Penari

Oleh: Dedy Tri Riyadi
Penari

“Tuhanku, berikan padaku

keberanian dan kegembiraan.”

Jorge Luis Borges

Aku telah mati. Panggung diserbu ratusan bunga.

Layar gemuruh seperti rombongan tuna. Lantai jadi bayang

dari pertempuran belaka.

Lihat gerakan tanganku, sebelum mereka terkulai.

Memeluk, membentang, seperti menarik ke segala arah,

mengusir ketakutanku – akankah ini semua jadi milikku?

Tungkai kakiku telah lelah melompat. Jinjit dan berlari.

Tapi duniaku tetap di sini. Dunia yang disapu dari

warna kuning dan jingga saja.

Aku menyimpan suara sebaik-baiknya.

Menyumpah juga sebaik-baiknya.

Agar tak terganggu tempik sorak itu.

Keputusanku untuk mati – sederhana begini:

di tengah panggung, di adegan yang seharusnya

kuhadirkan gerakan canggung, semua anggota badanku

berhenti. Seperti ada yang bernyanyi himne “Bagimu Negeri”

di akhir program acara televisi.

2014
Dedy Tri Riyadi

Jangan Dengarkan Aku

“Dengarlah aku

seperti seseorang

menyimak bunyi hujan.”

Octavio Paz

Mataku: buta masa lalu. Topi penambang

di dalam kelam. Yang kutemukan hanya

sepotong tubuhmu – lorong panjang paling kering.

Tanganku: doa bisu. Bunga tak kembang,

tanpa jambangan. Yang kuraba perasaan bahagia

sekaligus bayang baju – warna kuning kurang jernih.

Abaikanlah suaraku: bulu unggas hiasan

kepala. Yang tak menyentuh siapa-siapa.

Tak ada harapan di sana – terkulai seperti

bekas linggis dan garu. Kau tak akan

temukan pecah benih salju.

2014
Dedy Tri Riyadi

Perangkap

“Ikutilah aku. Jangan mengikutiku.

Aku akan bicara hal-hal semacam itu,

dan maksudku keduanya.”

Stephen Dunn

Kegelisahanku gergasi penangkap peri. Dengan perangkap

kupu-kupu di tangannya. Ingin menyekap aku dalam dunianya.

Tentu, aku tak mau menyerah. Aku peri pemarah.

Kukutuki langit warna dadu, juga tanah semu tembaga.

Kadang aku kalah. Masuk ke dalam perangkap mereka.

Tunduk dan hanya bisa memandang: wajah tak ramah.

Kadang aku terbang tinggi. Membuat mereka melompat

dan berlari. Membuat awan kalang kabut dalam gerak kalut.

Aku tahu rahasia – ini yang ingin kusampaikan padamu:

Jemari gergasi itu demikian gemuk, hingga tak bisa menjumput

tubuh kata yang begitu mungil. Tujuh peri kecil

yang tumbuh dari pikiranku tentangmu.

2014
Dedy Tri Riyadi

Tidurlah Kekasih

: Iztaccihuatl

“Bahkan aku telah gagal

sebelum aku memulai sesuatu.”

Abraham Ibn Ezra

1.

Hidup – bagiku – gugur buah-buahan,

jika kau – pemimpi – hanya berjaga

lalu terbuai suasana.

2.

Peperangan belum usai, butir salju

dari para dewa baru saja ditebarkan

di atas tubuhmu. Kibaskanlah!

Kembangkan kipas bulu merak itu!

Para pemuda – orang-orang suruhan

juga budak – menghunus pedang

di gunung. Raja-raja menggelar peta

dan berhenti minum anggur. Murung.

Pasangkan juga sehelai merak

di atas kepalamu, Kekasihku.

Sebagai tanda: kelak ada

yang berbahagia, mengelak dari

segala bahaya.

3.

Aku, Kekasihku, pemberi tanda

panah ke atas di selembar kertas.

Di mana waktu beringsut, begitu rupa

seolah di hidup ini tak ada yang benar keras.

4.

Jika perdamaian dilembarkan di lembah,

para pemuda dan raja-raja saling sembah,

bunga-bunga peoni mekar, dan kau, Kekasihku,

turun dari puncak gunung seringan dengung lebah.

Akan kututup kipas bulu merak di tanganmu,

kureguk yang telah lepas dan terserak darimu.

Biar semua tahu: dalam puisi, secawan

sepi berulang kali jadi perawan kembali.

5.

Hidup – bagiku – selimut para pemimpi,

jika kau – pemuja waktu berjaga – mendekap

harapan: tercatatlah segala perbuatan.

6.

Aku, Kekasihku, rasa geli yang tersisa

di pinggulmu. Semacam seligi majal yang

tak jadi dibawa berperang. Dan kau merasa

masygul: bagaimana puisi ini bakal dikenang?

7.

Beginilah arti selembar kipas: Aku angin

dan kau gerak beraturan ke samping.

Meski dibuat dengan bahan bulu merak,

kita masih tak yakin: hidup begitu semarak.

Dan begitulah puncak gunung yang dingin,

sepi jadi kepastian yang paling mungkin.

Dan kita berdiri di sini dengan jenak,

tetap saja berpikir hal yang bisa meruyak.

8.

Karena itu, Kekasihku, tidurlah

di dalam puisi. Dan akan kuberikan

hal terindah.

2014
Dedy Tri Riyadi

Kenangan

“Kau bangkit, dan di depanmu

berdiri: ketakutan, doa-doa, dan

sebentuk tahun-tahun yang berlalu.”

Rilke

Belum pernah aku seterus terang ini kepadamu. Melompat

melawan gerak orang-orang yang berteriak: Ingat! Ingatlah!

Telah aku buang rasa takut sebagai bentukan tak jelas

dari bayangan gajah di dekat meja. Aku berlari riang

ke belakang. Ke tempat kau bertolak sebagai penari,

pembawa bunga-bunga di kepala (yang kau anggap doa).

Aku berlari untuk memastikan: kau tak lupa tali pinggang,

kipas kertas, dan riasan bulu mata. Karena aku benar-benar

tak yakin – kau ingin tampil sederhana.

2014
Mustofa W Hasyim

Makam Seniman, Tengah Hari

Kilau pualam

nisan

Jejak-jejak

wangi

Pohon peneduh

menari

angin

menyuling lagu

Kata

terhisap bukit

warna

terbagi

Ada kupu

mencari sepi

ada burung

ada cerita

Tangga

batu

rumput

dan langit

Terasa pergi

ternyata kembali

2015
Mustofa W Hasyim

Makam Pendekar, Sore Hari

Kubayangkan engkau bersila

menangkis serangan angin

mata cahaya

menghadang kata-kata musuhmu

Hati, senjata suci

kau lindungi dengan telapak tangan

nafasmu lembut sekali

menghimpun tenaga

Tak pernah engkau banyak bicara

cukup telunjuk atau telapak tangan

menggambar peta di udara

memusnahkan racun

Pada nisan terbaca gerak pengembaraan

pernah kau sampai kota nenek moyangku

di seberang sungai besar,

hutan bernyanyi.

2015
Mustofa W Hasyim

Makam Pahlawan

Barisan kemangi

di balik pagar

Terasa arwah menjadi pohon

bisik angin

membuka kelopak bunga

di antara batu

rumput tertidur panjang

Di sini tidak ada darah

hanya udara

bercerita

perang

sudah lama

Sepi

nisan-nisan bernama

burung dan capung

berputar

menuju sawah di seberang waktu

2015

Dedy Tri Riyadi lahir di Tegal, Jawa Tengah, dan kini tinggal di Jakarta. Ia bergabung di Paguyuban Sastra Rabu Malam (PaSaR Malam). Buku puisinya antara lain Liburan Penyair (2014).

Mustofa W Hasyim memimpin Studio Pertunjukan Sastra Yogyakarta. Kumpulan puisinya antara lain Pohon Tak Lagi Bertutur (2013).

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA