KETIKA CALON ORANG BAIK BERTANYA PADA DIRINYA-SENDIRI



Menjelang lima menit sebelum tepat jam 10 pagi. Pemuda lusuh dengan rokok di tangan, memusatkan pikirannya terbang melintasi apa yang terlintas. Ibarat orang berharta ia sedang bertamasya menikmati kekayaannya, walau hanya sebatas pengembaraan imajinasi pengalaman. Terkadang rasa bangga muncul menyelinap saat mendapati dirinya sudah semester tua. Tak dipungkiri pula penyesalan hinggap bersama gemuruh pesta saat kawannya sudah berpose sedemikian rupa mamakai toga. Tapi, apapun keadaannya sekarang ia tak boleh lama-lama menikmati penyesalan, begitulah ia menyakinkan dirinya sendiri.
Sejenak, ia teringat pertanyaan kawan akrab dalam menghabiskan malam. Kamu ingin menjadi apa?. Dengan enteng jawabannya, aku ingin menjadi orang baik. Hahaha, mendengar jawaban yang mungkin agak lucu baginya, bahkan mungkin terlihat konyol. Ia tak mengerti, heran, dan masih menerka apa yang menjadikan temannya tertawa. Saat ia mau bertanya tentang ihwal keheranannya, belum lagi keluar pertanyaan yang sudah diujung lidah tiba-tiba keluar dari mulut temannya. Masak kuliah tinggi-tinggi, serta lama pula hanya mau jadi orang baik. Mbok jadi presiden, pegawai negri, atau apalah yang terlihat agak elit gitu, timpal teman pemuda.
Oh, itu rupanya yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Pemuda itu menarik nafas dalam-dalam. Tampaknya ia cukup serius ingin mengutarakan alasan argumentatif mengapa dirinnya ingin menjadi orang baik. Seolah ingin menunjukkan kuwalitas dirinya sebagai mahasiswa penghabisan (mahasiswa yang lulusnya agak lama). Ia memulai pembicaraan dengan argumentasi yang menurut dirinya layak.
Begini kawan, ucapnya. Untuk menjadi seorang yang baik itu bukan sesuatu yang mustahil, tetapi tidak semudah menjadi presiden, pengawai negri, dan entah profesi apalagi yang terlihat mentereng di hadapan kita. Tidakkah terlintas dalam pikiranmu bahwa menjadi Presiden modal yang diperlukan hanyalah menjadi bagian/anggota dari partai politik, itu saja tidak ada yang lain. Jika modal utama seperti itu sudah digenggam tinggal langkah kedua, sering-seringlah muncul di layar televisi, bisa juga nongol di media seperti koran nasional, maupun local, dan jangan lupa kalau berbicara bawalah  nama “rakyat” atau “atas nama rakyat”sebagai bumbu pelengkap agar tampak begitu menyakinkan.
Oh begitu ya!. Sang teman merespon. Entah orang itu percaya atau tidak terhadap alasan pemuda itu. Kemudian, temannya melanjutkan. Kamu tahu dari mana kok sepertinya menjadi presiden itu sangat mudah?
Baiklah, tolong disimak dengan seksama apa yang ingin kusampaikan kepadamu, seolah omongan pemuda itu penting dan layak untuk didengarkan. Pertama, walaupun manusia sudah membangun institusi pendidikan secara formal namun, pengetahuan dan pembelajaran yang berbasis pengalaman jauh lebih membekas dalam setiap benak manusia. mengambil pelajaran atau belajar dari pengalaman sehari-hari merupakan tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
 Oleh karena itulah, kesimpulan yang kudapat dari pengalaman tentang mudahnya menjadi seorang presiden adalah fakta yang sulit untuk ditolak. Tidakkah kau lihat dan rasakan belakangan ini, bagaimana pertarungan untuk mendapat singgasana kepresidenan bukanlah atas dasar kepribadian, prilaku, dan andil apa yang telah diwariskan kepada sesama atau rakyat jika ia melalui karir politik untuk sebuah kemakmuran. Melainkan sebuah panggung sandiwara yang mereka rekayasa untuk membohongi rakyat. Kedua, tidakkah kau lihat potensi yang dimiliki bangsa kita bahwa terlalu banyak untuk mencari orang baik di Negri ini. Tetapi melalui parpol kita tidak diberi kebebasan untuk menentukan siapa yang pantas untuk memimpin Negri ini. Kita hanya menjadi kelas kedua setelah parpol, memilih pilihan parpol.
Begitu pula menjadi pegawai negri, sangatlah mudah dan yakinkanlah dirimu bahwa menjadi pegawai negri jauh lebih mudah dari yang pertama. Sudah menjadi cerita umum di Negri yang penduduknya dari sabang sampai merauke, istilah membeli sampai ratusan juta menjadi hal yang biasa. Bahkan merupakan suatu kebanggaan jika seseorang bisa membayar uang tebusan sebesar itu. Anehnya lagi, diluar itu mereka masih harus mengeluarkan uang sebagai tanda terimakasih kepada orang yang memberi informasi atau jalur yang menyimpang seperti itu. Sejurus kemudian pemuda itu memberi isyarat bahwa apa yang disampaikan sudah selesai dengan mendongakkan kepala.
Temannya seperti terhipnotis, entah dia memahami atau tidak petanda sang pemuda. Akan tetapi melihat pemuda itu melanjutkan hisapan rokoknya lagi ia pun paham bahwa dirinya diberi kesempatan untuk melanjutkan perbincangannya lagi. Ia pun melanjutkan bagaimana dengan orang “baik” seperti apa yang kamu inginkan. Apa susahnya menjadi orang baik, kok seolah-olah menjadi orang baik lebih sulit daripada menjadi presiden maupun pengawai negri?.
Rokok ditangan sudah hampir habis, sebelum menjawab pertanyaan itu ia kembali mengambil satu batang lagi dari kotak-rokok yang tak jauh di depannya. Sembari menyalakan korek ia pun menjawab, baik saya akan menjawab. Menjadi orang baik tidaklah semudah menjadi presiden maupun pegawai negri sebagaimana saya sampaikan di atas. Bahkan keruwetan pertama adalah mendifinisikan dan menentukan kompetensi apa saja yang harus dimiliki untuk bisa menyandang sebagai “orang baik”. Hanya saja, betapapun sulitnya untuk memformulasikan orang baik tetap ada kemungkinan untuk memahaminya dari petunjuk sang Nabi yang sudah menjadi pengetahuan umum dikalangan masyarakat.Petunjuk itu berbunyi “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya”.
Pemuda itu terlihat serius, bahkan tak memberikan ruang untuk disela dalam pembicaraannya. Kepulan asap menghiasi ruangan kecil nan nampak indah seperti awan berarak kesana kemari, terlebih sisa asap naik turun mengikuti gerakan mulutnya menambah semangat suasana obrolan. Sudah lama ia berbicara, terlihat pula sudah kehabisan bahan untuk menjelaskan siapa yang layak menyandang sebagai “orang baik”. Temannya pun agak terlihat bosan mendengar celotehan yang tak kunjung mengerucut pada kesimpulan. Ada semacam temuan bahwa temannya tidak dapat memahami secara keseluruhan dari apa yang dijelaskan, mungkin juga ia sudah lama tidak mendengarkan penjelasan yang dianggapnya tidak dapat menjelaskan secara nyata siapa orang baik itu.
Suasana semakin lama semakin sunyi dan tak ada komunikasi di antara mereka. Pemuda itu menghentikan penjelasannya, menungggu sambil berharap ada tanggapan atas apa yang sudah dijelaskan. Di antara kesunyian itu, mereka sempatkan minum kopi yang sudah lama tak disentuh, kedua buah bibir itu semakin terlihat mengkilat menandakan bahwa mereka siap ngobrol lagi yang sempat terpotong akibat kehilangan pelumas. Benar saja, tak berapa lama kemudian temanya mengajukan protes. Maaf kawan, penjelasannmu memang terlihat sangat bagus, kaitan antara politik, agama, dan lain-lain sudah kamu jelaskan. Terus terang saya agak kagum atas penjelasanmu tetapi, tak bisakah engkau menyederhanakan sehingga aku dapat memahaminya. Saya rasa engkau pun tahu kalau diriku bukanlah seperti dirimu yang dapat menikmati pendidikan sampai perguruan tinggi, sebab itulah kekagumanku atas penjelasanmu didasari ke-tidaktahuanku. Jika boleh mempunyai saran, maka tolong jelaskan dengan bahasa sederhana dan berilah contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Pemuda itu termenung, dia mulai menyadari bahwa dirinya tak sepandai yang ia sangka selama ini. Ia mulai merasakan dirinya tak dapat mengenal lingkungannya, tak dapat memahami dengan siapa ia sedang berbicara, dan apa tujuan dari pengetahuan yang dimiliki. Ia pun mulai melihat lingkungan kampus yang sudah membentuk dirinya, kebiasaan-kebiasaan atau aktifitas yang mendukung pembentukan pribadinya. Pikirannya sudah melesat jauh entah kemana bahkan ia sudah lupa bahwa temannya menunggu jawaban darinya. Ke-tidak-sabaran sudah nampak dari gerak-badan sehingga, temannya memutuskan untuk memengang bagian anggota tubuh pemuda itu sambil berucap, bagaimana kawan?.
Ia pun tersadar bahwa lelaki yang tak jauh darinya menunggu sebuah jawaban. Dengan sedikit refleksi tadi, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan penjelasannya. Maaf kawan, mungkin sedikit bekal untuk kita semua, tidak hanya untukmu, kiranya kita perlu memahami dan mengamalkan apa yang saya sampaikan tadi, “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi se-samanya” sedangkan, dalam wilayah oprasional mungkin bisa kita simpulkan bahwa “ orang yang mampu menempatkan dirinya dalam kemanfaatan dimana pun ia berada, baik dalam profesi maupun dilingkungan masayarakatnya”. Itu saja yang perlu kita lakukan sekarang.
Pemuda itu menyadari bahwa semakin banyak ia berbicara untuk mejelaskan semakin banyak pula kata-katanya yang tidak akan dimengerti. Dan ia semakin yakin karena dirinya belum menjadi orang baik, maka apa-pun yang dikatakan tidak akan membuat orang lain mengerti. Satu-satunya kepercayaan yang ia miliki sekarang adalah bahwa berbuat lebih baik dari sekedar berbicara.
Mereka mengakhiri obrolan itu dengan sedikit kecewa, yang merasa lebih tahu tak dapat menyakinkan orang yang dianggapnya tak lebih pintar dari dirinya, sedangakan yang dianggap tak lebih pintar kecewa karena tak mendapat keterangan yang dapat menyakinkan dirinya bahwa orang baik seperti si A,B,D dan lainnya.

0 komentar:

Indonesia Memilih

RAKYAT Indonesia akhirnya memutuskan masa depannya. Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei mengonfirmasi, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul 4-5 persen atas Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jika hitung cepat mencerminkan hasil akhir Pilpres 2014, Joko Widodo bakal menjadi presiden ketujuh negeri ini. Apa beda pilpres kali ini, mengapa Joko Widodo, apa pula tantangannya ke depan?

Terlepas dari soal menang kalah, kita patut bersyukur bahwa perhelatan pilpres tidak hanya berlangsung relatif aman dan damai, tetapi juga ditandai tingkat antusiasme dan partisipasi pemilih yang cukup tinggi. Sejumlah lembaga survei memperkirakan, partisipasi masyarakat dalam Pilpres 2014 sangat mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan pemilu legislatif 9 April 2014.

Indikasi tingginya antusiasme rakyat berpartisipasi dalam pilpres kali ini sudah tampak di sejumlah negara ketika warga negara Indonesia yang berada di luar negeri menggunakan hak pilih mereka 4-5 hari yang lalu. Sebagian pemilih di Hongkong bahkan amat kecewa karena hak politik mereka tidak dapat digunakan akibat kecerobohan KPU yang tidak mengantisipasi membeludaknya jumlah pemilih.

Salah satu faktor penting di balik semua ini adalah hadirnya sosok Joko Widodo (Jokowi). Sejak berhasil sebagai Wali Kota Solo (2005-2012), kemudian memenangi Pilkada DKI Jakarta hampir dua tahun lalu, Jokowi muncul sebagai sosok pemimpin fenomenal. Gaya kepemimpinan yang merakyat melalui cara blusukan, tampil tidak formal, dan tak berjarak benar-benar membuat Jokowi berbeda dengan yang lain.
Melalui gaya kepemimpinan demikian, Jokowi tidak hanya memutus mata rantai birokrasi yang cenderung ”asal bapak senang”, berbelit-belit, dan korup, tetapi juga mendengar langsung apa yang menjadi aspirasi dan keluhan rakyat pada tingkat yang paling bawah.

Memang benar blusukan yang dianggap mirip dengan ”turba” alias turun ke bawah itu tidak hanya dilakukan Jokowi. Namun, saya kira hanya Jokowi yang konsisten melakukannya. Mantan Wali Kota Solo ini bahkan menjadikan blusukan sebagai bagian dari model kepemimpinan baru, antitesis dari model kepemimpinan priayi-keraton yang cenderung (minta) dilayani ketimbang melayani.

Melalui blusukan, Jokowi juga membongkar paradigma lama tentang kekuasaan, dari sesuatu yang eksklusif, terpusat, seragam, steril, dan berjarak dari rakyat menjadi sesuatu yang inklusif, menyebar, menyentuh, melayani, bahkan menyatu dalam keseharian rakyat.

Pertarungan dua kutub

Sulit dimungkiri, persaingan antara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 bukan sekadar kompetisi antardua pasang capres, melainkan juga pertarungan dua kutub narasi politik yang bertolak belakang satu sama lain.

Di satu pihak, Jokowi mewakili kehendak untuk melakukan perubahan atas dasar kejujuran, kesederhanaan, kesediaan untuk melayani, dan langkah-langkah konkret yang dibutuhkan rakyat kebanyakan. Bagi Jokowi yang wong ndeso, kekuasaan bukanlah sesuatu yang sakral, melainkan suatu tanggung jawab yang harus selalu hadir dalam keseharian bersama rakyat. Saya kira salah satu sumber kekuatan Jokowi terletak di sini.
Di pihak lain, Prabowo mewakili keinginan publik akan perubahan melalui hadirnya sosok pemimpin yang kuat, tegas, dan macho dengan segala kemegahan kekuasaan yang melekat pada dirinya. Tidak mengherankan jika hampir semua simbol kemegahan Soekarno dan Soeharto dilekatkan pada penampilan publik Prabowo—mulai dari kuda, tongkat komando, peci, hingga baju kebesaran bersaku empat.

Prabowo memanfaatkan kerinduan sebagian publik atas ”kenyamanan” Orde Baru, seolah-olah kekuasaan koruptif dan tak terkontrol Soeharto selama tiga dekade itu layak didaur ulang sebagai rujukan perubahan ke depan. Prabowo dan elite pendukungnya lupa bahwa kerinduan atas Orde Baru itu sesungguhnya semu belaka. Singkatnya, Jokowi merepresentasikan narasi perubahan yang menarik garis batas dengan masa lalu, sedangkan Prabowo sebagai ”anak Menteng” yang mapan, mewakili narasi perubahan yang mengalami disorientasi karena justru hendak memanfaatkan sentimen kejayaan masa lalu.

Dua pola kecenderungan yang saling bertolak belakang ini adalah realitas politik sekaligus problem kontemporer Indonesia hari ini. Ambiguitas itu tidak hanya tampak di balik capaian reformasi, tetapi juga dalam pilpres kemarin. Di satu pihak, ada keinginan sebagian kalangan yang hendak merebut masa depan tanpa beban masa lalu. Di pihak lain, sebagian dari kita ingin perubahan, tetapi dengan membiarkan diri terpenjara dengan masa lalu.

Sayang, kompetisi yang semestinya bisa dilakukan secara sportif, cerdas, dan beradab itu dinodai manipulasi amat berlebihan atas isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sehingga perdebatan tentang kompetensi, rekam jejak, dan komitmen capres-cawapres terpinggirkan. Akibatnya, tim sukses dan pendukung capres pun lebih menonjolkan sikap dan perilaku emosional-konfrontatif mereka ketimbang sikap dan perilaku rasional-konstruktif.

Pertarungan lebih keras berlangsung di media sosial, seperti Facebook dan Twitter. Berbagai isu SARA yang belum dikonfirmasi kebenarannya digoreng, dimanipulasi, dipelintir, dan diputarbalikkan sehingga seolah-olah benar adanya. Cara Jokowi mengenakan pakaian ihram ketika berumrah ke Tanah Suci pun dipelintir sedemikian rupa seolah-olah semua itu ada hubungannya dengan kebutuhan bangsa kita akan capres yang amanah dan kompeten.

Belum waktunya pesta

Apabila hasil penghitungan suara secara resmi oleh KPU sama atau mendekati sama dengan hasil hitung cepat sebagian besar lembaga survei yang diumumkan kemarin, belum waktunya bagi Jokowi-JK untuk berpesta.

Kemenangan dalam pemilu hanyalah ”pintu pertama” dari kerja besar, keras, dan panjang pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla yang membutuhkan dukungan berbagai elemen bangsa lainnya, termasuk berbagai unsur pendukung pasangan yang kalah, Prabowo-Hatta.

Karena itu, salah satu agenda jangka pendek yang mendesak bagi Jokowi adalah merekatkan kembali tali persaudaraan sebangsa sekaligus sebagai upaya rekonsiliasi dan pemulihan keterbelahan politik dan luka sosial yang ditinggalkan pilpres. Luka itu bukan semata-mata disebabkan perbedaan pilihan politik antarwarga, tetangga, dan kerabat, melainkan juga akibat kampanye hitam yang melampaui batas.

Sulit dibantah bahwa jenis kampanye yang berisi fitnah yang bersifat sektarian atas capres tertentu meninggalkan luka yang dalam bagi pendukungnya. Mereka yang terluka dan merasa telah melukai saudara sebangsanya perlu diajak turut mengubur prasangka, benci, dan dendam demi masa depan Indonesia baru yang lebih baik.

Tantangan ke depan

Terkait koalisi parpol pendukungnya, jika benar-benar terpilih, ke depan Jokowi-JK tampaknya sulit menghindari munculnya friksi, baik dalam konteks relasi internal koalisi maupun dalam konteks relasi Presiden Jokowi dengan DPR selaku partner utama pemerintah dalam pembentukan kebijakan.

Friksi internal berpeluang muncul ketika Jokowi membentuk kabinet yang akan menjalankan program-program dan janji politiknya. Di satu pihak, Jokowi berani menjanjikan ”koalisi tanpa syarat”. Namun, di lain pihak, parpol pendukung tentu berharap akan memperoleh bagian kekuasaan yang layak setelah turut ”berkeringat” memenangkan Jokowi-JK dalam pilpres.

Singkatnya, tarik-menarik kepentingan politik akan sangat kencang ketika tiba waktunya bagi Jokowi-JK menyusun kabinet ”tim impian” yang profesional. Friksi politik dan tarik-menarik itu tidak hanya terjadi di antara parpol pendukung (Partai Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI), melainkan juga kemungkinan besar terjadi di internal PDI Perjuangan sebagai basis politik Jokowi.

Sementara itu, secara eksternal, tantangan Jokowi adalah bagaimana meyakinkan parpol di DPR bahwa pilihan-pilihan kebijakan yang diambil pemerintahnya benar-benar berorientasi kepentingan rakyat dan bangsa kita.

Persoalannya, peta kekuatan koalisi parpol pendukung hanya mencakup sekitar 37 persen dari kekuatan DPR, sedangkan total kekuatan parpol oposisi mencakup 73 persen. Apalagi, jika benar bahwa pimpinan DPR tidak lagi bersifat otomatis sesuai hasil pemilu legislatif, tetapi dipilih melalui pemungutan suara.
Dengan demikian, Jokowi harus berjuang keras di DPR agar kebijakan-kebijakan yang direncanakannya tidak ”diganggu” parpol oposisi di Senayan. Kemampuan Jokowi mengelola dan mengapitalisasi dukungan electoral yang diperolehnya akan sangat menentukan, apakah relasi presiden-DPR mendatang cenderung konfliktual atau sebaliknya, bisa saling bekerja sama satu sama lain.

Persoalannya kembali pada—meminjam ungkapan yang sering dikemukakan Jokowi—ada atau tidaknya kemauan dan niat kita, termasuk parpol di DPR, untuk bersama-sama menyingsingkan lengan baju menata bangsa menjadi lebih baik.

Syamsuddin Haris
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

0 komentar:

Implikasi Putusan MK tentang Pilpres

MELALUI putusan MK No 50/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi memberikan makna baru terhadap Pasal 159 Ayat (1) UU tentang Pemilu Presiden dan Wapres.

Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres yang merupakan tindak lanjut dari Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang  memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu presiden dan wakil presiden  dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah  provinsi di Indonesia.

MK telah memberikan makna baru (judicial interpretation) atas ketentuan mengenai syarat keterpilihan pasangan capres melalui putusannya dengan model konstitusional bersyarat, yaitu bahwa syarat sebaran suara tersebut hanya berlaku jika pasangan capres terdiri atas lebih dari dua pasang capres yang berkontestasi dalam pilpres.

Putusan MK berimplikasi terhadap beberapa hal. Pertama, putaran pilpres untuk jumlah kontestan hanya dua pasang capres akan diterapkan sistem pemilu bervarian mayoritas sederhana (first past the post) dengan varian model sistem satu putaran (one round system). Dalam varian mayoritas, pasangan capres dinyatakan terpilih cukup berdasarkan persyaratan perolehan suara 50 persen plus satu.

Kedua, melalui putusan MK itu, kini sistem pilpres di Indonesia menggunakan dua model sistem pemilu yang dikaitkan dengan jumlah kontestan pilpres dalam pilpres. Jika kontestan pilpres terdiri atas lebih dari dua pasang capres, tetap digunakan sistem mayoritas mutlak. Dengan sistem mayoritas mutlak, pelaksanaan pemilu kembali mengikuti rumusan tekstual Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres dengan ketentuan pemenuhan persyaratan minimal bagi kontestan untuk bisa menang harus memenuhi tiga kriteria, yaitu (1) memperoleh 50 persen dari jumlah pemilih; (2) menang di 20 persen tiap provinsi; (3) tersebar di setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Jika kriteria ini tak terpenuhi, dilanjutkan pilpres putaran kedua. Sementara jika pilpres hanya diikuti oleh dua pasang capres, berdasarkan putusan MK tersebut digunakan varian mayoritas sederhana.

Dengan menggunakan varian mayoritas sederhana yang berujung terhadap presiden terpilih berdasarkan persyaratan perolehan suara 50 persen plus satu, sering kali menghasilkan efek secara tidak langsung berupa presiden akan terpilih dengan mandat yang lemah dan disertai dukungan legislatif yang rendah. Hal inilah yang jadi latar belakang pembentuk UUD 1945 dan UU Pilpres memilih penggunaan sistem mayoritas mutlak dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 Ayat (1) UU Pilpres.

Jika menelusuri konsiderasi yuridis putusan MK No 50/PUU-XII/2014, terlihat semula MK berpijak pada tafsir historis atas perumusan Pasal 6A UUD 1945 dengan mengaitkan logika perumus UUD 1945 yang semula berpendirian sistem pilpres dengan varian mayoritas mutlak bersifat ekuivalen dengan banyaknya jumlah parpol yang mengusung pasangan capres.

Luput dari pertimbangan

Jika hanya berhenti pada logika hukum itu, putusan MK itu sudah sesuai dengan kebutuhan kontekstual saat ini. Sebab, realitasnya jumlah capres yang berkontestasi dalam pilpres kali ini ternyata tidak ekuivalen dengan jumlah partai politik yang ada. Hal itu disebabkan adanya syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).

Namun, ada maksud (original intent) perumus UUD hasil amendemen yang sepertinya luput dipertimbangkan dalam putusan MK itu. Semangat yang sejatinya diusung perumus Pasal 6A UUD 1945 adalah untuk memastikan bahwa capres yang terpilih mendapat legitimasi yang kuat karena mendapat dukungan mayoritas rakyat yang tersebar di 34 provinsi dan sering kali jumlah penduduknya tak merata. Dengan ketentuan tersebut, pasangan capres akan memaksimalkan kampanye visi-misinya dan kunjungannya ke semua wilayah serta menyerap aspirasi dari mayoritas penduduk di negeri ini yang tinggal di berbagai wilayah.

Dengan adanya dua model pilpres yang kini dianut sebagai implikasi putusan MK tersebut, jika (suatu saat) jumlah hasil pemilihan untuk pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasang capres tak terlalu signifikan perbedaannya akan memunculkan isu legitimasi hasil pilpres. Hal ini sebagai konsekuensi dianutnya varian mayoritas sederhana, yang kiranya bukan merupakan maksud asli (original intent) dari perumus UUD 1945, sebagaimana tecermin dalam berbagai risalah pembahasan UUD 1945 sewaktu diamandemen. Namun, untuk kali ini putusan MK ini tetap sebuah terobosan hukum (legal breakthrough) yang cukup berani sebagai respons atas tuntutan publik dan kebutuhan sistem ketatanegaraan aktual.

W Riawan Tjandra
Pengajar Hukum Kenegaraan pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta

0 komentar:

Harapan Baru, Tantangan Lama



HASIL hitung cepat sampai pukul 15.00 WIB, Rabu (9/7), menunjukkan keunggulan bagi pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla dalam Pilpres 2014. Kecuali terjadi sesuatu yang sangat ”spektakuler”, selisih rata-rata sebesar 5 persen telah memberikan sinyal kepastian bahwa pasangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla akan memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan. 

Tulisan berikut bertujuan untuk menyatakan bahwa kemenangan Joko Widodo-M Jusuf Kalla (Jokowi-JK) ini menyampaikan tidak hanya harapan, tetapi juga tantangan.

Harapan baru

Harapan itu pertama-tama terkait dengan perjalanan demokrasi kita. Terlepas dari beragam kekisruhan politik dan hukum yang ada dalam 15 tahun terakhir, demokrasi kita tampak masih memberikan sebersit harapan.

Bagaimanapun, Jokowi menyimbolkan pemimpin yang lahir dari ”rahim” demokrasi. Jokowi tidak tercatat dalam pentas politik Indonesia sebelum munculnya era Reformasi. Jokowi bukan siapa-siapa dalam panggung politik Indonesia ketika Soeharto masih berkuasa.

Jokowi adalah hasil dari proses seleksi demokrasi yang dihasilkan secara berjenjang mulai dari tingkat lokal, provinsi, hingga nasional. Jokowi adalah personifikasi dan simbolisasi dari harapan publik bahwa orang biasa dapat menghasilkan prestasi luar biasa.

Dalam seluruh perjalanan karier politiknya ini, credit point tentu saja harus kita berikan kepada Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-P. Tanpa keputusan yang dibuat Megawati pada bulan Maret lalu, seluruh proses seleksi demokratik untuk mengajukan Jokowi tentu saja tidak akan dapat berjalan.

Pilihan pada Jokowi tampaknya dipengaruhi oleh pertimbangan khusus. Ada kesadaran kuat bahwa kunci untuk memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia menghadapi abad ke-21 adalah kehadiran pemimpin nasional yang merakyat, memiliki kredibilitas, dan satunya perkataan dengan perbuatan.

Harapan itu semakin menguat ketika kemunculan Jokowi tidak disertai dengan melakukan pengasingan secara total generasi kepemimpinan sebelumnya.

Jusuf Kalla sebagai pasangan Jokowi adalah tokoh yang mewakili periode sebelumnya itu. Ada keinginan yang sangat kuat untuk meletakkan tradisi baru bahwa kepemimpinan nasional bukan ditentukan atas dasar kriteria ”tua’’ dan ”muda”, melainkan atas dasar kredibilitas, satunya kata dengan perbuatan dan keberpihakan kepada rakyat.

Tantangan lama

Kepemimpinan yang kredibel, berorientasi tindakan, dan merakyat tentu saja sangat penting. Ia merupakan prasyarat awal untuk memobilisasi dukungan. Suatu kebijakan tidak akan menjadi efektif jika pembuat kebijakan puncak, dalam hal ini presiden, dipandang oleh publik hanya pintar berkata-kata. Namun, harus pula kita pahami bahwa setiap kebijakan selalu berada dalam kerangka kelembagaan yang ada.

Salah satunya yang paling penting adalah kerangka APBN kita. Kebijakan fiskal menjadi sangat penting pula karena kebijakan moneter pasca Orde Baru tidak lagi berada di bawah otoritas eksekutif. Karena itu, tantangan lama yang harus dihadapi oleh Jokowi dan JK adalah menyikapi struktur fiskal yang diwariskan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk memajukan kesejahteraan rakyat dan program pembangunan infrastruktur.

Alternatif kebijakan

Jika kita merujuk pada struktur anggaran tiga tahun terakhir, berbagai program pembangunan infrastruktur dan bantuan kesejahteraan yang dicanangkan oleh pemerintah berikutnya tidaklah mudah. Ia hanya dapat direalisasikan dengan beberapa alternatif kebijakan berikut.

Pertama, dengan mengubah struktur komposisi belanja negara tanpa mengubah struktur pendapatannya. Ini berarti pengurangan secara drastis subsidi (khususnya BBM dan listrik yang berada pada angka sekitar Rp 400 triliun) dan mengalihkannya ke berbagai program lain.

Istilah yang kemudian harus disebarluaskan adalah pengalihan subsidi, bukan penghapusan subsidi. Namun, pilihan kebijakan ini tentu saja akan dengan mudah dimanfaatkan. Pasti akan memunculkan tekanan politik parlemen, baik formal maupun jalanan.

Harus dicatat bahwa struktur kekuatan politik kepartaian di DPR tidak hanya menggambarkan fenomena hung parliament, yaitu tidak adanya partai politik yang dominan. Namun, jumlah kursi partai yang mendukung Jokowi dan JK secara numerik tertinggal dibandingkan dengan yang bukan pendukungnya.

Kedua adalah dengan mengubah struktur pendapatan negara. Artinya, subsidi BBM dan listrik tetap dapat dilanjutkan bersamaan dengan menguatnya program bantuan kesejahteraan.

Opsi seperti ini dimungkinkan jika terdapat peningkatan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Saat ini rasio pajak terhadap PDB hanya sekitar 12 persen. Peningkatan 2 persen rasio pajak terhadap PDB saja diperkirakan memberikan pendapatan negara sebesar Rp 200 triliun. Apakah peningkatan ini dimungkinkan tanpa mengubah UU Pajak?

Beberapa pihak menyatakan dimungkinkan jika diterapkan kebijakan khusus menghadapi mafia pajak, perbaikan sistem perpajakan yang baik, misalnya dengan mengoptimalkan praktik e-government atau e-budgeting, serta penataan institusi penarikan pajak dengan menempatkannya langsung di bawah presiden dan bukan di bawah kementerian keuangan.

Ketiga adalah dengan melakukan terobosan kebijakan pengelolaan utang. Terobosan kebijakan pengelolaan utang menawarkan dua alternatif.

Pertama, menunda pembayaran utang dan mengalihkan dana pembayaran utang itu ke program penguatan bantuan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur. Kedua, memperbesar utang. Pilihan ini hanya dimungkinkan jika terdapat perubahan dalam kerangka hukum tentang defisit anggaran yang patokannya tidak boleh melebihi angka 3 persen terhadap PDB. Beberapa negara sebenarnya telah melakukan ini. Amerika Serikat kini hampir mencapai 8 persen dari PDB-nya.

Namun, setiap pilihan pengelolaan utang di atas bukan tanpa masalah. Pilihan menunda pembayaran utang dapat memunculkan masalah credit-worthiness Indonesia bagi para pelaku investor keuangan. Pilihan memperbesar utang dapat mengakibatkan semakin tidak sehatnya struktur fiskal. Saat ini saja diperkirakan sekitar 1/7 belanja anggaran dalam APBN Indonesia dibiayai oleh utang.

Intinya adalah masih akan terdapat jalan panjang untuk mewujudkan kesejahteraan bangsa. Satu hal yang pasti adalah modal awal—yaitu kredibilitas, merakyat, dan berorientasi tindakan—sudah dimiliki. Barangkali yang tertinggal, seperti yang kerap diungkapkan Jokowi, adalah kerja dan implementasi.
 
Makmur Keliat
Pengajar FISIP Universitas Indonesia

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA