Kelindan Korupsi Politik dan Korupsi Sektor Hukum
Oleh; Adnan Topan Husodo
Menurut
survei Indeks Persepsi Korupsi Transparansi Internasional (TI), skor Indonesia
pada 2017 tidak beranjak membaik alias stagnan, yakni ada pada 3.7 atau sama
dengan tahun lalu. Oleh TI, Indonesia masih dianggap sebagai negara di urutan
menengah-bawah dalam soal keberhasilan pemberantasan korupsi. Perihal kemandekan
skor Indonesia, TI memiliki dua argumentasi, yaitu maraknya korupsi politik dan
korupsi di sektor penegak hukum.
Korupsi
politik dijelaskan secara umum sebagai penyalahgunaan wewenang dan posisi oleh
para elite politik, baik yang berada di parlemen maupun eksekutif, serta
pengurus inti partai. Akibat dari perbuatan itu mereka diuntungkan secara
pribadi atau kelompok. Korupsi politik selalu dikaitkan dengan usaha politisi
untuk mempertahankan dan memperluas jangkauan kekuasaan mereka.
Sementara
korupsi oleh penegak hukum dimasukkan sebagai bagian dari judicial corruption, yang secara umum berkaitan dengan
penyalahgunaan diskresi untuk menindak, baik dalam soal penetapan tersangka,
memvonis terdakwa, memenjara terpidana maupun suap dalam proses penegakan
hukumnya. Judicial corruption berada
di luar konteks korupsi yang dilakukan oleh pegawai lembaga peradilan dalam
urusan pengadaan publik dan administrasi lainnya, yang tidak terkait langsung
dengan fungsi pokok peradilan.
Mengapa kronis?
Pertanyaannya,
mengapa di kedua sektor itu tidak banyak perubahan terjadi sehingga menjadikan
skor IPK Indonesia tersandera? Sementara usaha yang telah dilakukan untuk
membenahi kedua sektor itu tidaklah sedikit. Kucuran dana, khususnya dari
lembaga donor internasional, untuk memperbaiki tata kelola dan akuntabilitas
kedua sektor itu juga sudah berlimpah dan terdiri dari beragam jenis dukungan.
Namun,
tetap saja berbagai kasus korupsi, baik yang kecil maupun yang besar, muncul
dari kedua sektor ini. Selain itu, persepsi publik atas dua sektor ini juga
tetap rendah, baik sejak awal reformasi hingga hari ini.
Pada
dasarnya, korupsi politik di Indonesia lahir dan berkembang karena berbagai
alasan. Namun, yang paling banyak dijadikan kambing hitam adalah akibat
mahalnya biaya politik. Saat maju pada kontestasi pilkada, pemilu legislatif
dan pemilu nasional, kandidat partai maupun individu membutuhkan biaya yang
sangat mahal. Korupsi yang dilakukan oleh para petahana—sebagiannya banyak
ditangkap tangan oleh KPK—diklaim karena motif mencari biaya politik.
Pertanyaannya,
apakah memang demikian? Fakta bahwa maju dalam kompetisi politik butuh biaya
tak sedikit benar adanya. Namun, mahalnya biaya politik sebenarnya lebih
disebabkan perilaku koruptif yang menjangkiti sektor politik.
Jika
diamati, ada dua pembiayaan ilegal yang memicu mahalnya ongkos politik.
Pertama, apa yang sering disebut sebagai mahar politik. Mahar politik diartikan
sebagai biaya di muka yang harus dibayar kandidat yang hendak dicalonkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik. Pada soal ini, tidak pernah ada
rujukan pasti, tetapi kisarannya mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah,
bergantung level pemilu yang diselenggarakan.
Biaya
politik ilegal yang kedua untuk politik uang. Sebenarnya tak ada studi yang
meyakinkan bahwa menyuap pemilih akan menentukan pemenang. Minimnya studi atas
perilaku politik uang dan hasil akhir pemilu lebih disebabkan karena sulitnya
mengamati secara terbuka gejala ini sehingga data aktual tidak banyak
didapatkan. Karena itu, sulit memperkirakan berapa anggaran yang harus
disediakan kandidat untuk melancarkan politik uang.
Perilaku
pemilih juga menekan angka politik uang menjadi sesuatu yang sulit diprediksi
karena adanya mekanisme the highest
bidder is the winner. Artinya, berapa jumlah uang per suara pemilih akan
sangat ditentukan oleh berapa banyak pelaku politik uang yang terlibat, yang
mewakili para kompetitor yang sedang bertarung dalam pemilu. Sebenarnya, jika
sistem penegakan hukum bisa bekerja efektif, maka kedua praktik di atas dapat
ditekan sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi secara signifikan kebutuhan
akan ongkos politik.
Mekanisme kontrol lemah
Sementara
korupsi sektor yudisial lebih merupakan persoalan klasik akibat dari diskresi
yang luar biasa besar dari aparat penegak hukum untuk mengambil tindakan hukum.
Pada saat yang sama, sistem kendali atas penggunaan diskresi, baik dalam
kerangka internal maupun eksternal, tidak cukup memadai. Upaya mereformasi
secara mendasar lembaga peradilan pada saat yang sama tidak mendapatkan
dukungan politik karena sektor politik juga mengalami problem korupsi yang
serius.
Sementara
independensi peradilan sebagai prinsip dasar dari dalam pengambilan keputusan
pada sektor ini memicu banyak persoalan karena berada pada tangan yang memiliki
integritas rendah. Meskipun suntikan renumerasi yang lumayan tinggi pada
pengadilan—sebagai contoh—telah dilakukan, masih saja terjadi di mana hakim
ditangkap tangan karena menerima suap.
Bukan
hanya jajaran hakim, panitera juga menjadi bagian dari jejaring korupsi sektor
peradilan. Sementara penegak hukum yang memiliki wewenang menyelidik, menyidik
dan menuntut perkara pidana masih menggunakan modus korupsi lama, yakni
menjadikan kasus pidana sebagai mesin ATM karena minimnya mekanisme kontrol atas
proses penegakan hukum.
Jalan
keluar untuk mengatasi kedua masalah ini terbuka lebar. Hanya membutuhkan
tekanan besar untuk melakukannya. Demikian halnya kepemimpinan nasional dan
lokal akan ikut menentukan arah perubahan pada kedua sektor di atas. Namun,
yang pasti tanpa menekankan pada reformasi struktural pada dua sektor penopang
negara yang utama itu, korupsi di Indonesia akan tetap sulit untuk ditekan.
Adnan Topan Husodo Koordinator Indonesia
Corruption Watch (ICW)
Kompas, 7 Mei 2018


0 komentar:
Posting Komentar