Binatang Politik
Oleh: M Subhan SD
Politik itu kejam. Naluri untuk mengalahkan demi berebut kekuasaan adalah sifat alamiah politik. Di politik, unsur ancaman dan kekerasan yang merupakan sifat-sifat hewani, lebih menonjol ketimbang sifat-sifat manusia yang rasional, dialogis, komunikatif, koperatif, dan konsensual. Aristoteles (384-322 SM) mendefinisikan manusia sebagai "binatang politik" (zoon politikon) untuk menyebut sebagai makhluk sosial. Memang, dalam diri manusia selalu terbalut dua sifat alamiah: baik dan jahat, kasar dan lembut, adil dan tidak adil.
Thomas
Hobbes (1588-1679) mendeskripsikan manusia sebagai pemangsa. Manusia ibarat
serigala bagi sesama manusia (homo homini lupus). Istilah "manusia
serigala" itu dicetuskan penulis drama Plautus (254–184 SM). Kata Plautus,
manusia adalah serigalanya manusia (lupus est homo homini). Ini menandakan
manusia sering menikam sesama manusia lain. Narasi yang terbangun di politik
terlihat dominan soal kekerasan, kekejaman, saling menjatuhkan. Perebutan
kekuasaan menjadi target dari nafsu kekerasan tersebut.
Dengan
konteks itu, dapat ditelusuri bagaimana kerasnya pertarungan di panggung
demokrasi, seperti pilkada atau pilpres. Sejak Pilpres 2014, pertarungan sengit
telah membelah dua kubu: pendukung Jokowi Widodo dan pendudung Prabowo
Subianto. Oleh karena karakter yang saling memangsa seperti sifat binatang,
sampai-sampai dua kubu itu saling mengejek dengan sebutan binatang. Fans Jokowi
dicap "kecebong" dan fans Prabowo dicap "kampret". Perang
antara "cebonger" versus "kampreter" begitu akut, sampai
ada seruan untuk dihentikan. Perdebatan antar dua kubu itu di media sosial
sungguh tidak produktif, bahkan destruktif.
Apakah
demikian sifat berpolitik? Pertanyaan paling sah diajukan kepada Machiavelli
(1469-1527), tokoh yang "menghalalkan segala cara" demi kekuasaan.
Tipu muslihat, licik, dan kejam sangat efektif untuk mempertahankan kekuasaan.
Ini karena, Machiavelli melihat manusia memiliki sisi lain semirip sifat-sifat
binatang yang rakus, bengis, kejam. Penguasa, menurut Machiavelli, bisa berlagak
seperti singa ( atau rubah. Penguasa yang berkarakter singa sangat kejam dan
menindas, sedangkan penguasa berwatak rubah begitu licik dengan tipu daya.
Sepertinya
politik tak jauh-jauh dari sifat-sifat binatang. Ada "politik dagang
sapi". Istilah itu menunjuk praktik transaksional, tawar-menawar, atau
permufakatan politik untuk bagi-bagi kekuasaan. Pada era demokrasi parlementer
dekade 1950-an, kabinet sering jatuh-bangun, karena praktik politik dagang
sapi. Saking gusarnya dengan kelakuan politik dagang sapi, Presiden Sukarno
menyerukan untuk mengubur partai politik pada 1956. Sukarno lalu menunjuk tokoh
nonpartai seperti Ir Juanda untuk membentuk kabinet kerja pada 1957.
Ada
lagi "kutu loncat". Maksudnya politikus berpindah-pindah partai
politik. Dalam daftar calon anggota legislatif Pemilu 2019, tidak sedikit kader
partai politik loncat ke partai lain. Telah lama terjadi kutu-kutu berloncatan
setiap menjelang Pemilu. Banyak yang sinis dengan kutu loncat karena dianggap
sebagai pengabdi pragmatisme politik. Ada yang menilai fenomena kutu loncat
memperlihatkan moralitas politikus yang rendah. Ini karena partai politik
identik dengan komitmen ideologi yang menjadi dasar perjuangan politik.
Binatang
berpolitik itu istilah dan juga kelakuan. Sifat-sifat kebinatangan yang bengis
sering dijumpai di arena politik. Menyerang lawan untuk tujuan mematikan
bukanlah sifat-sifat manusia waras. Lewat media sosial, politik mematikan
dilancarkan dengan menebar berita bohong, hinaan, hujatan, fitnah, kebencian.
Serangan bertubi-tubi agar lawan terpojok dan tak berdaya. Gaya singa maupun
rubah terkadang campur baur.
Munculnya
dua pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pilpres 2019, Joko
Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang mengubah konstelasi
politik diharapkan juga mengubah peta persaingan. Politik identitas boleh jadi
tak lagi mujarab. Namun, tetap saja ada ide aneh. Misalnya, ada yang minta
lomba renang capres-cawapres, yang langsung dibalas lomba baca kitab suci. Ada
juga yang mengangkat lagi isu debat capres menggunakan bahasa Inggris. Padahal
baru saja kita terpukau dengan Presiden Rusia Vladimir Putin yang berpidato
dalam bahasa Rusia saat membuka Piala Dunia 2018, Juni lalu.
Lalu,
satu lagi kelakuan binatang yang "berjaya" di politik adalah kerakusan.
Sifat rakus menimbulkan korupsi yang terus merajalela. Negeri ini sudah terlalu
berat digelendoti korupsi. Sudah banyak politikus dan pejabat negara ditangkap
KPK, tetapi korupsi tidak mati-mati. Hari Jumat (24/8/2018) kemarin terdengar
Idrus Marham mundur dari jabatan sebagai menteri sosial karena kasus dugaan
suap PLTU Riau-1.
Itulah
anomali politik, yang sedari awal dikonstruksikan sebagai tempat tersemainya
watak-watak mulia. Dalam "binatang politik", Aristoteles justru
menunjukkan manusia merupakan satu-satunya "binatang" yang mendapat
anugerah kemampuan berkomunikasi. Bukan justru menunjukkan sifat-sifat
kebinatangan.
Kompas,
25 Agustus 2018





0 komentar:
Posting Komentar