Juru Bicara Pancasila

Oleh; Fathorrahman Ghufron

Sutradara film Livi Zheng berbicara di Kongres Pancasila, Kamis (24/8/2018). Acara ini berlangsung selama dua hari di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Selain Livi, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Mahfud MD juga menjadi pembicara Kongres Pancasila ini.

Baru-baru ini, segenap masyarakat di sejumlah daerah meluapkan emosi nasionalismenya dalam perayaan Bulan Pancasila. Aneka macam kegiatan dihelat untuk membangkitkan semangat kebangsaan dan menggelorakan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.

Selama tiga bulan (Juni-Agustus), Pancasila dijadikan sebagai bulan uji eksperimentasi diri (riyadlah) untuk memperkokoh pemahaman Pancasila, menumbuhkan kecerdasan kewargaan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan moto "Kita Pancasila", berbagai elemen masyarakat diajak melafalkan sebuah pesan dan kesan yang sederhana tentang Pancasila, sekaligus digiring untuk mengerti tentang sebuah maksud dan tujuan berkehidupan bersama Pancasila.

Dalam kaitan ini, apa yang sudah dilakukan segenap masyarakat yang terlibat secara partisipatoris dalam perayaan Bulan Pancasila sejatinya dijadikan momentum refleksi ihwal urgensi berpancasila. Hal ini penting dilakukan agar Pancasila senantiasa jadi ideologi yang hidup, yang menapasi ruang gerak kita.

Fungsi juru bicara

Sebagai tindak lanjut dari itu semua, langkah awal yang perlu kita lakukan adalah kesanggupan diri menjadi juru bicara Pancasila yang senantiasa mengingatkan diri kita sendiri, dan berbagai pihak lain, untuk menyadari pentingnya menjadikan Pancasila sebagai cara pandang dan ciri berpikir dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, setidaknya Pancasila tak hanya menjadi trending topic di saat perayaan Bulan Pancasila, sebagaimana semarak dalam tiga bulan tersebut, tetapi selalu menggema dan termanifestasi di berbagai kurun waktu dan masa.

Dalam hal ini, juru bicara yang dimaksud bukan dalam artian formal terkait tugas seseorang yang diberikan pihak tertentu dalam menyampaikan berbagai informasi yang menjadi tugas dan kewenangan birokrasinya. Juru bicara di sini adalah kesadaran personal dalam menyampaikan berbagai ide dan gagasan tentang kepancasilaan di berbagai tempat dan waktu, tanpa terikat oleh otoritas posisi maupun profesi.

Juru bicara Pancasila di sini berfungsi sebagai ruang interaksi dialektis dalam menyampaikan pesan-pesan kebangsaan melalui komunikasi yang cerdas. Dengan begitu, informasi yang disampaikan dapat berdampak positif pada penambahan pengetahuan dan pengertian tentang kepancasilaan yang patut dimanifestasikan. Untuk memosisikan diri sebagai juru bicara pancasila, setiap orang perlu menggunakan cara dan pendekatan yang konstruktif agar tidak terjadi kesenjangan antara satu sama lain.

Merujuk pada pemikiran Ian G Barbour dalam buku Juru Bicara Tuhan, yang mencoba memetakan empat mazhab tentang hubungan sains dan agama yang berada dalam lingkup konflik, independensi, dialog, dan integrasi, juru bicara Pancasila perlu memperhatikan empat aspek itu sebagai kerangka epistemologis dan metodologis. Dari empat aspek tersebut, juru bicara Pancasila perlu mewaspadai pendekatan bercorak konflik dan independensi, dan lebih meneguhkan pendekatan bercorak dialog dan integrasi dalam menyampaikan spirit kepancasilaan. Hal ini penting dilakukan agar materi kepancasilaan yang dikomunikasikan tidak menimbulkan bias pemahaman dari pihak lain, tetapi mewujudkan kearifan dan perluasan pemahaman yang komprehensif.

Sebab, disadari atau tidak, selama ini nilai-nilai kepancasilaan selalu mengalami gegar dan kegaduhan di ruang publik bukan karena banyak pihak tidak mau menerima keberadaan Pancasila, tetapi lebih karena para penyampai nilai-nilai kepancasilaan terlalu berlebihan (over) dan tidak memperhatikan kode etik komunikasi yang dapat dimengerti pihak lain. Dampaknya, kegaduhan (pro dan kontra) tentang Pancasila berhenti pada pergulatan simbolisme semata, tidak menyentuh pada substansi bagaimana Pancasila diakui dan dilakoni sebagai ideologi yang hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menyikapi penyampaian kepancasilaan

Mengacu pada pikiran Barbour di atas, patut diketahui bahwa pola penyampaian spirit kepancasilaan yang menggunakan pendekatan konflik justru menimbulkan permusuhan dari pihak yang selama ini dituduh anti-Pancasila. Munculnya sekelompok penganut ultra-nasionalisme yang membangun cara pandang "menghakimi" pihak yang ditengarai tak menjalankan spirit kepancasilaan sesuai yang dipahaminya akan menimbulkan resistensi berkepanjangan.

Demikian pula penyampaian dengan menggunakan pendekatan independensi, yang memisahkan nilai kepancasilaan dengan bangunan ajaran lain, seperti dogma agama maupun norma sosial, akan menimbulkan egoisme doktrinal dan absolutisme kebenaran. Semestinya harus diakui bahwa spirit kepancasilaan lahir karena persinggungan banyak norma dan ajaran yang dilebur para pendiri bangsa menjadi dasar negara. Ketika kaum cerdik cendekiawan terlibat dalam perundingan Pancasila, masing-masing saling memberikan pemikiran dan pandangan rumusan Pancasila berdasarkan sumber pengetahuan agama maupun norma sosialnya.

Oleh karena itu, mengkritisi "kesesatan verbalisasi" tentang spirit kepancasilaan yang selama ini berkembang tanpa arah sudah semestinya kita yang bersedia jadi juru bicara Pancasila harus mengubah cara dan pendekatan penyampaian yang efektif dan strategis agar pihak lain bisa menerima gagasan dan pesan yang disampaikan. Dalam kaitan ini, menyambung kembali pikiran Ian G Barbour di atas, dua aspek yang positif perlu digunakan sebagai cara komunikasi yang lebih cerdas.

Melalui konsep dialog, kita perlu meyakinkan kepada semua pihak bahwa Pancasila ideologi ramah lingkungan. Di satu sisi merefleksikan tentang sejarah kehidupan berbangsa masa lalu yang mesti kita rajut sebagai memori kolektif agar kita menjadi bangsa yang tak lupa jasa para pahlawan. Di sisi lain, Pancasila jadi rujukan masa depan dalam membangun segala cita dan asa yang diimpikan. Tanpa henti kita sampaikan kepada semua pihak, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat bahwa Pancasila adalah fondasi utama yang dapat mewujudkan kehidupan yang damai, aman, dan sejahtera. Sebab, melalui Pancasila, masing-masing diharuskan saling merendahkan egoisme diri demi kemaslahatan bersama (summum bonum).

Selain itu, melalui aspek integrasi, kita berupaya menegaskan bahwa hubungan Pancasila dengan berbagai dogma agama maupun norma sosial saling melengkapi. Bahkan, dalam konteks historis, Pancasila merupakan peleburan berbagai nilai agama dan norma sosial. Keduanya berada dalam satu tarikan napas yang saling beririsan sehingga tercipta filosofi kehidupan berbangsa yang sesuai dengan karakter keindonesiaan. Dengan demikian, ketika Pancasila dijadikan sebagai dasar negara Indonesia, sesungguhnya ia tak menafikan berbagai nilai ajaran yang ada di setiap agama maupun norma sosial.

Demikian pula upaya pengintegrasian spirit kepancasilaan dengan berbagai profesi yang dilakoni. Sebagaimana ditunjukkan para atlet Asian Games 2018 yang bertanding dengan penuh sportivitas, tak lupa meneguhkan spirit kepancasilaan tanpa disekat oleh identitas agama maupun budaya. Semua lebur dalam posisi lintas batas yang saling mengamini Pancasila sebagai trajektori kebangsaan dan menjaga rumah bersama bernama Indonesia.

Fathorrahman Ghufron Wakil Katib Syuriyah PWNU Yogyakarta; Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Kompas, 3 September 2018

0 komentar:

Menata Ulang MPR

Oleh: Jakob Tobing



KOMPAS/ ANITA YOSSIHARA
Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla tiba di Lobi Ruang Rapat Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/8/2018) pagi. Keduanya datang untuk menghadiri Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Hukum tertinggi kita adalah UUD 1945 yang telah diperbarui melalui empat tahap amendemen. Namun, walau telah mengalami perubahan, praktik dan kebiasaan konstitusi yang lama masih sering diteruskan (Hans Kelsen, 1946).

Pada 16 Agustus 2018, kembali MPR menggelar sidang tahunan. Pada kesempatan itu, ketua MPR menyampaikan pidato yang, antara lain, berisikan kritik kepada pemerintah.

Tak memiliki landasan konstitusional

Penyelenggaraan sidang tahunan MPR sekarang ini tidak memiliki landasan konstitusional. Sidang itu diadakan berdasarkan Peraturan MPR Nomor 1/2014 tentang Tata Tertib MPR yang berlaku internal. Pasal 66 Ayat (4) tata tertib itu menyatakan bahwa MPR dapat menyelenggarakan sidang tahunan MPR untuk memfasilitasi lembaga-lembaga negara menyampaikan laporan kinerja. Sebelumnya, melalui Pasal 4 tata tertib itu, MPR menyatakan diri sebagai lembaga negara dengan kewenangan tertinggi.

Sementara UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), yang telah diubah dengan UU No 42/2014 dan UU No 2/2018, tidak mengatur hal-hal tersebut.

Berbeda dengan MPR sebelum perubahan keempat UUD 1945, MPR sekarang adalah lembaga negara biasa dengan kewenangan dan tugas tertentu dan terbatas. MPR setara lembaga negara lain dengan tugas dan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur oleh UUD 1945.

Dahulu, UUD 1945 yang lama menyatakan bahwa MPR RI adalah pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya. Penjelasan UUD 1945 itu menyatakan MPR adalah lembaga negara pemegang kekuasaan tertinggi dengan kekuasaan yang tidak terbatas. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR dan merupakan mandataris MPR. Sebagai mandataris, ia bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Dalam konstruksi itu, MPR menggelar sidang tahunan untuk mendengarkan laporan kerja pertanggungjawaban presiden.

Pada masa itu MPR dapat melakukan apa saja yang diinginkannya sehingga MPR pernah menetapkan presiden seumur hidup (Sukarno), memilih presiden yang berkuasa berturut-turut tujuh periode (Soeharto), dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya dengan alasan politis (BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid).

Sekarang, UUD 1945 dengan jelas dan tegas memberi dan membatasi kewenangan lembaga- lembaga negara. Kewenangan MPR ditentukan dan dibatasi, yaitu untuk mengubah dan menetapkan UUD menuruti tata cara yang diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) dan Pasal 37 UUD 1945. Pasal 3 Ayat (2) menugaskan MPR untuk melantik pasangan presiden-wakil presiden yang terpilih dalam pemilihan presiden langsung. Pasal 3 Ayat (3) menegaskan bahwa MPR berwenang memberhentikan presiden-wakil presiden dalam masa jabatannya dengan mengikuti ketentuan Pasal 7A dan 7B.

Selain itu, Pasal 2 (1) UUD 1945 menyatakan bahwa MPR adalah lembaga negara yang anggotanya terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, yang masing-masing dipilih langsung oleh rakyat.

Tegakkan konstitusi

Mempertimbangkan ketentuan-ketentuan konstitusional di atas, seyogianya sidang tahunan MPR itu tidak perlu karena tidak memiliki landasan konstitusional. Marilah kita membiasakan diri untuk berkehidupan kenegaraan berdasarkan konstitusi.

UUD 1945 adalah konstitusi normatif dan preskriptif, bukan sekadar pajangan, wajib dijadikan rujukan dan aturan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Karl Loewenstein, 1891- 1973). Semua pihak, presiden dan lembaga-lembaga negara lainnya, serta masyarakat luas bertanggung jawab untuk menegakkan konstitusi UUD 1945.

Dalam kaitan itu, pengorganisasian dan perencanaan kegiatan MPR—begitu pula lembaga-lembaga negara lain—perlu disesuaikan dengan ketentuan UUD 1945. Hanya dengan begitu kiprah lembaga negara benar-benar mendukung pencapaian cita-cita bernegara dan alokasi sumber daya, termasuk alokasi anggaran, dapat tepat guna.

Jika diperlukan forum bagi presiden untuk menyapa rakyatnya, seperti pada peringatan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 1945, dapat dilakukan seperti yang dulu dilakukan Presiden Sukarno. Beliau berpidato menyapa rakyat dari Istana Negara dan disiarkan ke seluruh Nusantara.

Presiden juga dapat berpidato di hadapan rapat gabungan DPR dan DPD, yang anggota-anggotanya dipilih langsung oleh rakyat.

Jakob Tobing Ketua PAH I BP MPR November 1999-Juli 2004; Ketua Komisi A ST MPR 2000, 2001, 2002, 2003 Amendemen UUD 1945

Kompas, 29 Agustus 2018

0 komentar:

Binatang Politik



Oleh: M Subhan SD

Politik itu kejam. Naluri untuk mengalahkan demi berebut kekuasaan adalah sifat alamiah politik. Di politik, unsur ancaman dan kekerasan yang merupakan sifat-sifat hewani, lebih menonjol ketimbang sifat-sifat manusia yang rasional, dialogis, komunikatif, koperatif, dan konsensual. Aristoteles (384-322 SM) mendefinisikan manusia sebagai "binatang politik" (zoon politikon) untuk menyebut sebagai makhluk sosial. Memang, dalam diri manusia selalu terbalut dua sifat alamiah: baik dan jahat, kasar dan lembut, adil dan tidak adil. 

Thomas Hobbes (1588-1679) mendeskripsikan manusia sebagai pemangsa. Manusia ibarat serigala bagi sesama manusia (homo homini lupus). Istilah "manusia serigala" itu dicetuskan penulis drama Plautus (254–184 SM). Kata Plautus, manusia adalah serigalanya manusia (lupus est homo homini). Ini menandakan manusia sering menikam sesama manusia lain. Narasi yang terbangun di politik terlihat dominan soal kekerasan, kekejaman, saling menjatuhkan. Perebutan kekuasaan menjadi target dari nafsu kekerasan tersebut. 

Dengan konteks itu, dapat ditelusuri bagaimana kerasnya pertarungan di panggung demokrasi, seperti pilkada atau pilpres. Sejak Pilpres 2014, pertarungan sengit telah membelah dua kubu: pendukung Jokowi Widodo dan pendudung Prabowo Subianto. Oleh karena karakter yang saling memangsa seperti sifat binatang, sampai-sampai dua kubu itu saling mengejek dengan sebutan binatang. Fans Jokowi dicap "kecebong" dan fans Prabowo dicap "kampret". Perang antara "cebonger" versus "kampreter" begitu akut, sampai ada seruan untuk dihentikan. Perdebatan antar dua kubu itu di media sosial sungguh tidak produktif, bahkan destruktif. 

Apakah demikian sifat berpolitik? Pertanyaan paling sah diajukan kepada Machiavelli (1469-1527), tokoh yang "menghalalkan segala cara" demi kekuasaan. Tipu muslihat, licik, dan kejam sangat efektif untuk mempertahankan kekuasaan. Ini karena, Machiavelli melihat manusia memiliki sisi lain semirip sifat-sifat binatang yang rakus, bengis, kejam. Penguasa, menurut Machiavelli, bisa berlagak seperti singa ( atau rubah. Penguasa yang berkarakter singa sangat kejam dan menindas, sedangkan penguasa berwatak rubah begitu licik dengan tipu daya. 

Sepertinya politik tak jauh-jauh dari sifat-sifat binatang. Ada "politik dagang sapi". Istilah itu menunjuk praktik transaksional, tawar-menawar, atau permufakatan politik untuk bagi-bagi kekuasaan. Pada era demokrasi parlementer dekade 1950-an, kabinet sering jatuh-bangun, karena praktik politik dagang sapi. Saking gusarnya dengan kelakuan politik dagang sapi, Presiden Sukarno menyerukan untuk mengubur partai politik pada 1956. Sukarno lalu menunjuk tokoh nonpartai seperti Ir Juanda untuk membentuk kabinet kerja pada 1957.  

Ada lagi "kutu loncat". Maksudnya politikus berpindah-pindah partai politik. Dalam daftar calon anggota legislatif Pemilu 2019, tidak sedikit kader partai politik loncat ke partai lain. Telah lama terjadi kutu-kutu berloncatan setiap menjelang Pemilu. Banyak yang sinis dengan kutu loncat karena dianggap sebagai pengabdi pragmatisme politik. Ada yang menilai fenomena kutu loncat memperlihatkan moralitas politikus yang rendah. Ini karena partai politik identik dengan komitmen ideologi yang menjadi dasar perjuangan politik. 

Binatang berpolitik itu istilah dan juga kelakuan. Sifat-sifat kebinatangan yang bengis sering dijumpai di arena politik. Menyerang lawan untuk tujuan mematikan bukanlah sifat-sifat manusia waras. Lewat media sosial, politik mematikan dilancarkan dengan menebar berita bohong, hinaan, hujatan, fitnah, kebencian. Serangan bertubi-tubi agar lawan terpojok dan tak berdaya. Gaya singa maupun rubah terkadang campur baur. 

Munculnya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pilpres 2019, Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang mengubah konstelasi politik diharapkan juga mengubah peta persaingan. Politik identitas boleh jadi tak lagi mujarab. Namun, tetap saja ada ide aneh. Misalnya, ada yang minta lomba renang capres-cawapres, yang langsung dibalas lomba baca kitab suci. Ada juga yang mengangkat lagi isu debat capres menggunakan bahasa Inggris. Padahal baru saja kita terpukau dengan Presiden Rusia Vladimir Putin yang berpidato dalam bahasa Rusia saat membuka Piala Dunia 2018, Juni lalu. 

Lalu, satu lagi kelakuan binatang yang "berjaya" di politik adalah kerakusan. Sifat rakus menimbulkan korupsi yang terus merajalela. Negeri ini sudah terlalu berat digelendoti korupsi. Sudah banyak politikus dan pejabat negara ditangkap KPK, tetapi korupsi tidak mati-mati. Hari Jumat (24/8/2018) kemarin terdengar Idrus Marham mundur dari jabatan sebagai menteri sosial karena kasus dugaan suap PLTU Riau-1. 

Itulah anomali politik, yang sedari awal dikonstruksikan sebagai tempat tersemainya watak-watak mulia. Dalam "binatang politik", Aristoteles justru menunjukkan manusia merupakan satu-satunya "binatang" yang mendapat anugerah kemampuan berkomunikasi. Bukan justru menunjukkan sifat-sifat kebinatangan. 

Kompas, 25 Agustus 2018





0 komentar:

Menghina Akal Sehat


Oleh : RADHAR PANCA DAHANA

Tak sejajar dengan perkembangan sinematografi atau film layar lebar—yang belakangan mencatat kemajuan baik dari cerita, topik, maupun hal teknis dan artistik— karya-karya sejenis di layar kaca justru mundur signifikan.

Baik dari segi (plot) cerita, karakter, penyutradaraan, maupun persoalan artistik secara luas, sinema-elektronik alias sinetron jika tak dibilang sangat buruk (tragis), ia sangat menggelikan (komedis); dua unsur teatrikal yang 2,5 milenia jadi lambang segala bentuk seni dramatik. Tentu saja "menggelikan" bukan karena daya atau selera (sense of) humor yang tinggi, sebaliknya, lantaran terlalu jauh mengingkari akal sehat, bahkan menghina common sense kita.

Umumnya cerita dalam sinetron bergulir secara tak wajar meski seolah kenyataan (biarpun itu fiksi yang "realis", sebagaimana genre dari semua karya elektronik itu), tak berlangsung melalui logika hidup yang kita kenal. Cerita melalui logika "semau gue" penulis skenario yang mungkin hanya melayani libido komersial produser. Libido kasar yang mempersetankan apa yang sehat bagi penonton.

Seorang tukang bakso, misalnya, dalam sebuah peran utama di satu sinetron berperawakan tinggi besar, berkulit putih bersih, hidung mancung, dan bibir merah basah. Menurut indikator biologis, tubuh itu mendapat asupan makanan atau perawatan tubuh sempurna. Cerita yang dipadati aksiden dan koinsiden seperti kliping peristiwa "kebetulan" yang bukan cuma ganjil, melainkan juga membuat perut mulas. Belum lagi penggunaan lokasi yang sama di banyak sinetron berbeda.

Tentu saja semua disebabkan banyak hal, terutama tekanan pada biaya produksi serendah mungkin, hingga pelayanan berlebihan pada selera rendah atau isu publik murahan sebagai kiat komersialitas. Intinya, cara pandang oportunistik, menggampangkan cara yang digunakan. Jangankan moralitas, etika atau kesantunan, bahkan hukum formal dan informal pun diterabas demi tercapainya tujuan.

Penghinaan akal sehat semacam itu juga kita jumpai setiap hari di jalan raya. Rambu, marka, hingga kesantunan berlalu lintas dilanggar tanpa rasa bersalah, bahkan merasa "benar" karena dilakukan secara masif. Para penegak hukum dalam masalah ini seperti tidur di aspal karena membiarkan pelanggaran berlangsung di ujung hidung. Terjadilah "kebenaran normatif" yang sesat, membuat pengendara motor menjadi monster jalanan.

Seorang ibu bukan saja merasa tidak bersalah ketika mengendarai motor tanpa memakai helm, melainkan juga mengangkut hingga lima penumpang. Sering kita dikeroyok hanya karena menegur pemotor yang melawan arus jalan. Mereka berani melawan polisi, bahkan dengan kekerasan tanpa merasa bersalah.

Hukum kemudian tidak lagi perkasa, tetapi lunak bahkan becek. Kenyataan yang seharusnya disadari aparatus kepolisian telah berdampak tidak kecil bagi hancurnya kepatuhan pada aturan hingga tumbuhnya mentalitas destruktif.

Fondasi yang kuat

Sesungguhnya apa yang terjadi dalam kehidupan politik kita belakangan ini tidak jauh dari situasi banalnya dengan realitas tragik-komedik di atas. Betapa menggelikan melihat para politisi saling melempar ujaran, hujatan, hingga fitnah, yang sebagian (besar) sebenarnya justru mengenai diri (dan kelompok) sendiri.

Situasi komedis ini makin tragis ketika para politisi memutar balik logika sehingga pengecohan atau pengelabuan itu penghinaan logika (publik) itu sendiri. Dengan membolak-balik fakta positif jadi negatif, kenyataan jadi ilusi, kebenaran jadi kejahatan, mempermainkan dalil agama, mengagul-agulkan tokoh sebagai pemimpin bangsa, padahal sikap kenegaraannya baru setingkat "bangun tidur".
Atau beberapa figur yang tak risih mem-blow up diri dalam poster dan baliho sebagai kandidat pemimpin utama negeri. Semua aksi atau manuver yang seakan menganggap publik tak punya cukup akal sehat, menghina akal sehat kita bersama.

Apakah situasi-situasi serupa tak terjadi dalam dunia hukum (kasus lapas saja, misalnya), dunia akademik, bahkan dunia spiritual/agama, hingga kebudayaan kita?

Kita semua, seluruh elemen di negeri ini, tak memedulikan apalagi coba mengatasi situasi ini, yang memberi ekses sangat tidak sederhana bagi hidup berbangsa kita. Kehidupan kaum muda hingga masa depan cucu kita. Dampak situasi di atas jelas akan meruntuhkan fondasi intelektual-mental-spiritual, semua pilar utama dari kebudayaan kita. Pilar yang membangun sebuah bangsa, bangsa di mana satu negara jadi perlu dan ada.

Lalu apa yang dapat kita andalkan, apa yang menjadi modal dan arsenal bangsa untuk menghadapi hidup kekinian yang penuh gejolak dan ketidakpastian? Apa yang bisa membuat kita yakin dapat mewujudkan negeri yang berdaulat, bangsa yang kuat, bahkan bermartabat?

Benarkah semua dapat dipenuhi dengan pembangunan belaka? Benarkah semua dapat dicapai oleh angka-angka (indikator ekonomi) makro yang plastis dan volatilitasnya tinggi? Tidakkah semua itu harus dicapai oleh satu fundamen yang teguh, berakar di Bumi dan lentur menghadapi angin keras? Tidakkah infrastruktur sehebat apa pun akan sia-sia tanpa kesadaran tinggi untuk memeliharanya?

Akhirnya, tidakkah saudara-saudaraku di kelompok atas atau elite menyadari, justru Anda semua yang paling memprihatinkan dalam menafikan, menyingkirkan, menghina, bahkan mengasasinasi kebudayaan kita?

Para penguasa sering tunarungu dan pongah karena  merasa cukup dengan kecerdasan terbatasnya sendiri. Betapapun hati kecilnya mengakui kebenaran proposi-proposi kultural di atas, desakan pragmatisme dan oportunisme material membuat mereka meninggalkan kedaruratan kebudayaan, bahkan jika perlu mengurbankannya dengan justru memproduksi tradisi budaya kasar dan destruktif (bagi bangsa dan diri sendiri).

Kesepakatan baru

Apabila sebuah bangsa, sekurangnya mereka yang tergolong kelas utama (middle upper ke atas), telah secara masif hidup hanya dengan orientasi personal dan sektarian yang sempit, tidak ada konklusi lain kecuali bangsa itu sedang menyiapkan kuburan eksistensi (peradaban)-nya sendiri. Jika benar itu yang terjadi, kekeliruan (fallacies) yang terjadi bersifat lebih mendasar dari sekadar praksis di atas. Ia setidaknya sistemik.

Untuk itu, kita tampaknya harus berani mengakui keberadaan dan kenyataan bahwa semua sistem yang kita jalani ini ternyata tidak mampu meluputkan bangsa ini dari kedegilan zaman. Ada yang salah, kurang sempurna, tak laik atau tak kompatibel, atau sekurangnya terlalu lemah dan mudah dikhianati dari sistem-sistem (kenegaraan dan kemasyarakatan) yang kita gunakan saat ini.

Kesepakatan bangsa kita akan nilai-nilai bersama, platformkebudayaan dan kebangsaan kita ternyata begitu rapuh sehingga tak mampu dan tak memadai dalam mencegah destruksi di semua dimensi kehidupan masyarakat. Inilah kenyataan tragis yang mau tak mau mengimperasi kita untuk berpikir tentang platform baru di mana tak satu pun pihak, di semua dimensi dan level sosial, alih-alih merusaknya, justru bergerak memperkuat dan menjadikannya arsenal tangguh.

Saya menyatakan ini bukan dengan berkhayal atau berandai-andai, melainkan karena memang kita memiliki banyak bukti dan alasan untuk melakukan hal konstruktif dan reformatif di atas. Sesungguhnya hampir tidak ada negara-bangsa yang besar dan maju yang tidak melakukan hal (serupa) ini. Mereka yang kemudian berjaya, tidak hanya survive menghadapi turbulensi zaman, bahkan tampil perkasa, penuh daulat dan martabat di hadapan dunia dan masa depan.

Persoalannya tinggal ketidakpercayaan diri. Para anggota utama bangsa ini, pengambil kebijakan dan pemegang kuasa (apa pun), karena arogansi oportunisme-materialistik, tidak percaya dan berani "mempertaruhkan" gengsi dan tujuan temporernya untuk sebuah kerja yang memiliki impak berjangka tidak-dekat walau itu kuat dan fundamental.

Cara berpikir yang sudah terlalu dalam dikontaminasi oleh gaya hidup-cara berpikir instan, memandang pembangunan (kebudayaan) sebagai perjudian berisiko terlalu tinggi, lebih tinggi daripada risiko pasar saham, apalagi perdagangan kelontong. Ini memang riwayat komedis, ketika politik, agama, hingga keilmuan dijalankan oleh (mental) pedagang kelontong.

Material atau mentalitas

Maka, sederhana dan sebentar saja, mari kita berpikir sebagai pejabat publik atau penanggung jawab hidup sekian puluh atau ratus ribu bawahan/pegawai, apakah anak dan generasi kita berikut kita akan hidup nyaman atau sekadar selamat hanya dengan tumpukan harta yang kita himpun dengan pelbagai cara?

Lihatlah riwayat hidup kita sendiri, faktor apa yang mendukung sukses kita sekarang, modal material yang kita warisi atau mentalitas tangguh dalam pengajaran pengalaman? Mana yang lebih menyelamatkan kehidupan, harta dan jabatan atau nilai yang liat dalam kebudayaan?

Mungkin untuk akal sehat yang terlampau kerap dihina, bisa jadi jawabannya akan menggelikan secara tragis. Namun, bagi mereka yang masih memiliki daya untuk memelihara kesehatan akal (walau mungkin membawa penyakit bawaan) tentu dapat menjawab secara cukup jernih betapa tujuan hidup yang ingin kita wujudkan ditentukan oleh semua yang ada dalam diri manusia, dalam diri kita. Bukan yang ada di luarnya. Bangsa-bangsa yang pariah dalam "faktor luar" itu sudah membuktikan pada dunia betapa mereka jaya dengan kekuatan internal manusianya: Singapura, Swiss, Korea Selatan, dan pelbagai negara lainnya.

Karena itu, berani dan yakinlah kita untuk bersepakat. Negeri dan bangsa ini jauh lebih membutuhkan kesepakatan atau platform moralitas baru, jika tidak lebih dulu, sejajar dengan kebutuhan infrastruktur material yang memuaskan perut dan dandanan tubuh kita.

Berikan waktu, energi, hati, dan pikiran, juga materi yang diperlukan untuk mulai membangun secara kolektif bangunan kuat kebudayaan kita, sebagai dasar dari platform baru di atas. Sejarah dunia sudah membuktikan, hanya dengan cara itu sebuah bangsa juga negara dapat bertahan atau diselamatkan dari keruntuhan yang disebabkan aparatusnya sendiri.

Apakah dengan data sejarah yang kuat itu Anda masih ingin berpikir, bicara, dan berbuat hal-hal yang tetap menghina akal sehat? Tidak. Anda saya jamin tidak akan kualat. Namun, bila tetap hal itu diperbuat, sebenarnya dunia Anda sudah kiamat.

Radhar Panca Dahana, Budayawan

Kompas, 18 Agustus 2018

0 komentar:

Menelisik Krisis Turki


Oleh: Arif Budimanta

Penurunan nilai tukar mata uang lira Turki kian dalam.

Hingga Senin (13/8) telah terdepresiasi 97,9 persen terhadap dollar AS (year on year/yoy) dan 70 persen sejak awal 2018 (year to date). Frankel dan Rose dalam kajian berjudul Currency Crashes in Emerging Markets: Empirical Indicators (1996) menyebutkan, krisis mata uang terjadi apabila minimum depresiasinya 25 persen dalam satu tahun. Dalam perspektif itu, Turki telah masuk dalam krisis mata uang.

Krisis Turki merupakan ancaman teranyar yang membuat resah, khususnya bagi para pengelola negara dan pemilik modal. Percikan api dari melemahnya lira terhadap dollar AS, inflasi yang melonjak hingga 15,85 persen pada Juli 2018 (yoy), membuat daya tahan Turki dalam menahan krisis kian lemah. Cadangan devisa terus menyusut sejak 2014. Ketahanan ekonomi menghadapi tekanan dari pasar keuangan terus melemah, bahkan menular ke kawasan lain.

Imbal hasil (yield) surat utang negara Turki untuk tenor dua tahun pada hari perdagangan Senin lalu melonjak 94 basis poin menjadi 25,74 persen. Kondisi ini, menurut Bloomberg, yang terburuk sejak 2008. Hal ini mengindikasikan makin besarnya risiko dalam pertimbangan para investor, yang pada akhirnya kelak menjadi beban negara.

Kondisi di Turki mulai membuat kawasan Eropa mawas diri. Saham-saham perbankan melemah. Sentimen negatif dipicu kekhawatiran investor karena banyak perbankan Eropa yang memiliki debitor di Turki, termasuk dari pemerintah. Data Bank for International Settlements (BIS), total utang Turki kepada perbankan di Spanyol, Perancis, dan Italia masing-masing 82,3 miliar dollar AS, 38,4 miliar dollar AS, dan 16,9 miliar dollar AS per akhir kuartal I-2018.

Rendahnya tingkat tabungan di Turki mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap utang luar negeri. Kondisi ini menjadikan ekonomi Turki sangat rentan pada faktor eksternal, khususnya nilai tukar.

Selain Eropa, negara-negara emerging market (EM) juga mulai merespons negatif, tertular kondisi pasar keuangan di Eropa. Tampaknya, negara-negara yang sedang menjadi perhatian para investor itu, termasuk Indonesia, dianggap masuk dalam keranjang yang sama dengan Turki.

Indeks MSCI Asia Pasifik, Nikkei 225, dan Hang Seng terkoreksi negatif. Begitu pun dengan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia yang kian menjauh dari level psikologis 6.000. Para investor asing lebih banyak melepas sahamnya ketimbang membeli (net sell).

Efek menular ke Indonesia

Di lihat dari pasar keuangan, baik valuta maupun saham, krisis di Turki telah menular (contagion). Secara teoretis, efek penularan di pasar keuangan ini –kelak dapat berdampak pada kondisi ekonomi—dapat terjadi lewat dua transmisi: rasional dan irasional. Saluran rasional terjadi melalui jalur finansial dan perdagangan. Sementara saluran irasional lewat penurunan likuiditas di pasar keuangan dan keputusan investor memindahkan portofolio investasi ke tempat lebih aman (flight to quality).

Pada tragedi krisis 1997/1998 di Asia, misalnya, Matt Pritsker (2000) mengungkapkan ada kemungkinan kondisi itu terjadi melalui transmisi yang irasional karena sulit mencari hubungannya dengan soal fundamental ekonomi. Bagaimanapun kondisinya saat ini, yang jelas pasar keuangan Eropa dan EM telah terimbas. Kemampuan negara menghadapi penularan krisis antara lain sangat bergantung pada resiliensi atau kemampuan beradaptasi dan kukuh pada sektor riil dan keuangan dalam menghadapi kondisi kurang sehat.

Melalui sudut pandang ini, hubungan Indonesia dengan Turki di sektor riil sebenarnya sangat kecil. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, nilai perdagangan kedua negara hanya 1,7 miliar dollar AS pada 2017. Tak sampai 1 persen dari total. Observasi 10 tahun terakhir menunjukkan hubungan langsung Indonesia-Turki melalui jalur investasi juga kecil. Sumbangan investasi langsung Turki ke Indonesia adalah 0,0-0,749 persen.

Kendati demikian, kondisi yang terjadi di pasar keuangan relatif berbeda. Hasil studi KEIN menunjukkan, uji statistik memperlihatkan adanya peningkatan pada korelasi di pasar saham Indonesia dan Turki. Jika pada 2017 hanya 0,932, di tengah krisis tahun ini sudah 0,950.

Ini menunjukkan adanya hubungan kuat di antara pasar saham di kedua negara, bahkan mulai meningkat tahun ini. Dengan demikian, peluang terjadi efek menular krisis di Turki ke Indonesia berasal dari pasar keuangan. Harus disadari pula, efek penularan krisis pada pasar keuangan bukan sekadar soal statistik. Faktor psikologis atau unsur kaget dalam menghadapi situasi ikut berkontribusi.

Karena itulah, regulator di bidang moneter ataupun fiskal harus mampu menjaga tingkat keyakinan publik: masyarakat ataupun dunia usaha, terutama pasar keuangan agar terhindar dari efek kejut yang berdampak negatif tersebut. Seperti diingatkan Pritsker, resiliensi yang dibutuhkan dalam mengantisipasi efek penularan ini adalah daya tahan institusi keuangan.

Dalam konteks ini, keberadaan Forum Stabilitas Sistem Keuangan yang merupakan koordinasi antara Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) diharapkan mampu memantau lebih dini berbagai potensi penularan. Kerangka Protokol Manajemen Krisis yang solid dengan legalisasi dari UU tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) seharusnya mampu ikut menjadi dasar terobosan regulasi.

Namun, pada tahap awal sangat penting menjaga kepercayaan publik bahwa otoritas yang ada di Indonesia bersikap antisipatif dan siap menghadapi efek penularan dari krisis Turki. Untuk itu, sangat penting koordinasi antarlembaga terkait.

Kehadiran bank sentral di pasar keuangan sangat penting dalam menjaga kredibilitas pasar keuangan melalui konsistensi dengan kebijakan yang bersifat pencegahan. Kebijakan itu juga dapat lebih efektif apabila dilakukan aktivasi kerja sama pertukaran mata uang bilateral.

Selain itu, diperlukan pengurangan utang luar negeri dalam valuta dollar, pembatasan impor yang terus menggerus neraca perdagangan, serta stabilitas harga pangan pokok. Konsumsi pun juga dapat didorong untuk meningkatkan perekonomian dengan memanfaatkan kegiatan Asian Games dan sidang tahunan IMF-Bank Dunia di Bali nanti.

Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah sebaiknya memperbaiki struktur neraca pembayaran, utamanya menjaga defisit transaksi berjalan yang disebabkan oleh impor, defisit jasa, dan pendapatan primer yang negatif. Di tengah kemungkinan pembalikan arus modal dan spekulasi valas, kebijakan lindung nilai terhadap utang luar negeri swasta juga menjadi penting untuk dipantau oleh pemerintah.

Ini perlu dilakukan demi memperkuat daya tahan perekonomian dari potensi efek penularan krisis. Dengan demikian, efek kejut semaksimal mungkin dapat dihindari mengingat adanya imbas dari krisis di pasar keuangan global selalu terbuka.

Arif Budimanta Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN)

Kompas, 16 Agustus 2018


0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA