HMI MENJAUHKAN SAYA DARI KELOMPOK LAIN, BENARKAH?

HMI MENJAUHKAN SAYA DARI KELOMPOK LAIN, BENARKAH?
                                                     By: Ghefur Abduel[*]
Suatu hari, dalam perjalanan pulang dari kampus ada sedikit pertanyaan terlintas dalam benak saya. Pertanyaan itu, apakah arti dari hidup berkelompok yang hakiki?. Kemudian disusul dengan pertanyaan yang lebih jauh. Mengapa hidup berkelompok, dalam perasaan saya malah membuat merasa lebih jauh dari kelompok lain?. Haruskah aku keluar dari kelompok ini agar hidupku tidak terkungkung oleh kelompok ini? Sebelum saya masuk HMI-MPO atau menjadi anggota dari bagian kelompok ini, pertanyaan seperti di atas tidak pernah terlintas dari pikiran saya. Walau tidak bisa dikatakan sebelum menjadi bagian HMI, saya tidak hidup berkelompok. Semua orang pasti pernah hidup berkelompok, walaupun perbedaannya terletak pada ideologi. Kalau sebelumnya saya hidup berkelompok tetapi tidak berdasarkan pada ideologi, akan tetapi itu tidak bisa dikatakan hidup secara individu.
Kembali pada masalah tadi. Berangkat dari pertanyaan itu, saya mulai mencari apa arti sesungguhnya dari hidup berkelompok. Pencarian ini tidak seperti orang yang mencari barang hilang. Karena apa yang saya cari bukanlah sesuatu yang pernah kumiliki, yang sudah dimengerti apa yang dicarinya. Melainkan mencari makna dan nilai dari apa yang telah saya dapatkan dalam ber-HMI. Sebagaimana lazimnya organisasi, HMI memiliki struktur dan kultur yang terbagun dari muatan nilai yang tertuang dalam materi pe-latihan kader sebagai jalan-gerak dan ber-sikap dalam ber-HMI. Nah, dari sinilah saya mulai sebuah pencarian tentang apa yang ada dalam benak saya tadi.
Dalam materi ke-HMI-an itu, saya mulai mengingat dan membuka kembali tentang apa yang mendasari manusia hidup berkelompok. Muatan yang terkandung dalam materi wawasan sosial membuat saya merasa puas terkait apa yang menjadi kegelisahan saya. Dalam materi wawasan sosial terdapat keterangan bahwa, manusia hidup dalam berkelompok tidak hanya sekedar untuk bekerja sama agar lebih produktif. Manusia yang mengikuti cara berpikir seperti ini mempunyai kelemahan karena menumbuhkan kesombongan bagi manusia yang memperoleh  sejumlah kelebihan individual, baik berupa kekayaan, kekuasaan, status sosial dan tingkat pendidikan.
HMI, dalam ber-Islam memandang bahwa kemasyarakatan hidup (ber-kelompok) merupakan ciri kemanusiaan yang tak dapat dipisahkan dari keperibadian manusia. Karakter dan jiwa kemasyarakatan bukan sesuatu yang baru tumbuh setelah manusia berinteraksi dengan orang lain, melainkan sudah ada sejak manusia diciptakan. Dengan demikian, seorang manusia mempunyai hak-hak pribadi yang harus dihormati dan bertanggung jawab untuk memenuhi kepentingannya, baik yang bersifat material untuk kebahagiaan hidup di dunia hingga yang menyangkut keselamatan dan kebahagiaan di akhirat. Namun, pada saat yang sama manusia bertanggung jawab mewujudkan kepentingan bersama. Masyarakat memiliki jiwa sebagaimna individu memiliki jiwa juga. Adapun menjadikan perbedaan hanyalah terletak pada jiwa kemasyarakatan. Jiwa kemasyarakatan yang lemah akan menyebabkan lemahnya sistem kehidupan dan hilangnya kehormatan suatu masyarakat. Oleh karena itu setiap anggota masyarakat atau kelompok bertanggung jawab untuk menjaga kehormatan dan harga diri masyarakat sehingga terhindar dari kematian sosial.
Keterangan di atas dapat membuat saya lega, ternyata hidup berkelompok merupakan fitrah yang sudah ada dalam diri manusia. Berkelompok merupakan realisasi atau perwujudan dari potensi yang sudah melekat dalam diri manusia itu sendiri. Konsepsi tentang masyarakat atau hidup berkelompok tidak bisa lepas dari  konsepsi tentang manusia itu sendiri. kegagalan dalam memahami manusia akan mengakibatkan kegagalan yang sama dalam memahami masyarakat, serta kekeliruan dalam memperlakukannya. Di dalam Islam manusia merupakan puncak kesempurnaan penciptaan diantara mahluk yang lain. Sehingga hanya manusialah yang dianugrahi keutamaan dalam menyandang “unsur Ilahiyah” yakni perwujudan Tuhan, yang kelak akan menjadi modal baginya untuk berahlak berdasarkan sifat-sifat Tuhan.
Keterangan di atas menjelaskan bahwa hidup dalam berkelompok tidak hanya mengenai kontrak dalam bekerja, dalam artian tidak hanya untuk mencapai kepentingan yang bersifat keduniawiaan, tetapi lebih kepada fitrah. Bagaimna fitrah itu diolah menjadi bagian untuk mewujudkan cita-cita bersama. Jiwa kemasayarakatan harus terus diasah sehingga ia berkembang menjadi sistem nilai bagi kehidupan.  Nah, apa yang disebut dengan cita-cita bersama tadi?. Karena yang dibicarakan dalam pertanyaan tadi masih dalam konteks HMI, maka kita juga harus melihat apa yang menjadi tujuan dari HMI itu sendiri. cita-cita HMI adalah terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi oleh Allah SWT.
Dengan mengetahui secara jelas apa yang sudah dicita-citakan oleh HMI maka, asumsi saya tidak mempunyai dasar yang valid. Malah dalam berkelompok saya bisa mengembangkan potensi atau fitrah yang ada dalam diri saya, tak terkeculai bagaimana jiwa kemasyarakatan itu diolah. Persoalannya hanya terletak pada, apakah kelompok yang saya pilih merupakan kelompok yang tepat?. untuk mengukur apakah kelompok itu sudah tepat maka perlu saya kembalikan kepada tujuan HMI itu sendiri. dan membandingkan apakah tujuan HMI bertentangan dengan Islam. Dalam kesimpulan saya HMI memiliki tujuan mulia untuk mewujudkan ajaran Islam atau nilai-nilai Islam yang tertuang dalam kitab sucin-Nya. Maka tidak mungkin tujuan HMI bertentangan dengan Islam yang secara jelas ingin diwujudkan oleh kader-kadernya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, persoalan diatas hanya ilusi semata yang senantiasa menghinggapi ruang-ruang imaji manusia. Karena sebagaimana saya sebutkan di atas, pertanyaan itu tidak memiliki dasar yang kuat dalam materi ke HMI-an, apalagi dalam kultur yang notabennya perwujudan dari apa yang menjadi nilai dan pengangan HMI (khittoh perjuangan). Kalaupun ada perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lain itu hanya persoalan perbedaan jiwa kemasyarakatannya yang lemah. Dalam artian ada kekurangan dalam mengolah jiwa kemasayarakatan dimana ia berkelompok. Kiranya dari perbedaan itulah kita mengasumsikan bahwa itu adalah kehendak bijak Allah SWT untuk mendidik manusia membangun interaksi sosial dalam kerangka ketakwaan.
Mudah-mudahan apa yang saya alami juga pernah anda alami, paling tidak memacu kita untuk kembali memaknai dan menggali khasanah ke-HMI-an yang menyamudra. Kemudian pencarian itu kita maksudkan agar antara kita dan HMI tidak berjauhan, sehingga opini pribadi tidak dijadikan opini HMI. Objektifitas dapat meminimalisir subyektifitas dalam membangun wacana. Saya rasa cukup sampai disini perjumpaan kita dalam dunia imaji, dan mudah-mudahan kita dipertemukan dalam dunia imaji yang lain. Perlu diketahui bahwa pertanyaan diatas hanyalah refleksi dari kenyataan-kenyataan yang saya hadapi dalam imaji. Maka saya pribadi tertarik untuk menelusuri, apakah benar kelompok saya yang menjauhkan diri ini dengan kelompok lain? ataukah ia hanyalah ilusi?. dan apabila ada kesalahan dalam menginterpretasikan khittoh perjuangan “khususnya dalam wawasan sosial” mohon untuk dikoreksi. WASSALAM.





[*] Peng-imaji adalah salah satu anggota ashabul kahfi pada MARAKOM INSTITUTE

0 komentar:

Lamunan Anak Desa



Lamunan anak desa yang menginginkan kota.
Syairku menari-menari dalam pertemuan itu.
Syairku bertemu dalam alunan irama kalbu antara kenyataan dan kepalsuan
Sudah lama syair berkumandang tanpa arah  tujuan meski dirimu nyata dalam lamunanku
Kini aku bertanya benarkah syair itu ada, adanya!?
Kemudian syair itu hambur berlalu seiring topan menghantam
Anak muda malang mulai merangkai kata seindah bintang
Namun, hanya kemalangan yang ada seiring hawa mengambang
Hanya lamunan anak desa
Dan hanya kota yang mampu membuat syair seindah mahkota sang raja

Yogyakarta, 01-11-2012
Pelataran kampus sang pemalas.

0 komentar:

Tafsir Kemanusiaan “Dendam Damai”



Tafsir Kemanusiaan “Dendam Damai
Oleh : Abdul Ghefur
Kedamaian dan kebahagiaan hidup merupakan satu dambaan hidup manusia. Selama ini wacana mengenai perdamaian tersebut, nyaris hanya kerap dikemukakan oleh para pemuka agama, akademisi, dan aktivis yang tercerahkan oleh teks-teks keagamaan. Sedangkan suara-suara dari seniman atau pejuang seni belum mampu terdengarkan oleh jiwa masyarakat umum. Dalam hal ini penulis hendak mengangkat pesan damai dari seorang seniman asli Indonesia, Iwan Fals, lewat syairnya “Dendam Damai.
Iwan Fals banyak dikenal melalui lagu-lagunya, syair-syair yang dia “kicaukan” dikenal dengan kritik sosialnya yang tajam pada rezim orde baru. Namun banyak juga lagu-lagu yang berkaitan dengan pesan tentang kedamaian, kejujuran, dan cinta. Sebagai seorang musisi, dia bersikeras melihat fenomena dilapangan dengan objektif. Dalam salah satu syair yang berjudul Dendam Damai, dia mencoba membaca realitas yang ada kemudian mempersoalkannya.
Bait awal lagu Dendam Damai, Tak habis pikir aku tak mengerti/Mengapa ada orang yang senang membunuh?/Hanya karena uang semata/Atau demi kuasa dan nama. Interpretasi bait pertama ini, merupakan ekpresi keheranan yang membuatnya bertanya tentang apa sesungguhnya realitas yang terjadi. Tanya tersebut disambung dengan jawaban yang sudah ia paparkan sesuai dengan apa yang dia amati. Jawaban itu seolah ingin memberitahu kepada kita bahwa hampir seluruh kekerasan “penghambat kedamaian” terjadi baik secara fisik maupun non-fisik. Sebuah kausal yang merupakan tindakan mempertahankan kekuasaan.
Dengan uang semua orang bisa didikte sesuai keinginan penguasa yang tidak rela  berbagi kekuasaan dan tidak ingin kekuasaanya berakhir. Jika penguasa mengendus adanya kudeta maupun desas desus tentang keburukannya dibicarakan rakyat, maka penguasa tidak segan-segan membuat opini publik yang bisa melegitimasi perbuatan yang tidak bermoral, misalnya dengan membuat peryataan mengancam kedaulatan negara, atau mengancam stabilitas negara. Kata “senang” dalam bait tersebut, mengindikasikan bahwa tindak kekerasan penguasa sudah sangat lazim terhadap rakyat kecil.
Bait syair selanjutnya, Bagi kita rakyat biasa/Tak berdaya ditodong senjata/Mencuri hidup yang hanya sekali/Hanya berdoa yang kita bisa/, mengindikasikan kekuatan yang dimiliki oleh penguasa dipakai untuk konfrontasi dengan rakyat biasa. Dengan ini rakyat biasa dilemahkan, ditakut-takuti agar tunduk kepada keinginan penguasa, sehingga penguasa dengan leluasa menikmati keringat rakyatnya sendiri. Kini rakyat hanyalah mesin para penguasa, yang tanpa memandangnya sebagai manusia yang mandiri dengan segala keinginannya.
Dendam dendam celaka/Menghasut kita tak jemu menggoda/Damai damai di mana/Bersembunyi tak ada wujudnya/ dari sini terlihat antara penguasa dan rakyat sudah tidak saling percaya. Keadaan ini tidak lahir dari ruang kosong yang tidak punya alasan. Ini bisa kita pahami, jika kita melihat bagaimana pemerintah melayani rakyat, bagaimana pemerintah menjawab kebutuhan rakyat, dan bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap rakyatnya. Ini perlu menjadi koreksi diri dari pemerintah dan masyarakat, sehingga “dendam” dan saling curiga tidak menjangkiti kita semua, karena situasi semacam ini jelas tidak menguntungkan rakyat jelata.
Bait selanjutnya Kapan berakhirnya situasi seperti ini?/Tidak bisakah kita saling berpelukan?/ berharap betapa indahnya hidup berdampingan antara penguasa dan masyarakat, antara yang berbeda agama, maupun yang berbeda dalam pemahaman. Semua terasa berjalan berbeda namun dalam irama yang sama, ibarat melihat tumbuhan yang bermacam-macam yang memancarkan keindahan dari perbedaan itu sendiri.
Lirik Bukankah indah hidup bersama/Saling berbagi saling menyinta/Terasa hangat sampai ke jiwa/Memancar ke penjuru dunia. Mencoba memvisualisasikan tentang keindahan dari hidup bersama saling berbagi dan saling menyinta terasa hanga sampai ke jiwa kemudian memancar ke seluruh aspek masyarakat. Di sini kedamaian menjadi inti utama dari kehidupan manusia dan kedamaian setiap hati yang pada ujungnya akan bermuara pada kedamaian di bumi.
Lirik Jangan goyah percayalah teman/Perang itu melawan diri sendiri/Selamat datang kemerdekaan/Kalau kita mampu menahan diri, kita sebagi manusia yang menjalani kehidupan, dituntut mampu mengolah diri sehingga bisa beradaptasi dengan lingkungan. Dengan cara ini kita telah ditempa menjadi manusia yang memahami diri sendiri, lalu memahami lingkungan hidup kita. Menurut hemat penulis, semua konflik berakar pada tidak adanya pengenalan pada diri. Jika kita tidak mengenal diri sendiri bagaimana bisa kita mengenal di luar diri kita, dan jika kita tidak mengenal di luar diri kita maka segala bentuk prilaku juga tidak akan memberikan kedamaian baik kepada diri maupun kepada yang lain sebagai akibat dari ketidaktahuan dan ketidakpahaman. Bila demikian yang terjadi bisa dipastikan segala aktifitas yang dilakukan akan menghambat lajunya perdamaian.
Dari pengalaman makan asam garam, Iwan Fals mempunyai keyakinan bahwa proses pengendalian diri merupakan kunci terciptanya kedamaian. Sedangkan penghujung syair dengan bunyi Hanya karena itu semua/Rela hancurkan tanah tercinta, mengisyaratkan bahwa kerususuhan dan ketidaktentraman merupakan hal yang bisa merusak manusia sebagi penghuni bumi. Iwan Fals mengklaim bahwa hanya karena uang, kuasa, dan, nama rela menghancurkan tanah tercinta.
            Fakta kekuasaan yang cenderung digunakan untuk menindas rakyat, seharusnya disadari oleh penguasa. Rakyat sebagai pengawas independen, hendaknya menjadi pengarah dan penegak hak asasi kemanusiaan yang tetap memperjuangkan setiap manusia meraih kesejahteraan tanpa adanya penindasan oleh kekuasaan. Lagu “Dendan Damai” tidak hanya untuk didengungkan untuk menghibur pahitnya hidup, melainkan harus dimaknai sebagai ide atau gagasan perdamaian antara penguasa dan rakyat sehingga terwujud kesejahteraan hidup yang damai sesuai tujuan hidup berbangsa dan bernegara.

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA