Mendewasakan Pendidikan Tinggi
oleh: Jonathan Pincus
Sekolah
Manajemen Sloan dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) baru-baru ini
mengumumkan, mereka akan bermitra dengan Bank Sentral Malaysia untuk membuka
Sekolah Bisnis Asia yang baru di Kuala Lumpur pada 2016.
Sebelumnya,
negeri jiran ini telah menaungi kampus-kampus cabang dari Universitas dari
Inggris dan Australia, termasuk kampus Sekolah Kedokteran Universitas Newcastle
dan Universitas Nottingham Malaysia.
Singapura
memimpin di wilayah Asia Tenggara dengan menaungi 13 kampus asing dan sejumlah
kemitraan internasional. Hal serupa juga ditempuh Vietnam yang menaungi kampus
cabang dari Institut Teknologi Royal Melbourne.
Ya,
kemitraan pendidikan internasional tengah naik daun. Negara tuan rumah
memperoleh akses ke pengetahuan dan pengajaran kelas dunia, dan mahasiswa
setempat mendapatkan lebih banyak pilihan program pendidikan berkualitas, tanpa
harus meninggalkan negaranya. Universitas internasional perlu membangun
reputasi global mereka, terutama di wilayah seperti Asia Tenggara, yang
rata-rata pendapatan rumah tangga dan populasi usia kuliahnya terus bertumbuh.
Mengapa
Indonesia tidak memiliki kemitraan serupa? Jawabannya sederhana: kemitraan itu
tidak sah secara hukum.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 20012 tentang Pendidikan Tinggi dan undang-undang sebelumnya,
melarang pendirian kampus cabang dari universitas internasional. Larangan itu
juga berlakuuntuk gelar dan program pengajaran gabungan, kecuali menurut
kondisi yang sangat khusus. Dengan beberapa pengecualian, dosen asing tidak
diizinkan mengajar di universitas di Indonesia.
Proteksi
pendidikan tinggi
Pembatasan
ini dijustifikasi sebagai cara untuk melindungi pendidikan tinggi di Indonesia
karena dinilai masih terlalu lemah untuk bersaing dengan universitas global.
Ini merupakan versi akademik dari ”proteksi terhadap industri bayi,” di mana
pemerintah memblokir impor suatu barang—misalnya semen atau baja—sampai
perusahaan domestik cukup kuat untuk bersaing dengan perusahaan asing.
Permasalahan
dengan proteksi industri bayi adalah ”para bayi” lokal ini tidak memiliki
insentif untuk tumbuh dewasa. Asumsinya, daripada membuang waktu dan uang untuk
mencoba mengikuti perkembangan teknologi baru, perusahaan lokal melobi pejabat
pemerintah untuk memastikan impor diblokir. Konsumen paling dirugikan dengan
cara ini karena harus membayar harga tinggi untuk semen dan baja produksi dalam
negeri, yang sebagian tidak memenuhi standar kualitas internasional.
Pemerintah
telah memproteksi universitas di Indonesia dari persaingan asing selama
bertahun-tahun. Namun, hasilnya sangatlah mencengangkan, negara dengan jumlah
penduduk terbesar keempat di dunia ini tidak mempunyai satu pun lembaga di the
Times Higher World University 400. Kinerja penelitian, sebagaimana diukur dengan
publikasi ilmiah dan kutipan, sangatlah menyedihkan karena bukan hanya berada
di belakang Malaysia dan Thailand, melainkan juga negara yang lebih miskin,
seperti Vietnam dan Banglades.
Situasi
ini menghambat pertumbuhan ekonomi. Universitas menghasilkan terlalu banyak
lulusan dari program manajemen umum dan tidak cukup banyak insinyur serta
ilmuwan. Pemberi kerja melaporkan bahwa insinyur Indonesia dibayar dua kali
lipat dari insinyur India, tetapi membutuhkan lebih banyak pelatihan kerja.
Proteksi
industri bayi untuk universitas tidak membantu orang miskin dan yang berasal
dari perdesaan. Sekitar 56 persen mahasiswa yang terdaftar dalam program
sarjana datang dari rumah tangga yang termasuk ke dalam seperlima populasi
terkaya, sementara 60 persen termiskin—rumah tangga yang hidup dengan
penghasilan kurang dari 1,50 dollar AS per hari—hanya menyumbangkan 10 persen
mahasiswa.
Akademisi
Indonesia sering kali mengklaim bahwa isu utamanya adalah uang. Pemerintah
telah merespons hal ini dengan menggandakan anggaran untuk pendidikan tinggi
antara tahun 2007 dan 2012. Sayangnya, lebih banyak uang belum menghasilkan
peningkatan yang dapat diukur dalam hal pengajaran atau penelitian.
Uang
yang lebih banyak tidak akan berhasil selama universitas Indonesia masih menikmati
proteksi industri bayi. Kebijakan pemerintah saat ini dirancang untuk
menghilangkan semua bentuk kompetisi dari sektor ini. Kenaikan jabatan dosen,
misalnya, dilakukan berdasarkan senioritas dan bukan karena penelitian dan
kinerja pengajaran. Departemen akademis secara rutin mempekerjakan lulusan
mereka sendiri sebagai dosen, sebuah praktik yang mendorong terjadinya
patronase dan favoritisme, dan mengecilkan kompetisi. Tentu saja, universitas
internasional tidak disambut baik di negeri ini.
Mereformasi
sistem tidak akan mudah. Sebagian besar lembaga dan akademisi akan secara aktif
menentang perubahan yang berupaya memasukkan lebih banyak akuntabilitas dan
kompetisi ke dalam pengaturan pendanaan, remunerasi, perekrutan, dan kenaikan
jabatan.
Sektor
industri menjadi contoh yang menarik untuk perguruan tinggi. Mengurangi
hambatan investasi sering kali sulit secara politis karena industri yang
diproteksi menggunakan pengaruh para politisi untuk menghalang-halangi
reformasi.
Daripada
langsung menantang mereka yang mempunyai kepentingan terselubung, pembuat
kebijakan menggunakan kawasan ekonomi khusus (KEK) sebagai eksperimen kebijakan
untuk mencapai liberalisasi terkendali. KEK sering kali dianggap sebagai cara
yang tidak mengancam secara politis untuk menarik investasi yang dibutuhkan
dengan tidak adanya reformasi yang lebih dalam.
Eksperimen
kemitraan
Dalam
dunia pendidikan, mungkin juga sulit untuk menciptakan celah di lokasi
geografis tertentu karena akademisi dan lembaga yang berpola pikir reformasi
belum tentu berada di lokasi yang saling berdekatan. Daripada melakukan hal
itu, pemerintah dapat menciptakan suatu program ilmu pengetahuan dan teknologi
khusus yang memungkinkan universitas internasional dan domestik untuk
menetapkan kemitraan pengajaran dan penelitian baru dalam disiplin ilmu
tertentu yang saat ini kurang terwakili di universitas di Indonesia.
Menurut
Bank Dunia, 30 persen tenaga kerja Indonesia yang berusia 30-45 tahun
membutuhkan pelatihan kembali. Pemerintah dapat mendorong akademi, perguruan
tinggi, dan universitas untuk bekerja sama dengan industri untuk membentuk
program kejuruan khusus untuk mengatasi kekurangan keterampilan tertentu di
pasar tenaga kerja. Ada banyak eksperimen serupa yang menciptakan inovasi.
Intinya adalah reformasi sektor pendidikan tinggi mungkin akan dimulai dengan
langkah-langkah kecil, dan bukan pula sebuah lompatan raksasa. Seiring waktu,
pemerintah dan akademisi di Indonesia semoga menyadari, persaingan dan
keterbukaan merupakan hal yang baik untuk mendewasakan pendidikan tinggi di
negeri ini.
Jonathan
Pincus, Penasihat Senior untuk Transformasi dan Pengajar di Pusat Studi
Pembangunan, Universitas Cambridge

0 komentar:
Posting Komentar