bahkan menular ke kawasan lain.

Imbal hasil (yield) surat utang negara Turki untuk tenor dua tahun pada hari perdagangan Senin lalu melonjak 94 basis poin menjadi 25,74 persen. Kondisi ini, menurut Bloomberg, yang terburuk sejak 2008. Hal ini mengindikasikan makin besarnya risiko dalam pertimbangan para investor, yang pada akhirnya kelak menjadi beban negara.

Kondisi di Turki mulai membuat kawasan Eropa mawas diri. Saham-saham perbankan melemah. Sentimen negatif dipicu kekhawatiran investor karena banyak perbankan Eropa yang memiliki debitor di Turki, termasuk dari pemerintah. Data Bank for International Settlements (BIS), total utang Turki kepada perbankan di Spanyol, Perancis, dan Italia masing-masing 82,3 miliar dollar AS, 38,4 miliar dollar AS, dan 16,9 miliar dollar AS per akhir kuartal I-2018.

Rendahnya tingkat tabungan di Turki mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap utang luar negeri. Kondisi ini menjadikan ekonomi Turki sangat rentan pada faktor eksternal, khususnya nilai tukar.

Selain Eropa, negara-negara emerging market (EM) juga mulai merespons negatif, tertular kondisi pasar keuangan di Eropa. Tampaknya, negara-negara yang sedang menjadi perhatian para investor itu, termasuk Indonesia, dianggap masuk dalam keranjang yang sama dengan Turki.

Indeks MSCI Asia Pasifik, Nikkei 225, dan Hang Seng terkoreksi negatif. Begitu pun dengan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia yang kian menjauh dari level psikologis 6.000. Para investor asing lebih banyak melepas sahamnya ketimbang membeli (net sell).

Efek menular ke Indonesia

Di lihat dari pasar keuangan, baik valuta maupun saham, krisis di Turki telah menular (contagion). Secara teoretis, efek penularan di pasar keuangan ini –kelak dapat berdampak pada kondisi ekonomi—dapat terjadi lewat dua transmisi: rasional dan irasional. Saluran rasional terjadi melalui jalur finansial dan perdagangan. Sementara saluran irasional lewat penurunan likuiditas di pasar keuangan dan keputusan investor memindahkan portofolio investasi ke tempat lebih aman (flight to quality).

Pada tragedi krisis 1997/1998 di Asia, misalnya, Matt Pritsker (2000) mengungkapkan ada kemungkinan kondisi itu terjadi melalui transmisi yang irasional karena sulit mencari hubungannya dengan soal fundamental ekonomi. Bagaimanapun kondisinya saat ini, yang jelas pasar keuangan Eropa dan EM telah terimbas. Kemampuan negara menghadapi penularan krisis antara lain sangat bergantung pada resiliensi atau kemampuan beradaptasi dan kukuh pada sektor riil dan keuangan dalam menghadapi kondisi kurang sehat.

Melalui sudut pandang ini, hubungan Indonesia dengan Turki di sektor riil sebenarnya sangat kecil. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai perdagangan kedua negara hanya 1,7 miliar dollar AS pada 2017. Tak sampai 1 persen dari total. Observasi 10 tahun terakhir menunjukkan hubungan langsung Indonesia-Turki melalui jalur investasi juga kecil. Sumbangan investasi langsung Turki ke Indonesia adalah 0,0-0,749 persen.

Kendati demikian, kondisi yang terjadi di pasar keuangan relatif berbeda. Hasil studi KEIN menunjukkan, uji statistik memperlihatkan adanya peningkatan pada korelasi di pasar saham Indonesia dan Turki. Jika pada 2017 hanya 0,932, di tengah krisis tahun ini sudah 0,950.

Ini menunjukkan adanya hubungan kuat di antara pasar saham di kedua negara, bahkan mulai meningkat tahun ini. Dengan demikian, peluang terjadi efek menular krisis di Turki ke Indonesia berasal dari pasar keuangan. Harus disadari pula, efek penularan krisis pada pasar keuangan bukan sekadar soal statistik. Faktor psikologis atau unsur kaget dalam menghadapi situasi ikut berkontribusi.

Karena itulah, regulator di bidang moneter ataupun fiskal harus mampu menjaga tingkat keyakinan publik: masyarakat ataupun dunia usaha, terutama pasar keuangan agar terhindar dari efek kejut yang berdampak negatif tersebut. Seperti diingatkan Pritsker, resiliensi yang dibutuhkan dalam mengantisipasi efek penularan ini adalah daya tahan institusi keuangan.

Dalam konteks ini, keberadaan Forum Stabilitas Sistem Keuangan yang merupakan koordinasi antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diharapkan mampu memantau lebih dini berbagai potensi penularan. Kerangka Protokol Manajemen Krisis yang solid dengan legalisasi dari UU tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) seharusnya mampu ikut menjadi dasar terobosan regulasi.

Namun, pada tahap awal sangat penting menjaga kepercayaan publik bahwa otoritas yang ada di Indonesia bersikap antisipatif dan siap menghadapi efek penularan dari krisis Turki. Untuk itu, sangat penting koordinasi antarlembaga terkait.

Kehadiran bank sentral di pasar keuangan sangat penting dalam menjaga kredibilitas pasar keuangan melalui konsistensi dengan kebijakan yang bersifat pencegahan. Kebijakan itu juga dapat lebih efektif apabila dilakukan aktivasi kerja sama pertukaran mata uang bilateral.

Selain itu, diperlukan pengurangan utang luar negeri dalam valuta dollar, pembatasan impor yang terus menggerus neraca perdagangan, serta stabilitas harga pangan pokok. Konsumsi pun juga dapat didorong untuk meningkatkan perekonomian dengan memanfaatkan kegiatan Asian Games dan sidang tahunan IMF-Bank Dunia di Bali nanti.

Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah sebaiknya memperbaiki struktur neraca pembayaran, utamanya menjaga defisit transaksi berjalan yang disebabkan oleh impor, defisit jasa, dan pendapatan primer yang negatif. Di tengah kemungkinan pembalikan arus modal dan spekulasi valas, kebijakan lindung nilai terhadap utang luar negeri swasta juga menjadi penting untuk dipantau oleh pemerintah.

Ini perlu dilakukan demi memperkuat daya tahan perekonomian dari potensi efek penularan krisis. Dengan demikian, efek kejut semaksimal mungkin dapat dihindari mengingat adanya imbas dari krisis di pasar keuangan global selalu terbuka.

Arif Budimanta Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN)

Kompas, 16 Agustus 2018


0 komentar:

Kepemimpinan Kemerdekaan


Oleh: YUDI LATIF

Indonesia merdeka tampil dengan jiwa pemenang. Sebagai pemenang revolusi, para pemimpin bangsa memandang masa depan dengan penuh percaya diri bahwa ideal-idealnya akan tercapai. Bagi kebanyak- an mereka, imaji demokrasi merupakan imaji dari ideal-ideal kebangsaan itu. Demo- krasi identik dengan kebajikan dan kesento- saan masyarakat masa depan (Feith, 1962).

Kepercayaan diri yang tinggi itu tecermin dalam gerakan kebudayaan. Kurang dari dua bulan setelah pengakuan internasional akan kedaulatan Indonesia, pada 18 Februari 1950 sekumpulan seniman yang terhubung melalui mingguan Siaat melansir Surat Kepercayaan Gelanggang. Surat pernyataan itu dibuka dengan kalimat yang sangat lantang: "Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri".

Etos kemenangan dan kepeloporan itu tampaknya bukanlah isapan jempol. Ada masanya Indonesia menjadi inisiator gerakan dekolonisasi, gerakan non-blok dan tatanan dunia baru yang tepercaya. Menjelang Konferensi Asia Afrika di Bandung,  sebanyak 14 sarjana humanis terkemuka dari Amerika Serikat mengirimkan surat kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Di antara mereka terdapat nama-nama: Miss Emily G Back, seorang ekonom dan sosiolog, peraih hadiah Nobel untuk Perdamaian; penulis wanita Pearl Buck, peraih hadiah Nobel, dan juga peraih hadiah Pulitzer; SR Marlow, mahaguru agama; Lewis Munford, ahli filsafat dan sejarah, dan lain-lain.

Surat itu berisi pengharapan pada Indonesia: "Banyak penduduk dunia hidup dalam kemelaratan, banyak yang hidup dirundung ketakutan, banyak lagi yang asyik membentuk blok-blok. Di tengah- tengah tekanan dan kekacauan situasi demikian, kami membuat surat ini…. Dunia telah jemu akan penindasan, dogma, dan peperangan. Dunia telah jemu melihat nafsu penjajah pelbagai negara, atau nafsu mendirikan pakta-pakta pertahanan. Besar harapan kami kepada Tuan, mudah- mudahan Tuan dapat memecahkan semua masalah dengan merdeka; untuk merumuskan dasar-dasar masyarakat baru…. Kami sangat mengharap agar Tuan dapat menjadi Asoka untuk menyatukan kembali dunia kita dalam suatu masyarakat berdasarkan cinta sesama, suatu dunia di mana masyarakat saling mengerti, masyarakat teknik dan masyarakat seni dapat berkembang menuju kesempurnaan".

Dari mana ketinggian muruah Indonesia itu bermula?  Kebesaran penduduk dan keluasan wilayah negara tak menjamin kebesaran harkat bangsanya. Sejarawan HG Wells kerap kali mengingatkan. "Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa?" Lantas ia simpulkan bahwa, "Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa adalah kualitas dan kuantitas tekadnya." Tekad sebagai sikap mental(state of mind) yang mencerminkan  kuat-lemahnya jiwa bangsa.

Oleh karena itu, Bung Karno berulang kali menekankan perlunya membesarkan jiwa bangsa. "Tiap-tiap bangsa mempunyai orang-orang besar, tiap-tiap periode dalam sejarah mempunyai orang-orang yang besar, tetapi lebih besar daripada Mahatma Gandhi adalah jiwa Mahatma Gandhi, lebih besar daripada Stalin adalah jiwa Stalin; lebih besar daripada Roosevelt adalah jiwa Roosevelt… lebih besar daripada tiap-tiap orang besar adalah jiwa daripada orang besar itu. Jiwa yang besar yang tidak tampak itu adalah di dalam dadanya tiap-tiap manusia, bahkan kita mempunyai jiwa sebagai bangsa. Maka, kita sebagai manusia mempunyai kewajiban untuk membesarkan kita punya jiwa sendiri dan membesarkan jiwa bangsa yang kita menjadi anggota daripadanya."

Dalam pandangan Bung Hatta, sebuah bangsa tidaklah eksis dan besar dengan sendirinya, tetapi tumbuh atas landasan suatu keyakinan dan sikap batin yang perlu dibina dan dipupuk sepanjang masa, terlebih kebangsaan Indonesia sebagai konstruksi politik yang meleburkan aneka (suku) bangsa ke dalam suatu unit kebangsaan baru, "untuk mempertahankannya tiap orang harus berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya".

Masa depan bangsa

Harapan dan peringatan kedua Bapak Bangsa di atas patut direnungkan menjelang pemilihan umum kelima di era Reformasi. Telah berlalu masa yang panjang ketika karunia kekayaan dan keindahan negeri ini tak sebanding dengan martabat bangsanya: kekayaan alam tak membawa kemakmuran, kelimpahan penduduk tak memperkuat daya saing, kemajemukan kebangsaan tak memperkuat ketahanan budaya, dan keberagamaan tak mendorong keinsafan berbudi.

Berdiri di awal milenium baru, dalam abad kebangkitan Asia, menyentuh rasa hirau kita tentang masa depan bangsa. Bagaimana mungkin suatu negara-bangsa yang pernah menjadi pelopor kebangkitan Asia-Afrika justru menjadi pengekor dalam perkembangan kawasan? Mestinya kita bisa kembali ke jalur pemenang. Kita mewarisi sisa-sisa modal sejarah. Kita pun masih memiliki sumber daya yang cukup untuk bangkit dari keterpurukan. Yang diperlukan adalah menyatukan segala elemen kekuatan nasional serta menyalurkan energi nasional untuk sesuatu yang lebih produktif.

Kepemimpinan politik harus mampu mengarahkan energi nasional untuk memenangi masa depan, bukan untuk terus- terusan mengutuk dan memolitisasi masa lalu. Kebiasaan kita untuk mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive politics). Melampaui masa lalu diperlukan konsepsi patriotisme yang lebih progresif.  Patriotisme yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa ditawarkan. Proyek historisnya bukan hanya  mempertahankan, melainkan juga memperbaiki keadaan negeri.

Seturut dengan tujuan nasional, patriotisme progresif berorientasi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia melalui perwujudan keamanan-kesejahteraan, ekonomi-kesejahteraan, politik-kesejahteraan, birokrasi kesejahteraan, dan budaya-kesejahteraan.

Untuk itu, demokrasi yang dibayangkan sebagai manifestasi dari hal-hal yang ideal perlu dibumikan dalam kepenuhan substansinya. Demokrasi prosedural yang berhenti sebatas ritual-ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan dan desain kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

Eric Weiner (2016) menengarai bahwa tidak ada korelasi antara era keemasan kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu dihadirkan adalah kebebasan kreatif, bukan demokrasi semata. China tidak pernah memiliki demokrasi, tetapi memiliki autokrat tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi warganya untuk mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan. Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan yang lebih luas dan sehat, dengan semangat kewargaan yang menghormati nalar dan moral publik.

Di sini, budaya literasi kuat. Talenta, toleransi, dan teknologi berkembang.  Semangat mencintai tanah air (amore patria)menjadi kebajikan kewargaan. Pemimpin menjadi penuntun; warga menjadi garda republik. Dalam menjalankan demokrasi substantif tersebut, kepresidenan memainkan peran sangat menentukan. Sebagai pejabat negara yang dipilih langsung (secara teoretis) oleh seluruh rakyat, presiden melambangkan harapan rakyat. "Tugas terberat seorang presiden," ujar Lyndon B Johnson, presiden ke-36 Amerika Serikat, "bukanlah mengerjakan apa yang benar, melainkan mengetahui apa yang benar." Untuk mengetahui apa yang benar, seorang presiden harus menemukan panduan dari dasar filsafat dan konstitusi negara.

Komitmen kepemimpinan negara berlandaskan konstitusi adalah berkhidmat pada upaya mengamankan dan mencari keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods). Hal ini berkisar pada persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas kolektif. Basis legitimasi dari institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara imparsial.

Klaim ini bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil secara prinsip terbuka bagi proses-proses perdebatan publik (public deliberation) secara bebas, setara, dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang mengikat semua warga, dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).

Setelah basis legitimasi diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya adalah kesejahteraan ekonomi. Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan, bahwa ujung pencapaian nilai-nilai ideal kebangsaan harus bermuara pada "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Selama era Reformasi, Indonesia telah mencapai kemajuan berarti dalam penciptaan masyarakat yang lebih transparan dan terbuka di bidang politik.

Namun, capaian-capaian ini sering kali dimentahkan oleh keterpurukan dan kesenjangan ekonomi. Dalam pandangan Joseph E Stiglitz (2005), menciptakan kesejahteraan umum di negara berkembang seperti Indonesia memerlukan keseimbangan antara peran pemerintah dan pasar. Dalam hal ini, negara berkembang harus lebih bebas dan leluasa menentukan pilihan-pilihan kebijakan ekonominya.
Pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan rakyat. Pemimpin negara, sebagai mata-hati dan mata-nalar rakyat, harus berani mengambil sikap pro-rakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang merugikan bangsa dan negara. Semuanya itu merupakan prakondisi bagi terpeliharanya kebajikan ketiga: yakni identitas kolektif sebagai bangsa Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai bangsa multikultural menghendaki perwujudan civic nationalism, dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, berlandaskan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu dan titik tuju bersama dari segala keragaman.

Kesinambungan perjuangan

Dalam meruyaknya tarikan ke arah populisme dan politik identitas, fungsi pemimpin negara sebagai kekuatan moderasi di antara ekstremitas masyarakat benar-benar sedang diuji. Betapa pun mereka tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu, sebagai pemimpin nasional, mestinya harus tetap berdiri kokoh di atas landasan republikanisme. Terlalu mahal harganya jika segala bangunan konsensus nasional dirobohkan demi mobilisasi dukungan dalam mengejar kepentingan politik jangka pendek.

Suasana memasuki peringatan Hari Kemerdekaan tahun ini diwarnai oleh momen politik yang sangat krusial, berupa penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).  Persinggungan antara kedua peristiwa penting itu mestinya menjadi momen pengingat, bahwa hakikat sesungguhnya dari estafet kepemimpinan nasional adalah kesinambungan perjuangan mencapai cita- cita kemerdekaan: mewujudkan perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Kemerdekaan dari penjajahan bukanlah akhir segalanya. Ia adalah permulaan yang membangkitkan tantangan sekaligus menuntut jawaban. Tantangan bangsa Indonesia yang begitu besar, baik karena warisan laten maupun persoalan baru, hanya bisa dijawab oleh para pemimpin dengan jiwa besar. Jiwa yang memiliki keluasan mental seluas wilayah Indonesia dan kekayaan rohani sebanyak penduduk Indonesia. Jiwa yang selalu bertanya apa yang bisa diberikan kepada negara, bukan apa yang bisa diambil dari negara. Jiwa yang tidak mengorbankan keselamatan bangsa dan rakyat keseluruhan hanya demi karena ambisi kekuasaan.

Jiwa besar yang memiliki cipta besar dan mampu mengemban tanggung jawab besar. Seperti diingatkan Bung Hatta, "Indonesia, luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya. Pemerintahan negara yang semacam itu hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebesar-besarnya, kita harus mendidik diri kita dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi. Hati kita harus penuh dengan cita-cita besar, lebih besar dan lebih lama umurnya daripada kita sendiri."

Yudi Latif Pengurus Aliansi Kebangsaan


Kompas, 16 Agustus 2018


0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA