Mencintaimu Dengan Cara Berbeda



Ada frase tanya tak terbaca di wajahmu
Menjelma enigma tak terkira sungguh luar biasa
Dimana namamu tertulis dalam dialog panjang tak berkesudahan
Dan semua orang tetap dalam resah kebingungan

Namun, semua itu hanyalah khayalan
Penipu mata sekelumit para manusia
Yang melihatmu dengan sebelah mata
Dan aku tidak akan tertipu sebab cintaku melampaui retina semata

Yogyakarta, 13 September 15

0 komentar:

Aku Hanya Ingin Bercerita




By: Sang Pemalas

Sayang...
Pada pagi, dan senja bermega aku ingin bercerita
Bahwa aku pernah merasakan cinta
Engkau yang cantik jelita penuhi relung hati dan pikirku
Bertamasa pada altar jiwaku


Aku sadar engkau tiada nyata pada jarak pandangku
Paras wajah caktimu adalah ilusi di kedua bola mataku
Tutur lembut sapamu adalah tujuan perjalanan panjangku
Dan kerinduanku semoga berlabuh di situ!

                Sayang...
                Jangan pernah kau tanya jauh jalan perjalananku
                Sebab engkau tidak akan pernah bisa mengukurnya
                Ia bukanlah jarak ataupun waktu
                Pun juga bukan segala sangka pikirmu

Entah dengan cara apa aku bisa memberitahumu
Bahwa bahagiaku bukan hanya saat berada di sampingmu
Pada kata yang sederhana “Aku hanya ingin melihat engkau tumbuh dewasa”
Memberi kesejukan pada orang-orang yang kau cinta

                Dan, suatu saat aku akan dengan bangga bercerita
                Bahwa orang yang kupuja adalah engkau orangnya
                Yang menabur harum bunga pada semesta
                Hingga akhirnya engkau abadi di mata dunia

Sayangku...
Maukah engkau kuceritakan apa itu cinta? Maukah!
Cinta itu adalah do'a
Cinta itu adalah dua jiwa satu rasa
Cinta itu adalah derita saat pujaan tak lagi dalam pelukan-Nya
Dan cinta itu adalah ikatan kesetiaan menuju keridhoan-Nya
Ya, itulah perjalanan jauh para pecinta!


Yogyakarta 17-September 2015
                                                                                                                          Pelataran kantin

0 komentar:

AKU MASIH SETIA MENDENGAR CERITAMU



Aku mencintaimu tepat saat senyum malam membelai lembut seluruh sepi. Pada secercah cahaya, aku berdendang bertanya tentang kebahagiaan. Apakah bahagia itu adalah bersamamu? Atau cukup hidup bersama dalam sukma terdalammu?
Pun, pada dunia sunyi tak lupa kulontarkan tanya serupa, tahukah engkau jawabnya! Mereka hanya diam. Adakah ini pertanda bahwa diam adalah bahasa cinta laksana Barfy dalam dunianya. Entahlah.
Pada tatapan pertama aku tak pernah menyangka akan tumbuh rasa cinta untukmu, sayangku. Engkau laksana gadis belia ditepi pantai tak jenuh kupandang, dalam belaian waktu bola mataku larut dalam alunan cerita hidupmu. Dan di situlah engkau tancap peluru rindu pada takdir jalan hidupku.
Sayang, masihkah engkau ingat pagi itu?
Pagi yang membawamu pada secawan kebahagiaan. Yang cahaya sejuknya membiarkanmu luruh dalam manja sifat asalmu, begitupun udara segarnya mengantarmu pada dunia yang kau impikan. Dan pada akhirnya ceritamu laksana setetes embun bagi dedaunan. Masihkah ingat sayangku! Masihkah?
Saat engkau memulai cerita itu, tak kubiarkan udara mencuri tatapanku padamu. Selaksa darwis berkhidmat pada sang Mursyid. Dan pada dongengmu pula aku temukan topengku mewujud asmara. Pada detik ini, aku memang tidak ingin memilikimu, aku hanya ingin hidup dalam setiap kebahagiaanmu hingga pada akhirnya engkau sadar bahwa cinta memang anugerah Ilahi yang tak patut kita nodai.
Di tatapan mata yang tak searah, kuucapkan beribu kasih.
Yogyakarta, 26, agustus, 15
Patuk

0 komentar:

Sastra dan Martabat

Sastra dan Martabat
Halim HD
12 Juli 2015

Apakah ungkapan sastra dan martabat ini masih berlaku, ketika orang mengenang dan merenungi bentangan ruang sejarah dan peradaban yang telah membentuk kehidupan manusia zaman kini? Lalu memetik jalinan kalimat yang telah dijadikan pijakan dan pegangan kehidupan selama ini: melalui dan dengan sastra suatu negara, bangsa dan manusia yang mengisi ruang sosialnya telah menciptakan suatu jembatan kehidupan yang membawanya ke dalam percaturan yang bukan hanya diukur oleh kecukupan sandang dan pangan. Tapi juga nilai-nilainya sebagai manusia beserta sistem kemanusiaannya yang diwujudkan ke dalam berbagai impian, atau lebih tepatnya harapan tentang keadilan sosial, pergaulan yang santun, tata krama yang bukan hanya di ujung lidah, namun menciptakan suatu ruang dalam tubuh yang membuat seseorang atau suatu masyarakat bisa menerima perbedaan dengan rasa legawa.

Salah satu hal yang paling mendasar di dalam sastra adalah sistem nilai tentang pandangan dunia, sejenis perspektif filosofis yang mengungkapkan sistem nilai kehidupan. Melalui berbagai khazanah sastra, I La Galigo, karya-karya Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, untuk mengambil contoh adalah suatu kerangka nilai yang kita jadikan sebagai acuan di dalam memandang perjalanan sejarah beserta makna manusia dan nilai kehidupannya. Di dalam khazanah sastra itu pula kita bisa melongok dan melacak sistem nilai bersifat personal dan sosial, dan sekaligus suatu rangkuman harapan tentang makna yang baik dan buruk, yang indah dan yang jelek, yang benar dan yang salah. Rangkuman antara kebaikan, keindahan, dan kebenaran merupakan tolok ukur untuk menilai, sejauh manakah kita sudah melangkah, dan adakah setiap langkah di titian kehidupan kita sudah memenuhi persyaratan kebaikan, keindahan, dan kebenaran?

Karena ketiga kandungan itu pulalah sastra sebagai suatu bentuk selalu menjadi ruang bagi pengucapan dan pengungkapan sistem ketatanegaraan, sistem hukum, harapan untuk meraih keadilan sosial. Dan dari sanalah kita memeluk kepada masa lampau, yang tak jarang pula kita terninabobo oleh cara kita menghadapi ruang masa lalu. Kita tak menolak jika ada sebagian orang yang memeluk masa lampau dan senantiasa terninabobo dan memimpikan kenikmatan dari impian atas nama revitalisasi yang bersifat archaic, kepurbaan.

Ruang tafsir

Namun, seperti juga watak sastra yang senantiasa menelusuri ruang-ruang di dalam kehidupan dan selalu pula bersifat situasional dan kontekstual, maka sastra tak membiarkan dirinya hanya menjadi bantal pelukan dan kasur kaum pemimpi. Dia akan mengubah situasi-kondisi melalui ruang tafsir yang menjadi watak dari sastra: sejarah dan otokritik di dalam kandungan sastra senantiasa inheren. Sejarah senantiasa berada di bumi dengan gapaian akan dan tentang ruang langit, keilahian, yang diidamkan yang selalu menciptakan tegangan dan sekaligus sejenis gugatan antara takdir, nasib dan usaha manusia yang fana. Itulah makanya sastra memiliki dimensi vertikal dan horizontal, yang mengandung makna gapaian keilahian dan juga rentang jalan lurus ke ufuk pertemuan.

Sastra dan pertemuan merupakan suatu fenomena yang terus-menerus menjadi persoalan bagi kalangan sastrawan. Secara teknikal, betapa pentingnya seorang penulis sastra melakukan riset, memahami sejarah sosial, dan melacak tatanan nilai lingkungannya, dan memahami kondisi manusia. Semuanya itu, pada dasarnya adalah upaya untuk mempertemukan kembali berbagai tatanan nilai dalam konteks ruang pertemuan yang baru: dialog menjadi nilai utama, yang selalu dipertaruhkan di dalam kerangka karya sastra sebagai upaya manusia dalam sastra menggapai relung-relung batin. Melalui ruang inilah gapaian kepada keilahian selalu menggetarkan, dan bahkan menciptakan gegar, oleng-kemoleng keyakinan karena pertemuan dengan persilangan horizontal, realitas sosial dan sejarah lingkungan masyarakat yang kerap menjadi bahan olahan dan dinamit bagi karya sastra. Itulah makanya karya-karya Pasternak, Solzchenietzin, Kafka, Iqbal, Chairil Anwar, Hamzah Fansuri, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Amir Hamzah, Sophocles, Shakespeare, dan sejumlah pengarang sastra lainnya, yang senantiasa membuat kita gegar di dalam keyakinan namun sekaligus pula kita memasukinya dalam gapaian rindu dendam.

Rindu dendam teologis atau keilahian tak senantiasa bicara tentang Gusti Allah dengan kerangka syariah. Sastra memang bukan kitab suci agama. Chairil Anwar yang menderu bersama debu jalanan, dan dengan sepak terjang ”binatang jalang”-nya terasa hadir dalam pencarian sebagai individu modernis Indonesia dalam masa transisi yang penuh keguncangan dan kegegaran sosial-politik dengan kegelisahan sebagai makhluk keilahiah. Sebagai individu yang bebas Chairil Anwar melepaskan beban teologis yang bersifat syariah, makanya dia begitu akrab dengan Isa al-Masih, tanpa beban seperti kebanyakan sastrawan bentukan rezim Orba yang menganggap dirinya religius namun menista keyakinan orang lain. Pada Iqbal, di belahan India—lalu menjadi Pakistan—ketika mengenal Nietszche, dia mengalami keguncangan, namun dengan keguncangan itu pula keyakinannya kian mengakar, tumbuh berkembang, dan sebagai sosok dengan individualitasnya yang kian kokoh menjulang yang mampu dan bisa melakukan dialog dengan berbagai keyakinan.

Pergaulan dialogis

Pada suatu periode sejarah, negeri ini pernah mengalami suatu pertemuan dan pergaulan dialogis yang bukan hanya akrab secara personal-sosial, tapi juga memberikan inspirasi kepada kehidupan kebudayaan dan berbangsa, yang lepas dari segala prasangka. Coba kita baca dan resapkan karya-karya sastra pada periode 1940-1950-an, suatu masa yang gemilang dengan berbagai ideologi dan berbagai arus pemikiran dan di sanalah kita menyaksikan momentum penting di dalam penanaman benih kehidupan sastra dan pemikiran dalam pertemuan dan pergaulan dialogis.

Secara praktis, banyak elite partai di pusat dan daerah bersastra dan berkesenian, dan seniman tak alergi dengan dunia partai. Dan kritik adalah upaya untuk menjembatani bukan saja antara karya sastra dan publik, tapi juga menjadi kewajiban bagi sastrawan untuk menerimanya sebagai bagian karyanya. Sayang, kondisi itu hanya berlangsung dua dekade, dan lalu kita memasuki zaman ketika arus pemikiran faksionalisme begitu kuat dan banyak memerangkap kaum seniman, sadar atau tidak, menjadi onderbouw kekuasaan, politik ataupun ekonomi, dua sisi yang saling berdampingan.

Suatu kekuasaan yang menafikan dunia kebudayaan, dan menganggap sastra hanya menjadi pengganggu, membuat dirinya kian memasuki kondisi paranoia. Dalam konteks inilah, sesungguhnya justru sastra sangat perlu untuk menciptakan ruang dialog. Namun, suatu rezim bukan hanya dengan cerdik tapi juga strategis, bagaimana menciptakan ruang dialog yang dianggap prestisius dan sekaligus penyaring dan sebagai alat kontrol: pusat kesenian.

Maka, dialog tak lagi lahir dari kedalaman yang otentik, tapi dibentuk oleh kerangka dan prasangka. Konon zaman itu sudah berlalu, rezim tumbang secara politis. Namun, kenapa pula dialog kini tak lagi tumbuh berkembang, dan kenapa pula kian gencar prasangka membanjiri ruang media sosial, dan virus paranoia berbiak ke mana-mana, dengan seiring kata-kata yang terus menderas, ujung lidah setajam ujung telunjuk menuding, dengan lengking kemarahan. Di manakah sastra, dan di manakah martabat, ruang bagi siapa saja untuk mengukur diri dalam pencarian, dalam kesadaran kenisbian?

0 komentar:

Merpati Nuh

Merpati Nuh
Genthong HSA
12 Juli 2015

Cerpen ini karangan belaka, hasil imajinasi penulis berdasar banyak bacaan, termasuk buku agama Samawi.
Sebelum turun dari bahteranya ketika air bah telah surut, Nuh mengutus burung Merpati putih berjambul memeriksa, sudahkah air tuntas terserap bumi, demikian sahibul hikayat. Yang pertama, merpati kembali membawa daun-daun pohon Zaitun. Yang kedua tujuh hari kemudian, merpati kembali dengan kaki-kaki terbalut lumpur.

Jauh hari sebelum kisah merpati ini, Lembah Tengah Dua Sungai, Mesopotamia, dilanda kekeringan hebat. Lama hujan ditunggu tak kunjung bertamu, ketika akhirnya tiba, ia turun sedemikian lebatnya. Kaum Bani Rasib yang berlega-hati ketika itu was-was, khawatir Wadd, Suwwa, Nasr, Ya’uq maupun Yaghuts habis sabar, menunggu persembahan lengkap yang belum dihaturkan. Menurut Ubara-Tutu dari Shuruppag, hanya berkurban dua gelundung kepala musuh dan dua ekor kerbau jantan jelas tidak cukup. Dibutuhkan kurban jiwa anak-anak yang masih murni, laki-laki dan perempuan.

Mungkinkah terjadi isi orakel Lembah Sungai Nil, ’bah’ akan menggenangi muka bumi?! Per-Wadjet, Ular Cobra Kuil Mesir yang diagungkan, membisikkan akan datangnya air bah, tidak sendirian. Nahm atau Nuh, anak Lamik Lamaka cucu Matu Salij, mengaku dirinya nabi utusan Tuhan, memperingatkan hal yang sama. ”Hukuman Tuhan atas orang-orang yang tak mau beriman kepada-Nya bisa berupa apa saja,” katanya. ”Bila Tuhan Seru Sekalian Alam berkehendak, betapa mudah bagi-Nya menenggelamkan seluruh muka bumi ini,” tambahnya.

Kebebalan manusia tetapi, suka menantang celaka. Sebelum ada peristiwa mereka tidak percaya, pongah mengundang bencana. Nuh dengan tekun dan prihatin terus berusaha menyadarkan kaumnya, para penyembah berhala. Dan bukannya sadar, mereka malah mendirikan ziggurat, kuil persembahan, yang lebih besar lagi. Di Bukit Buto, baru setahun yang lalu ziggurat dengan tiga ratus anak tangga, didirikan. Patung-patungnya terbuat dari batu khusus asal Kirk’uk, yang dikerjakan sangat teliti oleh Togrodus dari Eshnunna. Sejak Ziggurat Bukit Buto berdiri, upacara penyerahan kurban dilakukan di sini. Orang berduyun datang. Bila ada anak manusia yang dikurbankan, orangtua dan keluarganya mendapat tempat kehormatan di baris pertama. Tangis mereka dibutuhkan untuk meyakinkan para dewa, betapa kurban adalah anak-anak yang dikasihi dan disayangi.

Saat hujan badai terjadi, tak ada yang sempat ke Bukit Buto. Air sungai meninggi, luapan tinggal dinanti. Orang berdoa menyebut nama dewa mereka dengan gemetar, ndremimil memohon perlindungan, agar banjir yang pernah melanda tidak terjadi lagi. Banjir yang menghancurkan, banjir mematikan. Ladang pertanian ludes, ternak lenyap, penduduk Ur seperempatnya hilang tak pernah pulang. Doa mereka terjawab petir terang-benderang, gemuruh guntur dan bunyi gedebum keras menderak bumi, sungguh menciutkan hati.

Nuh sedang membangun perahu. Sebuah perahu besar dari kayu, sangat besar, disebutnya bahtera. Perahu raksasa itu untuk mengangkut keluarga dan pengikutnya, bila bah tiba. Tetapi Nuh membangun perahunya di punggung bukit, tidak di pinggir pantai. Entah bagaimana ia akan meluncurkannya ke laut, bahtera seukuran kandang sapi isi tiga ribu ekor itu menjelang jadi. Orang berkelakar tentang keledai pembuat angsa gembung di puncak gunung, berencana tamasya membawa keluarga ke tengah laut, diiring gelak-tawa tak ada habisnya. Nuh biasa dicemooh orang. Kemana pun ia pergi mengajak orang beriman kepada Tuhan, ia dicibir, dimaki, dilempari sandal, batu, dilempari kotoran lembu. Beberapa kali ia pingsan kepala berdarah, terkena batu atau pukulan kayu. Bila itu yang terjadi, seekor merpati putih akan datang menghampiri memasukkan sebutir kurma ke mulutnya. Baru ketika sadar Nuh tahu, dirinya telah dibuang orang ke pecomberan.

Nuh dan kaumnya hidup di daerah yang sangat subur, kawasan peluberan air sungai Eufrat dan sungai Tigris itu dilapisi sedimen aquatik, endapan lumpur yang menjadikannya layak ditanami dan dihuni. Di luar keluasan tanah pertanian bumi gersang-kerontang, tanah gurun berbatu, tak tampak pohon walau hanya sebatang. Selain beternak ayam, kambing, babi dan sapi, warga bertanam gandum, biji-bijian, sayuran, ubi-ubian, bumbu dapur dan obat-obatan. Meniru bangsa Mesir, mereka mengatur pengairan ladangnya dengan bantuan instalasi irigasi, membuat kanal-kanal, membangun bendungan dan waduk tandon air. Mereka juga membangun sarana pengendalian banjir, yang kerap memberi manfaat.

Hujan badai sederas itu membuat warga curiga dewa-dewa marah, orang gila itu dibiarkan hidup bersama mereka. Nuh, siapa lagi! Orang mengumpatnya ’Keledai Dogol’, perangai halus mulut bodhol. Mereka benci melihat Nuh mengajak orang menyembah Tuhan Yang Satu, lalu mengejek tuhan-tuhan kaumnya sebagai dewa semati batu. Wadd bersaudara disebutnya tuhan tanpa kesaktian, lebih bodoh dari kerbau. Memelihara diri sendiri pun berhala tidak mampu, bagaimana bisa berkuasa atas manusia? Nuh mengakui, kaumnya bukan bangsa pemalas dan dungu, tetapi mengapa menyembah berhala, patung buatan sendiri?! Patung yang bahkan tak bisa marah bila ada anak nakal mengencingi mukanya.

”Anak Lamik Lamaka harus mati!”

”Nuh harus mati, Nuh harus mati......,” terdengar suara geram sementara orang. Namun...., mendadak hujan berhenti. Begitu saja, tanpa tanda-tanda. Sedemikian deras, bagai dituang dari langit jatuhnya air, lalu tiba-tiba mandeg. Orang tercengang tak percaya. Lalu matahari muncul dari balik awan, bersinar indah sekali. Mereka keluar, berdiri di depan pintu. Seluruh pemukiman dikepung air, air. Bila hujan tidak berhenti, segera semuanya akan tersapu banjir, pasti.

Meski sejauh mata memandang hanya air, lantai rumah tidak terbenam. Mereka bergerak menuju ladang, yang begitu mereka khawatirkan. Baru pekan depan hasil akan dipanen, hujan badai tiba di tengah malam buta. Dan mereka melangkahkan kaki, perlahan, tak bisa berlari. Hingga mereka terhenti, takjub. Ladang masih ada, lengkap bersama hasilnya. Kerusakan kecil ada di sana-sini, tak seberapa, siapa percaya?! Segera mereka berlari ke arah datangnya suara berdentum saat hujan tadi, ke ziggurat Bukit Buto. Orang pun gemetar ketakutan, ziggurat ambrol. Patung-patung dewa roboh, pecah berantakan.

Walaupun kaum Nuh pandai matematika, menghitung lingkaran 360 derajat, memiliki kalender 12 bulan berdasar perhitungan bulan dan perhitungan matahari, Nuh dianggap dukun dengan segudang ilmu sihir. Berapa kali orang mencarinya untuk dijahati, Nuh tersembunyi, tak dijumpai. Kalau orang sudah melupakannya, ia muncul lagi mengajak orang beriman kepada Tuhan. Ketika ada yang berniat membakar perahunya, Nuh beserta perahu sebesar itu lenyap. Dan di sekitar rumahnya mendadak banyak singa berkeliaran.

Waktu berjalan, peristiwa berlalu. Bahtera selesai dibangun, sempurna. Langit biru, awan tipis bagai kapas putih menyaput rata. Matahari terik, udara panas, angin mati. Kerbau bersungut mencari lumpur tempat berkubang. Di atas Ur gagak-gagak hitam terbang gelisah mengitari kota, menggambar gelap, berkaok serak menusuk gendang telinga. Ziggurat-ziggurat dipenuhi persembahan, kegersangan kembali bersinggasana.

Benar-benar hanya gagak, burung yang lain tak tampak. Dari sebuah pondok di pinggiran kota, Rahmah istri Sam anak Nuh pergi tergesa-gesa, mencari bapak mertuanya. Bukan kebetulan, pasti, yang dicari sedang berjalan ke arah dari mana ia datang. Terbata-bata ia mengabarkan, air telah memancar keluar dari tempat pemanggangan roti di dapurnya, sangat deras. Bergegas Nuh mempercepat langkahnya dan benarlah, dari rumah anaknya air membanjir dan mulai menggenangi pekarangan, terus mengalir menuju lembah bawah. Nuh meniup terompetnya, cangkang kerang laut bersuara merdu, panjang berulang. Lalu ia mengajak anak, menantu dan cucu-cucunya meninggalkan rumah mereka.

Kesibukan di lokasi bahtera terutama memuatkan barang dan ransum makanan untuk jangka waktu panjang. Segala jenis binatang, sepasang-sepasang, lengkap makanan mereka, diikutsertakan. Ketika terdengar suara jeritan diiring bunyi barang jatuh, Nuh mengusap muka dan dadanya, memohon ampun ke hadirat Ilahi. Ia menyesalkan sebagian anak buahnya yang belum mantap beriman. Nuh mendatangi dua orang lelaki yang jatuh terpeleset saat meniti anak tangga, hendak memasuki bahtera. Mereka mengerang.

”Tak usah mengaduh, bangun kalian,” perintah Nuh. Dengan susah-payah kedua orang itu berdiri. ”Semua yang naik bahtera harus memulai dengan menyebut Asma Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah kalian lakukan?” Terdengar jawaban ”Ya,” walau tidak serentak. ”Lalu, mengapa kalian terjatuh?!” Nuh menggelengkan kepalanya lalu berkata, ”Cepat, mintalah ampun ke hadirat-Nya, Tuhan Yang Maha Pengampun.” Kedua orang itu segera melakukannya dengan bersujud mencium bumi.

Mereka kembali bekerja, memuatkan yang masih tertinggal. Dari bawah terdengar gemuruh air yang mulai membanjiri seluruh lembah. Kecuali di sekitar perahu Nuh, hujan turun dengan derasnya. Ketika kedua orang yang jatuh tadi meniti tangga hendak memasuki bahtera, lagi-lagi mereka terpeleset dan jatuh ke tanah. Tak ada keributan. Semua takut memandang Nuh, yang mendekati keduanya sambil berkata, ”Ada apa dengan kalian? Jangan engkau menaiki perahuku membawa kesangsian dan kotornya pikiran. Berserah-dirilah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, apakah kalian telah berdoa dan menyebut Asma-Nya?” Kedua orang itu mengangguk.

”Apa kalian membawa sesuatu yang mengotori hati, memberati iman?” Kedua orang itu menggelengkan kepalanya. Nuh lalu bersiul, seekor merpati yang ia lepas terbang dan telah kembali, datang menghampiri, menjatuhkan secuil pecahan batu di tangannya. Setelah memeriksanya Nuh bertanya, ”Batu apakah ini?” Kedua orang itu geleng kepala sambil menunduk. Lengang...., sekian lama sunyi. Semua orang takut, bahkan hanya untuk bernapas.

Lalu seorang perempuan berteriak dari atas perahu, ”Itu batu pecahan patung Ziggurat Buto, ia yang bawa. Ia suami saya.” Segera Nuh memerintahkan kepada siapa saja, membuang batu pecahan berhala bila ada yang membawa. Ternyata selain kedua lelaki itu tak ada yang melakukannya. Dan setelah mereka membuang batu-batunya, termasuk yang dipakainya sebagai mata cincin, batu akik, di jari tangannya, kedua lelaki itu berhasil menaiki bahtera. Kelegaan nampak di wajah-wajahnya, beban serasa hilang. Air semakin tinggi, bahtera telah diangkat air kaki-kakinya dan mulai bisa mengapung, bisa berlayar.

Badai kencang sekali, bersuit-suit membekukan hati. Warga Ur berlarian mendaki bukit dan kaki gunung, berusaha menyelamatkan diri. Yang jatuh ke air melolong minta tolong, tak ada yang bisa mendekat meraihnya, kecuali gulungan ombak yang segera menelannya. Kan’an putera Nuh, menolak datang ke perahu ketika ayahnya memanggilnya. Dengan sombong ia berteriak, ia pasti selamat naik ke puncak bukit tertinggi. Nuh kecewa, hanya bisa mengusap air matanya. Dan air terus meninggi. Merpati putih Nuh yang selalu setia menemani tuannya hinggap di pucuk tiang utama bahtera. Ia perkasa kerna ia tanpa dosa.

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA