Propaganda Politik di Medsos
oleh: Agus Sudibyo
Tak ada lawan yang abadi dalam politik. Bahkan seorang tokoh
politik Amerika Serikat pun berhasil memenangi pemilihan presiden berkat
bantuan rezim yang sedang berkuasa di Rusia. Padahal, dunia tahu betapa tidak
akurnya Amerika Serikat dan Rusia. Kedua negara ini bersaing memperebutkan
pengaruh di berbagai kawasan.
Kedua negara terlibat perang proksi di sejumlah negara.
Namun, itulah fakta yang belakangan ini semakin gamblang terungkap terkait
dengan pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016.
Sebuah lembaga riset di St Peterburg, Rusia, yang berafiliasi
dengan Presiden Rusia Vladimir Putin bernama Internet Research Agency, terbukti
telah merancang dan melaksanakan propaganda politik berskala besar untuk
memenangkan Trump dan Partai Republik.
Meskipun berskala besar, propaganda politik terjadi secara
senyap dan laten. Sarananya adalah media baru yang sangat familier bagi banyak
orang: media sosial (medsos).
Memecah belah
masyarakat
Tak ada yang menduga media sosial yang begitu menjanjikan
dalam urusan demokratisasi dan deliberasi ternyata telah menjadi sarana operasi
politik yang kotor dan merusak. Sebagaimana tidak ada yang menduga Amerika
Serikat—negara yang selama ini menguasai jagat media sosial—justru menjadi
korban paling absurd dari penyalahgunaan media sosial untuk memecah belah
masyarakat.
Untuk mengungkapkan skandal tersebut, Komite Intelijen Senat
Amerika Serikat bekerja sama dengan Computational Propaganda Project
Universitas Oxford, perusahaan analisis media sosial Graphika, dan perusahaan
keamanan siber New Knowledge. Senat Amerika Serikat mengumumkan penelitian tiga
lembaga tersebut beberapa saat yang lalu.
Dalam dua laporan yang terpisah, diungkapkan bagaimana proyek
manipulasi, disinformasi, dan mobilisasi berskala besar dilakukan agen
intelijen Rusia dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016.
Mereka menciptakan ratusan akun media sosial palsu untuk
menyebarkan pesan-pesan politik yang provokatif dan insinuatif. Akun-akun
tersebut digunakan untuk mengaduk-aduk sentimen primordial masyarakat Amerika
melalui diskusi-diskusi yang penuh
prasangka ras atau agama.
Dengan sengaja, diciptakan kerumunan politis di media sosial
di mana antinomi imigran vs penduduk asli, kulit putih vs kulit hitam, Muslim
vs non-Muslim terus-menerus dibicarakan dengan serampangan.
Sasaran propaganda itu adalah kelompok masyarakat yang
cenderung konservatif dalam memandang keberagaman dan masih memendam stereotip
tentang kulit hitam, imigran, atau Muslim. Sasaran berikutnya adalah kaum awam
yang pada dasarnya kurang berminat terhadap politik.
Mereka terus dibombardir dengan desas-desus mengenai
ketidakberesan tahap-tahap pemilihan umum dan tata cara pemungutan suara.
Kepada mereka ditanamkan opini bahwa penyelenggaraan pemilu penuh kecurangan.
Tujuannya adalah membuat mereka bingung, marah, hingga
kemudian memiliki persepsi negatif tentang penyelenggaraan pemilu dan
pemerintah yang sedang berkuasa.
Dari mana agen intelijen Rusia mendapatkan data tentang
masyarakat yang cenderung konservatif atau awam dalam urusan politik itu?
Jawabnya adalah dari data perilaku pengguna media sosial (user behavioral data)
yang dikumpulkan dan dikelola oleh perusahaan media sosial seperti Facebook,
Twitter, dan Google.
Bagaimana data itu diperoleh? Facebook berulang-ulang
menyatakan tidak tahu-menahu atas penggunaan data perilaku pengguna media
sosial itu. Facebook merasa tidak pernah mengizinkan Internet Research Agency
atau Cambridge Analityca untuk menggunakan data perilaku pengguna platform
media sosial yang mereka operasikan.
Namun, berbagai pihak meragukan Facebook dan lain-lain tidak
mengetahui penyalahgunaan data tersebut.
Komite Intelijen Senat Amerika Serikat mengkritik respons yang terlambat dan
tidak terkoordinasi dari perusahaan-perusahaan media sosial dalam mengatasi
penyalahgunaan data tersebut.
Sebuah kritik yang secara implisit menyatakan Facebook,
Twitter, dan lain-lain sesungguhnya mengetahui penyalahgunaan data yang
terjadi, tetapi tidak segera bereaksi untuk menghindari kerugian yang lebih
besar bagi publik.
Dengan demikian, ada dua kesalahan yang dituduhkan kepada
perusahaan penyedia layanan media sosial itu. Pertama, mereka membiarkan
platform media sosial mereka digunakan untuk menyebarkan hoaks, ujaran
kebencian, dan prasangka rasial yang memecah belah masyarakat.
Kedua, mereka tidak melindungi keamanan data pengguna media
sosial yang mereka kelola sehingga data itu dimanipulasi pihak lain. Dengan
membobol data tersebut, agen-agen propaganda dapat mengidentifikasi orientasi
politik puluhan juta warga Amerika Serikat dan mengarahkan mereka pada pilihan
elektoral tertentu.
Akun media sosial puluhan juta orang itu tidak lagi merupakan
privasi yang terlindungi, alih-alih terus-menerus terekspos oleh pesan-pesan
politik yang agitatif dan propagandis.
Relevan untuk Indonesia
Pengalaman Amerika Serikat tersebut jelas relevan untuk
Indonesia. Kita tengah berada dalam suasana politik yang memanas dan bergejolak
belakangan. Salah satu lokusnya adalah arus informasi dan diskusi di media
sosial. Seperti tidak puas dengan ruang media massa yang sarat dengan batasan
etika, para juru kampanye bertindak sebebas-bebasnya di media sosial.
Kebohongan mereka kumandangkan sebagai kebenaran, sikap acuh
tak acuh dan ketiadaan nalar-logis
mereka adopsi sebagai strategi, ayat-ayat suci mereka perlakukan sebagai
properti pentas propaganda. Persis seperti yang terjadi di Amerika Serikat,
media sosial memperlihatkan trend negativitas dalam panggung politik Indonesia
dewasa ini.
Setidak-tidaknya ada tiga pelajaran penting dari skandal
propaganda politik di media sosial dalam pemilu presiden Amerika Serikat di
atas. Pertama, seperti diungkapkan Komite Intelijen Senat Amerika Serikat, agen
intelijen Rusia menggunakan semua platform media sosial untuk membantu Trump
dan Partai Republik.
Bukan hanya Facebook dan Twitter yang telah digunakan untuk
menyebarkan kebencian ras dan kebohongan politis, melainkan juga Youtube,
Tumblr, Instagram, Paypal, Google, dan platform media sosial lainnya. Dengan
demikian, upaya penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian tidak bisa lagi hanya
terkonsentrasi pada satu-dua platform media sosial yang dianggap paling
populer.
Kedua, isu agama dan ras menjadi obyek utama untuk
mempermainkan emosi para pengguna media sosial. Bukan rasionalitas yang
disasar, melainkan sentimen primordial. Perlu digarisbawahi, media sosial
sanggup meruntuhkan batas-batas intelektualitas. Begitu tersentuh-sentuh
keyakinan primordialnya, para pengguna media sosial berubah menjadi sentimentil,
sensitif, dan emosional menghadapi fakta keberagaman.
Hal ini bukan hanya terjadi pada orang awam, melainkan juga
pada mereka yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Mereka menjadi
begitu mudah terindoktrinasi dan dimobilisasi.
Mereka begitu mudah berubah menjadi intoleran terhadap
sesamanya. Jika bangsa AS yang sangat rasional dan literate begitu mudah
dipengaruhi untuk bersikap reaksioner menghadapi fakta keberagaman, tentu saja
hal yang sama dapat terjadi di Indonesia.
Ketiga, hal baru yang diungkapkan Komite Intelijen Amerika
Serikat adalah propaganda politik di media sosial juga menyasar isu
penyelenggaraan pemilu.
Melalui media sosial, disebarkan desas-desus ketidakadilan
dan kecurangan penyelenggaraan pemilu. Masyarakat dibuat bingung tentang proses
persiapan pemilu, kampanye, dan mekanisme pencoblosan.
Disebarkan opini negatif terhadap pelaksanaan pemilu secara
keseluruhan. Propaganda ini bergulir sedemikian rupa sehingga dampak yang
timbul bersifat delegitimatif terhadap Hillary dan Partai Demokrat sebagai
partai petahana dan sebaliknya, bersifat legitimatif terhadap Trump atau Partai
Republik sebagai partai penantang.
Propaganda negatif tentang penyelenggaraan pemilu ini relevan
untuk konteks Indonesia hari ini. Pemilu 2019 sangat kompleks dan rawan. Di
bilik suara, kita tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden, tetapi juga
memilih anggota DPR, DPD, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II. Ada sekitar
20.500 kursi yang diperebutkan oleh lebih dari 300.000 kandidat.
Akan ada 850.000 tempat pemungutan suara (TPS) dengan total 5
juta anggota panitia pemungutan suara. Banyak sekali informasi yang mesti
diketahui masyarakat tentang proses persiapan pemilu, pemungutan suara,
kandidasi, dan lain-lain.
Fakta menunjukkan, hingga hari ini sosialisasi tentang
berbagai hal ini masih belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hal
ini menimbulkan kerawanan mengingat semakin dekatnya penyelenggaraan pemilu.
Dalam kasus AS, kerawanan itu dimanfaatkan para
"provokator" untuk menyebarkan spekulasi, desas-desus, dan kabar
bohong yang memperkeruh keadaan. Mereka menciptakan suasana kebingungan
dan ketidakpercayaan dalam masyarakat
terkait penyelenggaraan pemilu.
Dalam kebingungan dan ketidakpercayaan itu, mereka mengambil
kesempatan dalam kesempitan untuk mewujudkan kepentingan politik tertentu.
Agus Sudibyo Head of New Media Research Center ATVI Jakarta
Kompas, 31 Desember 2018


0 komentar:
Posting Komentar