Pancaroba Demokrat

Oleh: Gun Gun Heryanto

Pergantian musim kerap kali diikuti musim pancaroba. Transisi dari musim hujan ke musim kemarau biasanya ditandai perubahan cuaca cukup ekstrem dan meningkatnya frekuensi orang sakit, terutama mereka yang tak memiliki daya tahan atas perubahan yang berlangsung.


Hal seperti ini bisa juga terjadi dalam lingkup perubahan politik. Setiap perubahan konstelasi politik berdampak pada eksistensi dan pola relasi aktor politisi ataupun partai politik di tengah fragmentasi kekuatan yang ada saat ini.

Partai Demokrat 10 tahun menjadi partai penguasa dan menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai orang nomor satu di republik ini selama dua periode. Kini, SBY tak lagi menjabat presiden, dan partainya pun melorot ke urutan keempat di antara partai pemenang Pemilu Legislatif 2014. Akankah Demokrat mampu melewati fase transisi dari partai penguasa ke partai penyeimbang di luar kekuasaan? Salah satu ujian awalnya tentu saat Demokrat menggelar kongres ketiga di Surabaya, 11-13 Mei.

Formula SBY?

Hal menarik dianalisis lebih awal jelang kongres Partai Demokrat adalah formula SBY dalam meracik strategi yang akan dipakainya  guna mengembalikan kepercayaan publik kepada Demokrat. Selain itu, SBY juga dihadapkan pada tantangan nyata untuk memilih mekanisme demokratisasi internal seperti apa yang akan dipakai di kongres nanti. Di hadapan SBY kini tersaji beragam opsi, seluruhnya memosisikan SBY sebagai aktor utama permainan.

Pertama, opsi pragmatis pemain tunggal (single player), yakni menempatkan SBY semakin kokoh di puncak hierarki otoritas partai tanpa mengharapkan lawan di gelanggang permainan. Artinya, seluruh instrumen kongres akan diarahkan pada upaya penahbisan ulang SBY sebagai nakhoda Demokrat. Jika opsi ini yang diambil, tentu akan ada upaya mengondisikan seluruh pengurus di basis struktur partai yang memiliki hak suara untuk aklamasi memilih SBY.

Logika yang disuguhkan kemungkinan tak akan jauh-jauh dari kepentingan strategis partai yang memerlukan figur kuat dan pemersatu serta menghindari perpecahan internal dan argumen lain yang sejenis. Intinya, opsi ini memosisikan SBY sebagai "obat mujarab" sepanjang hayat untuk mencari titik keseimbangan politik Demokrat. Kongres akan diskenariokan menjadi proses sirkulasi elite yang seolah-olah tanpa gejolak akibat rivalitas dan perburuan kursi orang nomor satu di partai berlambang Mercy ini.

Merujuk Vilpredo Pareto, The Circulation of the Elite (dalam William D Perdue, 1986:95-103), proses sirkulasi elite biasanya digambarkan sebagai hubungan resiprokal dan bersifat mutual interdependence (ketergantungan bersama). Perubahan bukan berada dalam respons institusional yang dramatis, tetapi dalam tindakan dan reaksi sistem yang menunjukkan proses pengelolaan keteraturan. Dalam rangka pengelolaan titik keseimbangan ala SBY dan para pengikutnya, sirkulasi elite melalui kongres tak akan menghadirkan kejutan apa pun, persis seperti yang dilakukan PDI Perjuangan, Hanura, dan Gerindra.

Kedua, opsi dramaturgi politik dengan cara membuka peluang adanya sosok penantang di luar SBY, tetapi di belakang layar sesungguhnya semua aktor petarung dikendalikan SBY sendiri. Kandidat yang muncul bisa lebih dari satu dan mendeklariskan diri sebagai calon dengan argumen yang tampak idealis, yakni memperkuat pelembagaan politik dengan menghadirkan demokrasi internal partai melalui persaingan sehat di kongres. Kandidat di luar SBY dijadikan petarung bayangan yang bergerak dalam plot yang diskenariokan.

Dalam cara pandang teori lawas dramaturgi, Erving Goffman di bukunya, Presentation of Self in Everyday Life (1959), dramaturgi semacam ini berorientasi pada manajemen kesan. Selayaknya pertunjukan drama, seorang aktor dituntut mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Kelengkapan ini, antara lain, memperhitungkan setting, kostum, serta penggunaan kata (dialog) dan tindakan nonverbal lain dengan tujuan meninggalkan kesan baik  di penonton dan memuluskan jalan pencapaian tujuan. Dalam dramaturgi, tujuan hakiki presentasi diri adalah penerimaan penonton saat dimanipulasi.

Ketiga, opsi permainan semi terbuka dengan membiarkan adanya figur lain di luar arus utama untuk bergerak tampil ke muka, tetapi di saat bersamaan ada pengendalian terencana lewat aturan main ataupun rentang kendali organisasi guna membonsai dan membatasi ruang gerak kekuatan potensial di luar faksi SBY. Pengendalian biasanya dilakukan melalui teknik icing device yang menitikberatkan pada sentuhan-sentuhan emosional dan teknik fear erousener yang menekankan pada ancaman, sanksi, ataupun tekanan mental. Dalam konteks Demokrat, misalnya, kini ada Marzuki Alie, I Wayan Gede Pasek Suardika , ataupun sosok lain yang belum tentu bisa dikendalikan sepenuhnya oleh faksi SBY. Dalam konstelasi ini pun, sesungguhnya SBY  masih menjadi figur dominan.

Keempat, model demokratik-partisipan. Caranya dengan membuka keran demokratisasi internal partai secara fair dan terbuka. SBY bisa menjadi pelopor penguatan modernisasi partai politik di tengah memburuknya kualitas partai akibat kuatnya gejala groupthink, feodalisasi, dan personalisasi politik di partai-partai lain. Sekalipun terbuka dan demokratis, peluang SBY menang sesungguhnya tetap lebih besar dari kandidat-kandidat lain mengingat sosoknya masih sangat berpengaruh. Jika opsi ini yang dipilih, tentu SBY akan dianggap mewariskan legacy, baik bagi Demokrat maupun sejarah pengelolaan partai politik di Indonesia.

Kekuatan dominan

Kita tak bisa menutup mata bahwa buruknya kualitas partai politik bermula saat kongres dan pembentukan kepengurusan. Faktor hegemoni kekuatan dominan menjadikan sistem sebagai subordinat dari figur. Kondisi ini melahirkan batas afiliatif yang luar biasa. Dampaknya, oligarki di tubuh parpol seolah-olah menjadi realitas apa adanya.

Pengurus dan warga partai di luar figur utama dan kroninya menjadi kelompok bungkam yang tak berani mengeluarkan wacana ataupun tindakan di luar arus utama yang dikehendaki. Wajar, jika banyak politisi pintar, idealis, dan mumpuni saat masuk dan berinteraksi di dalam sistem partai hanya menambah deretan kader instrumental yang secara sadar larut dalam fantasi kekuasaan figur utamanya.

Logika berdemokrasi melalui pendekatan instrumentalisik menjadikan partai hanya semata-mata instrumen pencapaian kepentingan segelintir elite saja dan abai pada prinsip bonum commune atau mengedepankan kepentingan umum.

SBY memiliki momentum untuk memperbaiki kualitas dan kapasitas kelembagaan Partai Demokrat. Akankah SBY bersedia menjadi pelopor perbaikan ataukah turut serta dalam arus besar hegemoni kekuatan figur?

Ada dua peran signifikan yang bisa dilakukan SBY. Pertama, memastikan Demokrat bukan fans club dan bukan pula dinasti politik. Kedua, mendorong terjadinya penstrukturan adaptif. Dalam terminologi Anthony Giddens, penstrukturan adaptif ialah bagaimana institusi sosial seperti partai diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan yang berfungsi sebagai perilaku anggotanya. Sistem harus lebih kuat dibandingkan dengan satu atau dua orang figur sehingga organisasi memiliki daya tahan kuat meski pada musim pancaroba.

Gun Gun Heryanto

 Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute

0 komentar:

Audit Kinerja Penegakan Hukum

Oleh: Reza Syawawi

Riuhnya penegakan hukum belakangan ini begitu menguras perasaan publik.

Pelantikan Kepala Polri defenitif yang diharapkan mampu meredam gejolak di seputar lembaga penegakan hukum justru diikuti dengan pemilihan Wakil Kepala Polri yang masih memiliki masalah hukum. Terakhir, kepada publik kembali dipertontonkan "aksi koboi" penyidik Polri: menangkap paksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan.

Dengan menggunakan kuasa diskresi, penangkapan di tengah malam itu dianggap Polri  hanya sebagai proses hukum biasa. Faktanya justru terbalik, penangkapan dan langkah-langkah Polri lebih terlihat mubazir. Tak ada yang bisa dihasilkan dari seluruh kejadian tersebut selain kian mengukuhkan bahwa Polri sedang menjadikan hukum sebagai ajang "permainan".

Ketakjelasan informasi seputar penangkapan, pemeriksaan, hingga "pemaksaan" rekonstruksi terakumulasi sebagai skenario yang disebut kalangan masyarakat sipil sebagai kebohongan. Atau, di balik itu semua memang tersirat pesan bahwa siapa pun bisa menjadi target kriminalisasi jika berhadapan dengan Polri.

Audit kinerja

Perintah presiden agar pengusutan kasus hukum transparan sebetulnya cukup menjadi alat agar penegakan hukum dapat dipertanggungjawabkan. Namun, perintah tersebut juga tak konkret, terutama mengenai bagaimana konsep transparansi itu diterapkan. Apakah transparansi itu cukup dengan konferensi pers, atau misalnya, dengan gelar perkara agar semua pihak dapat melihat bahwa kasus itu murni hasil penyelidikan dan penyidikan.

Sayang, Polri tak mengarah ke sana. Janji gelar perkara terhadap kasus Budi Gunawan saja tak kunjung dipenuhi, apalagi kasus yang dituduhkan kepada Novel, serta kasus lain yang dituding kriminalisasi.

Melihat semua situasi ini, sudah saatnya penegak hukum, terutama Polri dan kejaksaan, menjadi obyek pemeriksaan kinerja. Pemeriksaan ini sangat relevan mengingat Polri dan kejaksaan juga dibiayai keuangan negara, dibiayai masyarakat. Pemeriksaan kinerja atau audit kinerja sebetulnya bukanlah instrumen baru dalam pertanggungjawaban keuangan negara. Hanya saja, dalam praktiknya keterbatasan auditor negara (BPK) yang menjadi kendala mengapa audit kinerja belum dilakukan menyeluruh. Sistem keuangan negara yang memegang prinsip "anggaran berbasis kinerja" mengharuskan setiap pengeluaran harus bisa dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, tak serupiah pun luput dari pemeriksaan keuangan, termasuk dari aspek kinerja.

Pemeriksaan ini menjadi solusi alternatif untuk mengawasi serta menilai akuntabilitas institusi negara sebab pengawasan terhadap penegakan hukum tak bisa ditumpangkan hanya melalui proses hukum itu sendiri. Walaupun banyak ruang tersedia menguji validitas proses hukum, baik melalui praperadilan maupun proses hukum lainnya, itu tak cukup menjamin proses hukum.

Pengawasan di dalam penegak hukum juga dianggap tak mumpuni mengoreksi tindakan aparaturnya. Dalam situasi tertentu, pengawasan internal juga bagian dari bobroknya institusi penegak hukum. Dalam kasus konkret dapat dilihat bagaimana lambannya penyelesaian pengaduan masyarakat kepada profesi dan pengamanan Polri terkait penangkapan BW. Mungkin ini imbas esprit de corps-nya yang terlalu tinggi sehingga menciptakan imunitas atas individu tertentu yang memiliki pengaruh.

Di samping pengawasan internal, pengawas eksternal juga mengalami sindrom esprit de corps. Dalam konteks Polri, misalnya, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tak terlihat menempatkan diri sebagai pengawas eksternal Polri. Ini terlihat dalam beberapa pernyataan terbuka anggota Kompolnas yang justru cenderung seperti pembela Polri.

Dengan semua problem itu, sistem pengawasan terhadap institusi penegak hukum melalui audit kinerja sangat penting segera dilakukan. KPK sebagai bagian lembaga penegak hukum telah terlebih dulu melakukan pemeriksaan kinerja. Dengan kewenangan yang begitu besar, KPK menyadari betul bahwa pengawasan konvensional yang tersedia tak cukup sehingga pemeriksaan kinerja oleh BPK menjadi salah satu penopang menjamin akuntabilitas kelembagaan.

Kita berada dalam situasi penegakan hukum tak kondusif. Harus ada upaya semua pihak agar situasi ini tak dibiarkan kian merusak kredibilitas penegakan hukum. Salah satu jalan: segera audit kinerja seluruh institusi penegak hukum.

Reza Syawawi

Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia

0 komentar:

Kenaikan Pohon Kebangsaan

Oleh: ASEP SALAHUDIN

Naik itu bahasa Arabnya "miraj". Pada Mei 2015, dua agama berbeda yang lahir dari bapak monoteisme yang sama (Ibrahim as) merayakan "Kenaikan Isa Almasih" (14/5) dan "Kenaikan Muhammad SAW" (16/5) menuju langit ketujuh untuk miraj, menembus Sidratul Muntaha.

Tentu dua peristiwa penting itu menjadi bagian dari palung keyakinan setiap umatnya. Lebih dari itu tanggal yang nyaris berdempetan semoga menjadi modal religius untuk satu sama lain saling merajut keakraban, mengintensifkan dialog antaragama bahkan antariman, menuju kohesivitas sosial yang solid dalam konteks kebangsaan yang heterogen.

Ada diksi menarik dalam miraj kenabian yang sangat relevan dengan persoalan kita, yakni "Sidratul Muntaha". Secara semantik Sidrah artinya pohon bidara dan al-Muntaha bermakna puncak. Sebuah kata tentang sosok yang telah mencapai puncak pengalaman spiritual. Hebatnya lagi spiritualisme itu diartikulasikan tidak dengan cara eskapisme berdiam diri di Langit (transendensi), tetapi justru turun ke Bumi manusia (humanisasi), menebar damai kasih kepada semesta. Kata Tuhan dalam sebuah hadis Kudsi-nya "Untuk membuktikan kebenaran miraj, justru engkau harus menyelesaikan sengkarut di Bumi". Atau, "Mereka yang bisa berdamai di Bumi, akan mudah berdamai dengan Langit."

Pohon bidara melambangkan capaian-capaian kearifan sebagai bekal untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Sejarah mencatat,  "pohon" menyimpan riwayat  jejak simbolik  keluhuran budi di berbagai tradisi, agama, dan kebudayaan.

Pohon bodhi

Di sebuah tempat ziarah di  jazirah Kapilavastu,  Nepal, dekat perbatasan India, di bawah pohon suci bodhi,  Sidharta Gautama menemukan pencerahan setelah sebelumnya menanggalkan seluruh nafsu primitif kebendaan dan melucuti kekuasaan yang digenggamnya. Menyingkir ke mihrab sunyi, Nabi Isa menerima wahyu. Musa menyendiri ke Thurisin bermeditasi menyambut  10 perintah Tuhan. Sementara   Muhammad SAW memilih goa Hira sebagai tempat merefleksikan banalitas kemanusiaan yang menimpa umatnya sebelum pada akhirnya diturunkan ayat pertama suruhan agar terampil membaca.

Nabi-nabi itulah kemudian mempromosikan nilai-nilai keutamaan. Disampaikannya risalah ihwal kedamaian agar kehidupan menemukan adabnya, digemakan suara politik yang dijangkarkan di atas haluan kemerdekaan rakyat, ekonomi diserukan supaya dikelola dengan cara-cara benar dan terhadap segenap budaya dungu jahiliah diteriakkan sekeras-kerasnya supaya lekas ditanggalkan agar kemanusiaan menempati harkat yang luhur, relasi sosial diingatkan agar diacukan di atas hamparan etos komunitarianisme.

Tentu tidak mudah mengampanyekan tatanan baru  kepada masyarakat, apalagi elite penguasa terbiasa hidup dalam arahan nafsu. Mereka para pembawa obor pencerahan itu harus berhadapan dengan kekerasan baik simbolik ataupun fisik.

Pada masanya, "suara kenabian" itu dipandang epifani kesesatan yang hanya bikin kacau keadaan. Para pembawa risalah itu dicap sebagai "si gila" kena tenung yang tengah meracuni otak segenap lapisan massa. Diserukan para tiran, agar para nabi ditangkap dengan hukuman yang sudah dipersiapkan: dikriminalisasikan, dibakar, disalib, dibunuh, dan atau diusir dari kampung halaman.

Pohon sukun

Dalam konteks kebangsaan abad ke-20, di Ende, di bawah pohon sukun  (Artocarpus communis)  bercabang lima yang menghadap ke laut, Bung Karno menemukan Pancasila yang digali rohnya dari keluhuran nilai budaya dan keagungan agama. Dari rahim sepenggal Ibu Pertiwi Ende, Pancasila dilahirkan.

Pada 80 tahun silam, di bawah pohon sukun itu pula  Bung Karno sering duduk sendirian. Alam pikirannya tidak pernah berhenti merenungkan  bagaimana bangsa Indonesia bisa lekas keluar dari sekapan penjajah yang telah merampas sumber kekayaan alam dan menistakan martabat kemanusiaan. Sambil tepekur, ia tafakur tentang seluruh gerakan perjuangan yang ditautkan kepada satu cita-cita luhur: rakyat merdeka.

Pancasila inilah yang ditahbiskannya sebagai weltanschauung, sebuah pandangan tentang dunia (world view) dan philosophische grondslag, landasan bernegara dan falsafah hidup berbangsa. Tempat semua anak bangsa menemukan payung bersama, memberikan jaminan bagi keragaman baik agama, etnik atau budaya sebagaimana keyakinan Bung Karno:

"Kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Bukan saja alat pemersatu untuk meletakkan negara RI, melainkan juga kepada hakikatnya satu alat pemersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu imperialisme. Perjuangan suatu bangsa mencapai kemerdekaan, membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara sendiri, mempunyai karakteristik sendiri."

Pancasila itulah yang kemudian diterima   kalangan  ormas Islam bermazhab moderat yang para pendirinya bahu membahu berjuang fisik menghadapi kaum kolonial. Nadlatul Ulama misalnya dengan bulat menerima Pancasila sebagai asas tunggal melalui muktamar 1984 di Situbondo. Muhamadiyah juga menerima Pancasila terutama setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Dengan kata lain, keislaman dan keindonesiaan tidak harus diposisikan dalam sebuah hubungan dikotomik, tetapi satu tarikan. Pancasila bukan entitas bipolar dalam hubungannya dengan agama, tetapi satu helaan napas dalam bernegara. Pancasila adalah "titik temu" dari seluruh manusia Indonesia, dalam medan multikulturalisme kewargaan. 

Tentu saja kita tidak menutup mata, pada sebuah penggalan waktu  Pancasila pernah dibajak penguasa Orde Baru sebagai ideologi tertutup. Pancasila dikebiri: hanya berada pada level verbalistik.

Sebatas penataran

Pancasila yang semestinya memberikan pencerahan dilafalkan sebatas penataran, disampaikan lewat indoktrinasi dalam ritus kenegaraan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila berjam-jam, namun tak menghasilkan apa-apa bahkan hancur dihantam krisis ekonomi 1998.

Penyelewengan menjadi kunci kehancuran. Dalam ungkapan Bung Karno pada pidatonya berjudul "Res Publica" di depan Sidang Pleno Konstituante pada 22 April 1959, "Kita bertanya, mengapa kemerosotan, mengapa disintegras itu berjalan terus di semua lapangan di bidang politik, militer dan sosial ekonomi? Jawabnya tak lain ialah karena kita menyeleweng."

Ketika hari ini ada sebagian kalangan ormas Islam yang tidak lagi mempercayai Pancasila, negara harus bertindak tegas menyelesaikannya. Negara tidak boleh absen ketika menyangkut hal-hal yang berkait dengan fundamen berbangsa.  Pancasila yang mandul pada masa Orde Baru tidak boleh menjadi dalih menampiknya.

Pancasila tetap dibutuhkan karena, meminjam  Goenawan Mohamad, "Ia merupakan proses negosiasi terus menerus dari bangsa yang tak pernah tunggal, tak sepenuhnya bisa eka, dan tak sepenuhnya meyakinkan bahwa dirinya, kaumnya, mewakili sesuatu yang Mahabenar. Kita membutuhkan Pancasila kembali... kita hidup di zaman yang makin menyadari ketidaksempurnaan nasib manusia."

Memperingati kenaikan Isa Almasih dan merenungkan kenaikan Muhammad SAW ke Sidratul Muntaha dalam konteks kebangsaan adalah mengingatkan kembali bagi setiap kita untuk merawat Pancasila dan memastikan  bahwa kehadirannya sebagai ideologi negara mampu  memupuk pohon kebangsaan semakin kokoh dan berbuah kesejahteraan.  Untuk kembali berbaiat kepada Bung Karno, berjabat tangan melanjutkan kembali cita-cita trisakti dan nawacita yang sebenarnya.

ASEP SALAHUDIN

Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya/Peneliti di Lakpesdam PWNU Jawa Barat

0 komentar:

Semiotik Suara Peringatan Megawati

Oleh: STANISLAUS SANDARUPA
 9 Mei 2015

Ada persoalan tersisa dari Kongres IV PDIP di Bali, April 2015, menyangkut pemberian salam dan identitas kepartaian dalam budaya politik demokrasi.

Dalam dunia politik ada pandangan yang mengatakan: loyalitas terhadap partai berhenti ketika seorang terpilih jadi Presiden. Pandangan ini dibantah Megawati dalam pidatonya yang dihadiri Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ”Ingat kalian adalah petugas partai. Petugas partai itu adalah perpanjangan tangan dari partai. Kalau kalian tidak mau disebut sebagai petugas partai, silakan keluar dari partai.”

Bagaimana kita memahami tindakan sosial politik Megawati dalam pidato ini?

Teks denotasi

Perhatian pertama-tama diarahkan pada teks denotasi, yaitu semua kegiatan pemakaian bahasa dalam pidato, terutama isyarat-isyarat (cues) yangdipakai untuk menghasilkan dasar kerangka interpretasi. Megawati memakai kata ’mengatakan’, verbum discendi, ’ingat’ yang kata kerjanya mengingatkan, yaitu mengatakan sesuatu dalam cara tertentu seperti mengingatkan kewajiban. Terlebih lagi mengingatkan masuk kategori kata kerja performatif, yaitu ia terjadi dengan mengatakannya.Mengingatkan juga punya dimensi kesepakatan masa lampau yang berlatartulisan tangan, janji, wacana kerakyatan, ideologi, dan getirnya perpecahan selama kampanye politik.

Banyak interpretasi pidato dalam media melenceng karena kata mengingatkan diganti, misalnya dengan kata ’menegaskan’. Menegaskan berarti mengatakan dengan tegas, tidak ragu-ragu. Interpretasi ini semakin tidak tepat jika kata menegaskan dikaitkan dengan bentuk tuturan perintah disertai dengan kata kalian.

Tidak ada koherensi antara menegaskan dan memerintahkan. Ia hanya koheren dengan menyatakan. Mengingatkan koheren dengan memerintahkan sebagai kontekstualitas.

Dengan demikian, verbum discendi, bentuk perintah, performatif, kata-kata kalian dan petugas partai merupakan isyarat-isyarat yang menunjuk ciri- ciri setting yang dapat menghasilkan kerangka interpretif.

Teks interaksional

Sebagai tindakan sosial politik, interpretasinya tidak dicari dalam makna kata yang dipakai, tetapi lebih dari itu. Di sini dipakai dua konsep, yaitu indeks dan suara yang saling berkaitan.

Indeks merupakan keterhubungan dua elemen secara kausal, kebersamaan, dan persentuhan (Silverstein 2003). Adalah sejumlah isyarat di atas yang menghubungkan teks denotasi dan teks interaksional sebuah konstruksi hubungan sosial, identifikasi diri dan lain sebagai kelompok sosial tertentu.

Isyarat mengingatkan terjadi antara pengingat dan pelupa. Ia muncul dalam bentuk perintah yang performatif. Salah satu syaratnya adalah yang memberikan perintah berkedudukan lebih tinggi daripada yang diperintah (Austin 1962). Untuk itu, pemakaian kata kalian untuk semua kader PDIP—entah itu yang di legislatif atau eksekutif—menjadi tepat sekali apalagi dengan menyebut mereka petugas partai, termasuk Jokowi dan Kalla. Tidak ada kekacauan bahasa politik, malahmembangun satu pidatokontekstual koheren.

Kedua, konsep suara atau voice (Bakhtin 1981 [1935]) menjelaskan satu cara bagaimana isyarat indeks menerangi konteks relevan. Konsep ini berkaitan dengan stratifikasi dan keragaman dalam bahasa. Bakhtin berpendapat bahasa sudah diambil alih secara keseluruhan, penuh dengan intensi dan aksen. Setiap kata sudah punya selera profesi, genre, partai, dan lain-lain.Bahasa hidup dalam konteks.

Dalam kampanye politik di Jawa pada 2014, misalnya, Megawati pernah meminta rakyat memilih Jokowi dengan mengatakan: ”pilihlah si kerempeng ini”. Kata ini lalu diambil alih lawan politik dan menjadi metafor utama dalam ”Sajak Seekor Ikan”-nya Fadli. Baik dalam kampanye maupun dalam puisi, kata kerempeng punya makna sama, yaitu sangat kurus sehingga tulang rusuk tampak menonjol.

Namun, kata ini mengindeks suara berbeda dua kelompok yang berseteru pada saat kampanye. Suara Megawati adalah kedekatan, keakraban, dan kesamaan identitas dengan Jokowi, sedangkan suara Fadli menyorot relasi antara ikan hiu (Megawati) yang akan memangsa ikan kecil (Jokowi) di lautan lepas. Dengan demikian, berbicara lewat suara berarti memakai kata-kata yang mengindeks posisi-posisi sosial. Kata-kata mencirikan anggota- anggota kelompok tertentu.

Pidato Megawati lewat mediasi isyarat-isyarat verbal mengonstruksi dua posisi interaksional dan mendialogkan dua suara internal PDIP : pemimpin dan yang dipimpin. Presiden partai adalah Megawati, yang dipimpin adalah anggota dan kader partai.Sebagai pimpinan tertinggi ia berkuasa penuh dan memerintahkan kader yang bertugas di legislatif dan eksekutif untuk keluar dari partai kalau tidak mau disebut petugas partai.

Perintah keras ini keluar dalam situasi politik kacau seperti banyaknya bunuh diri dan pembunuhan, narkoba dan begal, tidak dilantiknya Budi Gunawan sebagai Kepala Polri dan lengsernya Abraham Samad sebagai Ketua KPK, kurs rupiah terhadap dollar AS terus melemah, perhatian masyarakat ke batu akik agar lupa kondisi sosial ekonomi di mana harga beras, lombok, dan bawang membubung tinggi, serta masalah kepartaian Golkar.

Masyarakat mulai mempertanyakan makna sebuah blusukan. Semakin memakmurkan rakyat kah suatu ideologi besar PDIP atau semakin menyengsarakankah mereka lewat praktik sirkulasi uang membangun proyek-proyek raksasa, mengenyangkan elite dengan cara meniadakan subsidi BBM?

Pelajaran demokrasi

Pelajaran terpenting kehidupan demokrasi yang dapat ditarik dari pidato Megawati, pertama, berkaitan dengan mentalitas dan cara berpikir kontekstual. Pidato menggambarkan bahwa ideologi PDIPsama dengan ideologi semua, ideologi kerakyatan untuk kemakmuran rakyat. Presiden Indonesia milik semua dan suara memperjuangkan rakyat dilakukan petugas partai.

Kedua, manusia adalah makhluk menjadi yang berpindah dari satu peran ke peran lain. Ketika Jokowi sudah menjadi Presiden, ia ke Singapura menghadiri wisuda anaknya naik pesawat Garuda, duduk di bangku tempat orangtua-orangtua yang anaknya diwisuda.

Demikian pula ketika ia menghadiri Kongres PDIP. Posisinya dikonstruksi bukan sebagai Presiden Indonesia melainkan petugas partai di eksekutif yang berhadapan dengan presiden partai. Berpikir demokratis adalah berpikir kontekstual. Janganlah setelah Presiden lalu ia menjadi presiden di semua konteks, bahkan anak-istri lebih seperti presiden, dan seterusnya. Kita angkat topi pada Presiden dan PDIP dalam hal ini.

Tulisan ini memiliki keterbatasan dalam hal ia didasarkan pada data televisi dan internet serta berita di Kompas. Ia berada di bawah bayang-bayang allegory of the cave Plato.

Stanislaus Sandarupa, Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Ilmu-ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin

0 komentar:

36.000 Kaki

Oleh: SAMUEL MULIA
Di atas ketinggian itu, ketika berada di dalam pesawat, saya dan Anda bisa melihat dengan jelas siapa diri kita sesungguhnya. Dari mana saya bisa mengetahui itu semua?

Indikator

Sudah pasti bukan dari kelas yang tersedia. Kelas ekonomi, kelas bisnis, atau kelas utama yang mampu menguras kocek sampai ratusan juta rupiah, sama sekali tak bisa digunakan sebagai tolok ukur.

Ada satu indikator yang saya gunakan untuk menilai. Dan indikator itu bukan perilaku manusianya. Kalau itu sudah terlalu basi digunakan sebagai bahan penilai. Anda dan saya sudah tahu pasti, bagaimana dan perilaku macam apa yang pernah dilihat, bahkan dari saat masih di depan check-in counter.

Dari soal pegawai yang diskriminatif sampai penumpang yang arogan. Dari crew yang galaknya seperti sipir penjara sampai penumpang yang mengumpat dan mampu melakukan kegiatan esek-esek di ruang yang bahkan tak tertutup itu.

Nah, indikator yang saya gunakan adalah buah yang dihasilkan dari perilaku yang dilakukan setelah sampai di tempat tujuan. Begini. Coba Anda perhatikan ketika pesawat sudah berhenti dengan benar di tempatnya, dan para penumpang dipersilakan turun. Perhatikan apa yang terjadi di setiap kursi dan kondisi di sekitar tempat duduk itu.

Yaa... benar. Anda dan saya bisa melihat dengan nyata dan kemudian mengerti apa yang dimaksud dengan kapal pecah. Apalagi kalau Anda duduk di kelas ekonomi dan mendapat tempat duduk yang sudah dekat ekor pesawat, perjalanan Anda ke pintu keluar akan melewati jalan panjang. Bahkan tak jarang, Anda dan saya diperintahkan untuk keluar melalui kabin kelas bisnis dan utama.

Pemandangan yang didapat akan sama, mau itu kabin kelas ekonomi atau kelas utama. Berantakan adalah benang merahnya. Anda bisa melihat ada selimut yang tertata rapi setelah digunakan, ada selimut yang berantakan dan dibiarkan begitu saja.

Ada koran yang terlipat secara acak-acakan dimasukkan ke dalam kantong kursi, bahkan gelas minum plastik juga masuk ke dalam kantung kursi, dan atau tergeletak di sekitar tempat duduk. Bantal untuk kepala, bisa tergeletak di lantai.

Ada yang mengembalikan fasilitas hiburan ke tempatnya dengan benar, ada penumpang yang membiarkan begitu saja. Belum lagi yang membawa anak kecil. Makanan, bekas permen dan kacang, tersebar di lantai sehingga bisa seperti keadaan yang Anda lihat di bak sampah. Tiba-tiba badan pesawat yang modern dan canggih itu berubah menjadi bak sampah terbesar di dunia. Saya sendiri juga tak tahu karena belum pernah bertanya kepada para penumpang, bagaimana kok bisa sampai seberantakan itu.

Penumpang terbaik di dunia

Maka setiap kali saya melihat keadaan seperti kapal pecah itu, saya melihat kembali kepada diri sendiri. Melihat bagaimana saya menata hidup, menata rencana masa depan, menata rumah, menata sebuah hubungan asmara, keluarga, sosial dan profesional.

Saya selalu kesetrum saat melihat kapal pecah itu. Setrum itu mengantar saya berpikir, apakah karena seseorang sudah membayar, maka ini adalah waktunya seseorang menerapkan konsep pembeli itu raja secara utuh? Sungguh saya tak tahu. Dan saya tak sedang mempermasalahkan itu.

Saya lebih berpikir setelah melihat kondisi acakadut itu, bagaimana saya bisa dipercaya oleh orang lain dalam mengelola kehidupan profesional, sosial, familial dan asmara, kalau hanya dalam penerbangan saja, yang sekian jam itu, saya bisa begitu joroknya dan begitu sembarangannya.

Bagaimana saya sebagai orangtua tak bisa mengelola kenakalan anak saya sehingga ia bisa berlari-lari di sepanjang penerbangan dan mengganggu sejuta umat lainnya, bagaimana saya bisa membuang kertas pembersih di lantai toilet sementara tempat sampah telah tersedia.

Bagaimana saya bisa begitu egoisnya, membuang air yang katanya seni itu tidak pada tempatnya sehingga tercecer di pinggir toilet, di lantai, dan tak berminat membersihkan, padahal sayalah yang memiliki air yang seni itu.

Bagaimana saya bisa mencuci tangan dan berludah, kemudian dengan tenang membiarkan orang lain melihat wastafel dengan genangan air kotor dan bekas sabun, padahal genangan kotor itu sejujurnya sangat mudah sekali dibuang hanya dengan menarik tombol yang telah tersedia.

Setiap kali saya keluar dari badan pesawat setelah melihat kondisi kapal pecah itu, saya melihat diri saya yang sesungguhnya. Kelas sosial akan membuat saya dikelompokkan. Kelas yang ditawarkan maskapai penerbangan akan memberi predikat kepada saya.

Saya mungkin senang dengan predikat dan pengelompokan itu. Tetapi apalah artinya sebuah predikat dan status sosial kalau perilaku saya saja seperti kapal pecah? Berarti kalau saya bisa begitu jorok dan berantakan di ruang publik, apakah yang akan dibayangkan orang lain yang terjadi di dalam rumah saya yang tertutup untuk umum?

La wong di tempat umum saja, saya bisa dengan tidak malu menunjukkan betapa joroknya saya, bayangkan di dalam rumah sendiri.

Mungkin predikat terbaik di dunia tak hanya untuk sebuah maskapai penerbangan semata, tetapi untuk penumpangnya. Dan predikat terbaik untuk penumpang tak perlu dinilai badan penilai khusus atau berdasarkan hasil angket, tetapi nuraninya sendiri.

0 komentar:

Ancaman Anggaran Pertahanan Tiongkok

Oleh: DARMA AGUNG

Perbandingan anggaran pertahanan Tiongkok dengan negara lainnya dilihat dari berbagai aspek menunjukkan bahwa anggaran pertahanan Tiongkok memang cukup besar.

Meskipun hal tersebut merupakan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan penguatan sektor anggaran pertahanan merupakan kebijakan Tiongkok terkait stabilitas kawasan dan integritas teritorial. Akan tetapi, pengaruhnya terhadap negara lain merupakan ancaman tersendiri terhadap stabilitas kawasan.

Menilik data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), anggaran pertahanan Tiongkok mengalami peningkatan secara signifikan yang pertumbuhannya melesat sejak 2005 hingga sekarang. Peningkatan tersebut telah melampaui anggaran pertahanan Jepang yang selama ini mendominasi anggaran pertahanan terbesar di kawasan sejak pasca-Perang Dingin (1989).

Kesenjangan antara anggaran pertahanan Tiongkok dengan negara lain di kawasan terlihat sangat lebar. Bahkan, sejak 2011, baik secara nominal maupun konstan, anggaran pertahanan Tiongkok merupakan anggaran terbesar jika dibandingkan dengan total gabungan anggaran pertahanan Jepang, Korea Selatan, India, dan Vietnam, negara-negara yang selama ini menjadi rival tradisional Tiongkok. Namun, secara rasio persentase terhadap PDB, anggaran belanja pemerintah, dan per kapita, anggaran pertahanan Tiongkok masih kalah apabila dibandingkan dengan negara lainnya.

Rata-rata persentase anggaran pertahanan Tiongkok terhadap PDB sejak pasca-Perang Dingin cenderung stabil, yaitu 1,97 persen. Rata-rata persentase tersebut lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata persentase anggaran pertahanan Brunei, Pakistan, Singapura, Korea Selatan, India, Vietnam, terhadap PDB setiap negara, dan hanya sedikit lebih besar dibandingkan dengan Australia (1.93 persen). Jika diubah tahun dasarnya ke 2000, posisi Tiongkok hanya kalah dari Singapura, Pakistan, Brunei, India, dan Korea Selatan.

Hanya, jika menggunakan acuan rata-rata persentase anggaran pertahanan terhadap anggaran belanja pemerintah sejak 1989, persentase anggaran pertahanan Tiongkok (11 persen) hanya lebih rendah dari Singapura (24 persen) dan Pakistan (18 persen). Sementara India memiliki rata-rata persentase yang sama dengan Tiongkok.

Tiongkok sering kali menggunakan luas wilayahnya sebagai dalih besaran anggaran pertahanannya dan menggunakan rasio anggaran pertahanan per kapita untuk menunjukkan bahwa anggaran pertahanan mereka relatif kecil dan tidak pantas dianggap sebagai ancaman oleh negara lainnya. Penyangkalan juga didasari atas ketiadaan hubungan sebab-akibat jika dikaitkan pengadaan senjata oleh Tiongkok dengan pengadaan senjata yang dilakukan negara lain. Di lain sisi, banyak yang menyoroti perubahan anggaran pertahanan Tiongkok yang menaikkan anggaran untuk kepentingan riset dan kesejahteraan prajuritnya.

Sejarah konflik

Pendekatan rivalitas berdasarkan pola sejarah sengketa militer antarnegara sejak 1945 menunjukkan Tiongkok merupakan negara dengan jumlah konflik terbesar dengan negara tetangga di kawasan.

Jika pola rivalitas antarnegara ini kemudian diasumsikan sebagai pola musuh potensial sebuah negara, secara jejaring anggaran pertahanan di kawasan, Tiongkok merupakan ancaman bersama.

Anggaran pertahanan Tiongkok dipersepsikan sebagai ancaman karena hubungan antarnegara di Asia cenderung dipengaruhi oleh pola permusuhan, rivalitas, dan sejarah konflik pada masa lalu, yang kemudian diinterpretasi sebagai persepsi ancaman dan ketakutan. Pada negara yang memiliki hubungan anggaran pertahanan, sengketa wilayah dan hubungan tidak harmonis pada masa lalu yang belum terselesaikan turut memperburuk persepsi suatu negara terhadap negara lain sehingga setiap upaya memperkuat negara di sektor militer dapat diartikan sebagai sebuah upaya yang mengancam.

Dari hasil riset pribadi, anggaran pertahanan Tiongkok diketahui memengaruhi anggaran pertahanan Korea Selatan, India, Pakistan, Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina, Indonesia, Australia, sekaligus menempatkan Tiongkok sebagai sentralitas jejaring anggaran pertahanan di kawasan. Hubungan sebab-akibat ditunjukkan pada anggaran pertahanan Tiongkok dengan Australia, Tiongkok dengan Pakistan, Tiongkok dengan Korea Selatan, dan Tiongkok dengan Vietnam. Hubungan anggaran pertahanan Tiongkok dan Pakistan merupakan pengecualian karena kedua negara terlibat dalam berbagai kerja sama di bidang pertahanan.

Ketidakpastian dari intensi dibalik peningkatan anggaran pertahanan, diikuti kemajuan teknologi militer, penguatan pertahanan maritim, dan berbagai aksi Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan merupakan sorotan terhadap Tiongkok sebagai ancaman di kawasan atau bukan.

Pakar hubungan internasional, Profesor Amitav Acharya, menyatakan bahwa kekhawatiran terhadap Tiongkok didasari atas ketidakpastian arah perkembangan Tiongkok sebagai kekuatan besar regional dan global "... uncertainty in the form of Tiongkok's behaviour once she attained her great power status. Will she conform to international or regional rules or will she be a new military power which acts in whatever ways she sees fit."

Proses sekuritisasi isu anggaran pertahanan kemudian melahirkan pemahaman kolektif terkait negara yang menjadi ancaman bersama di kawasan. Hal ini kemudian ditunjukkan dalam hubungan anggaran pertahanan antarnegara, di mana anggaran pertahanan suatu negara dimaknai sebagai ancaman eksternal, seperti yang terjadi pada Tiongkok.

DARMA AGUNG

Pemerhati Isu Pertahanan; Alumnus Universitas Pertahanan Indonesia

0 komentar:

Melawan "Malaise"

Oleh: DENNI P PURBASARI

Ekonomi Indonesia memasuki periode "malaise". Pelaku ekonomi merasa tidak nyaman.

Pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun ini (year on year) hanya 4,71 persen, turun dari 5,14 persen; angka pengangguran naik dari 5,70 persen (Februari 2014) menjadi 5,81 persen (Februari 2015); pelaku bisnis dan konsumen merasa pesimistis. Jika tidak segera ditanggapi, pelemahan ini bisa jadi berlanjut di kuartal-kuartal selanjutnya.

Memang betul bahwa pelambatan ekonomi Indonesia disebabkan salah satunya oleh pelambatan ekonomi global. Ekonomi Tiongkok melemah dan belum ada negara lain yang bisa menggantikan turunnya permintaan Tiongkok ini. Akibatnya, dunia menghadapi kelebihan penawaran di semua pasar, baik komoditas, barang manufaktur, tenaga kerja, maupun dana.

Turunnya permintaan ini menyebabkan persediaan menumpuk, harga-harga menurun. S&P GSCI yang mengukur harga komoditas global, misalnya, menurun 34 persen dalam 12 bulan terakhir-kembali ke tingkat tahun 2009. Kombinasi deflasi-resesi di tingkat global ini paling ditakuti karena Jepang pernah mengalaminya selama 20 tahun (dikenal sebagai the lost two decades) sejak 1991. Apabila deflasi-resesi global ini terjadi, Indonesia bisa terseret dalam periode malaise yang panjang.

Menjaga daya beli

Untuk melawan malaise dan membalikkan ekspektasi pelaku ekonomi Indonesia dari pesimistis menjadi optimistis, permintaan agregat-yang bersumber dari dalam negeri-perlu dinaikkan. Jika permintaan tumbuh, sisi produksi akan bergairah.

Dari sumber-sumber permintaan domestik ini, yang paling penting adalah konsumsi karena perannya yang mencapai 55 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Sebagai catatan, konsumsi ini tidak hanya terdiri dari makanan, pakaian, dan gadget, tetapi juga transportasi, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan rekreasi.

Untuk meningkatkan konsumsi, konsumen perlu diyakinkan bahwa daya belinya tidak menurun. Ini berarti, kestabilan harga-harga dan sumber pendapatan konsumen perlu dijaga.

Terkait inflasi, pemerintah dan Bank Indonesia tak boleh lengah dengan penurunan harga minyak dunia dan deflasi awal tahun silam. Inflasi April yang biasanya rendah, kemarin, ternyata mencapai 6,79 persen (year on year) dan 0,36 persen (month to month)-belum lagi nanti saat musim liburan, tahun ajaran baru, dan bulan puasa.

Untuk mengatasi inflasi, pernyataan bahwa pemerintah tidak akan mengimpor beras, kuota sapi impor akan dipangkas, wacana premium akan diganti dengan pertalite dan sejenisnya harus dihentikan-setidaknya sampai malaise ini terhenti. Wacana-wacana seperti itu dikhawatirkan akan meningkatkan (ekspektasi) inflasi dan menurunkan daya beli, tanpa ada manfaat penghematan fiskal apa pun.

Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan pasokan barang dan jasa cukup. Pungli dan inefisiensi di sepanjang supply-chain diberantas, tidak peduli apakah itu dari impor atau dari desa-desa dan pabrik-pabrik kita. Pengecer, apakah itu besar atau kecil, modern atau tradisional, perlu didorong pertumbuhannya karena mereka menyediakan etalase yang menghubungkan langsung produsen dengan konsumen. Kompetisi juga harus disemai di semua bidang agar produsen tidak mendapatkan laba super-normal di atas penderitaan konsumen.

Menjaga inflasi juga berarti memastikan jalur logistik efisien dan andal. Terkait ini, jalur ganda kereta api lintas utara Jawa yang sudah jadi harus dioptimalkan penggunaannya dan Jalan Tol Cikampek-Palimanan harus dikebut penyelesaiannya sebagai alternatif di pantai utara. Begitu pula dengan infrastruktur lainnya. Jika ini dilakukan, barangkali inflasi akan terjaga dan keyakinan konsumen untuk membelanjakan uangnya akan naik.

Peran swasta

Selain menjaga inflasi agar daya beli konsumen tidak surut, konsumen juga perlu diyakini bahwa prospek pendapatannya pada masa depan stabil. Ini berarti roda bisnis, khususnya usaha-usaha swasta, harus terus berputar, bahkan tumbuh. Mengapa swasta? Sebab, peran pemerintah dalam PDB tidak lebih dari 10 persen. Artinya, swastalah yang banyak berperan dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan peningkatan produktivitas, bukan pemerintah.

Namun, pemerintah melalui anggaran dan aturan main yang ditetapkannya bisa memengaruhi pertumbuhan sektor swasta. Terkait dengan anggaran, langkah pemerintah untuk menggenjot belanja infrastruktur sudah tepat, apalagi jika swasta sulit atau tidak tertarik menyediakan infrastruktur tersebut.

Masalahnya, infrastruktur sering kali bermasalah dengan lahan, perizinan (pusat dan daerah), penyiapan proyek, prosedur lelang, benturan/kekosongan aturan yang menaunginya, dan kegamangan birokrasi. Akibatnya, jeda waktu antara seremoni ground breaking dan konstruksinya-apalagi pengoperasiannya-bisa lama sekali.

Jika implementasinya tidak dikawal, dana infrastruktur yang sudah dialokasikan sebesar Rp 290 triliun atau 25 persen dari belanja pemerintah bisa banyak tak terserap. Akibatnya, bukan hanya momentum untuk mendongkrak ekonomi hilang (dalam bentuk besi, baja, semen, atau tenaga kerja yang gagal diserap dan usaha-usaha baru yang gagal tumbuh), melainkan juga ongkos ekonomi akibat pemerintah sudah telanjur menaikkan pajak atau menarik utang tidak dapat dibatalkan-selain dari turunnya kredibilitas pemerintah atau APBNP itu sendiri.

Terkait itu, langkah pemerintah membentuk Tim Evaluasi dan Pengawasan Realisasi Anggaran untuk mempercepat penyerapan sudah benar. Namun, yang tak kalah penting, pemerintah barangkali perlu mengoreksi angka ekspansi fiskalnya, dan sejurus dengan itu, melunakkan target penerimaan pajak atau pembiayaan utangnya agar menjadi lebih realistis.

Menggenjot pajak (apalagi dalam suasana malaise) dapat melemahkan permintaan dan mengurangi multiplier belanja pemerintah. Sementara menjual surat utang ketika ekonomi dunia tidak pasti dan ekonomi kita mengalami malaise, mahal imbalnya-belum lagi dampaknya dalam mendesak keluar (crowd- out) kredit swasta.

Tiga kebijakan ini, yaitu menjaga kestabilan harga-harga, melaksanakan reformasi secara kredibel, dan memastikan agar ekspansi fiskal tidak sampai membunuh inisiatif privat adalah kunci untuk melawan malaise. Pasar jelas akan menanti ini.

Denni P Purbasari

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

0 komentar:

Problem Perombakan Kabinet

Oleh: Syamsuddin Haris

Wacana perombakan kabinet kini mulai bergulir, padahal pemerintahan hasil Pemilu 2014 baru berusia tujuh bulan. Seberapa penting perombakan kabinet? Apakah sudah waktunya dilakukan oleh Presiden Joko Widodo?
jitet

Seperti diamanatkan oleh Pasal 17 Ayat (2) UUD 1945, menteri-menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Jadi, presiden memiliki otoritas penuh untuk mengangkat siapa saja yang dianggap layak dan memiliki kualifikasi di bidangnya sebagai pembantu presiden. Selain itu, presiden juga mempunyai kewenangan penuh untuk memberhentikan para menteri yang dianggap tidak layak dan berkinerja buruk.

Dengan demikian, perombakan kabinet adalah suatu "rutinitas" yang melekat pada otoritas seorang presiden dalam skema demokrasi presidensial. Artinya, presiden dapat mengangkat dan memberhentikan menteri negara kapan saja dan terhadap siapa saja yang bekerja tidak optimal, tanpa harus dibebani oleh berbagai intrik politik, baik di lingkar dalam maupun lingkar luar Istana.

Namun, problemnya, dalam kehidupan politik bangsa kita perombakan kabinet telanjur direspons, disikapi, dan dipersepsikan sedemikian rupa, seolah-olah memiliki makna simbolik tertentu, sehingga segenap jagat politik menunggu momen tersebut dengan harap-harap cemas. Pergunjingan publik biasanya bukan hanya terkait soal siapa dan menteri apa yang bakal didepak, dan siapa pula yang akan menggantikan, melainkan juga disertai rumor yang melatarbelakangi pilihan sang presiden. Intrik politik lebih keras dan bahkan cenderung vulgar acap kali berkembang di lingkungan partai-partai pengusung presiden dan wakil presiden.

Tidak mengherankan jika tensi politik di sekitar perombakan kabinet sering kali tidak kalah riuh dan gaduh dibandingkan dengan saat menjelang pembentukan kabinet.

Trauma perombakan kabinet

Pertanyaannya, mengapa perombakan kabinet menjadi isu politik yang begitu sensitif dalam kehidupan bangsa kita? Pertama, pada era Kabinet Persatuan (1999-2001), Presiden Abdurrahman Wahid begitu sering memberhentikan para menteri, tetapi tak jelas alasan pencopotannya. Hal ini menimbulkan kekecewaan parpol pendukung yang menterinya dicopot oleh almarhum Gus Dur.

Seperti diketahui, pemberhentian Presiden Gus Dur oleh MPR atas usul DPR hasil Pemilu 1999, antara lain, dipicu oleh perombakan kabinet yang tidak mengenal "aturan" ini. Perombakan kabinet ala Gus Dur ini akhirnya menjadi pengalaman traumatik bagi parpol pendukung pemerintah.

Kedua, kabinet-kabinet pada era reformasi, sejak pemerintahan Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada dasarnya adalah kabinet koalisi parpol pendukung presiden. Parpol pendukung berkepentingan agar memperoleh kompensasi politik yang layak dalam bentuk jatah menteri sesuai kontribusi dan "keringat" mereka dalam mendukung keterpilihan sang presiden (dan wakilnya). Karena itu, ketika ada momen perombakan kabinet, parpol pendukung berharap agar jatah menteri mereka bertambah atau minimal tidak berkurang dari sebelumnya.

Ketiga, berbeda dengan kepentingan parpol pendukung, publik dan berbagai elemen masyarakat sipil justru berharap agar presiden mengurangi jumlah menteri yang berasal dari parpol agar terbentuk kabinet profesional yang hanya loyal terhadap pemerintah dan negara serta mengabdi untuk bangsa kita. Kepentingan parpol, yang juga beragam, sering kali bertabrakan dengan kepentingan publik terkait isu perombakan kabinet. Kegaduhan politik acap kali muncul dari gesekan berbagai kepentingan yang kemudian turut "digoreng" oleh berbagai media yang lebih mencari sensasi ketimbang akurasi.

Keempat, meskipun berbagai pihak yang berbeda kepentingan sangat antusias dalam menyikapi perombakan kabinet, pengalaman selama ini memperlihatkan bahwa perombakan kabinet tidak pernah bisa memuaskan semua pihak. Perombakan kabinet pada era Gus Dur bahkan berujung kejatuhan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tiga periode tersebut dari jabatan presiden. Mungkin karena trauma dengan pengalaman Gus Dur, Presiden Megawati (2001-2004) menghindari perombakan kabinet. Karena itu, peristiwa menonjol pada era Megawati bukanlah perombakan kabinet, melainkan mundurnya Menko Polkam SBY dari Kabinet Gotong Royong pada 11 Maret 2014 sebagai akibat konfliknya dengan Megawati menyusul meningkatnya popularitas SBY sebagai calon presiden menjelang Pemilu 2004.

Atas dasar pengalaman Gus Dur dan Megawati,  Presiden SBY (2004-2014) sangat hati-hati dalam melakukan perombakan kabinet. Dalam beberapa kali perombakan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) periode pertama (2004-2009), para menteri yang diganti tidak sepenuhnya terkait kinerja mereka, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan keutuhan koalisi parpol pendukung SBY. Pada periode kedua (2009-2014), SBY bahkan lebih memilih mengorbankan pembantu terbaiknya, Menkeu Sri Mulyani, ketimbang "menghukum" Partai Golkar, yang bersama-sama dengan Partai Keadilan Sejahtera, mempermalukan pemerintah di DPR terkait skandal Bank Century.

Demi hubungan baik dengan Aburizal Bakrie (Golkar) dan harmoni semu sekretariat gabungan koalisi parpol pendukung pemerintah, SBY membiarkan menkeu terbaik se-Asia itu "mundur" dari kabinet dan menerima "tawaran" sebagai Direktur Eksekutif Bank Dunia.  Pada perombakan kabinet berikutnya, akhir Oktober 2011, Presiden SBY bahkan hanya menambah formasi wakil menteri (wamen) dari semula enam orang menjadi 19 wamen.

Problem Joko Widodo

Persoalan hampir sama, bahkan sangat mungkin lebih  pelik dan kompleks, akan dihadapi Presiden Jokowi terkait perombakan kabinet. Problem itu, pertama, Jokowi adalah presiden pertama pada era reformasi yang tidak menjabat pimpinan parpol.

Dalam sebutan kurang tepat yang dilontarkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, Jokowi tak lebih dari "petugas partai" yang tak berkuasa atas parpol yang dipimpin untuk keempat kalinya oleh putri Bung Karno itu. Sementara Gus Dur (PKB), Megawati (PDI Perjuangan), dan SBY (Demokrat) adalah ketua-ketua umum serta ketua dewan pembina parpol mereka masing-masing saat terpilih menjadi presiden.

Kedua, Jokowi tidak hanya tidak memiliki hubungan harmonis dengan PDI Perjuangan sebagai basis politiknya, tetapi juga mempunyai relasi cenderung konfliktual dengan Megawati dan jajaran partai banteng. Hubungan tidak harmonis ini berimbas pula dalam relasi dengan parpol-parpol lain yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Itu artinya, dalam soal perombakan kabinet, Jokowi tidak hanya harus melayani kepentingan PDI Perjuangan dan Megawati, tetapi juga Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura. PDI Perjuangan,  misalnya, sebagai parpol pengusung Jokowi-Kalla yang merasa paling "berkeringat", tentu berharap agar "jatah" menteri bagi mereka bertambah jika perombakan kabinet dilakukan Presiden Jokowi.

Ketiga, Presiden Jokowi sendiri sebenarnya tidak begitu puas dengan formasi Kabinet Kerja yang diumumkannya 26 Oktober 2014. Menurut informasi yang saya peroleh dari sumber di lingkungan Istana, hanya 50-60 persen dari 34 menteri kabinet tersebut yang benar-benar dipilih Jokowi. Selebihnya wakil-wakil dari parpol koalisi pengusung dan "titipan" dari Megawati dan Wapres Jusuf Kalla yang harus diakomadasi di dalam kabinet.

Keempat, Presiden Jokowi harus menghitung pula kompensasi politik bagi parpol yang mengalihkan dukungan politiknya ke Jokowi-Kalla, baik karena pergantian ketua umum parpol maupun perubahan haluan politik. Persoalannya, ketika PDI Perjuangan dan KIH tidak total mendukung pemerintahannya, Jokowi justru memperoleh dukungan politik dari parpol-parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), baik secara sendiri-sendiri maupun secara kelompok. Mengingat tidak ada makan siang gratis dalam politik, wajar saja jika ada parpol yang berharap agar Presiden Jokowi membuka peluang unsur KMP untuk bergabung ke dalam kabinetnya.

Penumpang gelap

Di luar semua faktor di atas, tantangan terberat Jokowi adalah melunakkan hati Sang Ibu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati. Dalam pidato di Kongres Bali, Megawati menyinyalir adanya "penumpang gelap" dalam pemerintahan Jokowi, suatu sinyal politik yang memperlihatkan kekecewaan Mega atas orang-orang pilihan Jokowi di lingkar dalam Istana. Jika sinyalemen Mega itu benar, tentu tidak mudah bagi mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu mengocok ulang kabinet yang bisa memuaskan semua pihak.

Oleh karena itu, perombakan kabinet belum tentu bisa menjadi solusi bagi efektivitas dan produktivitas pemerintahan Jokowi-Kalla. Perombakan kabinet tidak mustahil akan menjadi sumber konflik dan kegaduhan politik baru yang tidak produktif bagi bangsa kita. Dalam kaitan itu, pilihan terbaik bagi Presiden Jokowi saat ini adalah mendorong para pembantunya agar lebih fokus, mengurangi pencitraan dan kontroversi, serta mempercepat penyerapan anggaran dan belanja pemerintah agar perekonomian yang kini lesu darah bisa segera bergairah, bangkit, dan pulih kembali.

Para menteri yang tidak fokus dan berkinerja buruk tentu harus diganti. Namun, momentum perombakan itu sebaiknya dilakukan setelah kabinet setahun bekerja pada Oktober 2015.

Syamsuddin Haris

Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

0 komentar:

Kota Cerdas

Oleh: SARATRI WILONOYUDHO

Gagasan tentang kota cerdas pantas diacungi jempol. Sebab, saat ini kota-kota besar di Tanah Air nyaris tidak nyaman lagi untuk dihuni, baik karena keamanan, kebersihan, ataupun kemacetan dan pelayanan publik lainnya. Dalam satu dekade terakhir, beberapa kota besar di Jawa bahkan berubah menjadi megapolitan.

Jakarta, misalnya, kini telah "menyatu" dengan Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi ("Jabodetabek") dan membentuk sebuah "megapolitan". Demikian pula Semarang dengan "Kedungsepur" (Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Purwodadi), atau Surabaya dengan "Gerbang Kertasusila" (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan).

Menurut Cohen (2006), pada awal abad XX hanya ada 16 kota di dunia yang berpenduduk lebih dari satu juta jiwa, tetapi kini ada sekitar 400 kota  di dunia yang berpenduduk satu juta jiwa atau lebih. Pertumbuhan kota-kota kecil yang menyatu jadi megaurban ini tampaknya belum mampu diatasi permasalahannya oleh pemerintah setempat.

Menurut Laquian (2008), masalah yang menonjol dalam memanajemeni kawasan megaurban, pertama, tak terselesaikannya masalah-masalah fisik seperti pembangunan jalan, saluran, perumahan, pembuangan sampah, dan drainase. Kedua, sedikitnya perencana dan perancang kota yang memiliki visi komprehensif yang dapat memadukan antara berbagai kepentingan sosial, ekonomi, lingkungan, untuk diformulasikan menjadi satu kesatuan dalam merancang dan merencana kota. Ketiga, perencanaan dan perancangan wilayah dan kota dipengaruhi oleh konsep yang masih mendikotomikan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Keempat, masih belum terkoordinasinya antarhierarki dan tingkatan institusi dan pemerintahan dalam membangun kota dan daerah, serta fragmentasi sektoral. Berbagai peraturan perundangan dan produk perencanaan tidak lintas sektoral dan lintas batas administratif.             Sialnya, permasalahan kota yang demikian kompleks tersebut tidak diimbangi dengan kualitas wali kota yang cerdas dan jujur.

Keunggulan informasi

Gagasan kota cerdas diharapkan akan mampu ikut mengatasi gap persoalan tersebut. Konsep "kota cerdas" yang digagas ITB, PGN, dan Kompas adalah kota yang menggunakan teknologi digital untuk meningkatkan pelayanannya, mengurangi biaya dan pemakaian konsumsi, serta untuk lebih terlibat lebih aktif dan efektif dengan warganya.

Konsep ini terdiri atas tiga area. Pertama, cerdas secara ekonomi. Maksudnya, kota ditopang oleh perekonomian yang baik dengan memaksimalkan sumber daya atau potensi kota, di antaranya adalah layanan teknologi informasi dan komunikasi, tata kelola, dan peran sumber daya manusia yang baik.

Kedua, masyarakat sosial cerdas yang memiliki keamanan, kemudahan, dan kenyamanan dalam melakukan interaksi sosial dengan sesama masyarakat ataupun dengan pemerintah.

Ketiga, masyarakat lingkungan cerdas. Maksudnya adalah masyarakat yang memiliki tempat tinggal layak huni, sehat, hemat energi, serta pengelolaan energi dengan dukungan layanan teknologi informasi dan komunikasi, pengelolaan, dan peran sumber daya manusia yang baik.

Konsep kota cerdas ini juga diamini oleh keunggulan dari sebuah kota yang tak hanya unggul aspek ekonomi sumber daya alam, tetapi justru keunggulan informasi yang jadi basisnya. Peter Hall dan Kathy Pain (2006) mengenalkan istilah informationalization, yakni sebuah proses pergeseran keunggulan ekonomi berbasis manufaktur barang dan jasa ke arah jasa yang berbasis informasi. Demikian pula hasil studi Llewelyn-Davies (1996) terhadap empat "kota dunia" di Eropa mengatakan hal yang sama tentang keunggulan yang berbasis layanan (jasa) lanjutan.

Partisipasi dan pemimpin

Kota cerdas tidak akan banyak berarti jika partisipasi masyarakat dan hadirnya pemimpin (wali kota) yang menggerakkan tidak ada. Banyak contoh kota gagal dibangun karena tidak dibarengi gerakan massal dari masyarakatnya. Akibatnya berbagai kekerasan melanda kota-kota besar di negeri ini. Demikian pula dalam hal menata para pedagang kaki lima atau berbagai penggusuran di kota-kota besar yang menyebabkan berbagai konflik  horizontal ataupun vertikal. Kasus seperti ini mestinya menyadarkan  pemerintah kota agar berendah hati untuk mengubah strategi pembangunan: dari yang sifatnya otoriter-birokratik menjadi partisipatif-humanis.

Ada beberapa alasan mengapa pendekatan terakhir ini dipilih. Selain soal hak asasi, juga berbagai fakta menunjukkan justru dengan perencanaan partisipatif pemerintah kota diuntungkan karena akan menghemat banyak biaya. Sebagai contoh, Kota Semarang menyerahkan sebagian urusan penanganan rob dan banjir dengan pompanisasi kepada warganya. Karena warga berkepentingan terhadap kenyamanan wilayahnya, mereka berusaha sekuat tenaga memelihara dan menjaga alat tersebut. Berbeda jika hal ini dilakukan oleh aparat birokrasi, sudah pasti hasilnya tidak maksimal.

Paul Davidoff juga mengusulkan perencanaan kota yang bersifat advokatif, bukan hanya serba mengatur atau menetapkan dari atas (regulatif). Perencanaan advokatif membuka peluang bagi kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini jarang didengar aspirasinya untuk menyampaikan pendapat atau usul sesuai dengan kepentingannya, untuk disenyawakan dengan kepentingan yang lain. Dengan kata lain, perencana kota bertindak bagaikan seorang "advokat", agar proses perencanaan kota tidak lagi bersifat otoriter, tetapi egaliter.

Demikian pula di Inggris sejak 1970-an telah dikembangkan gagasan perencanaan komunitas yang didukung para perencana kota dari kalangan perguruan tinggi. Tujuannya agar rencana kota dapat mengakomodasikan keinginan dan aspirasi kaum papa sekalipun.

Kecaman atas para perencana kota yang tak aspiratif umumnya karena seringnya penggunaan istilah yang isoteris alias tidak dipahami oleh masyarakat umum, tetapi hanya dipahami oleh kelompoknya sendiri. Umumnya istilah itu disertai penghitungan yang rumit, tetapi tidak berpijak pada realitas keseharian.

Contoh lain perencanaan kota partisipatif yang fenomenal adalah karya (alm) Mangunwijaya dalam memberdayakan masyarakat lembah Code di Yogyakarta. Masyarakat yang tinggal di bantaran kali diajak memperkuat tanggul sekaligus menghijaukannya, serta membuat bangunan- bangunan rumah sederhana yang indah dan sehat. Karya ini ternyata sukses, daerah Code menjadi bersih dan indah, sungai terawat baik, dan kehidupan sosial juga mulai berubah.

Kenyataannya, inovasi dan kreativitas malahan terbentuk dalam komunitas masyarakat kecil. Demikian pula dengan karya Hasan Poerbo dengan community based development, Yayasan Toloka di Ampana Poso dengan paguyuban para nelayan, memetakan biota laut dengan pemahaman mereka sendiri, sementara pemerintah malahan mengapling dan mengontrakkan 1.500 hektar laut untuk budi daya kerang mutiara kepada perusahaan raksasa dan sebagainya.

SARATRI WILONOYUDHO

Guru Besar Ilmu Kependudukan dan Lingkungan Perkotaan Universitas Negeri Semarang

0 komentar:

Dinamika Pantun dan Syair


Oleh: Maman S Mahayana
3 Mei 2015

Penyair Matdon mengirimkan esainya ”Jejak Pantun dan Syair” di dinding Facebook. Semangatnya cukup menarik meski saya melihatnya sebagai pengamat yang berbicara tentang pantun dan syair yang ada di sekitar Bandung. Dalam beberapa hal, saya setuju. Pantun bagi sebagian masyarakat memang diperlakukan sekadar sastra lama. Sikap itu jauh lebih baik ketimbang komentar Sutan Takdir Alisjahbana (STA). ”… irama pantun yang telah mati terikat kepada bingkaian kebiasaan itu pucat lesu, tiada berdarah, tiada bersemangat. … Initiatief telah mati semati-matinya dan orang menyesuaikan diri mengantuk-ngantuk akan pantun yang telah turun-temurun.” (Pujangga Baru, II, 5, November 1934).

Benarkah kini reputasi pantun seolah-olah terkubur dan digunakan sekadar untuk guyonan, ledek-ledekan atau dikatakan Matdon: nyaris menjadi fosil sastra? Sesungguhnya tidak juga begitu. Matdon mengambil contoh pantun profan (?). Meski dikatakannya dari mereka yang tak paham aturan, pantun tak mengenal dikotomi profan dan sakral. Sementara sinyalemen STA, saya tempatkan dalam konteks semangat zaman. Ketika itu, majalah Pujangga Baru memuat begitu banyak puisi para penyair kita yang dikatakan baru, modern, bebas, individualistik, penuh semangat, dan merefleksikan suara sukma.

Pencitraan tentang puisi baru terus-menerus dipropagandakan lewat pembahasan puisi-puisi Muhammad Yamin, Rustam Effendi, dan para penyair Pujangga Baru. Di pihak lain, diciptakan pula stigmatisasi tentang pantun, gurindam, syair, dan apa yang dikatakan STA sebagai sastra lama adalah masa lalu yang letih-lesu, seni ibu-ibu rumah tangga pengisi waktu menunggu kantuk, kaum kolot, dibawakan perempuan tua sambil tiduran, disusun dalam ikatan yang berkarat dan membelenggu, dan seterusnya. Pantun, syair, dan khazanah sastra (lama) telah mati semati-matinya dan digantikan puisi baru.

Untuk membedakan puisi baru dengan syair dan pantun, diusulkan pula, bahwa para penulis puisi baru disebut pujangga, bukan bujangga yang maknanya sebagai sastrawan keraton. Adapun penulis syair dan pantun disebut penyair dan pemantun. Sebutan pujangga ternyata cuma bertahan sampai zaman Jepang. Sebab, setelah itu, kata penyair muncul lagi untuk menyebut para penulis puisi. Istilah penyair yang digunakan kini bersumber dari bahasa Arab, sya’ara, yang bermakna penembang, penyanyi atau penulis syi’ir atau puisi.

Sesungguhnya, konsep puisi baru yang disampaikan STA tidak lebih dari perkara tema dan gaya bahasa yang mendayu-dayu. Bentuknya juga masih memperlihatkan model pantun dan syair. Dikatakan Armijn Pane, ”…pantun masih dipergunakan oleh Pujangga Baru, tetapi berubah menurut aliran zaman. Zaman lama bukan seolah-olah terhenti, dan mulai zaman yang semata-mata baru.” Bahkan, jejak pantun dan syair masih tampak kuat pada puisi Chairil Anwar, ”Siap Sedia” yang terbit pada zaman Jepang (Keboedajaan Timoer, No 3, 1945). Popularitas syair dan pantun laksana mendapat ruh baru dalam sejumlah puisi Sitor Situmorang. Periksa, misalnya, puisinya ”Si Anak Hilang” dan teristimewa ”Lagu Gadis Itali” (Kerling danau di pagi hari/Lonceng gereja bukit Itali (sampiran)/Jika musimmu tibananti/Jemputlah abang di teluk Napoli// (isi). Dalam kenyataannya hingga kini, kita masih banyak menjumpai jejak pantun dan syair dalam berbagai puisi para penyair kita.

Puisi asli

Pantun dapat dipastikan merupakan salah satu puisi asli Nusantara, seperti juga bidal, peribahasa, mantra, jangjawokan, lagu dolanan anak-anak, jampi-jampi, doa pengasihan, dan entah apalagi. Sampiran yang kerap menyinggung alam menunjukkan kedekatan masyarakat kita dengan lingkungan alam sekitar. Lalu, isi yang menyampaikan pesan etik, moral, norma, atau segala yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat merupakan representasi masyarakat kita yang komunal, guyub, dan peduli pada sesama.

Pantun juga merupakan puisi yang paling unik di dunia. Ia tidak terikat oleh usia, jenis kelamin, status sosial, ruang, dan waktu. Lihat saja, anak-anak, orang tua, laki-laki, perempuan, rakyat jelata, atau presiden boleh bermain pantun: di TV, pidato resmi, obrolan di warung kopi, khotbah Jumat, kapan pun, bisa saja menyelipkan pantun. Masyarakat Melayu di Bengkalis atau Tanjung Pinang, misalnya, pantun sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Biasanya, puncak unjuk kepiawaian pantun terjadi pada acara lamaran pernikahan. Berbalas pantun menjadi ajang reputasi dan marwah.

Budayawan Tennas Effendy telah mencatat ribuan pantun yang tersebar di berbagai pelosok tanah Melayu. Salah satu karyanya, Khazanah Pantun Melayu Riau (2007) memuat 3.608 pantun. Di rumahnya yang dijadikan perpustakan Melayu, selain terdapat ratusan buku pantun dan syair yang diterbitkan, juga tersimpan lebih dari seratus buku pantun dan syair dalam tulisan tangan. Jadi, bagi masyarakat Melayu, hampir mustahil pantun dan syair jadi fosil sastra.

Di masyarakat Banjar, Madura, Bugis, Minangkabau, Aceh, dan masyarakat etnik lain, pantun dan syair hidup bergentayangan di sembarang tempat. Di kantor, hotel, masjid, warung, pasar, rumah sakit, atau di rumah-rumah, kedua jenis puisi itu berseliweran setiap hari. Jadi, ia tetap hidup lantaran ada masyarakat pendukungnya.

Di masyarakat Betawi, pantun dapat kita jumpai juga dalam acara lamaran pernikahan. Mereka menyebutnya sebagai tradisi Palang Pintu. Tuan rumah akan bertanya kepada keluarga calon pengantin laki-laki lewat pantun. Lalu, jawabannya juga harus disampaikan dalam bentuk pantun. Penelitian kami tentang pantun Betawi (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Provinsi Jawa Barat, 2008) menunjukkan, dari 1.313 pantun dalam buku itu, pantun Melayu Betawi begitu khas yang merepresentasikan karakteristik sosial-budaya Betawi: egaliter, lugas, ceplas-ceplos, dan terkesan seenaknya. Hubungan anak—orangtua, suami-istri, menantu—mertua bisa begitu cair disampaikan dalam pantun meski di sana ada cerita agak jorok dan nakal.

Syair

Bagaimana pula dengan syair? Abdul Hadi WM dan A Teeuw menyebut Hamzah Fansuri sebagai Bapak Puisi Indonesia. Salah satu mahakarya Hamzah Fansuri, Asrar al-Arifin, dikupas mendalam oleh GWJ Drewes dan LF Brakel dalam buku The Poems of Hamzah Fansuri (Dordrecht-Holand/Cinnaminson USA: Foris Publications, 1986). Sebuah buku yang mengungkapkan kedalaman syair dan sekaligus keluasan Hamzah Fansuri dalam menyerap pengaruh puisi-puisi Arab—Parsi.

VI Braginsky menempatkan Hamzah Fansuri sebagai pemula penulisan syair di Nusantara abad ke-16. Sejak itu, syair menyebar ke pelosok wilayah kesultanan di seluruh Nusantara yang melahirkan ratusan karya intelektual para ulama kita. Mereka menulis syair tentang geografi, pemerintahan, sosiologi, filsafat, sejarah, bahkan bantahan terhadap pemikiran keagamaan seperti yang disampaikan Hamzah Fansuri atau Shamsuddin As-Samatrani.

Beberapa kiai di berbagai pesantren yang tersebar di Nusantara juga menulis pemikiran mereka tentang keilmuan dalam bentuk syair. Disertasi M Adib Misbachul Islam (UI, 2014) yang meneliti syair (nazam) KH Ahmad Ar-Rifai, Pesantren Kalisalak, Batang, Jawa Tengah, pada abad ke-19, mengungkapkan bahwa kiai ini telah menulis ribuan bait syair. Beberapa di antaranya berisi kritik sosial terhadap kebrengsekan masyarakat dan perlawanan terhadap pemerintah Belanda.

Mengapa reputasi pantun dan syair surut ke belakang? Buku-buku pelajaran sastra di sekolah telah menciptakan pandangan sesat tentang tradisi perpuisian Nusantara. Pantun dan syair diajarkan sekadar ciri-cirinya belaka dan tidak menempatkannya sebagai kekayaan intelektual bangsa ini. Akibatnya, perjalanan perpuisian Indonesia seolah-olah terdiri dari puisi lama (tradisional) dan puisi baru (modern). Itulah pandangan sesat yang lain. Jadi, wahai para pengamat sastra Indonesia, kembalilah ke jalan yang benar!

0 komentar:

Mempertanyakan Posisi Seni dan Kebudayaan

Oleh: Arahmaiani
19 April 2015

Seni rupa atau kadang juga diistilahkan sebagai seni visual adalah media ekspresi yang bersifat pluralis dan demokratis. Medium ini begitu lentur sehingga bisa menjadi sangat dinamis, di mana berbagai hal, berbagai gagasan, konsep, dan pemikiran bisa diungkapkan dalam bingkai selera estetika visual yang dianggap cocok atau yang dipilih oleh pembuatnya, yang amat variatif dengan beragam teknik dan cara ungkap, dan dengan segala kemungkinan yang masih amat terbuka.

Pendeknya boleh dikatakan seni rupa sebagai media ungkap kreativitas yang kaya kemungkinan. Seperti umum disepakati di dalam sistem yang demokratis pada dasarnya cara berungkap macam apa pun sepanjang tidak melanggar aturan dan hukum diperbolehkan. Inilah aspek budaya yang sangat menarik dalam dunia seni rupa. Sebab pada dasarnya kebebasan berekspresi di sini diungkapkan lewat berbagai cara dan kemungkinan sehingga berbagai sistem estetika dan nilai bisa dibabarkan tanpa harus menimbulkan pertentangan sekalipun bisa saja menimbulkan gesekan. Dan gesekan di sini biasanya menjadi hal positif sebagai pemicu pengembangan kreativitas. Praktisi juga biasanya tidak pernah membedakan atau mengelas-ngelaskan diri berdasarkan latar belakang budaya, keyakinan, warna kulit, ataupun kebangsaan.

Seni rupa memang mengalami proses dinamisasi sejak awal abad ini sehingga hampir segala macam elemen dan disiplin seni bisa ”dicangkokkan” ke dalam media ini dan kemudian dianggap menjadi karya seni rupa. Mulai dari bunyi, gerak, hingga aspek teater, bahkan bebauan serta ”kejadian” bisa dikombinasikan ke dalam berbagai bentuk karya visual: mulai dari seni pertunjukan, seni video, seni foto, ataupun apa yang disebut sebagai seni media baru.

Dalam perkembangan dan dinamikanya kemudian muncul pertanyaan mendasar yang menyentuh ranah filsafat, yaitu tentang pemisahan disiplin. Awalnya seni menjadi disiplin ilmu tersendiri dan terpisah dengan disiplin ilmu pengetahuan (science) ataupun spiritualitas. Lalu dipertanyakan karena terdeteksi ada masalah di sana. Dan hal ini masih terus bergema serta dipertanyakan lebih lanjut hingga saat ini. Kesadaran akan masalah yang ditimbulkan oleh pemilahan disiplin ini telah mendorong para seniman, ilmuwan, ataupun rohaniwan untuk menemukan ”jalan alternatif” menuju sistem yang terintegrasi. Dan seni cenderung dianggap sebagai faktor yang bisa menghubungkan disiplin satu dan lainnya sehingga seniman bisa ditempatkan di posisi sebagai seorang mediator yang bisa memiliki peran penting dalam proses transformasi budaya.

Kata kunci

Kreativitas adalah kata kunci, entah itu dihubungkan dengan karya seni yang bersifat transdisiplin ataupun segala upaya yang membawa dampak transformasi sosial politik, budaya, ataupun kesadaran yang bersifat spiritual. Memang kreativitas pada dasarnya adalah milik semua orang dan bukan wilayah khusus seniman saja sekalipun seniman mungkin memiliki kesempatan yang lebih leluasa dalam menjelajahinya. Dan jika kita coba tengok ke dalam konteks dunia seni di Tanah Air, kita akan menemukan banyak hal yang menarik. Kehidupan kreatif di wilayah seni rupa pada dasarnya tampak bersemangat sekalipun perlu dipertanyakan lebih lanjut dasar apa yang membuat dunia seni rupa masih tampak begitu dinamis. Apakah hanya disebabkan pretensi untuk laku di pasar ataupun menjadi terkenal saja? Tidakkah ada motif dasar lain yang tak kalah penting di sini, seperti mencari pola organisasi sosial yang lebih kreatif dan manusiawi ataupun ambisi lain yang bersifat mendorong agenda perubahan seperti gerakan kebudayaan, misalnya? Apalagi jika mengingat bagaimana sektor kebudayaan hanya mendapat sedikit perhatian dan dukungan dari pihak pemerintah.

Kenyataan bahwa kehidupan kini pada dasarnya penuh gejolak dan ketidakpastian, baik pada tataran politik, ekonomi, maupun budaya, telah menyebabkan munculnya berbagai masalah serius. Seperti masalah penegakan hukum yang menimbulkan kegelisahan, bahkan kekecewaan di kalangan masyarakat umum. Bagaimana usaha pemberantasan korupsi yang merupakan persoalan paling mendasar dan berbahaya karena bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara dan peradaban kini jelas terancam tak bisa terus diupayakan. Seakan terjadi situasi di mana nilai-nilai sudah tak diacuhkan lagi, yang menyebabkan kerusakan mendasar, mulai dari dunia pendidikan, kerekatan hubungan sosial, hingga lingkungan hidup. Apakah situasi ini masih akan membuat para seniman tertarik untuk menanggapi lewat karya ataupun upaya kolektif untuk sebuah gerakan kebudayaan? Untuk mengubah keadaan dan berupaya mewujudkan kehidupan budaya yang tidak korup dalam pengertian yang seluas-luasnya? Atau sudah tak mau ambil pusing lagi karena putus asa sebab dunia politik sudah sedemikian korup dan manipulatif serta sudah sangat dikuasai oleh para koruptor dan predator?

Apakah seni akan kita ceraikan dari kehidupan dan kita kurung di dalam estetika ”seni untuk seni” dan mungkin diabdikan pada pasar saja? Untuk hanya ditampilkan di art-fair, festival, ataupun berbagai pameran di galeri-galeri komersial dan mapan? Ya, ada banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan, mulai dari yang bersifat praktis dan strategis hingga ideologis. Intinya adalah menjawab pertanyaan dan mengupayakan untuk bisa menjembatani dua macam gagasan: antara ”hidup untuk seni” dan ”seni untuk hidup”. Jika seorang kawan seniman mengajukan pertanyaan: ”Akan dibawa ke mana seni rupa kita?”, memang amat relevan. Sebab kini kita berada di persimpangan jalan dan harus mem- buat keputusan. Seperti yang terjadi di ranah politik, ranah seni budaya pun perlu ketegasan. Apakah kita hanya akan menyerah pada jalannya nasib dan ikut hanyut dalam arus kehidupan yang cenderung konsumtif dan menjadikan acuan ekonomi sebagai panglima kehidupan? Atau kita akanbangkit berdiri memulai gerakan kebudayaan dan menjadikan kehidupan beradab, adil, serta manusiawi? Yang memiliki visi dan misi untuk menyelamatkan kehidupan generasi mendatang.

Jawaban ada di tangan kita dan bukan ditentukan oleh para politisi dan penguasa yang terlalu percaya dengan uang dan manipulasi wacana keberpihakan pada ”wong cilik”. Kita harus membuka mata pada kenyataan, menyadari potensi dan kekuatan namun juga sekaligus kelemahan. Tidak melulu mengkritisi dan menyalahkan pihak asing atas keterpurukan yangkita alami. Atau dengan lain perkataan hanyut dalam trauma keterjajahan.

Kita juga harus mengembangkan kemampuan untuk mengkritisi diri sendiri. Untuk menerima kekurangan dan kelemahan sebagai upaya memperbaiki diri dan mengatasi ilusi. Tidak hanya mementingkan kesuksesan diri sendiri atau kelompok tapi mulai menyadari bahwa kita semua hidup dalam negara kesatuan dan sistem global yang saling-terkait. Bahwa petaka yang menimpa orang lain akhirnya akan membawa dampak pada kehidupan kita. Pendek kata kita akan harus peduli pada kehidupan dan nasib masa depan manusia di planet bumi yang terancam kehancuran ini. Kita akan harus membangun jaringan kerja, sistem yang terintegrasi di antara manusia dengan berbagai macam latar belakang budaya, keyakinan, warna kulit, ataupun bangsa. Dengan anggapan dasar kita semua setara.

Arahmaiani, Perupa, Tinggal di Yogyakarta

0 komentar:

Lajur Leluhur

 Oleh: A Muttaqin

Wotan

Tarekat para pencinta padi meniti tongkat Sunan Kali.

Saban pagi, mereka menuntun sapi ke barat, ke rumpun lebat

Di mana bukit Surowiti tampak hijau, hijau keramat

Sehijau telaga di timur sawah yang teguh mengaliri denyut padi

Dan membasuh debu dan debul sore hari.

Surowiti

Bukit kapur sedingin kain si mati.

Gua mawar berselimut kelelawar. Demit dan begejil berjubah putih

Tidak. Tidak. Jubah mereka hanya menggigil

Di sisi sebongkah batu sungil di mana makam, kitab, tongkat

Dan suluk Sunan Kali tetap teguh dipeluk kawanan kalong,

Pawang, petapa sungsang dan para petani tenang.

Gesing

Hutan jati serumbuk diri.

Kebun tebu dan jagung setinggi mimpi. Selirit kali merebakkan

Banger bangkai, di mana kepala pernah bergelundungan

Dan terus bergelundungan tanpa tuan.

Tidak. Tidak. Itu bukan bangkai. Itu badeg weleg, kepala buntung

Yang gentayangan di gigir sungai,

Piaraan Kiai Gesing – murid Sunan Kali – yang lenyap

Bersama pembantaian hama jagung, ulat tebu

Dan gerumpung jati.

(2014)
A Muttaqin

Dongeng Pendek Prihal Pasar, Pethel,

Langgar Kosong dan Orong-orong

Kembali:

Dawat belajar pada kertas.

Kertas belajar pada kayu.

Kayu belajar pada minyak.

Minyak belajar pada cahaya.

Cahaya menyelubung, nung ngala nung…

Bulu burung membumbung: Oh, itu gagang dawat sunan gunung.

Lalu ngelilir rancak kidung. Pagi serupa bocah lapar dan bingung.

Ada yang menggelar tikar. Ada.

Ada yang memugar pagar. Ada.

Ada yang menyebar kabar. Ada.

Ada yang mengutuk pasar. Tidak.

Tak semua buruk pada akad dagang dan laku jual-beli.

Tunjukkan aku jalan ke pasar, Kiai. Akan kubeli damar

Damar besar, agar langgar itu tak kering dan kosong.

Lalu kita berbondong mendaras kisah lawas ini:

Syahdan,

Seorang alim memintal tiang dari tatal kayu jati.

Pethelnya menugel leher orong-orong, tapi ia sambung

Dengan kayu dan kasih hingga si orong-orong hidup lagi.

Tiang tatal pun jadi.

Mesjid awal berdiri.

Tapi kiblat mesti dicari.

Orang alim melipat tangan sepi:

Alohumatekno, alohumatukno, alohumatekno, alohumatukno

Tuhan memanggil dengan lambaian dan nyanyian:

Alohumatekno, alohumatukno, alohumatekno, alohumatukno

Orang alim menggiring gending, gong dan gamelan.

Sore melepas tujuh codot mabuk dari wuwung suwung.

Lima bocah gundul nembang sambil menabuh tuwung.

Burung-burung bermunajat.

Belalang gerumpung menggeliat.

Laron-laron tak leren memohon.

Mereka tersambung lekas

Dengan tipis tilas

Ketika rahasia terkelupas

Dari tangan seorang alim

Dari lam Cahaya sublim.

(2015)
Rio Fitra SY

Buyung Balingka

– Hujan Kala Oktober & Teduh Pagi Ramadhan

Buyung Balingka menyusu pada sapi

semenjak susu bundonya jadi tambak dangkal

sebab dada setiap ibu kerap dilanda

kemarau. Musim terik sering kali

datang tanpa tanggal dan bulan.

Malam tak selalu membuat tempat tidur

saat sapi-sapi meringkuk dalam kandang.

Buyung Balingka menangis sejadi-jadinya.

Semalam suntuk tak mau dibujuk.

Tak mau mendengarkan

Float, Goodbye John, Payung Teduh, Frau,

maupun Coldplay, Missigareth,

apalagi Beethoven. Ia juga tak mau

lima balon berwarna hijau, bebek angsa

yang dipotong dalam kuali, mobil remot

buatan China, dan bola kaki Piala Dunia.

Abak dan ibu habis pikir, kehilangan kepala,

karena ia berkehendak tanduk kuda.

Malam itu juga abak berangkat

dengan bekal seadanya, dengan

sebilah parang bengkok di pinggang

dan sehelai pena buluh angsa.

Layaknya seorang pendekar

abak memasuki malam demi siang,

menembus halaman demi pintu,

bertarung lewati pagar demi kandang,

lapak demi pasar. Dari jalanan ke kantor,

dari padang ke ladang. Menyaru dari gembala

ke petani, dari satpam ke tentara,

dari kusir ke supir dari lanun ke nelayan.

Abak menemukan seorang kusir buta.

Ia tahu abak sedang menatapnya heran.

Si buta cengengesan memamerkan gigi berlada

dan permen karet zaman enam puluhan.

Dia juga tahu abak sedang mencari

tanduk kuda. Katanya pula, “Carilah kuda

yang bila terkurung hendak di luar, terhimpit

hendak di atas. Tanduknya hanya menyumbul

di antara azan dan iqamah.

Mereka ada di antara sapi-sapi

milik seorang anak gembala di selatan

arah jalan pulang.”

Si anak gembala riang gembira

tatkala melihat pedang bengkok di pinggang abak.

“Hore-hore, dengan pedang itu

engkau akan membelah dadaku

dan membersihkan jantungku, agar besar

nanti aku siap menjadi nabi.

Begitu bukan, Tuan Malaikat?”

“Tidak, malaikat seharusnya datang berdua.

Aku hanya ingin meminta tanduk kuda.”

“Tidak, kecuali engkau memperlihatkan

sayapmu, Tuan Malaikat.”

“Aku tak punya sayap, aku hanya punya sehelai

bulu putih terang.” Abak merogoh saku jeans-nya,

dikeluarkanlah sebuah pena bulu angsa.

“Ayolah, Tuan, terbanglah.” Bocah

gembala itu menghilang serupa suara

yang terus menjauh.

Langit abak langit teh goyang

di tangan pelayan rumah makan padang.

Kepala kuda itu perlahan menyembulkan tanduk

sebelah putih tulang sebelah putih pirang.

Kuda yang tak meringkik tak menerjang tak berlari.

Abak mencabut tanduknya

tanduk kehendak Buyung Balingka.

Seperti mencabut duri dalam dagingmu

yang sudah busuk bernanah banyak. Tapi

si kuda tak juga meringkik, hanya tubuhnya

perlahan menjadi angin.

Di punggung abak menyembul tulang hitam

yang terus memanjang. Bukan, itu sayap, itu sayap,

sayap tanpa bulu, sayap kelelawar dungu.

Abak mengepak, abak terbang ke arah pulang

ke arah kota dagang

kota yang bunuh diri berkali-kali.

Buyung Balingka meletuskan tangis

permusuhan anjing kucing paling purba.

Tanduk kuda tak berlaku lagi.

“Belah dadaku, Abak, biar aku bisa menjadi nabi.”

Dari balik pinggang abak

mata pedang bermata kucing di siang tegak tali

mengintai dada Buyung Balingka

membayangkan seekor domba.

Padang, 2014

A Muttaqin lahir di Gresik dan tinggal di Surabaya (Jawa Timur). Buku puisinya antara lain Tetralogi Kerucut (2014).

Rio Fitra SY lahir di Sungailiku, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 12 Juni 1986. Menyelesaikan pendidikannya di Universitas Negeri Padang. Kini tinggal dan bekerja di Padang.

0 komentar:

Kisah Seorang Pemberontak yang Sial

Oleh: Anton Kurnia


Sejarah ditulis oleh para pemenang. Pahlawan atau penjahat bergantung pada siapa yang menjadi pemenang. Dalam sejarah nasional kita, ada sejumlah tokoh kontroversial yang dianggap pengkhianat, tetapi sekaligus dikagumi diam-diam dan memiliki banyak pengikut. Salah satunya adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1905- 1962).

Sepenggal kisah hidup imam besar Darul Islam yang berupaya mendirikan sebuah negara teokrasi di Indonesia itu menjadi sorotan dalam buku puisi terbaru Triyanto Triwikromo, Kematian Kecil Kartosoewirjo (2015). Buku ini merupakan sebuah buku puisi utuh dengan satu kesatuan tema dan kisahan, bukan kumpulan sejumlah puisi dengan beragam tema seperti umumnya kumpulan puisi yang beredar dalam khazanah sastra kita. Ada 52 puisi di dalamnya yang berkisah tentang episode akhir kehidupan Kartosoewirjo sejak ditangkap oleh pasukan pemerintah pada 4 Juni 1962 di lereng Gunung Geber, Kabupaten Bandung, hingga saat eksekusi mati di Pulau Ubi, Jakarta, 4 September 1962.

Karno dan Karto: kawan atau lawan?

Sesungguhnya, pada mulanya Kartosoewirjo adalah kawan seperjuangan, bahkan teman serumah bagi Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia. Keduanya adalah murid salah satu pelopor pergerakan nasional Tjokroaminoto, sang guru bangsa yang pernah dijuluki ”Raja Jawa Tanpa Mahkota”. Salah satu ajaran Tjokro yang termasyhur adalah trisakti ”setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”. Dia juga berpesan kepada para muridnya, ”Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah sepertiwartawandan bicaralah sepertiorator.”

Kedua wasiat itu diamalkan baik oleh Karno maupun Karto. Keduanya tumbuh menjadi pemimpin yang fasih menulis dan berbicara. Bedanya, Karno tumbuh menjadi seorang pejuang nasionalis, sedangkan Karto kelak menjelma pemimpin Islam radikal.

Namun, kedua kawan itu lalu berpisah jalan. Saat Karno menjadi presiden pertama Republik Indonesia pada 1945, empat tahun kemudian Karto memproklamasikan Negara Islam Indonesia/Darul Islam (NII/DI) dengan didukung Tentara Islam Indonesia (TII) dan memberontak terhadap pemerintah yang sah.Ketika Karto tertangkap setelah belasan tahun bergerilya di hutan-hutan dan pegunungan Jawa Barat, dan Mahkamah Militer memutuskan hukuman mati baginya, Karno sebagai kepala negara harus menandatangani perintah eksekusi kawan lamanya itu.

Triyanto memotret dilema ini dengan cerdik dalam Prakisah buku puisinya. Menandatangani hukuman mati, misalnya, bukanlah pekerjaan yang memberi kesenangan kepadaku. Ambillah misalnya Kartosoewirjo. Di tahun 1918 dia kawanku yang baik. Di tahun 20-an di Bandung, kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama … Demikian Bung Karno menulis tentang betapa berat ketika dia harus menandatangani perintah eksekusi Kartosoewirjo.

Pemberontak yang sial

Ke-52 puisi dalam Kematian Kecil Kartosoewirjo dibagi dalam tiga fase: Awal (”Penangkapan”), Antara (berisi 50 puisi), dan Akhir (”Kesaksian”). Dalam puisi-puisi Triyanto, Kartosoewirjo tidak ditampilkan sebagai sosok ”penjahat” atau ”pengkhianat” seperti yang kerap disebut dalam sejarah. Dia disiratkan lebih sebagai pemberontak yang sial yang tak cukup beruntung memenangi perjudian takdirnya untuk mewujudkan impian membentuk sebuah ”Negara Islam Indonesia”. Yang makin membuktikan kesialannya, dia tertangkap secara tak sengaja oleh seorang tentara Siliwangi bernama Ara Suhara yang semula mengira dia seorang petani tua biasa. Ara yang diam-diam mengagumi sang pemberontak kemudian menamai anak lelakinya Sekar Ibrahim—dari nama depan Kartosoewirjo, ”Sekarmadji”, yang aslinya adalah Soekarmadji.

Melalui kata-kata Triyanto yang kadang bernuansa magis, Kartosoewirjo digambarkan sebagai manusia biasa yang punya rasa sedih dan dirundung harap-harap cemas, lengkap dengan sisi-sisi humanisnya, termasuk saat-saat getir ketika hendak menghadapi hukuman tembak mati di Pulau Ubi. Seperti tersurat dalam sebait puisi ini: Tetapi sungguh aku sedih. Aku tak tahu siapa nakhoda yang akan membawaku ke Pulau Kematian. Pulau di tepi surga yang dijanjikan. (”Nakhoda”). Di situlah Triyanto sanggup membuat kita merasa ikut sedih.

Tersirat simpati sang penyair kepada sang pemberontak yang sial. Sosok Kartosoewirjo kerap ditampilkan sebagai seorang hamba Tuhan yang pasrah. Puisi-puisi yang dinisbatkan sebagai bisikan hati Kartosoewirjo dikaitkan dengan beragam peristiwa historis dalam sejarah Islam yang menyebut-nyebut sang Nabi dan para khalifah semacam Abu Bakar. Misalnya dalam bait ini: Aku tak mendengar letusan itu. Aku bahkan tak merasa ada 12 penembak jitu mengacungkan senapan tepat ke jantungku. Sebagaimana Abu Bakar, aku justru mendengar pidato Nabi di mimbar. Kata Nabi, ”Ada seorang di antara hamba Allah yang diberi pilihan antara dunia ini dan pertemuan dengan-Nya, dan hamba tersebut memilih berjumpa dengan Tuhannya.” (”Aku Tak Mendengar Letusan Itu”).

Sementara, pada puisi berjudul ”Di Mobil Tahanan”, digambarkan Kartosoewirjo seakan berdialog dengan serdadu penjaga, mengisahkan riwayat hidupnya, bahkan kredo perjuangannya yang menjadi dasar perlawanan bersenjata terhadap kepemimpinan kawan lamanya, Soekarno, yang disebutnya ”Arjuna”: Bahkan embun pun harus berjuang untuk menegakkan Islam ... Aku tak pernah ingin membunuh Sang Arjuna, kawan lamaku. Aku hanya ingin menyatakan padanya tanpa Islam negeri ini akan lemah.

Membaca buku ini, tersirat kegelisahan penulisnya atas sejarah kelam negeri ini yang kerap terkoyak pertikaian atas nama ideologi dan agama, dan upaya menyampaikan gugatan terhadap semua itu. Walau terkesan bersimpati kepada sosok sang pemberontak, Triyanto mampu menjaga diri sehingga puisi-puisinya tak terkesan sebagai propaganda dangkal atau sekadar pamflet yang sayu. Triyanto berupaya menyelami sisi batin Kartosoewirjo sebagai seorang manusia dengan berbagai seginya. Maka, buku puisi ini juga adalah semacam solilokui tentang kesepian, cinta, persahabatan, dan renungan spiritual. Berbeda dengan buku sejarah atau biografi yang cenderung kering, buku puisi ini bisa menampilkan sosok historis Kartosoewirjo dalam pendekatan yang berbeda dan kaya nuansa.

Seperti pernah ditulis Pramoedya Ananta Toer dalam satu esainya, setiap karya sastra sesungguhnya adalah autobiografi pengarangnya pada tahap dan situasi tertentu. Maka, ia adalah produk individu dan bersifat individual. Persembahannya kepada masyarakat tak lain dari sumbangan individu pada kolektivitas. Dalam hal ini, tugas sastrawan adalah melakukan gugatan kritis atas kemapanan di semua bidang kehidupan—termasuk membongkar historiografi resmi yang kerap menyembunyikan hal-hal kecil yang terabaikan; entah karena dianggap tidak penting atau sengaja dilupakan.

0 komentar:

Jemari Kiri

Oleh: Djenar Maesa Ayu


Beberapa waktu setelah cincin itu melingkar di jari manis tangan kanannya, sulit bagi Nayla untuk menggerakkan jari-jemari di tangan kirinya. Tiba-tiba seluruh jemari tangan kirinya layu. Sehingga mengerjakan apa pun ia terpaksa hanya menggunakan jari-jemari di tangan yang satu.

Kesal sekali Nayla dibuatnya. Bukan hanya karena ia sudah tak mampu lagi mengerjakan hal-hal besar dengan keseluruhan jemari di kedua tangannya saja. Tapi membersihkan kotoran yang menempel di duburnya setelah buang air besar pun ia tidak bisa. Walaupun tangan kirinya bisa bergerak seperti biasa, tapi diam saja kelima jarinya. Telapak tangannya seolah cuma berfungsi sebagai penyanggah jari-jemari yang kesemuanya merunduk ke bawah. Semakin besar upaya Nayla untuk mengguncangkan tangan kirinya, maka jejemari itu justru semakin terlihat lemah.

Nayla sudah mencoba berbagai cara agar jari-jemari di tangan kirinya berfungsi normal kembali. Di luar tindakan yang dilakukannya sendiri, ia pun mencoba berbagai macam jenis terapi. Mulai dari dokter spesialis tulang, sampai cenayang. Mulai dari ahli nujum, sampai spesialis tusuk jarum. Tapi tetap saja jari-jemari di tangan kirinya tak berfungsi seperti biasanya. Bahkan tak jarang beberapa terapi mengakibatkan jari-jemari di tangan kirinya itu berubah dari ukuran yang semestinya. Membengkak mereka. Kadang sebentar, kadang cukup lama. Terapi yang harus dilakukan pun jadi ekstra. Membuat Nayla semakin putus asa.

Nayla menatap jari-jemari tangan kirinya yang terkulai. Lalu dengan jari-jemari tangan kanannya ia belai. Pada saat itulah ia memerhatikan cincin di jari manis tangan kanannya. Cincin emas putih bertatahkan permata itu masih cantik terlihatnya. Tapi perasaannya tidak sama dengan ketika Nayla pertama kali melihatnya.

Masih jelas di ingatan Nayla betapa rikuh pacarnya saat itu. Di sebuah restoran yang menghadap hamparan laut, pacarnya menggenggam kedua tangan Nayla dengan wajah bersemu. Diucapkannya satu kata demi kata dengan terbata-bata seperti orang yang lidahnya kelu. Tak berapa lama kemudian ia mengeluarkan cincin itu. Bahagia yang Nayla rasakan membuatnya tak lagi bisa mendengar saat mulutnya mengucap, ”I do.”

Saat itu Nayla benar-benar sudah lupa pada apa yang merisaukannya setiap hari. Saat itu Nayla benar-benar sudah lupa pada mimpi buruk yang tiap malam selalu menghantui. Saat itu Nayla benar-benar sudah lupa pada apa yang sangat ia hindari. Saat itu Nayla benar-benar sudah lupa diri!

Segala petuah yang dulu orang tuanya katakan, Nayla hiraukan. Segala logika yang tertanam di kepalanya, Nayla abaikan. Segala peristiwa di masa lalunya, Nayla singkirkan. Cincin emas putih bertatahkan permata yang sudah tersemat di jari manis tangan kanannya bagaikan jendela yang terkuak lebar menatap masa depan.

”Ngelamun aja kerjanya setiap hari. Perempuan ga ada gunanya sama sekali!”

Bukan karena Nayla sedemikian larut ke dalam lamunanlah yang membuatnya tak sadar akan kedatangan suaminya. Tapi karena ia sudah terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya di rumahlah penyebabnya. Apalagi saat itu hari belum juga petang. Kenapa suaminya sudah pulang?

Nayla mengikuti langkah suaminya yang bergegas menuju kamar tidur. Tapi baru beberapa langkah, suaminya sudah langsung menegur.

”Ga usah ngikutin saya. Mending kamu beresin rumah sana!”

Langkah Nayla segera terhenti. Terasa sembilu mengerat lubuk hati. Dengan langkai gontai ia berbalik arah. Sambil telinganya terus merekam suara derit koper yang ditarik dari dalam lemari oleh suami yang mulutnya belum juga berhenti mengeluarkan sumpah-serapah. Tak berapa lama kemudian suaminya keluar kamar dengan menjinjing satu koper besar. Dan secepat datangnya, secepat itu pulalah ia melangkah keluar. Meninggalkan Nayla yang hanya bisa menatap nanar. Menonjok hati Nayla hingga memar.

Andai dulu Nayla tidak silau karena cincin emas putih bertatahkan permata yang meringkuk manis di dalam kotak beludru warna merah muda, andai dulu Nayla tetap pada rencananya untuk tidak menikah selamanya, apakah hidupnya akan terasa jauh lebih baik? Andai orangtuanya tidak melarang Nayla bercerita pada siapa-siapa tentang pelecehan seksual yang pernah dilakukan oleh guru sekolah dasarnya, lantas Nayla menceritakan kebenaran itu pada suaminya, apakah suaminya akan bisa menerima dengan baik? Bulu kuduk Nayla bergidik. Teringat kedua mata suaminya di malam pertama yang menatap Nayla dengan jijik.

”Kalau saja perceraian bukan aib buat keluarga besar saya yang terpandang, sudah pasti saya ceraikan kamu, perempuan jalang!”

Mulut Nayla serasa tercekat. Sekujur tubuhnya dingin bagaikan mayat. Apa yang selama ini ia takuti akhirnya terjadi. Dan ternyata rasanya jauh lebih menakutkan dari mimpi-mimpi buruk yang setiap malam tak pernah berhenti menghantui. Bagaimanapun, Nayla masih berusaha percaya bahwa itu semua tak terjadi. Ia berusaha percaya jika itu semua hanya mimpi. Ia pun berusaha menyubit dirinya dengan jari tangan kiri. Dan pada saat itulah baru Nayla sadari jika jari-jemari tangan kirinya sudah tak bisa digerakkan lagi.

Nayla kembali menatap cincin di jari manisnya. Cincin emas putih bertatahkan permata itu tetap cantik terlihatnya. Tapi perasaannya tidak sama dengan ketika Nayla pertama kali melihatnya.

Tiba-tiba betapa ingin Nayla melepas cincin itu. Tapi bagaimana mampu jika jari-jemari tangan kirinya terkulai layu? Dengan sabar Nayla mendorong cincin di jari manisnya dengan ibu jari tangan kanannya. Tapi usahanya itu sia-sia belaka. Dan setiap kali ia gagal, semakin serasa gila Nayla dibuatnya. Ia guncang-guncangkan jari-jemari tangan kirinya yang layu. Dihantam-hantamkannya ke atas meja kayu. Tapi tetap saja tak ada reaksi. Jari-jemari tangan kirinya benar-benar sudah mati.

Nayla pun segera berlari ke dapur untuk mengambil pisau lalu memotong jari-jemari tangan kirinya satu per satu. Betapa puasnya ia melihat jari-jemari itu jatuh menimpa lantai batu. Darah bercucuran seperti anak panah hujan. Mengubur jari-jemari kirinya yang berceceran.

”Nay, Nay, bangun, Nay!”

Tubuh Nayla berguncang-guncang. Saat matanya terbuka, yang paling pertama dilihatnya adalah siluet ibunya yang tengah membelakangi lampu di luar kamar yang menyala terang.

”Nay, tenang, Nay. Kamu cuma mimpi buruk lagi. Ada ibu di sini.”

Ibu membelai mesra rambut Nayla yang tak mengatakan sepatah pun kata. Ibu segera merebahkan tubuhnya di sebelah Nayla. Diciumnya kening Nayla dengan mesra. Namun Nayla malah membuang muka dan membalikkan tubuhnya.

”Besok kita ke dokter lagi ya, Nay.”

Nay tetap tak mengatakan sepatah pun kata. Tak juga membalikkan tubuhnya. Tak juga melihat mata ibunya yang sedang berkaca-kaca. Seperti matanya.

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA